PoV Abang
Hari ini, aku akan kembali ke kantor polisi. Menyelidiki info yang diberikan oleh salah satu tahanan yang satu kamar dengan Herlina. Sejujurnya, sejak mengetahui Herlina menghilang dari penjara, aku selalu diliputi kecemasan. Cemas akan keselamatan Ibu, Dion, Ayu dan juga diriku sendiri.
“Sayang, Abang berangkat sekarang ya? Semoga saja, segera menemukan titik terang supaya Herlina cepat tertangkap lagi,” ucapku setelah selesai menyantap sarapan.
“Iya, Sayang, aamiin. Ayu juga berharap demikian.” Aku mengelus perut Ayu yang sudah mulai terlihat buncit.
“Nak, jagain Mama ya? Papa sayang kalian.” Kemudian mencium perut Ayu dengan lembut.
Ya Allah, terima kasih atas kebahagiaan yang Kau anugerahkan pada kami.
Ayu meraih telapak tanganku, menciumnya.
“Hati-hati ya, Bang. Banyak-banyak baca doa.”
PoV AyuKabar yang Abang ceritakan semalam, membuatku khawatir tentang keadaan Ibu, Silvi dan Bang Dion. Benar kata Abang, Herlina pasti akan menuntut balas. Semoga saja urusan Abang di kantor polisi segera selesai. Cepat diketahui siapa yang membantu Herlina kabur dari penjara dan Herlina segera tertangkap, masuk bui lagi.Handphone di saku gamis berdering, mengeluarkannya, melihat nama yang tertera di atas layar benda android. Silvi.“Ayuuuuuuu ....” Astaghfirullah, sudah menikah, masih saja suka teriak-teriak.“Berisik Silviii ... lo gak bisa apah manggilnya b aja? Gak usah teriak-teriak gitu?!” Berjalan masuk kamar, rebahan di atas tempat tidur.“Gue punya berita gembira!!” Masih dengan intonasi tinggi. Untung saja Silvi adalah sahabat sekaligus kakak ipar aku kalau bukan ... hm aku semprot habis-habisan.“B
Pov AyuTeleponku tak juga diangkat. Apa mungkin Abang sedang sibuk? Sudahlah, nanti saja aku telepon lagi. Sekarang aku harus menyuruh Bang Parto membawa ibu dan Silvi untuk tinggal di sini sementara waktu. Abang pasti memberi ijin.Setengah berlari keluar kamar, mencari keberadaan Bang Parto.“Bi ... Bibi ....” Tergopoh-gopoh Bi Sumi datang menghampiri.“Ada apa, Mbak?”“Bang Parto mana?”“Ada di belakang. Ada apa ya, Mbak?”Dengan napas memburu, aku menjawab. “Tolong suruh Bang Parto ke rumah Ibu sekarang. Cepetan!!”Tanpa bertanya, Bi Sumi mengiyakan perintahku. Aku duduk di sofa ruang tamu. Mengatur napas sambil sesekali melihat handphone. Berharap Abang telepon balik. Oh iya, Bang Dion. Aku harus telepon dia. Satu kali panggilan Bang Dion langsung mengangkat teleponku.&nbs
PoV AbangTernyata dugaanku benar. Kalau Sipir Trisno ada sangkut pautnya dengan kehilangan Ratih Herlina. Bagaimana bisa, Sipir itu tidak menyadari ada CCTV di gudang?“Saya harus memanggil Sipir Trisno Pak Dendi.” Tanpa menunggu jawabanku Pak Heru keluar ruangan. Hanya beberapa menit, polisi yang menangani kasus Maminya Firman kembali.“Ini tidak boleh dibiarkan, harus diberi sanksi yang tegas!!” Pak Heru geram, merasa kecolongan dengan tingkah penjaga tahanan yang melakukan tindakan tak bermoral.“Harus, Pak. Demi menjaga nama baik kepolisian. Kalau kabar atau rekaman CCTV tersebar luas, masyarakat kemungkinan besar tidak mempercayai kinerja para aparat Negara lagi.” Pak Heru menarik napas panjang. Memijat pelipis. Kentara sekali kalau ia sedang pusing sebab dipermalukan oleh anak buahnya.“Saya juga khawatir kalau atasan tahu tentang
PoV Ayu“Kamu bilang apa, Nak? Ratih Herlina kabur dari penjara?” tanya Bunda menyentuh bahuku. Memang sewaktu Abang menelepon, aku tak sempat menjauh dari Bunda hingga wanita yang telah melahirkan suamiku mendengar apa yang aku sampaikan pada Abang.“Iya, Bunda.”Bunda mengubah posisi duduk, lebih menghadapku.“Terus, tadi apa kata Ayu. Rumah Ibu Eva diteror sama Ratih?” Cecar Bunda menatapku lekat. Sebenarnya risih dipandang seperti itu.“Iya, Bun. Makanya Ayu nyuruh Ibu dan Silvi tinggal di sini untuk sementara waktu.” Raut wajah Bunda berubah tak suka.“Kamu ini ceroboh amat, Nak. Kalau Eva dan anaknya tinggal di sini, keselamatan kamu dan Dendi jadi ikut terancam,” ujar Bunda.“Bunda jadi aneh, semenjak kenal sama Eva, kalian selalu saja kena masalah. Heran.” Gumaman Bunda kud
PoV Herlina‘Hahahahaha ... puas sekali menteror si Eva. Dapat kulihat ekspresi wajah ketakutannya. Ah, andai saja aku punya senjata pistol seperti dahulu, sudah aku tembak dari kejauhan. Aku harus segera menemukan si anak dungu, supaya uang yang aku miliki dapat digunakan untuk membeli alat-alat senjata. Rasanya sudah tak sabar, kedua tanganku menghabisi nyawa mereka.Motor yang aku sewa melesat cepat memasuki gang rumah kontrakan. Sudah telat dua puluh menit dari janji sewa. Tak apalah, toh pemilik motor ini orang yang baik.Di depan pintu kontrakanku, sudah berdiri Mang Supri, yang tiada lain pemilik motor yang baru saja aku pakai.Dengan tergesa-gesa Mang Supri mendekati, ia kelihatan marah.“Kau telat dua puluh menit! Aku sudah nungguin dari tadi. Cepat turun!!”Kenapa dia? Aku kira Cuma telat segitu ia tak marah.“Maaf, tadi jalanan mac
PoV PutriSampai kapan Mas Firman bertingkah seperti anak kecil? Sudah hampir satu jam ia masih saja bermain di arena permainan anak-anak. Walaupun yang ia permainkan balapan mobil, tapi tetap saja menjadi pusat perhatian orang-orang.Padahal sebentar lagi dia mau jadi seorang Ayah. Usia kandunganku sudah sembilan bulan, tubuhku pun jadi mudah lelah. Untung Bi Tumi bersedia menemaniku di rumah, membantu masak, beres-beres rumah sejak kami pindah rumah. Kalau saja, Mas Firman tidak menangis meraung-raung ingin ke sini, tentu saja aku malas mengantarnya.Tak lama handphone berdering. Kak Silvi?“Hallo, Kak?”“Kamu lagi di mana, Put?”“Mall. Ini Mas Firman pengen maen di Time Zone. Kenapa Kak?”“Pulang sekarang! Ratih Herlina kabur dari penjara!” Mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang baru saja aku
PoV AbangDion pergi ke tempat pengepungan kontrakan Herlina. Sementara aku dan Pak Supri berjaga-jaga di rumah. Khawatir kalau Herlina mengetahui lokasinya sudah dikepung oleh polisi, dan lagi – lagi ia melarikan diri.Ibu sudah beristirahat di kamar tamu. Mama Dahlia, Syifa dan Silvi duduk di ruang televisi. Sedari tadi, Silvi menelepon Putri, adiknya yang menikah dengan Firman. Firman tiada lain anak tunggal Herlina. Kemungkinan Herlina menemui Firman sangatlah besar. Mending kalau kedatangan Herlina menemui Firman hanya melepas rindu, bagaimana kalau kedatangan Herlina ke rumah Firman justru ingin membunuh anak dan menantunya? Apalagi menurut cerita Putri, Herlina pernah memberi racun pada segelas air susu yang ingin diteguk oleh Firman. Untung saja ketika itu diketahui oleh Putri, hingga Firman tak lantas meminumnya.Kini, aku dan Ayu masih duduk di sofa ruang tamu. Ayu memijat pundakku.&
PoV AbangTubuhku kembali melorot, duduk memeluk kedua lutut. Pengakuan Herlina soal kematian Ayah kembali terngiang. Sedari dulu, aku dan Bunda tidak pernah menduga, kalau Ayah meninggal karena dibunuh bukan karena kecelakaan semata.Air mataku kembali mengalir, Teringat sosok Ayah. Ayah yang selalu menjadi kebanggaanku, Ayah yang kujadikan contoh, Ayah yang menasehatiku agar selalu menjadi lelaki yang bertanggung jawab dan berkomitmen.‘Ayah ... Dendi kangeeen ....’ Aku terus membathin. Hati ini terasa diiris sembilu mendengar pengakuan Herlina tentang pembunuhan terhadap Ayahku. Ia sungguh licik, membunuh seseorang dengan kedok kecelakaan.“Mas Dendi ... saya mengerti apa yang Mas alami sekarang. Tapi, Mas Dendi harus ingat, yang sudah terjadi tidak bisa kembali terulang. Apalagi orang yang sudah meninggal. Kasihan almarhum, kalau ada orang yang belum mengikhlaskannya. Maaf
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be