PoV Abang
Esok harinya, pukul tujuh pagi, aku dan Ayu kembali pulang ke rumah Bunda. Semakin hari, semakin beruntung memiliki istri seperti Ayu. Dia sungguh istri yang baik. Semakin hari pula, rasa cintaku padanya semakin besar. Tidak sia-sia aku mencintainya dalam diam bertahun-tahun lamanya.
Aku tahu, tidak ada wanita yang sempurna di dunia ini. Akan tetapi, bagiku Ayu adalah wanita yang sempurna. Bukan kecantikannya saja yang membuatku jatuh hati, sebab kecantikan tidak akan kekal selamanya. Bisa luntur dimakan usia atau waktu.
Sekarang Ayu berwajah cantik, putih, dan mulus, bisa saja saat ia tua nanti, tidak secantik sekarang. Aku tidak mau mencintainya sekadar fisik karena kuyakin, jika hanya itu alasan mencintainya, tidak akan bertahan bersama sampai menua nanti.
Aku mencintai Ayu karena ketulusan hatinya. Kebaikan budi pekerti dan jiwa sosial yang ia miliki sangat tinggi.
&n
PoV AbangUsai berberes, aku dan Ayu keluar kamar. Menemui Bunda hendak pamit. Wanita yang telah melahirkanku duduk di kursi depan teras.“Bun, kami pamit. Bunda baik-baik di sini.” Tatapan Bunda tetap ke depan, tidak menoleh sedikit pun. Aku menghela napas, sementara Ayu berjongkok di sisi kursi tersebut.“Bunda ....” Ayu memanggil dengan lembut“Silakan. Silakan kalau kalian mau pergi. Toh semua ini sudah Bunda duga sebelumnya.”Sepertinya bakal terjadi pembicaraan panjang. Aku duduk di kursi sebelahnya, begitu pun dengan istriku.“Maksud Bunda apa udah diduga sebelumnya?”Bunda menarik napas panjang, menyandarkan tubuh, lengan kanan kiri tertumpu pada pegangan kursi.“Kalau kalian menikah, pasti akan ninggalin Bunda. Makanya dulu, Bunda sempat gak setuju.”
PoV PutriAku bersyukur, hari ini telah resmi menjadi istri Mas Firman. Meskipun tiga kali salah dalam mengucap ijab qobul, tapi ucapan keempat akhirnya disah-kan oleh para saksi.Pernikahan kami sangat sederhana. Hanya dihadiri Kak Silvi, Bang Dion, Pak Rt tempat kediaman kami beserta istrinya, dan tetangga kanan kiri.Usai acara, aku membagikan nasi kotak dan selembar amplop berisi uang untuk mereka sebagai ucapan terima kasih karena bersedia hadir dalam pernikahan kami. Seharusnya memang pihak pengantin yang menerima amplop, tapi tidak jadi masalah, mengingat uang Mas Firman sangat banyak.“Put, pulang yuk! Aku pengen pulang.” Mas Firman mulai merengek.“Iya, Mas. Bentar lagi ya. Putri mau ngobrol dulu sama Kak Silvi. Mas main game aja di sana.” Aku menunjuk bangku panjang di depan ruangan KUA sambil menyerahkan ponsel. Mas Firman pun berjingkat, duduk
PoV AbangMalas banget keluar kota. Pulang pasti larut malam. Semoga saja masalahnya cepat kelar, jalanan gak macet.“Sayang, kok belum berangkat? Kenapa?” Istriku bertanya, duduk di atas kasur seraya mengelus rambutku. Aku yang sedang rebahan menoleh.“Males, Sayang.”Dia menggeser tubuhnya, ikut berbaring di sampingku, memeluk. Duh ilah, makin malas aja dah.“Bang, Ayu juga maunya kita gini terus. Tapi ... Abang taulah omongan Ayu selanjutnya.”Membelai kepalanya yang berbalut hijab.“Ayu ikut ajalah, Sambil jalan-jalan.” Ayu bangun, duduk seraya menatapku.“Nanti Ayu malah ganggu. Udah deh, bangun, yuk! Tadi Bang Dion udah teleponin tuh!”Akhirnya mau tak mau, beranjak dari tempat tidur. Mengganti pakaian dan berangkat.“Hati-hati ya, Bang?&rdq
PoV AbangKudorong tubuh Dita dengan kasar hingga ia jatuh tersungkur. Sialan! Kenapa harus ketemu lagi sama wanita gila!“Den, ada apa?” Pertanyaan Dion tak kuhiraukan.“Lima tahun aku mencintaimu, Dendi! Aku menunggumu! Kenapa kau pergi gitu aja!!” Cih! Perkataannya seolah kami pernah menjalin hubungan. Padahal gak sama sekali.“On, mending kita pulang! Batalin semua!”Hampir saja tersungkur, Dita memeluk sebelah kakiku.“Mbak! Hentikan, Mbak!”Sergah Desi dan wanita satunya lagi. Membantu melepaskan kedua lengan Dita dari kakiku.“Lepasin, Dita! Lepasin!” Kedua tangan Dita akhirnya terlepas.“Ayok, On! Cabut!”Setengah berlari keluar dari rumah Wijaya Kusuma. Aku tidak mau mengambil resiko. Wanita itu benar-benar nekat.
PoV SilviAlhamdulillah, acara wisuda sudah selesai. Aku bersyukur, dapat dihadiri oleh Mama, Bapak, Putri, dan Syifa. Begitu pula sahabatku, Ayu. Dihadiri oleh Bunda, Ibu, dan Bang Dendi.Aku dan Ayu tak henti mengumbar senyum. Di dalam sana, kami sempat menangis haru. Terutama aku, menangis haru karena dapat membiayai kuliah sendiri. Tanpa uluran biaya dari orang tua.“Kita keluar, yuk? Mereka pasti udah nunggu.” Ajak Ayu, aku mengangguk. Menyeka air mata, menarik napas, lalu berjalan menuju pintu luar.“Selamat istriku ... Abang bangga banget Ayu dapat nilai cumlaude.” Abang menyambut Ayu dengan buket bunga yang indah.“Makasih, Abang.”Aku pun berjalan ke arah keluarga.“Neng ... selamat ya? Ini bunga buat Neng.” Bapak memelukku.“Makasih, Pak.&rdqu
PoV BundaEsok adalah hari pernikahanku dengan Prasetya alias Bramantyo. Rasanya tak sabar, tinggal satu atap dengan lelaki yang dicintai tanpa harus bersembunyi lagi.Apalagi sekarang Dendi dan Ayu sudah tidak tinggal di rumah lagi. Setiap hari selalu merasa kesepian. Sementara Bram, hanya dapat berkunjung siang hari atau tengah malam. Tapi sekarang hatiku sangat lega, membayangkan bisa berduaan sepanjang hari bersama Mas Bram.“Mas, jangan lupa, besok mas kawinnya dipersiapkan. Aku gak mau lho jumlahnya berkurang. Masalahnya kan ketua RT, teman-teman arisan dan beberapa tetangga akan hadir.” Aku mengingatkan lelaki yang napasnya masih terengah akibat ‘permainannya.’“Sudah aku siapkan, Sayang,” sahutnya sambil mengusap area sensitifku.“Udah, ih! Capek tau!” Menghempaskan tangannya agar menjauh. Ia terkekeh.&nb
Bunda terlonjak mendengar ucapan Ibu yang mengatakan Bramantyo mirip dengan Prasetya, mantan suami Ratih Herlina.“Bu Eva ada-ada aja. Suami Ratih itu kan udah meninggal.” Ekspresi Bunda gugup, membuang muka sambil meremas jemarinya.“Lagi pula, wajahnya kan beda sama ... sama Pras.” Sambung Bunda. Ibu menghela napas.“Iya sih. Maaf kalau saya salah bicara.”“Gak apa-apa. Terima kasih sudah perhatian sama suami saya.”“Bukan, saya bukan perha—““Gak apa-apa, Bu Eva ... suami saya emang tampan. Wajar kalau Bu Eva juga memperhatikan dia. Ya sudah, saya tinggal dulu.”Tergesa-gesa Bunda meninggalkan kami. Aku memandang Ibu yang merunduk sambil membenarkan letak kaca mata.“Bu ....”“Iya, Saya
PoV DionParah! Gak nyangka si Ayu nekat ciuman di depan gue. Hadeuh! Si Dita mulutnya sampe mangap begitu. Lama banget lagi ciumannya. Halah, bikin gue frustasi aja lihatnya. Mending bawa si Dita keluar aja dah!Menarik kedua tangan Dita ke belakang, mendorongnya keluar.“Lepasin aku! Lepasin!” Tak peduli teriakannya, menarik paksa Dita supaya meninggalkan ruangan Dendi.Melihat dua karyawan bagian pentry lewat, langsung aku panggil.“Sidik! Rudi! Cepetan sini!”Mereka menghampiri.“Bawa keluar nih cewek. Bilang sama Satpam, kalau cewek ini dateng lagi, langsung usir!”“Apa-apaan kamu? Aku Cuma mau ketemu Dendi! Lepasin!”“Jangan sampe lepas. Pastiin cewek ini jauh-jauh dari sini. Oke?”“Oke, Bos!!” Kedua karyawan itu