PoV Abang
Usai berberes, aku dan Ayu keluar kamar. Menemui Bunda hendak pamit. Wanita yang telah melahirkanku duduk di kursi depan teras.
“Bun, kami pamit. Bunda baik-baik di sini.” Tatapan Bunda tetap ke depan, tidak menoleh sedikit pun. Aku menghela napas, sementara Ayu berjongkok di sisi kursi tersebut.
“Bunda ....” Ayu memanggil dengan lembut
“Silakan. Silakan kalau kalian mau pergi. Toh semua ini sudah Bunda duga sebelumnya.”
Sepertinya bakal terjadi pembicaraan panjang. Aku duduk di kursi sebelahnya, begitu pun dengan istriku.
“Maksud Bunda apa udah diduga sebelumnya?”
Bunda menarik napas panjang, menyandarkan tubuh, lengan kanan kiri tertumpu pada pegangan kursi.
“Kalau kalian menikah, pasti akan ninggalin Bunda. Makanya dulu, Bunda sempat gak setuju.”
PoV PutriAku bersyukur, hari ini telah resmi menjadi istri Mas Firman. Meskipun tiga kali salah dalam mengucap ijab qobul, tapi ucapan keempat akhirnya disah-kan oleh para saksi.Pernikahan kami sangat sederhana. Hanya dihadiri Kak Silvi, Bang Dion, Pak Rt tempat kediaman kami beserta istrinya, dan tetangga kanan kiri.Usai acara, aku membagikan nasi kotak dan selembar amplop berisi uang untuk mereka sebagai ucapan terima kasih karena bersedia hadir dalam pernikahan kami. Seharusnya memang pihak pengantin yang menerima amplop, tapi tidak jadi masalah, mengingat uang Mas Firman sangat banyak.“Put, pulang yuk! Aku pengen pulang.” Mas Firman mulai merengek.“Iya, Mas. Bentar lagi ya. Putri mau ngobrol dulu sama Kak Silvi. Mas main game aja di sana.” Aku menunjuk bangku panjang di depan ruangan KUA sambil menyerahkan ponsel. Mas Firman pun berjingkat, duduk
PoV AbangMalas banget keluar kota. Pulang pasti larut malam. Semoga saja masalahnya cepat kelar, jalanan gak macet.“Sayang, kok belum berangkat? Kenapa?” Istriku bertanya, duduk di atas kasur seraya mengelus rambutku. Aku yang sedang rebahan menoleh.“Males, Sayang.”Dia menggeser tubuhnya, ikut berbaring di sampingku, memeluk. Duh ilah, makin malas aja dah.“Bang, Ayu juga maunya kita gini terus. Tapi ... Abang taulah omongan Ayu selanjutnya.”Membelai kepalanya yang berbalut hijab.“Ayu ikut ajalah, Sambil jalan-jalan.” Ayu bangun, duduk seraya menatapku.“Nanti Ayu malah ganggu. Udah deh, bangun, yuk! Tadi Bang Dion udah teleponin tuh!”Akhirnya mau tak mau, beranjak dari tempat tidur. Mengganti pakaian dan berangkat.“Hati-hati ya, Bang?&rdq
PoV AbangKudorong tubuh Dita dengan kasar hingga ia jatuh tersungkur. Sialan! Kenapa harus ketemu lagi sama wanita gila!“Den, ada apa?” Pertanyaan Dion tak kuhiraukan.“Lima tahun aku mencintaimu, Dendi! Aku menunggumu! Kenapa kau pergi gitu aja!!” Cih! Perkataannya seolah kami pernah menjalin hubungan. Padahal gak sama sekali.“On, mending kita pulang! Batalin semua!”Hampir saja tersungkur, Dita memeluk sebelah kakiku.“Mbak! Hentikan, Mbak!”Sergah Desi dan wanita satunya lagi. Membantu melepaskan kedua lengan Dita dari kakiku.“Lepasin, Dita! Lepasin!” Kedua tangan Dita akhirnya terlepas.“Ayok, On! Cabut!”Setengah berlari keluar dari rumah Wijaya Kusuma. Aku tidak mau mengambil resiko. Wanita itu benar-benar nekat.
PoV SilviAlhamdulillah, acara wisuda sudah selesai. Aku bersyukur, dapat dihadiri oleh Mama, Bapak, Putri, dan Syifa. Begitu pula sahabatku, Ayu. Dihadiri oleh Bunda, Ibu, dan Bang Dendi.Aku dan Ayu tak henti mengumbar senyum. Di dalam sana, kami sempat menangis haru. Terutama aku, menangis haru karena dapat membiayai kuliah sendiri. Tanpa uluran biaya dari orang tua.“Kita keluar, yuk? Mereka pasti udah nunggu.” Ajak Ayu, aku mengangguk. Menyeka air mata, menarik napas, lalu berjalan menuju pintu luar.“Selamat istriku ... Abang bangga banget Ayu dapat nilai cumlaude.” Abang menyambut Ayu dengan buket bunga yang indah.“Makasih, Abang.”Aku pun berjalan ke arah keluarga.“Neng ... selamat ya? Ini bunga buat Neng.” Bapak memelukku.“Makasih, Pak.&rdqu
PoV BundaEsok adalah hari pernikahanku dengan Prasetya alias Bramantyo. Rasanya tak sabar, tinggal satu atap dengan lelaki yang dicintai tanpa harus bersembunyi lagi.Apalagi sekarang Dendi dan Ayu sudah tidak tinggal di rumah lagi. Setiap hari selalu merasa kesepian. Sementara Bram, hanya dapat berkunjung siang hari atau tengah malam. Tapi sekarang hatiku sangat lega, membayangkan bisa berduaan sepanjang hari bersama Mas Bram.“Mas, jangan lupa, besok mas kawinnya dipersiapkan. Aku gak mau lho jumlahnya berkurang. Masalahnya kan ketua RT, teman-teman arisan dan beberapa tetangga akan hadir.” Aku mengingatkan lelaki yang napasnya masih terengah akibat ‘permainannya.’“Sudah aku siapkan, Sayang,” sahutnya sambil mengusap area sensitifku.“Udah, ih! Capek tau!” Menghempaskan tangannya agar menjauh. Ia terkekeh.&nb
Bunda terlonjak mendengar ucapan Ibu yang mengatakan Bramantyo mirip dengan Prasetya, mantan suami Ratih Herlina.“Bu Eva ada-ada aja. Suami Ratih itu kan udah meninggal.” Ekspresi Bunda gugup, membuang muka sambil meremas jemarinya.“Lagi pula, wajahnya kan beda sama ... sama Pras.” Sambung Bunda. Ibu menghela napas.“Iya sih. Maaf kalau saya salah bicara.”“Gak apa-apa. Terima kasih sudah perhatian sama suami saya.”“Bukan, saya bukan perha—““Gak apa-apa, Bu Eva ... suami saya emang tampan. Wajar kalau Bu Eva juga memperhatikan dia. Ya sudah, saya tinggal dulu.”Tergesa-gesa Bunda meninggalkan kami. Aku memandang Ibu yang merunduk sambil membenarkan letak kaca mata.“Bu ....”“Iya, Saya
PoV DionParah! Gak nyangka si Ayu nekat ciuman di depan gue. Hadeuh! Si Dita mulutnya sampe mangap begitu. Lama banget lagi ciumannya. Halah, bikin gue frustasi aja lihatnya. Mending bawa si Dita keluar aja dah!Menarik kedua tangan Dita ke belakang, mendorongnya keluar.“Lepasin aku! Lepasin!” Tak peduli teriakannya, menarik paksa Dita supaya meninggalkan ruangan Dendi.Melihat dua karyawan bagian pentry lewat, langsung aku panggil.“Sidik! Rudi! Cepetan sini!”Mereka menghampiri.“Bawa keluar nih cewek. Bilang sama Satpam, kalau cewek ini dateng lagi, langsung usir!”“Apa-apaan kamu? Aku Cuma mau ketemu Dendi! Lepasin!”“Jangan sampe lepas. Pastiin cewek ini jauh-jauh dari sini. Oke?”“Oke, Bos!!” Kedua karyawan itu
PoV AyuSatu bulan kemudian, acara pernikahan Bang Dion dan Silvi digelar dengan meriah di rumah Ibu.Silvi terlihat sangat cantik. Bang Dion pun tampak gagah. Mereka mengenakan kebaya adat sunda. Akad dilangsungkan tadi pagi. Alhamdulillah hanya satu kali ucapan, Bang Dion dan Silvi telah resmi menjadi sepasang suami istri.Aku sangat bahagia, melihat Silvi memiliki suami yang begitu tulus mencintainya. Dan mulai sekarang, Silvi bukan hanya menjadi sahabatku melainkan telah menjadi kakak ipar.Di kursi kanan pelaminan, berdiri Ibu dengan kebaya yang sangat elegan. Sementara di sebelah kiri terdapat Mamanya Silvi. Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah Mama Dahlia sangat sumringah. Sedangkan Bapak kandung Silvi memilih duduk bersama Putri, Firman dan Syifa. Dia tak ingin membuat Mama Dahlia tidak nyaman kalau berdiri di atas pelaminan.Menjelang sore hari, aca
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be