PoV Abang
Kudorong tubuh Dita dengan kasar hingga ia jatuh tersungkur. Sialan! Kenapa harus ketemu lagi sama wanita gila!
“Den, ada apa?” Pertanyaan Dion tak kuhiraukan.
“Lima tahun aku mencintaimu, Dendi! Aku menunggumu! Kenapa kau pergi gitu aja!!” Cih! Perkataannya seolah kami pernah menjalin hubungan. Padahal gak sama sekali.
“On, mending kita pulang! Batalin semua!”
Hampir saja tersungkur, Dita memeluk sebelah kakiku.
“Mbak! Hentikan, Mbak!”
Sergah Desi dan wanita satunya lagi. Membantu melepaskan kedua lengan Dita dari kakiku.
“Lepasin, Dita! Lepasin!” Kedua tangan Dita akhirnya terlepas.
“Ayok, On! Cabut!”
Setengah berlari keluar dari rumah Wijaya Kusuma. Aku tidak mau mengambil resiko. Wanita itu benar-benar nekat.
PoV SilviAlhamdulillah, acara wisuda sudah selesai. Aku bersyukur, dapat dihadiri oleh Mama, Bapak, Putri, dan Syifa. Begitu pula sahabatku, Ayu. Dihadiri oleh Bunda, Ibu, dan Bang Dendi.Aku dan Ayu tak henti mengumbar senyum. Di dalam sana, kami sempat menangis haru. Terutama aku, menangis haru karena dapat membiayai kuliah sendiri. Tanpa uluran biaya dari orang tua.“Kita keluar, yuk? Mereka pasti udah nunggu.” Ajak Ayu, aku mengangguk. Menyeka air mata, menarik napas, lalu berjalan menuju pintu luar.“Selamat istriku ... Abang bangga banget Ayu dapat nilai cumlaude.” Abang menyambut Ayu dengan buket bunga yang indah.“Makasih, Abang.”Aku pun berjalan ke arah keluarga.“Neng ... selamat ya? Ini bunga buat Neng.” Bapak memelukku.“Makasih, Pak.&rdqu
PoV BundaEsok adalah hari pernikahanku dengan Prasetya alias Bramantyo. Rasanya tak sabar, tinggal satu atap dengan lelaki yang dicintai tanpa harus bersembunyi lagi.Apalagi sekarang Dendi dan Ayu sudah tidak tinggal di rumah lagi. Setiap hari selalu merasa kesepian. Sementara Bram, hanya dapat berkunjung siang hari atau tengah malam. Tapi sekarang hatiku sangat lega, membayangkan bisa berduaan sepanjang hari bersama Mas Bram.“Mas, jangan lupa, besok mas kawinnya dipersiapkan. Aku gak mau lho jumlahnya berkurang. Masalahnya kan ketua RT, teman-teman arisan dan beberapa tetangga akan hadir.” Aku mengingatkan lelaki yang napasnya masih terengah akibat ‘permainannya.’“Sudah aku siapkan, Sayang,” sahutnya sambil mengusap area sensitifku.“Udah, ih! Capek tau!” Menghempaskan tangannya agar menjauh. Ia terkekeh.&nb
Bunda terlonjak mendengar ucapan Ibu yang mengatakan Bramantyo mirip dengan Prasetya, mantan suami Ratih Herlina.“Bu Eva ada-ada aja. Suami Ratih itu kan udah meninggal.” Ekspresi Bunda gugup, membuang muka sambil meremas jemarinya.“Lagi pula, wajahnya kan beda sama ... sama Pras.” Sambung Bunda. Ibu menghela napas.“Iya sih. Maaf kalau saya salah bicara.”“Gak apa-apa. Terima kasih sudah perhatian sama suami saya.”“Bukan, saya bukan perha—““Gak apa-apa, Bu Eva ... suami saya emang tampan. Wajar kalau Bu Eva juga memperhatikan dia. Ya sudah, saya tinggal dulu.”Tergesa-gesa Bunda meninggalkan kami. Aku memandang Ibu yang merunduk sambil membenarkan letak kaca mata.“Bu ....”“Iya, Saya
PoV DionParah! Gak nyangka si Ayu nekat ciuman di depan gue. Hadeuh! Si Dita mulutnya sampe mangap begitu. Lama banget lagi ciumannya. Halah, bikin gue frustasi aja lihatnya. Mending bawa si Dita keluar aja dah!Menarik kedua tangan Dita ke belakang, mendorongnya keluar.“Lepasin aku! Lepasin!” Tak peduli teriakannya, menarik paksa Dita supaya meninggalkan ruangan Dendi.Melihat dua karyawan bagian pentry lewat, langsung aku panggil.“Sidik! Rudi! Cepetan sini!”Mereka menghampiri.“Bawa keluar nih cewek. Bilang sama Satpam, kalau cewek ini dateng lagi, langsung usir!”“Apa-apaan kamu? Aku Cuma mau ketemu Dendi! Lepasin!”“Jangan sampe lepas. Pastiin cewek ini jauh-jauh dari sini. Oke?”“Oke, Bos!!” Kedua karyawan itu
PoV AyuSatu bulan kemudian, acara pernikahan Bang Dion dan Silvi digelar dengan meriah di rumah Ibu.Silvi terlihat sangat cantik. Bang Dion pun tampak gagah. Mereka mengenakan kebaya adat sunda. Akad dilangsungkan tadi pagi. Alhamdulillah hanya satu kali ucapan, Bang Dion dan Silvi telah resmi menjadi sepasang suami istri.Aku sangat bahagia, melihat Silvi memiliki suami yang begitu tulus mencintainya. Dan mulai sekarang, Silvi bukan hanya menjadi sahabatku melainkan telah menjadi kakak ipar.Di kursi kanan pelaminan, berdiri Ibu dengan kebaya yang sangat elegan. Sementara di sebelah kiri terdapat Mamanya Silvi. Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah Mama Dahlia sangat sumringah. Sedangkan Bapak kandung Silvi memilih duduk bersama Putri, Firman dan Syifa. Dia tak ingin membuat Mama Dahlia tidak nyaman kalau berdiri di atas pelaminan.Menjelang sore hari, aca
PoV AyuPukul empat dini hari terbangun. Sebelum beranjak ke toilet, mengambil tespeck yang tergeletak di atas meja rias.Rasa mual dan pusing kembali terasa.Sedikit berlari menuju toilet.“Oweeek ... oweeekk ....”Setelah rasa mual mulai menghilang, segera melakukan tespeck, hasilnya tidak langsung aku lihat. Memilih memasukan kembali ke dalam bungkus. Setelah itu, berwudhu, shalat tahajud sambil menunggu adzan berkumandang.Selesai shalat, perutku mual kembali. Melepas mukena, berlari masuk toilet.“Oweeek ... oweek ....” Membuka kran, membasuh permukaan bibir.“Ya Allah, pusing banget. Oweekk ... oweeek ....”Berkali-kali muntah tapi tidak ada isinya. Hanya air liur.“Sayang?” Abang menyembul dari balik pintu toilet, mendekatiku sambil memijat tengkuk.&
PoV AyuSepulangnya dari rumah Bunda, Abang lebih banyak terdiam. Ucapan wanita yang telah membesarkanku sangat menyinggung hati kami. Aku makin tak mengerti, bagaimana pikiran Bunda sekarang? Masalah jenis kelamin anak pun menjadi perdebatan. Padahal jelas, yang menentukan itu semua adalah Yang Maha Kuasa.“Bang?” Tak tahan dengan keheningan, aku memanggil pria yang sedang fokus menyetir.“Iya?”Aku tahu, dari tadi dia menyimpan rasa kesal pada Bunda.“Keinginan Bunda jangan dipikirin.” Sebelah sikunya menumpu pada pintu mobil sambil memijat pelipis.“Abang gak ngerti, kenapa Bunda kayak gitu? Tiap kita main ke sana, ada aja yang bikin kesal.” Tangan kanannya memukul stir mobil, aku mengelus bahu Abang.“Sabar ... yang penting kita gak bikin Bunda kesal. Iya-in aja dulu. Misal, nanti lahirnya anak
PoV Abang“Gak mau, Sayang ... Abang jijik!” Aku menolak permintaan aneh Ayu. Kedua bola matanya berkaca-kaca.“Siapa juga yang mau lo elus-elus? Iiiiihhh....” si Oon menutupi kepala dengan kedua tangan, bergidik.“Jadi, Abang gak mau ngelus kepala Bang Dion?” Aku menggeleng-geleng.“Bang Dion juga gak mau kepalanya dielus sama Abang?”“Enggaklah! Tangan si Dendi bau ketek! Asem!” Ketus si Dion, menyilangkan kedua tangan di depan dada.“Kalian jahaaat!!”Laaah ... Ayu malah nangis.Aku dan Dion saling pandang, makin bingung dengan tingkah Ayu.“Yu, Ayu Kenapa nangis?” Merangkul bahu istriku, menyandarkan kepalanya di dada.“Gak mau! Ayu maunya Abang elus-elus kepala Bang Dion. Huks ... huks ....”