Sierra membuka matanya kaget saat menyadari ia tertidur memeluk Lalita dan wajahnya terasa berat setelah menangis. Sierra pun bangkit dari ranjangnya dan menatap Lalita sedikit lebih lama. "Aunty tidak akan mengintip lagi setelah ini, Lalita ... melihatmu lagi akan membuat Aunty tidak sanggup pergi. Aunty pergi, Lalita! Aunty tidak akan kembali lagi. Kau harus bahagia bersama Uncle Bastian, Bik Mala, dan Grandpa Jacob. Selamat tinggal, Lalita!" ucap Sierra, sebelum ia keluar dari pintu kamar Lalita dan menutupnya begitu rapat. Sierra menelan salivanya dan terdiam di depan pintu kamar Lalita sedikit lebih lama, memantapkan hatinya untuk tidak menoleh lagi dan ia pun melangkah menuju ke kamar Bastian. Malam belum terlalu larut dan Sierra tahu Bastian pasti belum tidur. Namun, saat Sierra membuka pintunya perlahan, kamar itu kosong. Sampai tiba-tiba, seseorang memeluknya dari belakang. "Astaga!" pekik Sierra. "Mencariku, Sayang?" bisik Bastian, sebelum ia membuka gagang pintu itu
"Ini sangat nyaman, Sierra. Mengapa kau tidak melakukannya dari kemarin-kemarin, hah?"Bastian membawa Sierra ke ranjangnya malam itu, mengajak Sierra tidur bersamanya dan Sierra pun memeluk Bastian sambil membelai kepala pria itu. Bastian sudah hampir lupa rasanya dipeluk dengan begitu hangat seperti ini, tanpa hasrat, hanya ada rasa hangat dan sayang. Ya, Sierra adalah orang pertama yang Bastian ijinkan untuk menyentuhnya begitu dalam, selain ibunya. Tapi itu pun sudah sangat lama sampai Bastian hampir melupakan bagaimana rasanya dipeluk oleh ibunya. Dan Sierra membangkitkan kembali rasa itu, membuat Bastian terbuai. Bastian bersandar di dada Sierra dan memejamkan matanya. Bahkan Bastian sama sekali tidak mempedulikan ponselnya lagi. Ia sempat mematikan nada dering ponselnya menjadi mode silent karena ia memimpin rapat penting di kantor tadi. Begitu ia pulang ke rumah pun, ia lupa mengganti nada deringnya, sampai tanpa sengaja ia membuat seorang anak kecewa di sana. "Uncle Ba
Sierra menyeret dua koper dan tas jinjingnya keluar dari kamarnya. Sejenak ia mengedarkan pandangan ke seisi rumah yang bisa terlihat dari balkon di depan kamarnya dan seolah Sierra bisa melihat dirinya di mana-mana. Saat ia tersenyum di depan kamar Lalita, saat ia berciuman dengan Bastian di depan kamar pria itu, saat ia melayani Jacob, bahkan bayangan para pelayan yang berlalu lalang pun terlihat dari sana. Tidak akan mudah melupakannya, namun Sierra akan berusaha. Sierra menatap pintu kamar Lalita dan pintu kamar Bastian, namun ia memilih untuk tidak mengintip lagi. Dengan langkah mantapnya, Sierra pun berjalan ke kamar terakhir, kamar Jacob, pria yang menjadi dalang dari semua kesedihan ini. "Aku harus mengucapkan selamat tinggal padanya kan?" gumam Sierra, sebelum akhirnya ia membuka pintu itu perlahan dan mengintip. Namun, ia kaget melihat Jacob sedang duduk di ranjangnya seperti orang linglung dengan lampu yang temaram. "Pak Tua, kau tidak tidur?" pekik Sierra saat ia ma
Sierra menutup pintu kamar Jacob dan membiarkan air matanya mengalir lagi, sebelum ia menyeret kopernya dan membawanya ke bawah. Sierra sempat mengintip ke kamar Bik Mala dan memberikan salam perpisahan tanpa suara, termasuk pada beberapa pelayan yang tidur di kamar yang terpisah. Setelah puas berkeliling singkat, Sierra pun keluar dari rumah dan ia langsung disambut oleh Valdo yang sudah berdiri bersandar di samping mobilnya dengan senyum sumringahnya menunggu Sierra. Bahkan Valdo hampir tidak tidur karena takut terlambat menjemput Sierra. Valdo yang biasanya memakai mobil sedan pun hari ini memakai mobil besar mewahnya agar muat menampung barang milik Sierra dan keluarganya. "Selamat pagi, Sierra!" sapa Valdo. Sierra tersenyum menatap Valdo dan mengangguk. "Selamat pagi, Valdo!""Apa semua sudah siap?"Sierra mengembuskan napas panjangnya. "Tidak pernah sesiap ini."Valdo tersenyum makin lebar dan melangkah mendekati Sierra. Ia mengambil koper dan barang Sierra lainnya lalu me
Jacob akhirnya bangun duluan pagi itu dengan ekspresi yang masih linglung. Kesedihan karena ditinggalkan oleh Sierra ternyata sama sekali tidak biasa saja. Bahkan dalam tidurnya pun Jacob masih bisa merasa sedih sampai ia sama sekali tidak segar saat bangun. Namun, Jacob terus mengembuskan napas panjangnya dan berusaha bersikap tenang, sebelum memulai aktivitasnya seperti biasanya dan duduk di meja makannya yang masih sepi pagi itu. Bastian sendiri baru saja bangun dari tidurnya. Sambil masih memejamkan mata, Bastian pun menyentuh ranjang di sampingnya, mencari wanita yang menemaninya semalam, namun kosong. Sontak Bastian pun membuka matanya. "Sierra? Sayang, kau di mana? Apa dia sudah pergi? Ck, dia meninggalkan aku. Padahal akan sangat menyenangkan kalau saat aku membuka mataku, aku bisa melihatnya ...."Bastian pun tertawa pelan. "Kau benar-benar sudah gila karena wanita itu, Bastian! Ah ...."Bastian bangkit duduk di ranjangnya dan meregangkan ototnya. Ia pun mengingat bagaim
"Terima kasih, Uncle! Terima kasih sudah datang ke sekolah Lalita!""Tentu, Lalita. Mulai sekarang kau adalah tanggung jawab Uncle, Aunty Sierra sudah mengatakan begitu."Lalita tersenyum mendengarnya. "Terima kasih, Uncle! Uncle dan Aunty adalah yang terbaik. Kemarin Aunty juga menemani Lalita tidur."Bastian mengangguk mendengarnya. "Uncle tahu. Uncle melihat kalian tidur bersama kemarin.""Oh ya, Lalita. Bagaimana kalau kita mengunjungi yayasan tempat Julio? Kau mengenalnya kan? Kau mau ke sana kan?" tanya Bastian lagi. Bastian sudah mencoba menelepon nomor Rosella lagi, tapi nomornya tidak aktif. Seperti rencana awal, Bastian pun berencana mengajak Sierra dan Lalita ke sana. Dan Lalita pun nampak antusias mendengarnya. "Julio-nya Aunty Sierra kan? Lalita mau, Uncle! Lalita mau!"Mendengar jawaban Lalita, Bastian pun tersenyum senang. "Baiklah, kita coba ke kantor untuk menjemput Aunty Sierra, pasti dia sedang sangat sibuk di sana. Kedatanganmu pasti akan menjadi kejutan untukn
"Apa maksudnya ini? Sierra tidak mengatakan apa-apa padaku!" Untuk sesaat, Bastian nampak goyah namun ia menggeram pada saat yang sama. Bastian pun meraih ponselnya dan mencoba menelepon Sierra, namun ponsel wanita itu tidak aktif dan jantung Bastian yang tadinya sudah berdebar kencang makin berdebar tidak karuan. "Apa dia bilang dia akan pergi, Aula? Dia akan ke mana? Apa dia mengatakan sesuatu? Hanya kau yang diberitahu, Aula! Dia juga hanya berpamitan padamu kan?"Mendadak nada suara Bastian meninggi dan Bastian pun menangkup kedua bahu Aula lalu mengguncangnya kasar sampai Aula ketakutan. "Aku ... aku sungguh tidak tahu, Pak. Semua yang aku tahu sudah kuceritakan pada Anda. Bu Sierra hanya bilang aku baru boleh memberitahu Anda hari ini, bahkan kemarin dia membeli pizza untuk semua orang sebagai perpisahan ...," jelas Aula lagi dengan nada yang gemetar. "Oh, sial! Sial!" Bastian melepaskan Aula dengan kasar sambil tidak berhenti mengumpat dan menyisir rambutnya dengan jarinya
Jacob terus mengurung diri di kamarnya sejak Bastian dan Lalita pergi, bahkan ia hanya terus duduk di sana sampai siang menjelang. Sesekali Jacob akan memeriksa laporan yang disiapkan untuknya, namun sebagian besar waktunya ia gunakan untuk melamun. "Ah, mengapa mendadak aku merasa sudah begitu tua. Berpikir sedikit saja membuatku sangat lelah dan lemas. Entah ini karena penyakitku atau memang hanya karena pikiranku.""Ck, saat Sierra masih menjadi perawat, dia akan membuatkan minuman hangat dan memijatiku ...."Tanpa bisa dicegah, Jacob selalu memutar ingatan saat Sierra masih ada. Padahal Sierra baru saja pergi tadi pagi, tapi rasanya seperti sudah lama.Sampai Jacob menggelengkan kepalanya untuk mengusir perasaan yang tidak disukainya itu. "Ck, Sierra lagi! Sierra lagi! Ah, dia sudah pergi kan? Bukankah itu yang kau mau, Jacob? Semuanya sudah berakhir." Jacob mengembuskan napas panjang dan hati Jacob pun mendadak berlubang tanpa sebab. Bahkan ia mulai mengalami kebingungan har