Lesmana membuka mata dengan wajah berkeringat, kelihatan berat sekali untuk mencari tahu siapa pemilik kujang emas.
"Tertutup cahaya putih." Lesmana sudah menyerah dari tadi kalau bukan permintaan sahabat lamanya. "Sulit sekali menembus cahaya itu." Arjuna merasa kasihan melihat kondisi cenayang itu, sepertinya kalah ilmu sehingga tidak sanggup membuka tabir. Barangkali bapaknya berilmu tinggi, atau mempunyai guru spiritual untuk menutup penerawangan dari kompetitor bisnis atau orang berbuat jahat. "Jangan paksakan," kata Arjuna. "Terima kasih atas bantuanmu." "Kujang ini memiliki kesaktian luar biasa." Lesmana mengembalikan kujang emas yang dipegangnya. "Hawanya sangat aneh." Kujang receh dibilang sakti, keluh Arjuna dalam hati. Lamarannya pasti diterima Angada kalau kujang itu sakti. Nyatanya kujang emas tidak dapat menolong dirinya, pemiliknya saja gelap. Ia curiga Lesmana cenayang konten, ilmunya kosong. "Aku ada beberapa kenalan cenayang," kata Ulupi setelah meninggalkan rumah Lesmana. "Siapa tahu mereka bisa membantu." "Punya podcast juga?" toleh Arjuna tanpa gairah, sambil mengendarai mobil cukup kencang. "Aku kira mereka hanya akting, kemampuan nol." "Jangan nething gitu dong. Aku yakin kujang itu benar-benar sakti sehingga Lesmana tidak sanggup menerawangnya." "Yang jelas, kujang emas telah menimbulkan masalah bagiku." "Masalah apa?" Ulupi memandang tak mengerti. "Kamu kan tinggal simpan kujang itu dan menunggu pemiliknya datang. Kamu saja sok baik ingin memulangkan kujang itu." Arjuna sudah menyampaikan cerita yang berbeda kepada Ulupi sehingga mendapat tanggapan seperti itu. "Kujang itu jadi beban pikiranku karena harganya tak berseri," kilah Arjuna. Mereka tidak boleh tahu kalau kujang emas adalah pengganti bapaknya! Tapi kujang tidak mungkin menghamili ibunya! Bagaimana kalau kujang itu jelmaan siluman? Arjuna berpikiran begitu ketika beberapa cenayang yang ditemui mengalami kejadian aneh. "Tobaaat!" teriak cenayang tua dengan kening berdarah kena selut kujang, ia segera melemparkan kujang yang dipegangnya. "Bawa pergi kujang itu! Ia mau mencelakai diriku!" Padahal cenayang itu sendiri menghantamkan gagang kujang ke dahinya. Ada juga cenayang muda yang terpental dan jatuh pingsan karena tidak kuat menerawang. Disebut akting, ia bukan sedang live. "Kujang setan kau bawa ke hadapanku!" hardik cenayang terakhir yang ditemui. "Kau mau membuat aku mampus?" Jubah cenayang itu terbakar kena bara dupa yang tumpah kejatuhan kujang emas, padahal sudah digenggam erat-erat. Arjuna yang duduk di hadapannya kena percikan api sehingga tangannya mengalami luka bakar ringan. Arjuna marah. "Bapak saja kurang hati-hati! Jangan jadi paranormal kalau pegang kujang saja tidak becus!" Hampir terjadi keributan kalau Ulupi tidak segera melerai dan mengajak Arjuna pergi. Arjuna tersinggung kujang emas disebut kujang setan. Kalau benda pusaka yang nilainya ratusan miliar dibilang setan, lalu apa sebutan untuk cenayang yang harganya lima ratus ribu? "Bagaimana kau mempunyai kenalan cenayang ODGJ begitu?" gerutu Arjuna dalam perjalanan pulang. "Kujang emas dibilang kujang setan. Nah, terus mukanya yang mirip setan disebut apa?" Ulupi tersenyum. "Kamu lucu kalau lagi marah." Arjuna heran, bagaimana Ulupi menyebutnya lucu sementara perempuan lain menyebutnya pria dari kutub Utara? Chitrangada saja sering kedinginan berada di dekatnya! "Kamu juga lucu kalau lagi ngomong lucu," kata Arjuna keki. "Kau bawa aku kepada orang-orang jago drama." "Mereka sungguh-sungguh tidak dapat mengendalikan kujang emas. Masa drama sampai banjir keringat? Sekarang terbukti, ilmu Lesmana lebih tinggi dari mereka." "Jadi kau ingin membuktikan kepandaian Lesmana dengan membawaku kepada cenayang receh itu?" "Aku ingin membuktikan kalau aku bukan mantan pendendam, seharian aku mengurusi dirimu. Aku belum pernah bepergian seharian bersama calon suamiku." Arjuna mengakui perpisahan di masa lalu akibat kesalahan dirinya, namun tidak elok membuka cerita yang telah tamat. Tidak ada cerita jilid dua bagi mereka, selain pengkhianatan kepada pasangan mereka. "Maksudmu apa dalam setiap pertemuan menyebut mantan?" tanya Arjuna. "Kau seolah ingin mengingatkan aku pada masa lalu. Masa SMA adalah masa paling indah, bahaya kalau dikenang." Mereka melewati sebuah hotel bintang lima. "Stop stop." Arjuna menginjak rem dan berhenti. Ia menggerutu, "Begitu saja ngambek." "Yang ngambek siapa? Aku kayak melihat mobil Wisnu di hotel itu!" "Calon suamimu?" "Buat apa aku mengurusi orang lain?" Arjuna memundurkan mobil sampai terlihat pelataran lobi hotel. Sepasang insan turun dari dalam mobil dan berjalan menaiki tangga lobi. Ulupi memandang tak percaya, Arjuna juga. "Calon suamiku check in sama siapa?" "Chitrangada."Arjuna memperhatikan kujang emas sambil duduk dengan lesu di kursi kerja. Kujang itu selalu dibawanya ke mana pun pergi, siapa tahu ia bertemu secara kebetulan dengan pemiliknya. Arjuna belum menemukan jawaban, bagaimana kujang bernilai ratusan miliar sampai tertinggal di kamar hotel? Apakah bapaknya seorang pejabat penting sehingga buru-buru pergi karena kuatir tertangkap tim OTT? Telpon internal di meja berbunyi, ia tekan tuts. "Maaf mengganggu, Pak." Terdengar suara sekretaris lewat loud speaker. "Ada tamu." "Hari ini tidak ada schedule menerima tamu." Arjuna sedang tidak mau diganggu. Pikirannya lagi kacau. Ibunya mendesak untuk menjual kujang emas karena ada tawaran menggiurkan dari kolektor kelas kakap dari negeri jiran. Ibunya menginginkan Arjuna untuk melupakan bapaknya dan mengakhiri pencarian sia-sia. Arjuna menolak, ia ingin menjadikan kujang emas sebagai pengganti ayahnya, sehingga perlu dipertahankan sampai akhir hayat. "Tamu itu ada urusan penting dan mend
"Celaka!" Arjuna terduduk lemas di kursinya. Nasib baik seolah tak berpihak padanya. Padahal ia menyebutkan nama yang sekiranya tidak dikenal, ternyata menjadi rekan bisnis Chitrangada. "Kenapa aku bilang Rara Ireng pilihan bapakku?" Rara Ireng adalah musuh bebuyutan sewaktu SMA, dan menjadi kompetitor bisnis setelah mereka menjadi CEO. Perseteruan mereka barangkali sampai kiamat kalau Rara Ireng tidak meneruskan bisnis ayahnya dan tinggal di Kuala Lumpur. Perusahaan di Jakarta dipegang adiknya, Arjuna baru merasa tenteram dan damai. Chitrangada muncul dari toilet, ia mengeluh, "Aku tidak tahu apa keistimewaan Rara Ireng sampai ayahmu tidak menyetujui aku jadi menantunya." "Mantannya lebih sedikit." "Ada pengaruhnya bagimu?" "Tidak ada." Mantan Arjuna juga banyak sampai kemudian ia menemukan gadis yang cocok untuk mengakhiri petualangannya. "Aku tinggal di Boston untuk menimba ilmu, bukan menimba budaya mereka," kata Chitrangada. "Lalu apa masalahnya dengan pah
Arjuna bertanya kepada sekretaris lewat telpon internal, "Ada orang masuk saat aku pergi ke basement?" "Tidak ada, Pak." Arjuna menyesal seharusnya kujang emas disimpan di brankas. Tapi laci meja dikunci dan tidak ada tanda-tanda dibuka paksa. Arjuna memeriksa rekaman kamera pengawas, tidak ada orang masuk selama ditinggal pergi. "Sungguh aneh," kata Arjuna. "Apa mungkin ada pencuri masuk lewat kaca gedung?" Ada perbaikan sealant pada kaca gedung. Tapi bagaimana mereka masuk sementara kaca tertutup rapat? Laci juga tidak mengalami kerusakan. Ibunya menghubungi lewat gawai, "Kok lama sekali?" "Kujangnya hilang." "Apa?" Terdengar nada kaget cukup keras. "Bagaimana hal itu terjadi?" "Sewaktu aku mengantar Chitrangada ke basement parkir, kujang disimpan di laci dan dikunci, sekarang tidak ada." Kujang emas benar-benar bikin jengkel dirinya. Ia ada kesempatan untuk membuktikan Datuk Cakil adalah ayah biologisnya, tapi kujang emas menutup kesempatan itu. Arjuna me
"Kujang setan." Arjuna teringat pada cenayang yang terbakar jubahnya gara-gara kujang emas. Ia belum keluar dari rumah sakit karena mengalami luka bakar cukup serius. Arjuna menyesal sudah memaki-maki cenayang itu. "Datang dan pergi seenaknya." Dewi Priti terkejut mendengar ucapan itu, ia sampai urung keluar dari ruang kerja putranya. "Ada apa?" Arjuna mengeluarkan kujang emas dari laci. Dewi Priti melotot. "Tadi kulihat laci itu kosong, bagaimana sekarang ada di laci?" "Ibu bertanya pada siapa?" Arjuna pusing memikirkan keanehan itu. Kujang emas dimasukkan ke tas kerja. Dewi Priti segera menghubungi Datuk Cakil, sambil berkata, "Mumpung belum jauh." Perkiraannya Datuk Cakil baru keluar dari basement parkir. "Kenapa pikiran Ibu sederhana sekali?" Arjuna kesal melihat ibunya menghubungi datuk dari seberang itu. "Mestinya Ibu tahu kujang emas tidak mau berpindah tangan, ia pasti menghilang lagi kalau Datuk Cakil datang." Arjuna pergi meninggalkan ruang kerja.
Arjuna ingin mendatangi Wisnu untuk menjelaskan masalahnya tapi kuatir terjadi keributan. Arjuna segera pulang dan meninggalkan Ulupi di rumah Lesmana, sebelum Chitrangada dan Rara Ireng tiba. Ia berpesan kepada mereka untuk tidak menceritakan kedatangannya. Arjuna tidak terkejut saat menerima telpon dari Chitrangada, ia bertanya sambil berendam di jacuzzi, "Ada apa?" "Gawat! Pernikahan Ulupi berantakan gara-gara kamu!" "Sekarang kau berada di mana?" Arjuna kuatir Chitrangada menelpon dari rumah Lesmana dan didengar Rara Ireng, persoalan pasti merembet. Arjuna lega saat tahu Chitrangada sudah meninggalkan rumah cenayang itu. "Aku dalam perjalanan ke rumah Wisnu. Aku kira persoalan sudah selesai, ternyata chaos." Arjuna juga heran Wisnu sangat posesif. Ia sendiri tidak mempersoalkan mereka pergi berdua. Masa lalu bukan halangan untuk menjalin pertemanan. Cinta butuh kepercayaan. "Kebersamaan aku dengan Ulupi seperti kebersamaan kamu dengan Wisnu. Lalu persoalannya di
"Sebaiknya kau siap-siap." Dewi Priti menegur putranya saat sibuk memeriksa berkas digital untuk presentasi. "Jadi lamaran kan malam ini?" "Entahlah." Dewi Priti heran. "Kok jadi ragu begitu?" Arjuna menutup berkas, bersandar lesu dengan sinar mata hampa menatap langit-langit. "Aku mesti menyelesaikan masalah Ulupi lebih dahulu, Wisnu menolak bertemu karena jadwalnya padat. Bosnya seakan tidak mendukung masalah mereka cepat diselesaikan." "Kau seharusnya paham Chitrangada menginginkan dirimu fokus mengurus lamaran." "Apa lagi yang perlu diurus? Lukas sudah siap datang ke rumah Chitrangada sebagai bapak pura-pura, tinggal Ibu perlu beradaptasi." Dewi Priti sering membawa Lukas dalam jamuan makan malam, bahkan sering mendapat pujian sebagai pasangan serasi. Persoalannya justru pada Arjuna. Dewi Priti melihat putranya terlalu gampang memandang masalah, padahal biasanya sangat seksama menangani persoalan kecil saja. "Ada apa?" tanya Dewi Priti lembut. "Aku melihat s
"Tunggu!" Chitrangada mengejar Arjuna yang sudah masuk lift dan menekan tombol hold. Chitrangada mengikuti pacarnya turun ke lantai dasar. "Apa maksudmu akan menyeret Wisnu ke polisi?" Arjuna menyindir, "Kau sempat mengejarku padahal sangat sibuk?" "Kau sudah mengacaukan mood Wisnu!" Chitrangada merasa perlu menegur Arjuna karena bisa menggagalkan pertemuan dengan Rara Ireng. "Jadi salahku memberi peringatan kepada lelaki yang sudah sewenang-wenang kepada kaummu?" Arjuna memandang dengan dingin. "Wisnu sakit hati Ulupi jatuh cinta kepadamu!" "Kau sakit hati kalau aku jatuh cinta kepada Liu Yifei?" "Mimpi!" "Kenapa Wisnu tidak berpandangan begitu? Apa karena Liu Yifei aktris mendunia, sedangkan aku CEO lokal?" "Banyak kejadian CLBK." "Lalu aku dianggap dari kebanyakan itu? Terus terang aku tersinggung. Kau sudah tanya tentang perasaan Wisnu kepadamu?" "Buat apa?" "Untuk membuktikan bahwa cinta itu jujur, tapi pemiliknya munafik." Pintu lift terbuka. Arjuna
"Maksudmu apa tidak datang dalam acara lamaran?" Chitrangada menghubungi Arjuna lewat gawai, ia tahu informasi itu dari ibunya. "Mau balas-balasan? Saat ini kau harus memilih karena aku tidak dapat memenuhi dua-duanya." Arjuna menjawab dengan santai, "Aku bercanda. Aku tidak menyangka candaku sampai kepadamu." "Bercanda? Kau mengganggu waktuku untuk hal tak berguna. Aku seperti bukan bercakap dengan pria yang kukenal." Arjuna menyindir, "Aku tidak tahu kau ada pertemuan dengan Tun Ghazar, maka itu aku bercanda." Suara Chitrangada tidak terdengar. Barangkali ia tidak mengira nama itu akan muncul detik-detik menjelang lamaran. "Ada waktu dua jam lagi untuk memantapkan jawabanmu. Aku ingin dirimu melihat hatimu, bukan melihat hari-hari indah yang pernah kita lewati." Arjuna tidak akan menyampaikan hal itu jika bukan Tun Ghazar yang dijumpai perempuan yang hendak dilamarnya. Chitrangada sempat terseok saat Tun Ghazar memutuskan untuk menikah dengan perempuan pilihan orang
Sebuah kereta dengan enam penumpang berwajah sangar melaju cukup kencang di atas jalan berkerikil. Di belakang kereta itu terdapat tali yang menarik beberapa pendekar dengan tubuh terikat rantai. Dua orang tampak terseret karena tidak kuat lagi berlari. Pakaian robek-robek. Tapi tidak ada sepotong keluhan pun meluncur dari mulut mereka. Mereka adalah pengikut setia Senopati Aryaseta yang terbongkar penyamarannya. "Aku kira Senopati Aryaseta sudah keluar kalau ada di hutan roban," kata Ki Jagatnata. "Ia pasti marah orang-orangnya diperlakukan seperti binatang." "Hutan roban sangat luas, kita belum separuhnya menempuh perjalanan," ujar Ki Trenggalek. "Bagaimana jika persembunyian mereka berada di perbatasan dengan Laut Selatan? Usaha kita sia-sia." "Aku kira senopati takut melihat kita," tukas Ki Amarta. "Lima Peminum Teh adalah penguasa kegelapan." Mereka sedang memancing Senopati Aryaseta untuk keluar dari sarangnya. Tersiar kabar bahwa senopati itu berada di hutan roban.
Kong berhasil mengalahkan si Surai Singa dan membiarkan kabur dengan menunggang kuda. Pendekar berkumis panjang itu takkan bertahan lama dengan luka dalam di dadanya, ia akan tewas sebelum sampai perkampungan.Kong menyodorkan kacamata hitam dan jubah kepada Arjuna. "Buat kau saja," kata Arjuna. "Kau cocok pakai jubah dan kacamata." Kong tampak senang sekali. Ia segera memakai jubah dan kacamata. Dengan pataka itu Kong secara otomatis menjadi ketua rimba persilatan. Ia akan banyak musuh dan paling diburu para pendekar. "Kau akan membuat gempar dunia persilatan," komentar Bajang. "Manusia dipimpin binatang." "Asal jangan pemimpin binatang," kata Ulupi. "Kong binatang berhati manusia." "Maksudmu apa memberikan pataka pada Kong?" tanya Larasati separuh protes. "Kau ingin merendahkan dunia persilatan?" "Aku mempersilakan siapa saja mengambil pataka dari Kong jika merasa direndahkan." Larasati terlalu kaku dengan peradaban sehingga sulit berpikir objektif. Siapapun berhak menja
Mereka berhenti di antara pepohonan besar. Mata mereka melayang ke dataran rumput di lereng hutan. Si Surai Singa tampak tertawa terbahak-bahak menyaksikan empat kawannya yang terkapar mati. "Ha ha ha! Sekarang kalian mengakui bahwa akulah yang pantas menjadi ketua rimba persilatan!" Larasati memandang sinis. "Demi pataka ketua, mereka sampai saling bunuh sesama kawan, naif sekali." "Arjuna sudah tahu hal ini akan terjadi," ujar Bajang. "Makanya ia menyerahkan pataka itu untuk mengurangi kekuatan musuh. Menghemat tenaga." Larasati mengakui Arjuna berotak cerdik. Ia malu sendiri teringat perkataannya yang kurang pantas beberapa waktu lalu. Resi Kamandalu pernah memberi tahu para pendekar berilmu tinggi yang malang-melintang di rimba persilatan, di antaranya si Surai Singa dan komplotannya. Mereka pemberontak yang melarikan diri dari Jepara, buronan Ratu Kalinyamat. "Sayang sekali kujang emas terbang entah ke mana! Pataka ketua sudah cukup bagiku! Aku akan kaya raya den
Mereka meneruskan perjalanan setelah memberi makanan cukup pada kuda. Chitrangada belum selesai dengan persoalan pataka dan kujang emas. "Kau belum menjawab pertanyaanku," kata Chitrangada. "Pertanyaan apa?" "Bagaimana kau pulang secepatnya dengan membawa ayahmu?" Arjuna tahu jawaban dari pertanyaan itu sangat menentukan masa depan mereka. Chitrangada kelihatannya butuh kepastian. Padahal Arjuna sudah menghindari pertanyaan itu. Chitrangada seharusnya tahu bahwa Arjuna menyerahkan keputusan kepadanya. "Aku menunggu takdir," jawab Arjuna. "Aku sudah cukup berusaha untuk menemukan ayahku." "Kau kelihatannya menyerah." Arjuna sudah banyak menjumpai kekecewaan dalam pencarian ini, bahkan ia menjadi sosok yang tak diharapkannya. Arjuna mendapat warisan ilmu kuno untuk menguasai dunia, menjadi pejuang kebenaran di masa lampau dan masa depan. Padahal kebenaran adalah relatif. Tergantung di mana bumi dipijak. "Menyerah dan menyadari perbuatan bodoh adalah dua hal yan
Perjalanan jadi kurang menyenangkan, keributan terjadi hampir di sepanjang jalan. Bajang memilih diam, Kong juga. Ketiga perempuan itu tidak puas dengan keputusan Arjuna menyerahkan pataka dan kujang emas. Padahal Arjuna seharusnya menjaga baik-baik, melaksanakan amanat gurunya dengan penuh tanggung jawab. "Kelihatannya kalian begitu ingin aku menjadi ketua persilatan," kata Arjuna. "Padahal aku sendiri ingin pulang secepatnya." "Kau sudah jauh melangkah," sahut Chitrangada. "Sekarang kau ingin pulang tanpa ayahmu." "Apakah aku bilang begitu tadi? Jangan berasumsi." "Bagaimana kau pulang secepatnya dengan membawa ayahmu?" Mereka melewati dataran rumput hijau yang dikelilingi pepohonan. Arjuna turun dan melepas kuda untuk makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian ia mencari air untuk minumnya. Bajang dan kingkong turut pergi mencari air. "Aku dapat membaca siasatmu, maka itu aku diam," kata Bajang. "Kau ingin menghemat energi dengan membiarkan mereka bertarung memperebutkan patak
Arjuna menghentikan kudanya. Lima pendekar dengan rambut panjang dipilin menghalangi jalan kudanya. "Jadi kabar yang tersiar benar," kata pendekar berkumis panjang. Kuku tangannya juga panjang. Wajah saja yang menjadikan dirinya pantas disebut lelaki. "Resi Kamandalu sudah menyerahkan ketua rimba persilatan kepada muridnya." "Resi Kamandalu terlalu merendahkan kita," ujar pendekar berjenggot panjang bak rambut jagung. "Padahal seharusnya diadakan kompetisi untuk menentukan siapa yang paling pantas." "Arjuna!" seru pendekar berhidung buntet persis burung kakatua. "Kau serahkan pataka ketua secara baik-baik, atau kami paksa!" Arjuna heran mereka mengenal dirinya. Ia baru bertarung dengan Sepuluh Utusan Neraka dan semua tewas, kemudian berjumpa dengan legiun prajurit. Mereka berhasil dilumpuhkan dengan racun kodok emas dan lupa dengan kejadian itu, seakan mereka tak pernah berjumpa. Lalu lima pendekar itu mendapat kabar dari mana? Barangkali ada pendekar yang luput dari perhatian
Arjuna keluar dari goa. Ia cukup lama menunggu, tapi ratu ular tidak muncul. Arjuna melihat mereka menunggunya di pinggir sungai. Mereka tampak ceria, kekhawatiran mendapat serangan anaconda hanyalah kesalahpahaman belaka. "Kau cepat sekali muncul," kata Chitrangada. "Aku kira purnama depan baru selesai." Arjuna dapat menguasai kitab kuno dengan cepat berkat bantuan energi kujang emas. Arjuna demikian mudah mempelajari gerakan- gerakan di dalam kitab, termasuk jurus pedang. Kujang emas adalah separuh jiwanya. "Aku tidak melihat ratu ular," kata Arjuna. "Apakah kalian membunuhnya?" "Ratu ular pergi ke hilir sungai," sahut Chitrangada. "Ia ingin bersenang-senang karena sudah bebas menjalankan tugas." "Ia tampak kecewa," bisik Bajang. "Ia sudah menunggu ratusan tahun tapi tidak mendapatkan upah." Arjuna tersenyum kecut. "Aku menunggunya di dalam goa." Arjuna tahu apa yang diinginkan ratu ular, tapi ia malah pergi tanpa pamit. Arjuna hanya dingin kepada calon istrinya, Chitra
Kitab itu berusia ribuan tahun, dan tertulis pesan supaya dihancurkan setelah dipelajari. Inti dari ajaran itu adalah meditasi, menyatukan ruh dan jasad dengan semesta alam untuk mengendalikan energi tubuh dalam mencapai tujuan tertentu. Meditasi yang diajarkan Resi Kamandalu berguna sekali, menjadi dasar untuk menguasai ilmu dalam kitab kuno itu. "Ajian Saifi Angin adalah ilmu meringankan tubuh dan berpindah tempat." Arjuna membaca aksara kuno pada lembaran mukadimah. "Ilmu ginkang tertinggi di Jawa Dwipa, satu tingkat di atas Kidang Kuning dan Asma Gunting." Ajian Saifi Angin adalah ilmu para wali di pantai utara, ilmu ini sering digunakan untuk pertemuan di lokasi yang jauh dengan padepokan mereka. Arjuna heran bagaimana ilmu itu tercatat di kitab ribuan tahun lalu, kemudian dimiliki para wali. Apakah ada kitab lain? Padahal kitab ini adalah kitab satu-satunya. Barangkali hasil tirakat dengan menggabungkan ruh dan jasad dalam kegaiban alam semesta. "Eyang resi saja
Beberapa jam lalu Arjuna menelusuri tepian sungai mencari Ulupi, tiba-tiba anaconda muncul dari permukaan air dan menyambar dirinya. Arjuna menghindar dengan berjumpalitan di udara, anaconda memburu, merasa terdesak ia mengeluarkan kujang pusaka. Anaconda terdiam kaku dengan mata tak berkedip memperhatikan kujang yang dipegangnya. Kemudian wujudnya berubah menjadi sosok ratu cantik jelita. "Jadi kau pemuda yang bernama Arjuna?" tanya sang ratu. "Aku mendapat wangsit untuk menunggumu di sungai ular." Arjuna mengusap-usap kepala. Ia jadi penasaran siapa sebenarnya yang memberi wangsit itu. "Leluhur Jawa Dwipa memberi wangsit padaku," kata sang ratu. "Resi Kamandalu juga menerima wangsit dari sosok yang sama." "Kau juga ingin menurunkan ilmu padaku?" Arjuna tampak lesu. Sebenarnya ia tidak butuh ilmu kanuragan, ia butuh informasi tentang ayahnya. "Aku sudah menunggumu selama ratusan tahun. Aku diminta untuk menyerahkan beberapa kitab kuno dan pedang Mustika Manik kepadamu sebaga