"Celaka!"
Arjuna terduduk lemas di kursinya. Nasib baik seolah tak berpihak padanya. Padahal ia menyebutkan nama yang sekiranya tidak dikenal, ternyata menjadi rekan bisnis Chitrangada. "Kenapa aku bilang Rara Ireng pilihan bapakku?" Rara Ireng adalah musuh bebuyutan sewaktu SMA, dan menjadi kompetitor bisnis setelah mereka menjadi CEO. Perseteruan mereka barangkali sampai kiamat kalau Rara Ireng tidak meneruskan bisnis ayahnya dan tinggal di Kuala Lumpur. Perusahaan di Jakarta dipegang adiknya, Arjuna baru merasa tenteram dan damai. Chitrangada muncul dari toilet, ia mengeluh, "Aku tidak tahu apa keistimewaan Rara Ireng sampai ayahmu tidak menyetujui aku jadi menantunya." "Mantannya lebih sedikit." "Ada pengaruhnya bagimu?" "Tidak ada." Mantan Arjuna juga banyak sampai kemudian ia menemukan gadis yang cocok untuk mengakhiri petualangannya. "Aku tinggal di Boston untuk menimba ilmu, bukan menimba budaya mereka," kata Chitrangada. "Lalu apa masalahnya dengan paham konservatif bapakmu?" "Jangan memperdebatkan hal yang aku sendiri muak." "Bagaimana jika bapakmu bersikeras tidak mau datang untuk melamar diriku?" "Jawabannya ada di papi kamu." "Papiku pasti tersinggung. Jadi aku minta kamu datang bersama bapakmu meski bapak pura-pura." Chitrangada memilih jadi perawan tua ketimbang berumah tangga selain dengan Arjuna. Keinginan Papi sebenarnya sederhana, ia menginginkan Arjuna datang bersama bapaknya, sebagaimana melamar putri orang terpandang. "Hari ini kita lunch di restoran hotel di mana Rara Ireng menginap." "Aku lagi menunggu tamu." "Kau bilang hari ini tidak mau diganggu." "Ibuku memaksa. Bagaimana aku dapat menolak permintaan presiden komisaris?" Kolektor barang antik dari negeri jiran ingin melihat kujang emas yang ditawarkan ibunya, ia sudah berada di Jakarta, jadi tidak mungkin ditolak. Arjuna curiga kolektor itu adalah bapaknya, ia berani menaikkan tawaran secara fantastis tanpa melihat barangnya secara langsung. Arjuna bahkan rela memberikannya secara cuma-cuma asal kolektor itu bersedia untuk tes DNA. "Bukan alibimu untuk menjaga perasaanku karena bertemu calon kan?" "Rara Ireng tidak tahu kalau ia menantu idaman bapakku. Aku juga belum pernah penjajakan." "Jadi keinginan bapakmu saja?" "Bapakku menginginkan menantu terbaik untuknya, bukan untukku." Padahal Arjuna kuatir kontrak kerja sama mereka ambyar kalau ia hadir dalam pertemuan itu. Satu-satunya lelaki paling menyebalkan dan dibiarkan hidup dalam pikiran Rara Ireng adalah Arjuna. Ia takut lupa dengan permusuhan mereka kalau wajah itu dilenyapkan dari otaknya. Rara Ireng sakit hati disebut cewek kloning gara-gara nama belakang tidak sesuai dengan kulitnya yang putih eksotik. "Jadi menurutmu siapa yang terbaik?" "Yang bertanya." "Pertahankan cintamu karena di hatiku tidak ada lagi selain cintamu." Keteguhan Chitrangada memaksa Arjuna berusaha keras menemukan bapaknya. Kesempatan terakhir adalah kolektor dari negeri jiran itu. Arjuna mengantar Chitrangada sampai basement parkir, ia berpesan, "Jangan bicara apapun tentang diriku, kecuali kau ingin Rara Ireng berubah pikiran." "Jangan paksa juga bapakmu, kecuali ingin hidup kita ribet." "Sudah ada relawan untuk bapak pura-pura, tapi ujungnya ribet juga kalau papimu tahu." "Jangan sampai tahu sebelum kita married." Risiko terburuk, Chitrangada dicoret jadi penerus dinasti, ia siap memulai karir dari nol. Arjuna tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ayahnya mesti ditemukan. Arjuna mencari biodata Datuk Cakil di internet; ia seorang pengusaha terkemuka Asia Tenggara, kolektor seni, mempunyai tiga anak dari tiga istri, pecandu adrenalin. "Hobi aneh untuk seorang taipan," komentar Arjuna sambil masuk lift khusus menuju lantai paling tinggi. "Petualang cinta juga. Kuat dugaan, aku adalah anak pertama dari cinta satu malam." Datuk Cakil mengambil istri setelah tragedi di hotel berbintang itu. Ia ingin menghapus jejak dengan mempersunting perempuan Melayu. Arjuna berarti anak tak dianggap, ia tersinggung. Datuk Cakil sangat merendahkan ibunya gara-gara banyak TKW di negeri jiran. "Jangan berpikir kejauhan," kata ibunya. "Gara-gara kau jadi calon menantu tak dianggap, maka langsung saja berpikiran begitu." "Ibu tidak curiga kalau Datuk Cakil adalah pemilik kujang emas?" "Datuk Cakil bukan pria di malam itu, aku ingat wajahnya." "Malam itu Ibu separuh sadar karena pengaruh obat, bagaimana Ibu ingat wajahnya?" Sekretaris Dewi Priti memberi tahu lewat telpon internal kalau tamu dari tanah Melayu sudah datang. "Persilakan masuk," kata Dewi Priti. "Baik, Bu." Selang kemudian Datuk Cakil masuk bersama pengacaranya. Dewi Priti mempersilakan duduk, ia berkata kepada putranya, "Cepatlah kau ambil barangnya." Arjuna pergi ke ruang kerjanya. Ia sebetulnya keberatan kujang emas dijual, namun ia sulit menolak keinginan ibunya. Gara-gara kujang emas kerjanya terbengkalai. Beberapa agenda dijadwal ulang karena belum ada persiapan. Arjuna membuka laci meja. Ia terkejut kujang emas tidak ada. "Siapa yang mengambil?"Arjuna bertanya kepada sekretaris lewat telpon internal, "Ada orang masuk saat aku pergi ke basement?" "Tidak ada, Pak." Arjuna menyesal seharusnya kujang emas disimpan di brankas. Tapi laci meja dikunci dan tidak ada tanda-tanda dibuka paksa. Arjuna memeriksa rekaman kamera pengawas, tidak ada orang masuk selama ditinggal pergi. "Sungguh aneh," kata Arjuna. "Apa mungkin ada pencuri masuk lewat kaca gedung?" Ada perbaikan sealant pada kaca gedung. Tapi bagaimana mereka masuk sementara kaca tertutup rapat? Laci juga tidak mengalami kerusakan. Ibunya menghubungi lewat gawai, "Kok lama sekali?" "Kujangnya hilang." "Apa?" Terdengar nada kaget cukup keras. "Bagaimana hal itu terjadi?" "Sewaktu aku mengantar Chitrangada ke basement parkir, kujang disimpan di laci dan dikunci, sekarang tidak ada." Kujang emas benar-benar bikin jengkel dirinya. Ia ada kesempatan untuk membuktikan Datuk Cakil adalah ayah biologisnya, tapi kujang emas menutup kesempatan itu. Arjuna me
"Kujang setan." Arjuna teringat pada cenayang yang terbakar jubahnya gara-gara kujang emas. Ia belum keluar dari rumah sakit karena mengalami luka bakar cukup serius. Arjuna menyesal sudah memaki-maki cenayang itu. "Datang dan pergi seenaknya." Dewi Priti terkejut mendengar ucapan itu, ia sampai urung keluar dari ruang kerja putranya. "Ada apa?" Arjuna mengeluarkan kujang emas dari laci. Dewi Priti melotot. "Tadi kulihat laci itu kosong, bagaimana sekarang ada di laci?" "Ibu bertanya pada siapa?" Arjuna pusing memikirkan keanehan itu. Kujang emas dimasukkan ke tas kerja. Dewi Priti segera menghubungi Datuk Cakil, sambil berkata, "Mumpung belum jauh." Perkiraannya Datuk Cakil baru keluar dari basement parkir. "Kenapa pikiran Ibu sederhana sekali?" Arjuna kesal melihat ibunya menghubungi datuk dari seberang itu. "Mestinya Ibu tahu kujang emas tidak mau berpindah tangan, ia pasti menghilang lagi kalau Datuk Cakil datang." Arjuna pergi meninggalkan ruang kerja.
Arjuna ingin mendatangi Wisnu untuk menjelaskan masalahnya tapi kuatir terjadi keributan. Arjuna segera pulang dan meninggalkan Ulupi di rumah Lesmana, sebelum Chitrangada dan Rara Ireng tiba. Ia berpesan kepada mereka untuk tidak menceritakan kedatangannya. Arjuna tidak terkejut saat menerima telpon dari Chitrangada, ia bertanya sambil berendam di jacuzzi, "Ada apa?" "Gawat! Pernikahan Ulupi berantakan gara-gara kamu!" "Sekarang kau berada di mana?" Arjuna kuatir Chitrangada menelpon dari rumah Lesmana dan didengar Rara Ireng, persoalan pasti merembet. Arjuna lega saat tahu Chitrangada sudah meninggalkan rumah cenayang itu. "Aku dalam perjalanan ke rumah Wisnu. Aku kira persoalan sudah selesai, ternyata chaos." Arjuna juga heran Wisnu sangat posesif. Ia sendiri tidak mempersoalkan mereka pergi berdua. Masa lalu bukan halangan untuk menjalin pertemanan. Cinta butuh kepercayaan. "Kebersamaan aku dengan Ulupi seperti kebersamaan kamu dengan Wisnu. Lalu persoalannya di
"Sebaiknya kau siap-siap." Dewi Priti menegur putranya saat sibuk memeriksa berkas digital untuk presentasi. "Jadi lamaran kan malam ini?" "Entahlah." Dewi Priti heran. "Kok jadi ragu begitu?" Arjuna menutup berkas, bersandar lesu dengan sinar mata hampa menatap langit-langit. "Aku mesti menyelesaikan masalah Ulupi lebih dahulu, Wisnu menolak bertemu karena jadwalnya padat. Bosnya seakan tidak mendukung masalah mereka cepat diselesaikan." "Kau seharusnya paham Chitrangada menginginkan dirimu fokus mengurus lamaran." "Apa lagi yang perlu diurus? Lukas sudah siap datang ke rumah Chitrangada sebagai bapak pura-pura, tinggal Ibu perlu beradaptasi." Dewi Priti sering membawa Lukas dalam jamuan makan malam, bahkan sering mendapat pujian sebagai pasangan serasi. Persoalannya justru pada Arjuna. Dewi Priti melihat putranya terlalu gampang memandang masalah, padahal biasanya sangat seksama menangani persoalan kecil saja. "Ada apa?" tanya Dewi Priti lembut. "Aku melihat s
"Tunggu!" Chitrangada mengejar Arjuna yang sudah masuk lift dan menekan tombol hold. Chitrangada mengikuti pacarnya turun ke lantai dasar. "Apa maksudmu akan menyeret Wisnu ke polisi?" Arjuna menyindir, "Kau sempat mengejarku padahal sangat sibuk?" "Kau sudah mengacaukan mood Wisnu!" Chitrangada merasa perlu menegur Arjuna karena bisa menggagalkan pertemuan dengan Rara Ireng. "Jadi salahku memberi peringatan kepada lelaki yang sudah sewenang-wenang kepada kaummu?" Arjuna memandang dengan dingin. "Wisnu sakit hati Ulupi jatuh cinta kepadamu!" "Kau sakit hati kalau aku jatuh cinta kepada Liu Yifei?" "Mimpi!" "Kenapa Wisnu tidak berpandangan begitu? Apa karena Liu Yifei aktris mendunia, sedangkan aku CEO lokal?" "Banyak kejadian CLBK." "Lalu aku dianggap dari kebanyakan itu? Terus terang aku tersinggung. Kau sudah tanya tentang perasaan Wisnu kepadamu?" "Buat apa?" "Untuk membuktikan bahwa cinta itu jujur, tapi pemiliknya munafik." Pintu lift terbuka. Arjuna
"Maksudmu apa tidak datang dalam acara lamaran?" Chitrangada menghubungi Arjuna lewat gawai, ia tahu informasi itu dari ibunya. "Mau balas-balasan? Saat ini kau harus memilih karena aku tidak dapat memenuhi dua-duanya." Arjuna menjawab dengan santai, "Aku bercanda. Aku tidak menyangka candaku sampai kepadamu." "Bercanda? Kau mengganggu waktuku untuk hal tak berguna. Aku seperti bukan bercakap dengan pria yang kukenal." Arjuna menyindir, "Aku tidak tahu kau ada pertemuan dengan Tun Ghazar, maka itu aku bercanda." Suara Chitrangada tidak terdengar. Barangkali ia tidak mengira nama itu akan muncul detik-detik menjelang lamaran. "Ada waktu dua jam lagi untuk memantapkan jawabanmu. Aku ingin dirimu melihat hatimu, bukan melihat hari-hari indah yang pernah kita lewati." Arjuna tidak akan menyampaikan hal itu jika bukan Tun Ghazar yang dijumpai perempuan yang hendak dilamarnya. Chitrangada sempat terseok saat Tun Ghazar memutuskan untuk menikah dengan perempuan pilihan orang
Tim dokter berhasil menyelamatkan Angada, sementara waktu ia tak boleh diganggu. Angada masih dalam pantauan tim dokter secara intensif. Dewi Priti pamit kepada calon besan sambil cipika cipiki, "Aku pulang dulu ya. Kasihan kolegaku menunggu di luar." "Maafkan aku ya," kata wanita separuh baya itu. "Aku tidak kepikiran untuk menghubungi dirimu." "Tidak apa. Masnya yang penting sembuh dulu." Chitrangada menarik Arjuna ke koridor terpisah saat hendak pamit juga. "Aku ingin ngomong sebentar." "Soal apa?" tanya Arjuna. "Aku pikir untuk lamaran kita bicarakan nanti setelah Papi pulang dari rumah sakit." "Aku ingin menanyakan apa yang disampaikan lewat gawai." "Aku kira tidak elok membahas soal lain di saat Papi di ruang ICCU." Kemudian Arjuna menghampiri calon ibu mertua, dan berkata, "Aku pamit dulu, Mam. Aku kembali lagi setelah mengantar Ibu. Mami pulang saja, jaga kesehatan." "Ya." Kejengkelan Arjuna kepada Chitrangada belum hilang karena tidak memberi tahu seja
Arjuna berangkat ke kantor dari rumah sakit. Ia tidur di kursi tunggu. Chitrangada pulang.Ada penasaran yang sulit hilang dari pikirannya tentang musibah yang menimpa Angada.Calon ayah mertua tidak ada riwayat jantung. Ada hal luar biasa terjadi sehingga mengalami serangan jantung."Apakah Angada membaca aroma busuk pada pertemuan bisnis anaknya dengan Tun Ghazar?" keluh Arjuna sambil duduk dengan lesu di kursi kerja. "Ia pasti sakit hati anaknya dulu dicampakkan, kemudian pengusaha Melayu itu datang mengacaukan situasi."Chitrangada seperti sulit melepaskan diri dari jerat masa lalu. Pertemuan bisnis hanyalah sarana untuk menutupi kecurigaan orang-orang di sekeliling.Kebodohan Chitrangada adalah melupakan peristiwa yang merendahkan harga dirinya karena melihat harapan besar dengan isu perceraian Tun Ghazar.Chitrangada ingin mengulur waktu acara lamaran dengan tak menghadirinya, sampai ada kepastian hukum untuk status Tun Ghazar."Chitrangada menjadikan diriku calon pengganti. Aku
"Kodok emas dapat membedakan mana kawan mana lawan," kata Resi Kamandalu. "Ia adalah siluman kodok yang sudah ditaklukkan guruku." "Kenapa eyang guru tidak berburu siluman kodok saja kalau bisa berubah menjadi kodok emas?" tanya Bajang. "Eyang bisa menjadi orang terkaya di Pancala." Kepolosan Bajang menghadirkan senyum di bibir kakek itu. Dikiranya siluman kodok adalah tambang emas. Kodok emas adalah raja siluman kodok, dan tidak semua raja siluman kodok menjadi kodok emas. Kaki depan dan belakang berjari lima, muncul lima abad sekali. "Sebaiknya kau bersiap-siap seperti yang lain," kata Resi Kamandalu. "Jangan sampai kau pulang lagi ke padepokan ini, berarti kegagalan bagimu." "Apakah aku tidak boleh menyambangi eyang guru?" "Aku akan datang di saat kalian membutuhkan, dan aku berharap tidak pernah datang." Kepergian dari padepokan bukan kepergian selamanya, namun situasi membara di Pancala butuh waktu lama untuk memadamkan. Resi Kamandalu menanamkan kepada muridnya bahwa pa
Arjuna berlatih jurus Menangkap Ekor Merak, bagaimana merespon energi yang datang dan memantulkan kembali energi itu laksana musuh memukul bola karet raksasa. Serangkaian gerakan berturut-turut dan sambung menyambung dengan jing sebagai energi utama. Jurus itu bagian dari delapan jurus dalam kitab kuno I Ching. "Kau menguasai jurus cepat sekali," puji Resi Kamandalu. "Delapan energi sudah kau kuasai dalam separuh tahun." "Lalu apa hubungannya dengan kujang emas?" "Kau bisa menggunakan delapan energi untuk mengendalikan energi kujang emas. Kau akan menjadi pendekar tanpa tanding." "Aku lebih suka menjadi pendekar tanpa bertanding." Larasati memandang kagum. "Kau sungguh hebat sekali. Aku saja belum menguasai secara sempurna." Arjuna sangat payah dalam penguasaan jurus kalau tidak didukung energi kujang emas. Energi itu membantu kelenturan dalam gerakan tangan dan kaki. Arjuna juga mempunyai energi inti yang dapat meremukkan batang pohon dengan telapak tangan. "Aku kira suda
"Entahlah." Resi Kamandalu menghela nafas seolah ingin menghalau misteri yang menggantung di kepalanya. "Aku tidak kenal siapa ayahmu. Jadi aku tidak tahu suara tanpa wujud itu milik siapa." Arjuna termenung. Bagaimana kalau suara itu adalah suara ayahnya? Ia ingin menyelamatkan putranya dengan meminta bantuan Resi Kamandalu. Kujang emas membawanya ke abad lima belas supaya Arjuna mengetahui secara langsung kabar duka ini. "Namun aku yakin suara itu bukan suara ayahmu. Pada saat Panduwinata terkepung, ia menyerahkan kujang emas kepada Senopati Aryaseta untuk diselamatkan. Widura dan pembantu dekatnya mengejar senopati. Kemudian tersiar kabar kalau Widura gagal mendapatkan kujang itu." Secercah harapan muncul di hati Arjuna. Kemungkinan besar ayahnya masih hidup. Seandainya tertawan pun, ia pasti dibiarkan hidup, sebab kujang emas ditinggal di kamar hotel. "Aryaseta kabur ke masa depan," kata Arjuna. "Pangeran Cakil mengejar. Kemudian datang seorang gadis minta bantuan." Ada
"Aku kira kujang emas berada di tanganmu bukan kebetulan," kata Resi Kamandalu. "Ia berjuang menembus ruang dan waktu pasti membawa pesan penting untukmu, hanya belum terungkap." "Kujang emas singgah di zamanku karena lelaki tidak bertanggung jawab." Kebodohan ibunya telah menyeret Arjuna pada masalah yang rumit. Seandainya ia kembali ke abad 21, bagaimana pertanggungjawaban dirinya kepada keluarga Angada? Chitrangada pergi bersamanya! "Sebenarnya apa yang kau inginkan?" tanya Chitrangada saat mereka berada di dalam kamar. "Resi Kamandalu berusaha membantu dirimu. Mengapa kau begitu sulit?" "Resi Kamandalu ingin menjadikan aku ksatria untuk mengatasi kemelut kerajaan," sahut Arjuna dingin. "Aku tahu resi itu tercatat dalam sejarah, hanya aku tidak sempat membacanya." "Apa ruginya menjadi ksatria pinilih? Kau akan berurusan dengan istana dalam mencari jejak ayahmu. Bagaimana kau melindungi dirimu?" Chitrangada sulit memahami logika Arjuna. Ia sudah terjebak dalam pertikaian ista
Resi Kamandalu baru pulang saat mereka hendak pergi tidur. Kakek berselempang putih itu membawa barang pokok banyak sekali. Barang itu cukup untuk persediaan selama sebulan. "Kakek habis menjarah toko kelontong?" tanya Bajang sambil menurunkan beberapa barang dari pelana dua ekor kuda. "Buat apa kakek bawa pulang kuda? Binatang seperti ini banyak di savana." Kuda itu berbulu hitam mengkilap, tampak gagah dan elegan, biasa digunakan pasukan kavaleri. "Kakek merampas kuda prajurit istana?" tanya Larasati. "Bukankah perampokan terlarang di mayapada?" "Harta rampasan perang," kata Resi Kamandalu. "Aku sedang belanja di sebuah toko kelontong, datang sekumpulan perampok berkuda, aku merasa terpanggil untuk melindungi pemilik toko dan keluarganya. Kemudian aku mendapat hadiah bahan pokok." Situasi di Pancala semakin kacau dengan kemunculan perampok, mereka memanfaatkan ketegangan yang terjadi. "Kuda itu kelihatannya bukan milik perampok," sanggah Larasati. "Kuda itu milik pejabat ke
Mereka gelisah ketika hari sudah senja Resi Kamandalu belum pulang juga. "Apakah sebelumnya pernah begini?" tanya Arjuna. "Belum pernah," jawab Larasati panik. "Aku takut terjadi sesuatu dengan eyang guru." "Aku makin pusing melihatmu mondar-mandir kayak anak ayam mencari induknya," gerutu Bajang. "Bisakah kau duduk seperti kami?" Bajang menduga ada urusan penting sehingga Resi Kamandalu pulang terlambat. Resi Kamandalu adalah pertapa yang sangat disegani di wilayah Pancala. Mereka berpikir ulang untuk berurusan dengannya. Pendekar golongan putih dan golongan hitam sangat menaruh hormat kepadanya. "Apakah kau tidak khawatir dengan keselamatan eyang guru?" delik Larasati kesal. "Kau murid durhaka!" "Kau mestinya mengkhawatirkan diri sendiri," balik Bajang santai. "Kita makan apa besok kalau kakek tidak pulang?" "Di otakmu cuma ada makanan!" "Badanku sudah kurus kering. Apa jadinya kalau besok hanya makan ubi?""Jadi cacing tanah!" Larasati bingung apa yang mesti dilakukan.
Arjuna tidur bersama Bajang, Chitrangada tidur sendiri. Mereka awalnya tidur satu kamar, tapi Arjuna merasa risih.Ada kamar tidur kosong satu lagi, tapi belum sempat dibersihkan. Arjuna mencoba menggali informasi tentang Resi Kamandalu, rupanya Bajang tidak mengetahui banyak. "Kakek jarang sekali bercerita tentang dirinya," kata Bajang. "Ia sangat tertutup. Aku tahu namanya saja waktu kakek mengenalkan diri pada kalian." Entah ada rahasia besar atau merasa tidak penting, Resi Kamandalu hampir tidak pernah bercerita tentang dirinya. "Lalu apa saja yang kalian bicarakan selagi berkumpul?" tanya Arjuna. "Kalian tidak mungkin berlatih setiap hari tanpa berkomunikasi." "Kakek jarang sekali kongko. Ia baru bercakap kalau ada informasi penting dari perkampungan yang dikunjunginya." "Kalian tidak ikut pergi bersamanya?" "Kami tidak pernah diajak." Padahal mereka sudah cukup umur untuk bepergian, bisa mengurus diri sendiri. Jadi tidak merepotkan. Apa alasan Resi Kamandalu tidak memba
Arjuna terpaksa mengikuti latihan meditasi yang diajarkan oleh Resi Kamandalu. Chitrangada tertarik untuk mencoba teknik meditasi kuno itu. Bagaimana melatih pernafasan secara teratur dan memastikan paru-paru bekerja sepenuhnya secara efisien. "Kau kelihatan nyaman sekali," kata Arjuna. "Aku merasa latihan pernafasan hanyalah sia-sia." "Prinsip dasar meditasi ini adalah penyelarasan dan relaksasi, kau akan merasa lebih segar setelah meditasi." "Aku malahan jemu." "Latihan pernafasan dan meditasi ini merupakan dasar dari seni bela diri kuno dari Tiongkok," kata Resi Kamandalu. "Diperkenalkan oleh Thio Sam Hong pada abad dua belas, kemudian dikembangkan Chen Wangting pada abad lima belas, dan aku adalah salah satu muridnya." Arjuna merasa dikerjai. Ia ingin belajar mengendalikan kujang emas, bukan belajar seni bela diri. Ia seorang CEO, di mana uang adalah kekuatan paling sakti dalam kehidupan. Seni bela diri hanyalah perlindungan semu dari kriminalitas jalanan. "Aku rasa ada
Arjuna dan Chitrangada pergi ke padepokan Resi Kamandalu. Mereka butuh tempat berteduh, tidak lucu CEO menjadi gelandangan di masa lampau. Mereka tidak ada bekal untuk menempuh perjalanan dalam upaya mencari pemilik kujang emas. "Kita sudah tiba di padepokan," kata Resi Kamandalu. "Aku kira cukup nyaman untuk kalian tinggal." Sebuah rumah unik dan antik berdiri terpencil di lembah pegunungan, tanaman hijau menambah asri pemandangan, sungai mengalir dengan air sangat jernih. Seorang gadis cantik dan pemuda ceking tampak berjalan bersisian meninggalkan sungai. Pemuda itu memikul guci berisi air minum, sementara sang gadis membawa bakul kecil berisi ikan air tawar. "Banyak sekali tangkapan hari ini, Larasati," kata Resi Kamandalu. "Kau sangat pintar menangkap ikan." "Aku menangkapnya, Kek," tukas Bajang. "Larasati berlatih menggebah air, bukan menangkap ikan." "Kamu kan paling gembul," balas Larasati. "Jadi kamu mesti menangkap sendiri. Aku heran ikan di perutmu pergi ke mana, b