"Tunggu!" Chitrangada mengejar Arjuna yang sudah masuk lift dan menekan tombol hold. Chitrangada mengikuti pacarnya turun ke lantai dasar. "Apa maksudmu akan menyeret Wisnu ke polisi?" Arjuna menyindir, "Kau sempat mengejarku padahal sangat sibuk?" "Kau sudah mengacaukan mood Wisnu!" Chitrangada merasa perlu menegur Arjuna karena bisa menggagalkan pertemuan dengan Rara Ireng. "Jadi salahku memberi peringatan kepada lelaki yang sudah sewenang-wenang kepada kaummu?" Arjuna memandang dengan dingin. "Wisnu sakit hati Ulupi jatuh cinta kepadamu!" "Kau sakit hati kalau aku jatuh cinta kepada Liu Yifei?" "Mimpi!" "Kenapa Wisnu tidak berpandangan begitu? Apa karena Liu Yifei aktris mendunia, sedangkan aku CEO lokal?" "Banyak kejadian CLBK." "Lalu aku dianggap dari kebanyakan itu? Terus terang aku tersinggung. Kau sudah tanya tentang perasaan Wisnu kepadamu?" "Buat apa?" "Untuk membuktikan bahwa cinta itu jujur, tapi pemiliknya munafik." Pintu lift terbuka. Arjuna
"Maksudmu apa tidak datang dalam acara lamaran?" Chitrangada menghubungi Arjuna lewat gawai, ia tahu informasi itu dari ibunya. "Mau balas-balasan? Saat ini kau harus memilih karena aku tidak dapat memenuhi dua-duanya." Arjuna menjawab dengan santai, "Aku bercanda. Aku tidak menyangka candaku sampai kepadamu." "Bercanda? Kau mengganggu waktuku untuk hal tak berguna. Aku seperti bukan bercakap dengan pria yang kukenal." Arjuna menyindir, "Aku tidak tahu kau ada pertemuan dengan Tun Ghazar, maka itu aku bercanda." Suara Chitrangada tidak terdengar. Barangkali ia tidak mengira nama itu akan muncul detik-detik menjelang lamaran. "Ada waktu dua jam lagi untuk memantapkan jawabanmu. Aku ingin dirimu melihat hatimu, bukan melihat hari-hari indah yang pernah kita lewati." Arjuna tidak akan menyampaikan hal itu jika bukan Tun Ghazar yang dijumpai perempuan yang hendak dilamarnya. Chitrangada sempat terseok saat Tun Ghazar memutuskan untuk menikah dengan perempuan pilihan orang
Tim dokter berhasil menyelamatkan Angada, sementara waktu ia tak boleh diganggu. Angada masih dalam pantauan tim dokter secara intensif. Dewi Priti pamit kepada calon besan sambil cipika cipiki, "Aku pulang dulu ya. Kasihan kolegaku menunggu di luar." "Maafkan aku ya," kata wanita separuh baya itu. "Aku tidak kepikiran untuk menghubungi dirimu." "Tidak apa. Masnya yang penting sembuh dulu." Chitrangada menarik Arjuna ke koridor terpisah saat hendak pamit juga. "Aku ingin ngomong sebentar." "Soal apa?" tanya Arjuna. "Aku pikir untuk lamaran kita bicarakan nanti setelah Papi pulang dari rumah sakit." "Aku ingin menanyakan apa yang disampaikan lewat gawai." "Aku kira tidak elok membahas soal lain di saat Papi di ruang ICCU." Kemudian Arjuna menghampiri calon ibu mertua, dan berkata, "Aku pamit dulu, Mam. Aku kembali lagi setelah mengantar Ibu. Mami pulang saja, jaga kesehatan." "Ya." Kejengkelan Arjuna kepada Chitrangada belum hilang karena tidak memberi tahu seja
Arjuna berangkat ke kantor dari rumah sakit. Ia tidur di kursi tunggu. Chitrangada pulang.Ada penasaran yang sulit hilang dari pikirannya tentang musibah yang menimpa Angada.Calon ayah mertua tidak ada riwayat jantung. Ada hal luar biasa terjadi sehingga mengalami serangan jantung."Apakah Angada membaca aroma busuk pada pertemuan bisnis anaknya dengan Tun Ghazar?" keluh Arjuna sambil duduk dengan lesu di kursi kerja. "Ia pasti sakit hati anaknya dulu dicampakkan, kemudian pengusaha Melayu itu datang mengacaukan situasi."Chitrangada seperti sulit melepaskan diri dari jerat masa lalu. Pertemuan bisnis hanyalah sarana untuk menutupi kecurigaan orang-orang di sekeliling.Kebodohan Chitrangada adalah melupakan peristiwa yang merendahkan harga dirinya karena melihat harapan besar dengan isu perceraian Tun Ghazar.Chitrangada ingin mengulur waktu acara lamaran dengan tak menghadirinya, sampai ada kepastian hukum untuk status Tun Ghazar."Chitrangada menjadikan diriku calon pengganti. Aku
Arjuna heran bagaimana Chitrangada sampai memberi tahu Wisnu. "Kau juga bilang kalau ayahku tidak merestui wanita pilihanku?" "Wisnu bercerita semuanya kepada Papi." "Berawal dari kamu bercerita semuanya." Arjuna pusing memikirkan apa yang terjadi. Drama itu pasti sangat menyakitkan ayah Chitrangada. Kecil harapan untuk diterima sebagai calon menantu. Bahkan Angada mungkin tidak mau lagi bertemu dengannya. "Wisnu bukan sakit hati dengan ancaman diriku. Ia ingin memiliki dirimu. Ia pasti mendapat pembelaan dari ayahmu atas pemecatan itu." "Bagaimana kau berpikiran seperti itu?" "Wisnu lebih dari seperti itu. Wisnu mengambil satu tindakan untuk menyingkirkan dua laki-laki, lamaranku gagal, Tun Ghazar pulang dengan hampa." "Tun Ghazar menjadwal ulang pertemuan." Jadwal itu terbang bersama angin, pikir Arjuna kosong. Tun Ghazar akan disibukkan dengan sidang perceraian, dan berita miring tentang kepergiaannya ke Jakarta. "Aku tidak ada rasa kepada mereka," tegas Chitra
Tante Maya dan Keluarga Wisnu datang ke kantor Arjuna diantar Chitrangada.Kedatangan mereka membuat Arjuna muak. Padahal ia ada agenda untuk bertemu kolega."Aku sebetulnya ada meeting," kata Arjuna. "Kalian mestinya menghubungi sekretaris dahulu untuk membuat jadwal pertemuan."Arjuna terpaksa menerima mereka karena menghargai Tante Maya. Arjuna sudah meminta suami kolega ibunya itu menjadi bapak pura-pura kalau Angada tidak mengenalnya."Aku sudah membuat jadwal dengan sekretarismu," sahut Chitrangada. "Sekretarismu bilang pertemuan diundur siang. Aku pikir ada waktu untuk menerima kedatangan mereka."Pertemuan ditunda beberapa jam karena kolega Arjuna mengalami penundaan jadwal penerbangan dari daerah.Arjuna jengkel Chitrangada mengatur jadwal pertemuan sekehendak hatinya.Sekretarisnya sulit untuk profesional karena mendapat tekanan dari calon istri pimpinan."Apa yang mau kalian bicarakan?" tanya Arjuna kepada keluarga Wisnu. "Aku perlu panggil pengacara sekiranya berhubungan
"Kau sudah merendahkan aku di depan mereka!" Chitrangada memandang sengit Arjuna yang duduk santai di kursi kerja sambil membersihkan kujang emas dengan cairan khusus. Arjuna merasa sangat dekat dengan kujang itu, dan percaya dengan keterangan Lesmana kalau kujang itu sangat sakti. Datuk Cakil datang lagi kemarin untuk membeli kujang itu, transaksi sudah terjadi dan kujang dibawa pulang ke Kuala Lumpur, tapi hari ini ada lagi di tasnya. "Maksudmu apa bilang aku bodoh?" Arjuna mengakui sedikit lepas kendali berbicara kasar di depan mereka. Kekecewaan kepada Chitrangada membuatnya sulit berpikir jernih. "Lalu di mana bodohnya aku? Memaafkan Wisnu dan menerima idenya untuk membuat pengakuan kepada Papi?" Arjuna enggan melayani. Orang lagi di puncak emosi tidak dapat menerima penjelasan apapun. "Kau tahu dari mana ide itu percuma sedangkan dicoba saja belum?" Kebodohan nyata dari perempuan lulusan London ini adalah pembuktian tanpa daya nalar. Hal mendekati kepastian at
"Astaga!" Dewi Priti terkejut saat menemukan kujang emas di dalam tasnya. Arjuga juga kaget, bagaimana kujang itu bisa berada di tas ibunya? Padahal Arjuna menaruh kujang itu di laci meja kerjanya! "Bagaimana kau tahu kujang ini ada di tas Ibu?" Arjuna sulit menjelaskan, ia sekedar asal ngomong. Barangkali kujang emas tidak suka disimpan di laci. Kujang itu mestinya pindah ke tas kerjanya, bukan ke tas Ibu. "Ada semacam kontak batin denganmu." Dewi Priti jadi kehilangan daya nalar. Berasal dari kejadian luar biasa, muncul pemikiran luar biasa, akal sehat jadi tak berguna. "Kujang itu ada di tas Ibu, masa kontak batin denganku?" "Kau memerintahkan kujang ini untuk pindah ke tas Ibu." Arjuna makin stres mendengar jawaban ngawur itu. Di pikirannya tidak terbersit untuk memindahkan kujang itu dari laci mejanya. "Barangkali kujang itu tidak mau berpisah dengan Ibu." "Kau ingin mengatakan kujang ini yang membuatku hamil? Aku bosan mendengarnya." "Aku juga b
Sebuah kereta dengan enam penumpang berwajah sangar melaju cukup kencang di atas jalan berkerikil. Di belakang kereta itu terdapat tali yang menarik beberapa pendekar dengan tubuh terikat rantai. Dua orang tampak terseret karena tidak kuat lagi berlari. Pakaian robek-robek. Tapi tidak ada sepotong keluhan pun meluncur dari mulut mereka. Mereka adalah pengikut setia Senopati Aryaseta yang terbongkar penyamarannya. "Aku kira Senopati Aryaseta sudah keluar kalau ada di hutan roban," kata Ki Jagatnata. "Ia pasti marah orang-orangnya diperlakukan seperti binatang." "Hutan roban sangat luas, kita belum separuhnya menempuh perjalanan," ujar Ki Trenggalek. "Bagaimana jika persembunyian mereka berada di perbatasan dengan Laut Selatan? Usaha kita sia-sia." "Aku kira senopati takut melihat kita," tukas Ki Amarta. "Lima Peminum Teh adalah penguasa kegelapan." Mereka sedang memancing Senopati Aryaseta untuk keluar dari sarangnya. Tersiar kabar bahwa senopati itu berada di hutan roban.
Kong berhasil mengalahkan si Surai Singa dan membiarkan kabur dengan menunggang kuda. Pendekar berkumis panjang itu takkan bertahan lama dengan luka dalam di dadanya, ia akan tewas sebelum sampai perkampungan.Kong menyodorkan kacamata hitam dan jubah kepada Arjuna. "Buat kau saja," kata Arjuna. "Kau cocok pakai jubah dan kacamata." Kong tampak senang sekali. Ia segera memakai jubah dan kacamata. Dengan pataka itu Kong secara otomatis menjadi ketua rimba persilatan. Ia akan banyak musuh dan paling diburu para pendekar. "Kau akan membuat gempar dunia persilatan," komentar Bajang. "Manusia dipimpin binatang." "Asal jangan pemimpin binatang," kata Ulupi. "Kong binatang berhati manusia." "Maksudmu apa memberikan pataka pada Kong?" tanya Larasati separuh protes. "Kau ingin merendahkan dunia persilatan?" "Aku mempersilakan siapa saja mengambil pataka dari Kong jika merasa direndahkan." Larasati terlalu kaku dengan peradaban sehingga sulit berpikir objektif. Siapapun berhak menja
Mereka berhenti di antara pepohonan besar. Mata mereka melayang ke dataran rumput di lereng hutan. Si Surai Singa tampak tertawa terbahak-bahak menyaksikan empat kawannya yang terkapar mati. "Ha ha ha! Sekarang kalian mengakui bahwa akulah yang pantas menjadi ketua rimba persilatan!" Larasati memandang sinis. "Demi pataka ketua, mereka sampai saling bunuh sesama kawan, naif sekali." "Arjuna sudah tahu hal ini akan terjadi," ujar Bajang. "Makanya ia menyerahkan pataka itu untuk mengurangi kekuatan musuh. Menghemat tenaga." Larasati mengakui Arjuna berotak cerdik. Ia malu sendiri teringat perkataannya yang kurang pantas beberapa waktu lalu. Resi Kamandalu pernah memberi tahu para pendekar berilmu tinggi yang malang-melintang di rimba persilatan, di antaranya si Surai Singa dan komplotannya. Mereka pemberontak yang melarikan diri dari Jepara, buronan Ratu Kalinyamat. "Sayang sekali kujang emas terbang entah ke mana! Pataka ketua sudah cukup bagiku! Aku akan kaya raya den
Mereka meneruskan perjalanan setelah memberi makanan cukup pada kuda. Chitrangada belum selesai dengan persoalan pataka dan kujang emas. "Kau belum menjawab pertanyaanku," kata Chitrangada. "Pertanyaan apa?" "Bagaimana kau pulang secepatnya dengan membawa ayahmu?" Arjuna tahu jawaban dari pertanyaan itu sangat menentukan masa depan mereka. Chitrangada kelihatannya butuh kepastian. Padahal Arjuna sudah menghindari pertanyaan itu. Chitrangada seharusnya tahu bahwa Arjuna menyerahkan keputusan kepadanya. "Aku menunggu takdir," jawab Arjuna. "Aku sudah cukup berusaha untuk menemukan ayahku." "Kau kelihatannya menyerah." Arjuna sudah banyak menjumpai kekecewaan dalam pencarian ini, bahkan ia menjadi sosok yang tak diharapkannya. Arjuna mendapat warisan ilmu kuno untuk menguasai dunia, menjadi pejuang kebenaran di masa lampau dan masa depan. Padahal kebenaran adalah relatif. Tergantung di mana bumi dipijak. "Menyerah dan menyadari perbuatan bodoh adalah dua hal yan
Perjalanan jadi kurang menyenangkan, keributan terjadi hampir di sepanjang jalan. Bajang memilih diam, Kong juga. Ketiga perempuan itu tidak puas dengan keputusan Arjuna menyerahkan pataka dan kujang emas. Padahal Arjuna seharusnya menjaga baik-baik, melaksanakan amanat gurunya dengan penuh tanggung jawab. "Kelihatannya kalian begitu ingin aku menjadi ketua persilatan," kata Arjuna. "Padahal aku sendiri ingin pulang secepatnya." "Kau sudah jauh melangkah," sahut Chitrangada. "Sekarang kau ingin pulang tanpa ayahmu." "Apakah aku bilang begitu tadi? Jangan berasumsi." "Bagaimana kau pulang secepatnya dengan membawa ayahmu?" Mereka melewati dataran rumput hijau yang dikelilingi pepohonan. Arjuna turun dan melepas kuda untuk makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian ia mencari air untuk minumnya. Bajang dan kingkong turut pergi mencari air. "Aku dapat membaca siasatmu, maka itu aku diam," kata Bajang. "Kau ingin menghemat energi dengan membiarkan mereka bertarung memperebutkan patak
Arjuna menghentikan kudanya. Lima pendekar dengan rambut panjang dipilin menghalangi jalan kudanya. "Jadi kabar yang tersiar benar," kata pendekar berkumis panjang. Kuku tangannya juga panjang. Wajah saja yang menjadikan dirinya pantas disebut lelaki. "Resi Kamandalu sudah menyerahkan ketua rimba persilatan kepada muridnya." "Resi Kamandalu terlalu merendahkan kita," ujar pendekar berjenggot panjang bak rambut jagung. "Padahal seharusnya diadakan kompetisi untuk menentukan siapa yang paling pantas." "Arjuna!" seru pendekar berhidung buntet persis burung kakatua. "Kau serahkan pataka ketua secara baik-baik, atau kami paksa!" Arjuna heran mereka mengenal dirinya. Ia baru bertarung dengan Sepuluh Utusan Neraka dan semua tewas, kemudian berjumpa dengan legiun prajurit. Mereka berhasil dilumpuhkan dengan racun kodok emas dan lupa dengan kejadian itu, seakan mereka tak pernah berjumpa. Lalu lima pendekar itu mendapat kabar dari mana? Barangkali ada pendekar yang luput dari perhatian
Arjuna keluar dari goa. Ia cukup lama menunggu, tapi ratu ular tidak muncul. Arjuna melihat mereka menunggunya di pinggir sungai. Mereka tampak ceria, kekhawatiran mendapat serangan anaconda hanyalah kesalahpahaman belaka. "Kau cepat sekali muncul," kata Chitrangada. "Aku kira purnama depan baru selesai." Arjuna dapat menguasai kitab kuno dengan cepat berkat bantuan energi kujang emas. Arjuna demikian mudah mempelajari gerakan- gerakan di dalam kitab, termasuk jurus pedang. Kujang emas adalah separuh jiwanya. "Aku tidak melihat ratu ular," kata Arjuna. "Apakah kalian membunuhnya?" "Ratu ular pergi ke hilir sungai," sahut Chitrangada. "Ia ingin bersenang-senang karena sudah bebas menjalankan tugas." "Ia tampak kecewa," bisik Bajang. "Ia sudah menunggu ratusan tahun tapi tidak mendapatkan upah." Arjuna tersenyum kecut. "Aku menunggunya di dalam goa." Arjuna tahu apa yang diinginkan ratu ular, tapi ia malah pergi tanpa pamit. Arjuna hanya dingin kepada calon istrinya, Chitra
Kitab itu berusia ribuan tahun, dan tertulis pesan supaya dihancurkan setelah dipelajari. Inti dari ajaran itu adalah meditasi, menyatukan ruh dan jasad dengan semesta alam untuk mengendalikan energi tubuh dalam mencapai tujuan tertentu. Meditasi yang diajarkan Resi Kamandalu berguna sekali, menjadi dasar untuk menguasai ilmu dalam kitab kuno itu. "Ajian Saifi Angin adalah ilmu meringankan tubuh dan berpindah tempat." Arjuna membaca aksara kuno pada lembaran mukadimah. "Ilmu ginkang tertinggi di Jawa Dwipa, satu tingkat di atas Kidang Kuning dan Asma Gunting." Ajian Saifi Angin adalah ilmu para wali di pantai utara, ilmu ini sering digunakan untuk pertemuan di lokasi yang jauh dengan padepokan mereka. Arjuna heran bagaimana ilmu itu tercatat di kitab ribuan tahun lalu, kemudian dimiliki para wali. Apakah ada kitab lain? Padahal kitab ini adalah kitab satu-satunya. Barangkali hasil tirakat dengan menggabungkan ruh dan jasad dalam kegaiban alam semesta. "Eyang resi saja
Beberapa jam lalu Arjuna menelusuri tepian sungai mencari Ulupi, tiba-tiba anaconda muncul dari permukaan air dan menyambar dirinya. Arjuna menghindar dengan berjumpalitan di udara, anaconda memburu, merasa terdesak ia mengeluarkan kujang pusaka. Anaconda terdiam kaku dengan mata tak berkedip memperhatikan kujang yang dipegangnya. Kemudian wujudnya berubah menjadi sosok ratu cantik jelita. "Jadi kau pemuda yang bernama Arjuna?" tanya sang ratu. "Aku mendapat wangsit untuk menunggumu di sungai ular." Arjuna mengusap-usap kepala. Ia jadi penasaran siapa sebenarnya yang memberi wangsit itu. "Leluhur Jawa Dwipa memberi wangsit padaku," kata sang ratu. "Resi Kamandalu juga menerima wangsit dari sosok yang sama." "Kau juga ingin menurunkan ilmu padaku?" Arjuna tampak lesu. Sebenarnya ia tidak butuh ilmu kanuragan, ia butuh informasi tentang ayahnya. "Aku sudah menunggumu selama ratusan tahun. Aku diminta untuk menyerahkan beberapa kitab kuno dan pedang Mustika Manik kepadamu sebaga