Rafandra terus mendengus kesal sejak rapat berakhir hingga masuk ke ruangannya. Samsul terus mengekorinya dari belakang sembari mendengarkan keluhan tak nyaman dari mulut bosnya. Baginya, sudah terbiasa mendengar hal seperti itu. Rafandra memang sering mengomel tak jelas jika hatinya sedang kacau. "Menurut kamu, siapa yang telah membuat anggaran membengkak seperti itu? Ok lah, pihak marketing dan bagian kreator membutuhkan banyak waktu bertemu dengan klien. Tapi karyawan lain? Coba kamu cek ke bagian HRD dan juga bagian anggaran. Saya curiga ada yang main belakang dengan kebijakan yang saya buat." Samsul mengangguk dan mencatat setiap perintah yang keluar dari mulut Rafandra. Bosnya itu tak suka dibantah. Jadi, lebih baik ia hanya diam dan melaksanakan semuanya. "Ada lagi bos?" tanya Samsul memastikan sebelum ia pergi dari ruangan bosnya. "Perketat anggaran. Buat peraturan, setiap karyawan yang akan lembur dan minta jatah taksi harus mendapatkan tanda tangan dari saya. Tidak ada vo
Teror tak hanya tertuju pada Alyssa semata, Wirautama sebagai si pihak yang paling terlibat juga mendapatkan ancaman kecil yang belum pernah ia temui sebelumnya. Saat menuju jalan pulang ke rumah, tiba-tiba saja ban mobilnya mengalami kebocoran. Hal yang sangat langka, mengingat supir pribadinya sering mengecek kendaraan. Tidak ada kecurigaan, hanya saja Wirautama merasa bingung. Tidak biasanya supir andalannya melakukan kecerobohan. "Kenapa bisa tertusuk paku? Tadi saat dicek di kantor sudah beres?" tanya Wirautama pada supirnya yang tengah mengganti ban kendaraannya. "Saya selalu cek kendaraannya, pak. Selama saya bekerja, baru kali ini ban kendaraan tertusuk paku," jawab Ujang, supir pribadi Wirautama. "Ya sudah, saya tunggu di dalam." "Kalau pak Wira ingin pulang cepat, saya bisa hubungi Samsul. Kebetulan, dia baru pulang dari kantor," usul Ujang sebelum Wirautama masuk kembali ke dalam mobilnya. Wirautama pun mengangguk menyetujui usulan Ujang. Selama menunggu, Wirautama d
Rafandra masih terus merasakan sakit kepala yang tak tertahankan. Sejak bangun tidur di pagi hari, ia terus mengerang kesakitan. Tak pelak, itu membuat Kayana khawatir berlebihan. Istrinya itu tak bisa diam sejenak. Setiap menit pasti selalu menanyakan kondisi suaminya. "Masih sakit? Kita ke dokter saja kalau begitu." Kayana terus memaksa Rafandra tapi selalu saja ditolak. "Samsul sudah datang?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Kayana menggelengkan kepalanya. Tangan mungil istrinya itu sibuk menyendok bubur dan ayam suwir di piring lalu menyuapkannya pada sang suami. "Mama tadi sudah panggil dokter ke sini." Rafandra mengangguk, mulutnya penuh dengan makanan. "Samsul juga. Katanya mau kerjakan tugas kantor di rumah saja." "Iya, sudah aku kasih tahu tadi." Rafandra menunjuk suwiran ayam yang terlewat oleh Kayana lalu merengut sebal. "Tambah lagi ayamnya." "Doyan banget sama ayam," sindir Kayana. Rafandra mendengus sebal sambil mengunyah buburnya. Tak lama kemudian, terdengar suar
Kayana tak bisa beristirahat dengan tenang. Sang suami, Rafandra masih terlelap dalam tidurnya setelah meminum obat yang diberikan oleh dokter. Ia tak tenang karena berulangkali Rafandra bermimpi buruk dalam tidurnya. Seperti sedang melawan sesuatu yang sangat besar dan sulit. Mungkin ia bermimpi sedang dikejar harimau. Alyssa datang satu jam setelah dokter pulang. Ia terburu-buru masuk ke dalam kamar dengan membawa sebungkus makanan kesukaan Rafandra. "Bagaimana keadaan Rafa? tanya Alyssa yang sejak tadi berdiri di dekat Kayana. "Sudah membaik. Tapi dia butuh banyak istirahat," jawab Kayana sedikit mendongak. "Kamu sudah makan siang?" tanyanya lagi. Kayana menggelengkan kepalanya pelan. "Kita makan bersama. Ada papa dan Samsul di bawah." Kayana mengangguk. Ia mengikuti langkah mertuanya ke ruang makan, meninggalkan Rafandra yang masih tertidur lelap. "Rafa sudah baikan?" kali ini papa yang bertanya. Kayana menarik kursi lalu duduk di samping kanannya. "Sudah, pa. Rafa lagi tidu
Kayana mengejar Rafandra yang berjalan cepat dari meja makan menuju ruang tamu. Ia baru saja terbangun dan sudah mendapati suaminya yang rapi dengan kemeja dan jasnya. Tadi malam Rafandra masih mengeluh sakit kepala tapi entah mengapa pagi ini dirinya memaksakan diri untuk pergi ke kantor tanpa persetujuan istrinya. "Mau kemana?" Kayana berkacak pinggang di hadapan Rafandra. Tubuh mungilnya menghadang pria besar itu sambil merentangkan tangannya. "Kamu kan lagi sakit." "Sebentar saja Kayana. Aku tidak akan lama. Aku janji pulang cepat." Rafandra terkekeh dengan raut wajah Kayana yang terlihat khawatir. Diraihnya bibir mungil istrinya lalu diciumnya. "Aku hanya cek pekerjaan saja." "Kan ada Samsul." Kayana merajuk. "Ini mau kasih tahu Samsul. Nanti aku pulang sehabis makan siang. Aku janji." Rafandra mengecup dahi Kayana sebelum berangkat. Kayana tak rela membiarkan suaminya berangkat tapi apa daya jika ada sesuatu yang mendesak. Saat lambaian tangan itu menjauh, tiba-tiba saja dad
Ambruk. Rafandra yang masih dalam keadaan kurang sehat tiba-tiba saja jatuh saat mencoba berjalan di koridor menuju ruangan rapat yang terletak di ujung dekat ruangan serbaguna. Sejak keluar dari ruangannya, langkah Rafandra memang sudah limbung seperti sedang mabuk. Maka dari itu Samsul berjalan pelan di belakangnya sambil terus mengawasi bosnya. Brukk Tepat saat ia sampai di bibir pintu, Rafandra tak kuat lagi menahan pusing di kepalanya. "Pak bos!" teriak Samsul. Dengan sigap ia membantu Rafandra berdiri, namun karena lemah akhirnya kembali terjatuh. Samsul tak segan-segan menggendong bosnya itu kembali ke dalam ruangan kerjanya. Larinya sangat kencang tak berpikir dua kali menerobos karyawan yang lalu lalang di koridor. "Pak bos kenapa?" Aletta ikut masuk ke dalam ruangan. "Pingsan. Cepat telpon Bu Kayana atau Bu Alyssa. Saya mau telpon ambulan dulu." Aletta mengangguk. Ia segera berlari ke luar ruangan menghubungi istri dan ibu bosnya. Rafandra masih terpejam namun nafasny
Krekk Pintu ruangan kamar terbuka. Kayana pikir itu adalah Samsul yang membawa makanan, ternyata saat seseorang masuk ke dalam, mata Kayana terbelalak lebar tak menyangka. Kayana berdiri sambil berkacak pinggang menghadang orang itu masuk tapi tak berhasil. "Minggir!" Sonia, si tamu tak diundang itu memaksa masuk ke dalam. "Hai Rafa, apa kabar?" senyum Sonia membuat Kayana mual. Rasanya, ingin sekali menendang keluar wanita yang gatal menggoda suami orang ini. Rafandra tak membalas sapaannya. Ia malah menaikkan selimut hingga sebatas dada dan gerakan tangannya ia menyuruh Sonia pergi dari sana. "Aku mau tidur. Pergi sana!" usir Rafandra. Kayana tersenyum puas melihat reaksi Rafandra. Suaminya itu memang sudah tak ingin melihat Sonia berada di sekitarnya apalagi saat sedang sakit seperti ini. "Ih, aku mau bawakan buah untuk kamu. Aku dengar kamu sakit tipes. Jadinya—" "Rafa tidak boleh makan makanan berserat. Buah ada seratnya, kamu tidak paham." Alyssa datang tiba-tiba dari bali
Rafandra terbaring lemas di tempat tidurnya lebih dari tiga hari. Tubuhnya mulai kurus dan sedikit tirus tapi dia masih ada semangat untuk makan dan minum obat. Kayana yang setia, tetap datang menunggunya di samping tempat tidur walau sempat kena marah oleh ibu mertuanya. "Kamu pulang jangan terlalu malam. Kasihan sama dedek bayinya." tangan Rafandra mengusap perut buncit Kayana dengan lembut. "Sayang dedek. Maaf ya, papa nyusahin mama kamu." "Enggak ada yang nyusahin. Namanya juga lagi kena musibah." Kayana berpindah duduk di depan tv sambil mengupas jeruk yang ia bawa dari rumah lalu menawarkannya pada Rafandra. "Kamu udah boleh makan jeruk kan?" Rafandra mengangguk. "Oh iya, kemarin papa telpon aku tapi enggak aku jawab. Terus, aku telpon balik malah enggak aktif." Rafa mengambil dua ruas jeruk yang disodorkan oleh Kayana lalu mengunyahnya. "Jeruknya manis banget." "Oh, beliau mau ngomongin sesuatu yang rahasia kayanya. Nanti pas kamu pulang ke rumah, mau dibahas keluarga besar