Ambruk. Rafandra yang masih dalam keadaan kurang sehat tiba-tiba saja jatuh saat mencoba berjalan di koridor menuju ruangan rapat yang terletak di ujung dekat ruangan serbaguna. Sejak keluar dari ruangannya, langkah Rafandra memang sudah limbung seperti sedang mabuk. Maka dari itu Samsul berjalan pelan di belakangnya sambil terus mengawasi bosnya. Brukk Tepat saat ia sampai di bibir pintu, Rafandra tak kuat lagi menahan pusing di kepalanya. "Pak bos!" teriak Samsul. Dengan sigap ia membantu Rafandra berdiri, namun karena lemah akhirnya kembali terjatuh. Samsul tak segan-segan menggendong bosnya itu kembali ke dalam ruangan kerjanya. Larinya sangat kencang tak berpikir dua kali menerobos karyawan yang lalu lalang di koridor. "Pak bos kenapa?" Aletta ikut masuk ke dalam ruangan. "Pingsan. Cepat telpon Bu Kayana atau Bu Alyssa. Saya mau telpon ambulan dulu." Aletta mengangguk. Ia segera berlari ke luar ruangan menghubungi istri dan ibu bosnya. Rafandra masih terpejam namun nafasny
Krekk Pintu ruangan kamar terbuka. Kayana pikir itu adalah Samsul yang membawa makanan, ternyata saat seseorang masuk ke dalam, mata Kayana terbelalak lebar tak menyangka. Kayana berdiri sambil berkacak pinggang menghadang orang itu masuk tapi tak berhasil. "Minggir!" Sonia, si tamu tak diundang itu memaksa masuk ke dalam. "Hai Rafa, apa kabar?" senyum Sonia membuat Kayana mual. Rasanya, ingin sekali menendang keluar wanita yang gatal menggoda suami orang ini. Rafandra tak membalas sapaannya. Ia malah menaikkan selimut hingga sebatas dada dan gerakan tangannya ia menyuruh Sonia pergi dari sana. "Aku mau tidur. Pergi sana!" usir Rafandra. Kayana tersenyum puas melihat reaksi Rafandra. Suaminya itu memang sudah tak ingin melihat Sonia berada di sekitarnya apalagi saat sedang sakit seperti ini. "Ih, aku mau bawakan buah untuk kamu. Aku dengar kamu sakit tipes. Jadinya—" "Rafa tidak boleh makan makanan berserat. Buah ada seratnya, kamu tidak paham." Alyssa datang tiba-tiba dari bali
Rafandra terbaring lemas di tempat tidurnya lebih dari tiga hari. Tubuhnya mulai kurus dan sedikit tirus tapi dia masih ada semangat untuk makan dan minum obat. Kayana yang setia, tetap datang menunggunya di samping tempat tidur walau sempat kena marah oleh ibu mertuanya. "Kamu pulang jangan terlalu malam. Kasihan sama dedek bayinya." tangan Rafandra mengusap perut buncit Kayana dengan lembut. "Sayang dedek. Maaf ya, papa nyusahin mama kamu." "Enggak ada yang nyusahin. Namanya juga lagi kena musibah." Kayana berpindah duduk di depan tv sambil mengupas jeruk yang ia bawa dari rumah lalu menawarkannya pada Rafandra. "Kamu udah boleh makan jeruk kan?" Rafandra mengangguk. "Oh iya, kemarin papa telpon aku tapi enggak aku jawab. Terus, aku telpon balik malah enggak aktif." Rafa mengambil dua ruas jeruk yang disodorkan oleh Kayana lalu mengunyahnya. "Jeruknya manis banget." "Oh, beliau mau ngomongin sesuatu yang rahasia kayanya. Nanti pas kamu pulang ke rumah, mau dibahas keluarga besar
Setelah kepulangan Rafandra ke rumah, Kayana yang awalnya ramah berubah jadi dingin dma sering mengabaikan suaminya. Rafandra jadi serba salah. Ini semua pasti imbas dari kedatangan Sonia ke rumah sakit. Ingin sekali ia meluruskan semuanya tapi tak ada waktu untuknya berbincang berdua dengan istrinya. Dua hari sejak kembalinya Rafandra ke ranah pekerjaan tetapnya, ia tak mempunyai waktu luang lagi. Apalagi, ayahnya selalu mengajak dirinya untuk bertemu dengan pengacara pribadi mereka di sela kegiatan kerja. Katanya, ini penting. Demi keberlangsungan kehidupan keluarga Wirautama. "Silakan pak Rafa tanda tangani di halaman ini," tunjuk si pengacara. Rafandra mengalihkan tatapannya ke arah ayahnya yang mengangguk mantap padanya. "Saya bisa baca sebentar?" tanya Rafandra. Si pengacara mengangguk. Rafandra membaca dari halaman awal, surat itu berisikan nama dan aset milik ayahnya yang sepenuhnya jatuh ke tangannya. Rafandra menarik napas panjang. Tangannya gemetar saat rangkaian kalima
"Papa...." Suara Rafandra menggema keras di depan ruangan operasi sebuah rumah sakit. Di hadapannya, pintu itu tertutup dengan lampu merah menyala di atasnya. Dada pria itu berguncang hebat saat mendapat kabar ayahnya terhantam kendaraan di luar kantor setelah pertemuan bersama dengannya di kantor notaris. Dirinya menyesal tak mengajak ayahnya tadi. "Rafa, sudah. Jangan seperti ini." Alyssa datang dengan wajah tegar. "Doakan papa baik-baik saja." "Rafa menyesal tidak pulang bersama dengan papa tadi. Rafa menyesal." Rafandra memukul dadanya. Air matanya mengalir melewati pipinya hingga jatuh mengenai kemejanya. Lemas, ia menundukkan kepalanya lalu bersandar di bahu ibunya. "Maafkan Rafa, ma." "Kamu enggak salah sayang. Ini sudah takdir." Keduanya berpelukan. Sayang sekali, Kayana tak diizinkan ikut ke rumah sakit karena kehamilannya. Alyssa takut menantunya nanti kelelahan. "Permisi nyonya." seseorang bertubuh besar datang menghampiri Alyssa. Ia memberi hormat lalu membisikkan s
Wirautama telah siuman. Saat ia mulai membuka matanya, pemandangan yang pertama dilihat olehnya adalah wajah sang istri yang tertidur di sampingnya sambil memegangi tangannya yang dipasangi selang infus. Sekujur tubuhnya terasa sakit, apalagi bagian tangannya. Ada sesuatu yang nampaknya mengganjal di sana. Sedikit menggeliat, mata Wirautama terpaku pada sosok sang istri yang terlihat cantik jika dilihat dari samping. Bibirnya pun tersenyum tak sengaja. "Kamu sudah bangun?" Alyssa membuka matanya. "Mau aku ambilkan minum?" Wirautama mengangguk. Alyssa tadi terbangun karena mendengar napas berat dari suaminya. Tangannya bergerak mengambil minuman yang terletak tak jauh dari meja rawat. "Rafa mana?" tanya Wirautama dengan suara parau terbata-bata. "Aku suruh pulang. Tadi dia nangis, terus kelelahan." Alyssa membuka lengan tangan sebelah kanan suaminya. Terlihat luka lebam berwarna biru tua di sepanjang lengan itu. "Bagian mana yang masih sakit?" Wirautama menggelengkan kepalanya. "Ka
"Ayo cepetan!" Kayana berteriak dari luar mobil sambil menghentakkan kakinya. Hari ini dia tampak cantik dengan rambut dibiarkan terurai, ditambah dengan aksesoris penjepit dengan gaun panjang berwarna peach yang mewah. Bibir Kayana mencebik lucu. Rafandra yang masih berada di dalam mobil menjawab teriakan itu. "Iya, sebentar. Ini resletingnya macet." "Memang kamu abis ngapain sih?" tak sabaran, Kayana menghampiri kembali mobil yang terbuka sedikit pintunya. "Kenapa itu?" tunjuknya. "Tadi aku kan buang air kecil di rumah. Terus buru-buru naikin resletingnya. Enggak tahunya malah macet gini." Rafandra menunjuk ke arah bawah, membuat Kayana menghela napas kesal sambil menepuk dahinya. "Maaf sayangku. Apa nih solusinya?" "Kamu bawa celana cadangan enggak?" Rafandra melirik ke belakang. Ia mengingat kembali, apakah pernah membawa celana lain di bagasi mobilnya. "Adanya celana jeans." Rafandra menunjukkan tas kecil berisi celana yang baru ia beli beberapa hari lalu. "Baru beli, lupa b
Rafandra pintar menyimpan emosinya. Ia berhasil membuang segala ketidaksukaannya pada percakapan yang didengarnya tadi. Hingga akhirnya meledak di tempat kerjanya dan hanya diketahui oleh Samsul yang terdiam tanpa tahu apa salahnya. Bukan, bukan Samsul yang disalahkan. Rafandra meledak mencari cara agar Sonia bisa dikeluarkan dari tim yang telah dibuat oleh ayahnya. "Bagaimana?" Samsul menggelengkan kepalanya. "Memangnya tidak ada cara untuk melenyapkan dia?" "Tidak. Karena ini perintah langsung dari bos besar," ujar Samsul. Rafandra memijit kepalanya yang sedikit sakit. Terasa pening seketika membayangkan betapa sulitnya menyingkirkan Sonia dari tim marketingnya saat ini. Apalagi ini ditunjuk oleh ayahnya sendiri. "Karena perusahaan sudah resmi jadi milik saya, bagaimana kalau semuanya diubah?" Samsul mendelik heran. "Kenapa? Kamu tidak tahu kah? Saya adalah pemilik baru perusahaan ini." "Bukan begitu. Tapi ini—" "Tolong buat laporan ke HRD, open recruiment untuk dua minggu ke d