"Papa...." Suara Rafandra menggema keras di depan ruangan operasi sebuah rumah sakit. Di hadapannya, pintu itu tertutup dengan lampu merah menyala di atasnya. Dada pria itu berguncang hebat saat mendapat kabar ayahnya terhantam kendaraan di luar kantor setelah pertemuan bersama dengannya di kantor notaris. Dirinya menyesal tak mengajak ayahnya tadi. "Rafa, sudah. Jangan seperti ini." Alyssa datang dengan wajah tegar. "Doakan papa baik-baik saja." "Rafa menyesal tidak pulang bersama dengan papa tadi. Rafa menyesal." Rafandra memukul dadanya. Air matanya mengalir melewati pipinya hingga jatuh mengenai kemejanya. Lemas, ia menundukkan kepalanya lalu bersandar di bahu ibunya. "Maafkan Rafa, ma." "Kamu enggak salah sayang. Ini sudah takdir." Keduanya berpelukan. Sayang sekali, Kayana tak diizinkan ikut ke rumah sakit karena kehamilannya. Alyssa takut menantunya nanti kelelahan. "Permisi nyonya." seseorang bertubuh besar datang menghampiri Alyssa. Ia memberi hormat lalu membisikkan s
Wirautama telah siuman. Saat ia mulai membuka matanya, pemandangan yang pertama dilihat olehnya adalah wajah sang istri yang tertidur di sampingnya sambil memegangi tangannya yang dipasangi selang infus. Sekujur tubuhnya terasa sakit, apalagi bagian tangannya. Ada sesuatu yang nampaknya mengganjal di sana. Sedikit menggeliat, mata Wirautama terpaku pada sosok sang istri yang terlihat cantik jika dilihat dari samping. Bibirnya pun tersenyum tak sengaja. "Kamu sudah bangun?" Alyssa membuka matanya. "Mau aku ambilkan minum?" Wirautama mengangguk. Alyssa tadi terbangun karena mendengar napas berat dari suaminya. Tangannya bergerak mengambil minuman yang terletak tak jauh dari meja rawat. "Rafa mana?" tanya Wirautama dengan suara parau terbata-bata. "Aku suruh pulang. Tadi dia nangis, terus kelelahan." Alyssa membuka lengan tangan sebelah kanan suaminya. Terlihat luka lebam berwarna biru tua di sepanjang lengan itu. "Bagian mana yang masih sakit?" Wirautama menggelengkan kepalanya. "Ka
"Ayo cepetan!" Kayana berteriak dari luar mobil sambil menghentakkan kakinya. Hari ini dia tampak cantik dengan rambut dibiarkan terurai, ditambah dengan aksesoris penjepit dengan gaun panjang berwarna peach yang mewah. Bibir Kayana mencebik lucu. Rafandra yang masih berada di dalam mobil menjawab teriakan itu. "Iya, sebentar. Ini resletingnya macet." "Memang kamu abis ngapain sih?" tak sabaran, Kayana menghampiri kembali mobil yang terbuka sedikit pintunya. "Kenapa itu?" tunjuknya. "Tadi aku kan buang air kecil di rumah. Terus buru-buru naikin resletingnya. Enggak tahunya malah macet gini." Rafandra menunjuk ke arah bawah, membuat Kayana menghela napas kesal sambil menepuk dahinya. "Maaf sayangku. Apa nih solusinya?" "Kamu bawa celana cadangan enggak?" Rafandra melirik ke belakang. Ia mengingat kembali, apakah pernah membawa celana lain di bagasi mobilnya. "Adanya celana jeans." Rafandra menunjukkan tas kecil berisi celana yang baru ia beli beberapa hari lalu. "Baru beli, lupa b
Rafandra pintar menyimpan emosinya. Ia berhasil membuang segala ketidaksukaannya pada percakapan yang didengarnya tadi. Hingga akhirnya meledak di tempat kerjanya dan hanya diketahui oleh Samsul yang terdiam tanpa tahu apa salahnya. Bukan, bukan Samsul yang disalahkan. Rafandra meledak mencari cara agar Sonia bisa dikeluarkan dari tim yang telah dibuat oleh ayahnya. "Bagaimana?" Samsul menggelengkan kepalanya. "Memangnya tidak ada cara untuk melenyapkan dia?" "Tidak. Karena ini perintah langsung dari bos besar," ujar Samsul. Rafandra memijit kepalanya yang sedikit sakit. Terasa pening seketika membayangkan betapa sulitnya menyingkirkan Sonia dari tim marketingnya saat ini. Apalagi ini ditunjuk oleh ayahnya sendiri. "Karena perusahaan sudah resmi jadi milik saya, bagaimana kalau semuanya diubah?" Samsul mendelik heran. "Kenapa? Kamu tidak tahu kah? Saya adalah pemilik baru perusahaan ini." "Bukan begitu. Tapi ini—" "Tolong buat laporan ke HRD, open recruiment untuk dua minggu ke d
Sonia dengan lantang menantang Kayana yang berkacak pinggang di hadapannya. Seolahlepas kendali, ia kini maki selangkah lebih dekat dari istri Rafandra itu. Tangannya bersiap untuk menarik rambut Kayana dan menghempasnya ke meja. Sebelum hal itu terjadi, Alyssa lebih dahulu menarik tangan Sonia dan menyeretnya ke samping. Ia tak akan membiarkan menantunya tersakiti hanya karena ulah wanita liar itu. "Hei hei hei. Berani betul kamu sama menantu saya. Kamu mau tarik rambutnya kan?" Alyssa kini ganti menantangnya. "Lawan kamu adalah saya. Sini, kalau berani." Alyssa menyingsingkan lengan kemejanya hingga sebatas siku. Tak lupa ia mengikat rambutnya hingga membentuk cepolan di atas. Satu lagi, ia juga memasang kuda-kuda yang siap untuk melawan Sonia. "Tante, karena ulah Kayana sekarang saya kehilangan pekerjaan saya. Kenapa Tante membelanya?" Sonia memprotes Alyssa sambil menekan tangannya yang perih. Mungkin ada bekas kuku Alyssa menggores di sana. "Duh, perih tangan saya." "Rasakan!
Kabar burung itu sampai juga di telinga Wirautama. Kabar tentang rencana pemindahan Sonia ke kantor cabang hingga penunjukan manajer baru sebagai penggantinya. Bukan hal baik, juga bukan hal yang buruk. Hanya saja, ini terlalu terburu-buru menurut Wirautama. Pria itu hanya menggelengkan kepalanya saat membaca artikel yang menyebutkan nama Rafandra dan Sonia. Keduanya kembali dikaitkan dengan sebuah rumor lama yang diangkat ke permukaan oleh sebuah media infotainment terkenal. "Bagaimana anak saya bisa hidup tenang?" Wirautama menutup ponselnya lalu memanggil pengawalnya yang sejak tadi berdiri menunggu perintah darinya. "Danu, tolong bungkam media ini. Saya tidak ingin Rafandra terkena imbas akibat rumor tidak waras ini." "Baik, bos." Wirautama menghela napas leganya. Setidaknya satu masalah berhasil ia redam. Cukup yang kemarin. Kali ini ia tak ingin memberi kesempatan pada pemberi hujatan. Belum sempat ia memejamkan matanya kembali, tiba-tiba saja terdengar pintu diketuk dari l
Rafandra menyempatkan diri datang ke rumah sakit bertemu dengan ayahnya yang masih dirawat di sana. Dirinya datang tidak hanya sendiri, bersama dengan Kayana tentunya. Baru saja ia masuk, mata ayahnya telah memindainya dari jarak jauh seolah dirinya adalah seorang penjahat. Memang seperti itulah Wirautama jika sedang mengintai seseorang. "Pa, biasa aja lihatin Rafa." risih, Rafandra menegur ayahnya. Kayana yang mengekor di belakang mengucapkan salam lalu mencium tangan ayah mertuanya. "Papa udah sembuh belum sih?" "Dasar anak durhaka. Tuh istri kamu saja cium tangan, kamu malah melengos." Wirautama memukul lengan Rafandra pelan, namun anaknya itu berlagak kesakitan. "Bagaimana dengan Sonia? Berhasil dipindahkannya?" Rafandra menggedikkan bahunya. "Papa kenapa bikin peraturan seperti itu sih? Kenapa Sonia dimasukkan ke dalam tim pengembangan juga?" "Dia bagus, idenya selalu menarik dan public speakingnya selalu didengar oleh investor. Apa salahnya kalau kita masukkan dia ke dalam t
"Aku mau pulang ke rumah ibu. Mau liburan di sana." Kayana merajuk. Sejak pulang dari rumah sakit dan berjalan-jalan sebentar di sekitar area mall, rupanya tak membuat mood kesayangan Rafandra itu membaik. Apalagi, saat di resto tadi dirinya bertemu dengan Sonia secara tak sengaja dengan sikap sok centilnya. Seketika hancurlah semua niat dirinya yang ingin bermanja-manja dengan sang suami. "Besok ya. Aku antar ke rumah ibu." Rafandra mencoba bersikap sabar menghadapi ibu hamil yang sering meraung-raung tak jelas seperti Kayana. Persediaan sabarnya harus lebih dari hari biasa. "Terus, kamu nginep di sana enggak?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tega ninggalin aku sendirian kalau malam?" Rafandra menepuk dahinya. Memang serba salah menjawab pertanyaan dari Kayana saat ini. "Aku kan kerja—" "Kalau kamu kerja, memangnya ada larangan tinggal di rumah aku? Kamu jahat, Rafa. Kamu enggak sayang lagi sama aku." Kayana mulai merengek. Air matanya menetes melalui pipinya ya