Share

3. Tatap Aku, Theo!

Melihat sikap Ikosagon yang sudah mau menyentuhnya, membuat Theona memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya pada sang suami. Namun sayangnya, setelah pergelutan panas untuk yang pertama kali, Ikosagon justru mendapati fakta bahwa Theona sudah tidak perawan lagi.

"Bagaimana bisa kau tidak pernah tidur dengan laki-laki lain, sedangkan selaput daramu sudah robek?" tanya Ikosagon dengan nada mengejek.

"Sungguh, aku ... aku tidak seperti yang kau bayangkan, Osa." Theona terlihat ragu-ragu ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi padanya.

"Berhenti mengelak, Theo! Sepertinya keputusanku untuk memiliki anak darimu terpaksa harus dibatalkan dan sampai kapan pun, jangan pernah berharap kalau kau akan mengandung anak dariku." Raut wajah Ikosagon berubah memerah. Bola matanya nyaris melompat keluar hingga menggelinding ke lantai.

Theona hanya bisa menangis. Salahnya tidak mau berkata jujur. Mungkin karena ia takut apa pun yang ia katakan tidak akan membuat suaminya percaya. Jadi, ia lebih memilih diam. Sementara itu, Ikosagon membuka laci di dekat tempat tidur dan meraih sebuah obat.

"Minum obat ini dan jangan pernah berani untuk membuangnya." Ikosagon menyodorkan obat peluruh janin pada Theona, "Kenapa kau diam saja? Cepat telan!" sambungnya geram.

Theona mengangkat kepala dan menatap suaminya dengan air mata yang sudah bercucuran. Kemudian, ia langsung memasukkan obat itu ke dalam mulut. Rasanya sangat pahit, tetapi tidak sebanding dengan pahitnya hidup yang ia alami.

Setelah memastikan Theona meminum obat itu, Ikosagon langsung pergi ke kamar mandi. Ia akan membersihkan diri dan menemui ayahnya.

"Bodoh! Kenapa waktu itu kau harus kabur, Theo?"

Theona memukul dadanya. Ia menyesali perbuatannya di mana ia berusaha kabur ketika akan dinikahkan. Andai ia tahu bukan pria tua yang akan menikahinya. Maka, ia tidak akan berani kabur yang akan menjadikannya penyesalan seumur hidup.

Entah sudah berapa lama, akhirnya Ikosagon keluar. Ia memakai kemeja biru langit dengan celana bahan putih. Pria itu tidak memiliki satu pakaian kasual pun. Jadi meskipun di rumah, ia selalu mengenakan pakaian formal.

"Tunggu!" cegah Theona melihat Ikosagon hendak keluar.

"Ada apa?" tanya Ikosagon dingin. Lirikan matanya pun terlihat sangat tajam, setajam silet.

"Ada hal penting yang ingin aku katakan padamu. Lebih tepatnya, sebuah pengakuan," jelas Theona serius.

Selama Ikosagon sibuk di ruang ganti, Theona memutuskan untuk berkata jujur. Entah bagaimana tanggapan Ikosagon. Entah sang suami akan mempercayainya atau tidak. Ia sama sekali tidak peduli karena ia hanya tidak ingin menyesal di kemudian hari.

"Katakan!" Ikosagon melipat kedua tangannya di dada dan menatap Theona serius.

"Se-sebenarnya ... ak-aku ... alasan selaput daraku robek karena aku diperkosa." Theona mencengkeram selimut kuat-kuat sambil menunduk.

Wanita itu berusaha menyelesaikan kalimatnya secepat mungkin. Membayangkan kejadian buruk itu membuatnya sesak nafas.

"Apa kau bilang? Diperkosa? Hahaha." Ikosagon bertanya dengan nada penasaran, tetapi justru ia tertawa terbahak-bahak.

"Aku serius, Osa." Theona menatap Ikosagon dengan raut kacau.

"Cih! Kau pikir aku akan percaya? Tidak, Theo! Sekali murahan tetap murahan. Bagaimana bisa kau mengarang cerita seperti itu?" ujar Ikosagon geram.

Meski sudah tahu jawaban apa yang akan ia dengar. Namun, tetap saja jantung Theona seperti dihempaskan dari ketinggian. Ia mengangkat kepalanya menatap Ikosagon kecewa. Akan tetapi, tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia hanya bisa membujuk agar sang suami percaya dengan perkataannya.

"Aku serius, Osa. Sumpah demi Tuhan, aku diperkosa dan aku bukan wanita murahan seperti yang kau pikirkan," sanggah Theona menggebu.

"Aku tahu betul tipe-tipe wanita murahan sepertimu. Jadi sekeras apa pun kau menjelaskan, aku tetap tidak akan percaya," kata Ikosagon sinis.

Pria itu bergegas membalikkan tubuhnya dan keluar. Berjalan menuruni anak tangga sambil menatap tubuh ayahnya yang sedang duduk santai di ruang tamu sambil menikmati secangkir teh.

"Pi?" panggil Ikosagon di anak tangga terakhir.

"Apa?" tanya Lakeswara ketus.

"Osa ingin pindah rumah. Boleh?"

Mengetahui kenyataan di mana Theona sudah tidak perawan, membuat Ikosagon mulai berpikir untuk pindah. Ia tidak ingin berpura-pura bersikap baik pada Theona di depan orang tuanya.

"Buat apa? Kau tidak sedang berusaha menghindar dari pantauan papi 'kan, Osa? Kau tahu bukan, meski keluar dari rumah ini, bahkan meski kau bersembunyi di lubang semut sekalipun, kau tidak akan pernah bisa lepas dari pantauan papi," tanya Lakeswara curiga.

"Papi apaan, sih. Bawaannya curigaan terus sama Osa." Pria itu menghempaskan tubuhnya ke sofa.

"Kalau tidak ingin papi curiga, lebih baik kau bertaubat sekarang. Berhenti bermain wanita dan fokus mencintai istrimu. Beri papi dan Mami cucu agar rumah ini tidak sepi lagi," ujar Lakeswara menggebu.

Sejak Ikosagon dan Nonagon tumbuh besar. Sejak Lakeswara benar-benar berhenti mengurus perusahaan. Apalagi sejak Ikosagon mulai sibuk mengurus Polygon Groups dan Nonagon mengurus Candramawafood, rumah selalu terasa sepi.

"Astaga, Papi! Bukankah Papi tahu alasan Osa bermain wanita?" tanya Ikosagon frustasi.

"Papi tahu betul, tapi tidak seharusnya kau melakukan hal itu. Masih banyak hal yang bisa kau lakukan selain bermain wanita," sergah Lakeswara menggebu.

"Oke, Osa mengaku salah dan Osa janji tidak akan pernah melakukannya lagi," janji Ikosagon.

"Memang sudah seharusnya seperti itu. Kau sudah menikah dan kau harus menjadi pria setia. Kau tahu bukan kalau papi paling benci penghianatan? Jadi, jangan coba-coba berkhianat dari Theo." Lakeswara berusaha mengingatkan sang putra agar tetap di jalur yang benar.

Lakeswara sudah sering mengancam. Jika sampai Ikosagon melakukannya, ia tidak akan segan menghapus nama putranya dari daftar keluarga. Ia jamin, sang putra tidak berani melakukan penghianatan suatu hari nanti.

"Kenapa kau diam saja? Apa jangan-jangan kau sudah berencana untuk menghianati Theo?" tuduh Lakeswara curiga.

"Yang benar saja, Pi. Meskipun sebelumnya Osa sering sekali keluar masuk hotel bersama wanita, tapi sekarang sudah tidak lagi. Osa sudah menikah dan tidak berencana untuk melakukannya lagi," sergah Ikosagon jujur.

Ikosagon pikir, untuk apa ia keluar masuk hotel sedangkan ia memiliki istri di rumah yang siap melayaninya. Ya, meskipun ia tahu kenyataannya seperti apa. Namun, ia bertekad untuk tidak akan menyerahkan hatinya pada Theona. Ia sudah memutuskan untuk menyerahkan hatinya pada seseorang.

"Lalu, apa alasanmu meminta pindah?" tanya Lakeswara menatap putranya serius.

"Osa sudah menikah..Papi tidak ingin Theo merasa tidak nyaman, bukan? Tidak ada menantu di luaran sana yang mau tinggal satu atap dengan mertuanya, begitu juga dengan Theo," jelas Ikosagon beralasan. Padahal Theona sama sekali tidak tahu tentang hal itu.

Apa yang Ikosagon katakan memang benar. Di luaran sana, hampir tidak ada yang ingin tinggal bersama mertuanya. Apalagi sampai tinggal di rumah mertuanya.

"Apa Theo benar-benar merasa tidak nyaman tinggal di rumah ini?" tanya Lakeswara ragu.

"Tentu saja," sahut Ikosagon mantap.

"Memangnya kalau papi izinkan, kau akan tinggal di rumah yang mana?" tanya Lakeswara.

Sebenarnya bukan maksud Lakeswara ingin menolak keinginan putranya untuk tinggal di rumahnya sendiri. Ia hanya takut Theona akan diperlakukan dengan tidak baik oleh putranya.

"Osa sama Theo mau tinggal di apartemen saja, Pi. Sudah lama sekali apartemen kosong karena Osa tidak pernah menginap lagi di sana," sahut Ikosagon mantap.

"Tidak bisa. Jika kau mau, tinggal di rumah yang sudah papi sediakan untukmu. Kalau tidak, tetap tinggal di sini saja," tolak Lakeswara tegas.

"Baiklah, Osa tinggal di rumah yang sudah Papi siapkan," balas Ikosagon menyerah.

Lebih baik tinggal di rumah yang sudah ayahnya siapkan daripada tinggal di rumah itu. Pergerakannya tidak akan leluasa karena selalu dipantau.

***

Sore hari, Ikosagon mutuskan untuk pindah. Kedua orang tuanya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena putranya sudah bertekad untuk pindah.

"Ada berapa kamar di rumah ini?" tanya Theona sambil mengedarkan pandangan.

"Yang pasti lebih dari satu kamar," sahut Ikosagon.

Theona mengangguk dan berjalan menaiki anak tangga mengikuti Ikosagon. "Kamarmu di sebelah mana?" tanyanya.

"Ini kamarku," sahut Ikosagon sambil menyentuh gagang pintu.

"Baiklah. Kalau begitu, aku cari kamar yang lain saja," kata Theona sambil melangkah ke samping kiri.

Theona tahu maksud Ikosagon meminta pindah. Pria itu tidak ingin satu kamar dengannya. Jadi, ia harus tahu diri dan mencari kamar lain sebelum diusir sekaligus mempermalukan diri sendiri.

"Tidak perlu. Kita tetap satu kamar saja," balas Ikosagon dingin.

"Kenapa tidak perlu? Bukankah alasanmu meminta pindah karena tidak mau satu kamar denganku?" tanya Theona heran.

"Sudah jangan banyak tanya. Pokoknya kalau aku bilang satu kamar, ya, satu kamar," sergah Ikosagon ketus.

Meskipun sudah pindah, Ikosagon tetap tidak akan pernah bisa lepas dari pengawasan ayahnya. Akan tetapi, ia merasa bisa sedikit lebih leluasa bergerak daripada di rumah orang tuanya.

"Tapi aku tidak mau satu kamar denganmu," kata Theona menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Kenapa tidak mau? Apa kau sengaja ingin membuat Papi tahu dan marah padaku?" tanya Ikosagon curiga.

"Bu-bukan, bukan itu maksud aku," balas Theona terbata.

Melihat keanehan dalam diri Theona membuat Ikosagon melangkah maju dengan raut iblisnya. Sontak, hal itu membuat sang istri ketakutan dan berjalan mundur.

"Kalau bukan, terus apa?" tanya Ikosagon sambil menggertakkan gigi.

Pria itu sama sekali tidak berniat untuk menghentikan langkahnya. Apalagi melihat raut ketakutan di wajah Theona. Rasanya sangat menyenangkan dan pikiran jahat muncul di kepalanya.

"Ak-aku ... aku hanya tidak mau tidur di sofa. Seluruh tubuhku sakit kalau harus tidur di sofa setiap malam. Jadi, biarkan aku tidak di kamar lain saja," sahut Theona sambil menundukkan kepalanya.

Jaraknya yang sangat dekat membuat Theona merasakan hembusan naas Ikosagon. Aroma mint dan hormon pria itu begitu kuat membuatnya lemah. Rasanya ingin melemparkan tubuhnya ke pelukan Ikosagon.

"Apa yang kau lihat di bawah? Aku di sini dan bukan di bawah." Ikosagon menyentuh dagu Theona dan mengangkatnya diiringi cengkeraman kuat. Suaranya yang terdengar sangat dingin membuat Theona semakin ketakutan.

"A-aku ..."

Theona mengangkat kepalanya bertepatan dengan Ikosagon yang menatapnya. Kemudian, ia kembali menundukkan kepalanya dengan tergesa-gesa.

"Tatap mata aku, Theo!" seru Ikosagon.

"Tidak, aku tidak mau," tolak Theona menggeleng cepat.

"Tatap aku atau kau akan menyesal," ancam Ikosagon menatap tajam Theona .

Mendengar ancaman yang Ikosagon lontarkan membuat Theona mengangkat kepala dan menatap manik mata hitam pria itu. Mendadak mereka saling pandang, bahkan tatapan matanya beralih menggerilya di setiap inchi wajah Theona.

"Ada apa denganku?" batin Ikosagon bertanya-tanya.

Jantungnya serasa akan meledak. Debaran di dada semakin lama semakin cepat dan tidak bisa dikendalikan. Dan lagi-lagi, ia menyadari akan perubahan jantungnya setiap kali berdekatan dengan Theona. Sampai sepersekian detik kemudian, ia memiringkan kepalanya dan memejamkan matanya erat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status