Devan menutup pintu mobilnya dengan kedua mata yang terarah pada sosok pria yang duduk di kursi depan rumahnya.
"Nathan!" Devan memanggil si pemilik nama yang tak lain keponakannya itu di atas kursi yang hanya memberikannya senyum tipis.
"Kok di luar? Kenapa tidak masuk?" Devan mengajukan tanya pada Nathan yang berjalan mendekat agar menyalami Omnya tersebut.
"Nathan gak bawa kunci rumah, tadi udah panggil Om sama Fiona, tapi sepertinya gak ada orang jadi Nathan tunggu di luar"
Devan tersenyum tipis dan mengangguk mengerti. "Sepertinya Fiona masih di rumah Gabriel. Ayo masuk dulu! Kamu kenapa tidak menelepon Om kalau mau mampir? Apa sudah lama menunggu di luar?"
Nathan tersenyum singkat dan menggeleng "Belum lama Om, belum ada 10 menit Nathan menunggu"
Devan membuka pintu rumahnya dan menyuruh Nathan untuk masuk.
"Fiona sudah lama di rumah temannya Om?" Nathan meletakan tas yang dibawanya itu ke atas sofa dan mendudukan dirinya di sana, karena memang Nathan baru saja pulang kuliah.
"Dari dia pulang sekolah tadi, sekitar jam 3 sepertinya"
Nathan menganggukan kepalanya dan melihat jam di pergelangan tangannya yang menunjukan pukul 7 malam.
"Mau Nathan jemput Fionanya Om?"
Devan yang baru kembali dari dapur membawa satu botol minuman dingin pada Nathan itu berkerut kening lantas tertawa pelan.
"Dia biasa menginap di sana. Tapi jika kamu mau menjemputnya silahkan, lagi pula besok Fiona juga masih masuk sekolah"
Devan meletakan botol minum dingin di depan Nathan dan mendudukan dirinya di samping keponakannya tersebut. "Minum dulu, rindu sekali dengan Fona sampai datang kemari yang dicari untuk pertama kali Fiona"
Nathan mengambil air yang Omnya beri itu dan membuka tutupnya sebelum ia teguk isi di dalamnya. "Lalu alasan apa lagi yang membawaku datang kemari Om, jika bukan Fiona?"
Nathan tertawa melihat wajah kesal Devan yang hanya tipu muslihatnya, karena Nathan tau tak mungkin Devan merajuk padanya karena ucapannya itu.
"Kamu masih ingat rumah Gabriel?"
Nathan yang sudah bangkit dan membawa kunci motornya itu menganggukan kepalanya menjawab Devan. "Hanya satu dua bulan gak kemari, bukan berarti Nathan pikun Om"
Devan tertawa pelan mendengar ucapan Nathan, pria itu berpamitan dan melenggang keluar dengan ditemani sorot mata Devan yang terus menyorotnya.
Nathan mengeluarkan sepeda motornya, namun belum dia menjalankan kendaraan roda duanya itu, dia melihat sepeda motor lain yang mendekat ke arahnya dan dua orang yang duduk di jok motor dengan salah satunya memeluk erat si pengemudi sudah membuat Nathan tak jadi menyalakan mesin motornya.
Karena yang datang adalah Gabriel serta Fiona.
"Kak Nathan?!!" Dari atas motor, Fiona yang memfokuskan pandangan pada sosok Nathan yang masih duduk di motornya itu segera turun dan melepas pelukannya pada Gabriel untuk ia hampiri Nathan dan memeluk pria besarnya itu.
Nathan menyambut pelukan hangat Fiona meski terhalang motornya. "Kapan datang?! Kenapa gak kabarin Fio?"
"Baru aja datang Fi, ini juga sekalian mau jemput kamu, eh udah pulang"
Bibir Fiona tersungging lebar, ia melepas pelukannya untuk bia menatap wajah Nathan. "Tadinya Gabriel mau temani Fio sampai Papah pulang di rumah, sekalian Gabriel mau ajari tugas Fiona" Nathan mendengus geli, dia tau Gabriel itu adik kelas Fiona namun masih terasa lucu jika dia mendengar Fiona meminta diajari oleh Gabriel meski Nathan tak pungkiri betapa pintarnya Gabriel.
Nathan kini mengalihkan pandangannya pada Gabriel yang belum ia sapa tersebut.
"Hai El"
Gabriel tersenyum tipis dan menyahuti sapaan Nathan. "Hai Kak"
"Kalau begitu masuk yuk, jangan di luar" Nathan kembali memasukan sepeda motornya diikuti Fiona yang berjalan di belakangnya.
"Fio gue balik ya!"
Langkah Fiona terhenti kala mendengar suara Gabriel, Fiona mendekat pada Gabriel yang masih terduduk di motor besarnya.
"Kenapa? Kan kata lo mau ajarin gue?"
"Udah ada Kak Nathan kan? Gue juga harus belajar buat besok"
Fiona mencibirkan bibirnya dan mengangguk singkat "lo hati-hati ya, kabari gue kalo udah di rumah!"
Gabriel tertawa pelan dan mengacak rambut Fiona sebelum dia menyalakan mesin motornya dan menjalankan sepeda roda duanya meninggalkan sosok Fiona di depan rumahnya.
"Mau kemana dia?" Sosok Nathan datang dan berdiri di samping Fiona sembari kedua matanya yang menatap ke jalan dimana sosok Gabriel pergi tadi.
"Gabriel mau pulang, mau belajar katanya. Kenapa dia gak mau belajar bareng kita aja ya Kak?"
Nathan mengangkat kedua bahunya naik ke atas dan lantas ia rangkul Fiona untuk ia ajak masuk ke dalam.
Fiona yang menyamankan di dalam rangkulan Kakak sepupunya itu ikut memanjangkan lengannya untuk memeluk pinggang Nathan. Fiona begitu merindukan Nathan yang sudah lama tak mengunjunginya karena kesibukan pria itu.
Sementara Gabriel yang kembali pulang, merasa pilihannya adalah benar. Karena jujur saja Gabriel tidak terbiasa bersama dengan Kakak sepupu Fiona.
Andai ada Nathan diantara dia dan Fiona otomatis Fiona akan melupakannya dan sibuk dengan Kakak sepupu yang disayangnya itu.
Sedangkan Gabriel tak terbiasa diacuhkan.
"Loh kok pulang? Fiona ditinggal?"
"Udah ada Papahnya" Gabriel menjawab singkat pertanyaan Mamahnya dan kemudian meninggalkan Jesslyn yang duduk di sofa ruang tamunya yang Gabriel tau tradisi Mamahnya untuk menunggu Papahnya pulang.
Gabriel berjalan cepat menuju kamarnya dan lantas menutup pintu kamarnya.
Dia membuka ponselnya dan mengirimkan pesan pada Fiona bahwa dirinya sudah di rumah namun menunggu sampai satu jam lamanya pesannya itu tak dibalas, bahkan dibaca pun tidak.
Gabriel tertawa pelan, dia tau ini akan terjadi.
Fiona tidak akan ingat jika sudah bersama Kakak sepupunya itu, dan entah kenapa Gabriel terkadang tak suka akan hal ini.
***
"Kak Nathan nginap kan?"
Fiona sudah berharap baha Kakak sepupunya itu akan tinggal lebih lama, namun melihat gelengan Nathan membuat wajah sedih Fiona tak bisa dihilangkan.
"Maaf Fio, lain kali Kakak menginap dan temani Fiona. Tapi hari ini tidak bisa, besok Kakak masih ada kuliah pagi"
"Kalau gitu kenapa Kak Nathan datang! Kan waktunya cuman sebentar ketemu Fiona"
Nathan tersenyum tipis dan mengusap kepala Fiona. "Weekend Kakak datang lagi dan ajak Fiona main"
Alasan mengapa Nathan datang meski dirinya sibuk tentunya karena dia rindu pada Fiona. Rindunya yang sudah menumpuk besar tentu harus dibayar, dan Nathan melakukannya. Meski dia sama seperti Fiona yang berat untuk melepas dan pergi.
"Sudah Fio, jangan membuat Nathan jadi bersalah. Besok dia masih bisa datang lagi, jangan kayak anak kecil"
Fiona mengangguk pelan dan melepas genggaman tangannya di tangan Nathan.
"Janji kakak datang lagi ya!"
Nathan mengangguk diiringi senyum manisnya "janji"
Janji yang tak sabar untuk bisa segera Nathan wujudkan.
Setelah Nathan berpamitan pada Omnya serta Fiona dirinya bisa meninggalkan kedua manusia itu untuk kembali ke kostnya.
Setidaknya perasaan rindu yang dia pendam untuk Fiona bisa sedikit terobati.
Fionanya, adiknya sekaligus si pengisi hatinya ....
Ya, Nathan memendam rasa terlarang pada anak dari Omnya itu. Namun dia tak bisa menahan rasa yang berkembang hebat di dadanya semenjak Fiona berumur 5 tahun dulu.
Ya, sudah sangat lama. Nathan bahkan takut dicap pedofil karena menyukai anak di bawah umur.
Dirinya sudah berusaha agar melupakan dan menganggap rasa yang dia punya ini rasa sayang sebagaimana seorang Kakak menyayangi adiknya.
Namun tidak. Nathan menyukai Fiona sebagaimana laki-laki yang menyukai perempuan.
Meski Nathan memendamnya sendiri dan tidak ada orang lain yang tau, Nathan sangat takut andai perasaanya ini diketahui orang atau bahkan keluarganya dan pada akhirnya semuanya akan menjauhkan Fiona darinya.
Nathan membulatkan kedua matanya saat melihat sebuah mobil yang berhenti di depannya, dia menarik rem dengan cepat dan beruntung Nathan tidak menabrak mobil di depannya yang berhenti karena lampu merah.
Terlalu lama melamun membuatnya salah fokus dan hampir menabrak serta mencelakai dirinya.
Nathan mengusap wajahnya dan mencoba membuang Fiona di dalam otaknya.
Inilah yang terjadi ketika dia bertemu Fiona, sekali dia meningggalkan gadis itu dia akan terus terpikir mengenai adiknya itu dan akan membutuhkan waktu lama untuk bisa melupakan.
"Astaga Fiona ... Kamu membuatku gila!"
***
Besoknya, ketika Gabriel tak mendapati pesan dari Fiona, dan mengira bahwa Fiona akan berangkat diantar oleh Kakak sepupunya yang berada di rumah gadis itu pun memilih berangkat sendiri tanpa mampir ke rumah Fiona.
Gabriiel begitu yakin bahwa Fiona memang sudah berangkat dengan Nathan hingga dia tak perlu menjemputnya, jadi Gabriel juga dengan santai mengemudikan sepeda motornya ke sekolah.
Meski di sepanjang jalan pikirannya terus dipenuhi Fiona dan bertanya-tanya apakah gadis itu sudah berada di sekolah atau belum, namun Gabriel terus menghalaunya dan berpikir bahwa Fiona memang sudah berada di sekolah saat ini.
Sampai dirinya tiba di sekolah, tempat yang Gabriel tuju untuk pertama kali itu bukan kelasnya, melainkan kelas Fiona. Dia risau dan khawatir jika benar Fiona belum datang.
"Fiona udah dateng?" Gabriel bertanya pada dua orang teman kelas Fiona yang baru saja keluar kelas. Gadis itu melihat ke dalam kelasnya lalu memberi gelengan pada Gabriel.
"Lagi lo salah kalo tanya pertanyaan itu ke kita, setiap hari kan Fiona bareng lo kenapa tanya gitu?"
Saat teman Fiona itu menyerukan kalimat bertanya serta bingungnya pun membuat Gabriel kembali digelungi rasa gundah.
Apa Fiona masih berada di rumahnya?
Gabriel mengeluarkan ponselnya hanya untuk memeriksa pesan dari Fiona, dan benar saja ada 7 panggilan tak terjawab dari Fiona serta puluhan pesan dari gadis itu yang menanyakan keberadaan dirinya.
Gabriel memaki dirinya dan menyadari bahwa Fiona tak diantar Kakak sepupunya. Dengan langkah cepat Gabriel turun melalui tangga sembari menekan voice note yang Fiona kirimkan padanya.
'Gabriel!!! Lo dimana? lo gak sekolah atau lo emang gak jemput gue?!'
'Gabriel ini udah jam 7! Gue bisa telat loh!!'
'Ihhh gue beneran terlambat ini!'
'Gabriel gue marah sama lo ya, kalo emang lo ninggalin gue!'
'Papah gue udah berangkat ke kantor masalahnya! Gue harus naik apa Gabriel?!!'
Pada pesan suara terakhir yang Fiona katakan, Gabriel bisa mendengar bahwa Fiona menangis karena mendengar isakannya.
Langkah Gabriel makin cepat menuju parkiran sekolah, dia merasa bersalah karena sudah meninggalkan Fiona di rumah gadis itu. Sungguh, Gabriel pikir Fiona akan diantar oleh Kakak sepupunya itu.
"Mau kemana kamu? Kamu gak dengar bel udah bunyi? Masuk ke kelas!" Sayangnya belum Gabriel tiba di parkiran motor, salah satu penjaga sekolahnya menahan dia untuk tak memasuki parkiran.
"Pak saya harus jemput teman saya, dia bisa terlambat!"
"Gak ada alasan, kamu masuk biar temanmu itu jadi urusan Bapak"
"Gak bisa Pak, saya harus keluar!"
"Peraturannya sudah tertulis jelas di sini! Setiap murid yang sudah di sekolah tidak dapat meninggalkan sekolah jika tidak ada surat izin! Masuk atau mau bapak laporkan ke guru piket?" Sekuriti sekolahnya tu menunjuk satu pengumuman yang tertempel di dinding dekat parkiran sekolahnya membuat desah napas Gabriel terdengar.
"Pak tolong, saya harus keluar, sebentar aja!"
"Minta sura izin lalu beri pada Bapak, baru akan Bapak izinkan"
Gabriel mengacak rambutnya kesal dia tau meminta surat izin pun akan percuma guru piketnya tidak akan dengan mudah memberikan izin tersebut padanya, dia melihat ke gerbang dan berharap Fiona datang menggunakan Ojek online ataupun taksi yang biasa mangkal di depan perumahan mereka.
***
Fiona yang sudah menangis di depan rumahnya karena jam yang menunjukan pukul 8 siang dan sudah pasti membuatnya terlambat ke sekolah itu bingung bagaimana caranya dia untuk berangkat ke sekolah.
Fiona sudah biasa diantar jemput oleh Gabriel ataupun Papahnya dan tak pernah ia memesan ojek ataupun menaiki taksi.
Kini karena tak mendapat balasan pesan dari Gabriel yang hanya pria itu baca semua pesannya, Fiona memilih menghubungi Nathan, sepupunya yang berkuliah di kota yang sama dengan tempat tinggalnya meski jaraknya bisa terbilang sedikit agak jauh.
Namun Fiona bingung untuk menghubungi siapa lagi, jika dia bolos takut memengaruhi nilainya, dan Fiona tak mau bolos dengan alasan terlambat.
"Kak Nathan!!" Fiona memanggil kakak sepupunya itu yang ia bujuk sekuat tenaga untuk datang dan mengantarnya meski pria itu ada kuliah pagi tetap Nathan turuti untuk menjemput Fiona.
"Kenapa nangis?" Nathan mengusap air mata Fiona yang masih meluruh di kedua matanya.
"Fiona telat! Gabriel tinggalin Fiona!"
Nathan tersenyum geli melihat wajah Fiona yang sudah memerah. "Yaudah gak usah nangis, ayo Kakak antar"
"Tapi Fiona udah terlambat, pasti gak diizinin masuk juga ..."
"Kakak yang bilang sama guru piket kamu nanti, ayo naik dan jangan nangis" Nathan mengusap air mata Fiona dan menyerahkan helm di atas motornya untuk dipakaikan pada Fiona.
Fiona pun segera menaiki motor Nathan dan memeluk erat pria di depannya ini, membuat Nathan berdehem dan mencoba mengabaikan detak jantungnya yang berdebar begitu keras.
Nathan berusaha kuat agar terus fokus pada jalanan di depannya hanya karena merasakan bagaimana eratnya Fiona memeluknya.
Setelah mengatur napasnya, Nathan mulai menjalankan motornya an menuju ke sekolah Fiona.
Dia bahkan harus izin untuk tidak ikut kelas hanya untuk mengantar Fiona.
Fiona meneleponnya dengan menangis tadi, Nathan khawatir dan jadilah dia harus pergi menemui Fiona karena perasaan, otak, serta hatinya menyuruhnya untuk menemui Fiona.
Setibanya di sekolah Fiona, Nathan menggandeng tangan Fiona untuk ke meja piket dan menjelaskan mengapa Fiiona terlambat.
Untunglah alasan yang Nathan buat dapat dipercaya oleh guru piket tersebut, dan Fiona dapat masuk ke kelas tanpa hukuman atau sanksi apapun.
"Kak Nathan terbaik! Makasih udah nolongin Fiona!" Adalah ucapan Fiona saat kakaknya mengantar dia sampai ke kelasnya. Di sepanjang koridor serta depan kelasnya sudah sangat sepi murid karena memang ini jamnya belajar.
"Apapun buat kamu Fiona!"
"Kak Nathan memang Kakak terbaik yang Fiona punya! Terimakasih ya Kak!"
Nathan tersenyum tipis lantas mengangguk pelan, "masuk sana ke kelas!" Suruh Nathan pada Fiona yang mengangguk dan melambaikan tangannya pada Nathan sebelum gadis itu menghilang dari pandangannya.
Senyum di bibir Nathan perlahan sirna, ucapan terakhir Fiona terngiang di telinganya.
Sampai kapanpun dirinya hanya akan dianggap kakak oleh gadis itu dan tidak lebih, kenyataan itu melukainya dan menghancurkan hatinya.
TBC...
"Fiona lo ke sekolah naik apa?" Gabriel mendekati Fiona yang baru keluar dari kelasnya untuk istirahat, namun Fiona yang merajuk serta marah pada Gabriel memilih mengacuhkannya dan tak menganggap kehadiran Gabriel di sisinya.Fiona sibuk dengan teman-temannya dan mengabaikan Gabriel yang terus mendekatinya."Lo marah sama gue? Gue minta maaf gue pikir lo berangkat sama Kakak sepupu lo!" Gabriel yang tak suka Fiona mengacuhkannya itu menarik tangan gadis itu agar Fiona menatapnya .Apa yang dilakukannya memang berhasil menghentikan langkah Fiona dan membuat gadis itu memberikannya tatapan tajam serta marah. "Gue masih marah sama lo ya El! Jangan panggil atau ngomong sama gue dulu!"Fiona melepas kasar cengkraman Gabriel di tangannya dan kemudian kembali mengajak teman-temannya untuk meninggalkan Gabriel sendiri di lorong lantai dua itu."Wihh ada yang marahan nih!" Sebuah suara dari belakang tubuhnya serta rangkulan Gab
"Fiona gak mau tau!! Papah sudah janji mau bawa Fiona pergi ke tempat yang banyak jajannya!! Ayo Papah!"Gadis kecil yang rambutnya dikuncir dua itu tampak terus merengek di depan sang Papah yang tengah sibuk mengerjakan laporan kerjanya. Pak Devan, Papah dari gadis bernama Fiona ini nampak menghela napasnya perlahan melihat rengekan sang putri kecil yang terus meraung di dekat meja kerjanya."Sayang, Fiona lihat kan Papah sedang bekerja nak, Sama Nenek dulu ya ... Fiona ke supermarket sama Nenek, beli apapun yang Fiona suka--""Papah Janji hari minggu mau pergi sama Fiona, tapi kenapa sekarang bohong?!! Fiona maunya sama Papah!! Sama Papah!!"Dan pecahlah tangis anak berusia 4 tahun itu dengan kuatnya. Membuat Devan yang melihat sang putri menangis justru memijat keningnya kala pening menghampiri. "Fiona, Papah harus bekerja-""Papah selalu bekerja ... Papah gak pernah ada waktu buat Fiona!! Papah gak pernah main sama Fiona!!"&nb
"Fiona bilang apa! Tidak boleh begitu" Neneknya itu nampak terlihat sungkan pada Jesslyn yang terlihat sama tak enaknya. "Maaf ya, Fiona hanya bicara asal"Jesslyn menggeleng "tidak perlu meminta maaf, saya juga tidak masalah kok." Jesslyn tersenyum tipis dan berjongkok di dekat tubuh Fiona."Fiona sayang, lain kali ya Tante Jess main ke rumah Fiona" Jesslyn mengusap rambut Fiona yang dikuncir itu dengan lembut."Tapi kenapa? Fiona masih mau bersama Mamah--""Fiona!" Neneknya nampak menegur dan Fiona tak menghiraukannya, pandangan gadis kecil itu masih terfokus pada Jesslyn. "Besok kita masih bisa bertemu di sini lagi Fiona""Janji? Besok, Mamah datang lagi ke sini?"Jesslyn mengangguk pelan "Ya, Tante janji akan datang di jam yang sama"Fiona tersenyum senang dan memeluk Jesslyn erat "Fiona senang sekali, Fiona juga janji akan datang bersama Papah!" Neneknya yang berdiri di dekat sang cucu hanya menghela napas pelan dan terseny
"Papah!!, ayo katanya mau pergi" Fiona sejak bangung pagi tadi pukul 6, tak henti mengingatkan sang Papah untuk pergi ke swalayan yang berada di dekat komplek perumahan mereka.Tak hentinya Fiona mengatakan bahwa dia tak sabar untuk bertemu Mamah barunya."Sabar sayang, Papahmu sedang mandi" Neneknya yang keluar dari dapur setelah membantu satu asisten rumah tangannya membuat sarapan itu memilih menemani Fiona yang tak henti meneriaki Papahnya agar mereka segera pergi.membutuhkan waktu 20 menit menunggu Papahnya itu selesai membersihkan dirinya dari dalam kamar mandi."Papah sangat lama!" Fiona bersidekap kesal menatap Devan yang hanya terkekeh melihat Fiona yang menggembungkan pipinya kesal."Fiona, Papahmu kan harus tampil menawan untuk mengambil hati calon mamah barumu"Neneknya itu berbisik di telinga Fiona yang mampu Devan ikut dengar, karena dari pada berbisik Ibunya itu lebih tepat se
13 Tahun kemudian ..."Sejak kelas 5 SD, dia bahkan sudah mengikuti kelas akselerasi dan saat dia kelas 8, dia bahkan diangkat menjadi ketua osis, lalu sekarang dia terpilih jadi kapten tim basket SMA Galaxi, keren banget gak sih?"Dua orang siswi yang mendengar ocehan temannya itu hanya memutar bola matanya malas karena mereka selalu mendengar cerita ini setiap kali temannya itu bercerita.Fiona, gadis ini sering kali memuji Gabriel yang tak lain adik kelas mereka yang kini berada di kelas 10 MIPA 2 dan baru saja diangkat menjadi kapten basket karena permainannya yang begitu menakjubkan."Oke Fio, lo udah cerita hal itu ke kita dan sering banget lo ulang-ulang itu ... Kita paham lo itu suka sama Gabriel-""Enggak! Siapa bilang gue suka! Gue kagum sama sahabat baik gue!"Fiona membantah ucapan temannya itu, meski jantungnya berdebar karena ucapan suka yang