13 Tahun kemudian ...
"Sejak kelas 5 SD, dia bahkan sudah mengikuti kelas akselerasi dan saat dia kelas 8, dia bahkan diangkat menjadi ketua osis, lalu sekarang dia terpilih jadi kapten tim basket SMA Galaxi, keren banget gak sih?"
Dua orang siswi yang mendengar ocehan temannya itu hanya memutar bola matanya malas karena mereka selalu mendengar cerita ini setiap kali temannya itu bercerita.
Fiona, gadis ini sering kali memuji Gabriel yang tak lain adik kelas mereka yang kini berada di kelas 10 MIPA 2 dan baru saja diangkat menjadi kapten basket karena permainannya yang begitu menakjubkan.
"Oke Fio, lo udah cerita hal itu ke kita dan sering banget lo ulang-ulang itu ... Kita paham lo itu suka sama Gabriel-"
"Enggak! Siapa bilang gue suka! Gue kagum sama sahabat baik gue!"
Fiona membantah ucapan temannya itu, meski jantungnya berdebar karena ucapan suka yang dikatan temannya mampu merasuki hatinya.
"Iyaudah, lo kagum dan terus-terusan ngulang cerita lo tentang Gabriel ke kita, bosen tau gak sih Fi dengernya. Dahlah, kantin yuk laper nih"
Fiona menggeleng, menolak ajakan temannya "gue absen deh, bawa bekal" ujarnya sembari menunjuk tas miliknya.
"Okedeh, gue sama Rina ke kantin ya"
Fiona mengangguk dan melambai pada kedua temannya yang meninggalkan dia sendiri di kelasnya.
Fiona mengeluarkan tas bekalnya dan mengeluarkan dua kotak makan miliknya. Yang akan ia beri untuk Gabriel dan makan bersama.
Hal ini sudah sering mereka lakukan sejak masa sekolah dasar, untuk menghindari kerumunan para wanita yang berebut untuk dekat dengan Gabriel.
Setelah siap, Fiona bangkit dari bangkunya dan berjalan menuju gedung kelas 10 dan mencari kelas Gabriel.
Tak susah karena Fiona sering datang ke sini hingga siswa-siswi yang melihatnya pasti mengerti siapa orang yang dia cari.
"Kak Fio? Cari Gabriel ya Kak?"
Fiona menoleh pada seorang gadis berambut ikal yang ia kenal bernama Mawar, dia adalah ketua kelas di kelas Gabriel.
"Iya, dia di kelas?"
Mawar menggeleng "Gabriel pergi setelah bel istirahat bunyi tadi, sepertinya ke ruang basket"
"Oh begitu ya? Yaudah thanks ya"
Fiona kembali turun dari ke bawah dan harus berjalan menuju ruang ekskul yang berada jauh dari gedung sekolah.
Dia sebenarnya malas jika harus pergi ke ruang basket, karena di sana banyak sekali wanita yang mencuri pandang pada anak-anak basket yang Fiona akui memang menarik mata untuk memandang.
Meski tak ada yang bisa mengalahkan pesona Gabriel.
Fiona tiba di lapangan basket indoor dan tersenyum saat sosok yang dicarinya akhirnya ia temukan. Namun melihat Gabriel yang menerima air dari serang gadis dari kelas 10 membuat Fiona mencibirkan bibirnya kesal.
Tak mau menunggu lama, Fiona berlari menuju Gabriel dan menarik botol air mineral di tangan Gabriel sebelum ia kembalikan pada si adik kelas yang membulatkan matanya melihat dia.
"Maaf ya, Gabriel alergi sama minuman kemasan botol seperti itu!" Fiona memberikan senyumnya yang nampak menyebalkan bagi gadis yang perasaannya dibanting oleh Fiona saat dirinya sudah senang saat Gabriel mau menerima minumnya.
Fiona menarik tangan Gabriel menuju kursi penonton yang jauh dari orang-orang.
"Kebiasaan" Gabriel menjentikan jarinya di kening Fiona saat mereka sudah duduk di kursi penonton.
Fiona mendesis sakit dan mengusap keningnya sembari kedua matanya ia pelototkan pada Gabriel.
"Sakit! Lagian gue juga ngelakuin itu buat lo, gue menjaga amanat Mamah Jess buat jagain lo, dan gue lakukan itu"
Gabriel berdecih pelan dan matanya fokus pada bekal yang ada di pangkuan Fiona.
"Itu apa?"
Fiona melirik bekalnya dan membuka satu kotak yang lansung ia beri pada Gabriel. "Nasi goreng, pagi tadi gue telat bangun jadi gak bisa buat macem-macem, gapapa kan?"
Gabriel mengangguk dan lantas menyuap makanan di kotak bekal pemberian Fiona.
"Sore nanti, lo pulang duluan aja ya. Gue ada latihan"
Fiona yang ikut membuka bekalnya menatap Gabriel sejenak sebelum ia beri gelengan pelan.
"Gak! Gue tungguin lo sampe selesai"
Gabriel menaikan alisnya, tak percaya dengan apa yang Fiona katakan. "Yakin? Lo kan gak suka nunggu lama-lama dan gue bakal pulang kurang lebih jam 5 sore nanti"
Fiona mengangguk kuat "iya yakin! Gue gak mau lo bonceng cewek lain!"
Fiona masih kesal jika mengingat minggu lalu saat dia memilih pulang duluan dan saat sedang bersama Gabriel di kantin ada seorang siswi kelas 10 yang berterimakasih pada Gabriel karena sudah mengantarnya dan memberikan pria itu sebatang coklat dengan pita di atasnya.
Kesal yang Fiona rasakan dan Gabriel hanya bisa tertawa akibat tingkah berlebihan yang Fiona beri.
"Kan gue udah jelasin, dia gak dijemput supir, rumahnya jauh karena kasihan jadinya gue anter"
Fiona berdecak sebal dan menatap Gabriel dengan pandangan kesalnya "emang yang bawa kendaraan lo doang? Lagian dia juga bisa pesan ojek online, itumah emang modusnya mau dianter sama lo!"
Gabriel berdecak pelan dan mengacak rambut Fiona gemas "udahlah biarin aja"
Fiona mendengus pelan dan melanjutkan makannya meski perasaan kesalnya masih melingkupi jika mengingat gadis yang Gabriel boncengi itu.
Fiona yakin gadis itu akan berekspetasi tinggi dan berharap hari ini akan mengalami hal yang sama, dan akan Fiona pastikan itu tak terjadi.
***Nyatanya?
Menunggu itu memang tak menyenangkan.
Fiona berkali-kali menutup mulutnya saat kuap melanda. Dia menahan kantuk padahal baru menunggu satu jam.
Mencoba bertahan dengan tetap terjaga dan menyaksikan bagaimana Gabriel yang bermain dengan begitu lincah, namun tak membuatnya terpukau karena Fiona benar-benar mengantuk.
"Kak, kalau ngantuk lebih baik pulang"
Fiona sontak membuka kedua matanya dan menatap adik kelasnya yang berbicara padanya. Kedua matanya sontak membulat mengingat siapa gadis di depannya ini. Ya, dia orang yang sama yang memberikan Gabriel coklat dan berterimakasih pada Gabriel karena telah mengantarnya.
Kantuknya kini menghilang dan Fiona dengan pandangan malas serta kesalnya menatap gadis yang bernametag Liza tersebut. "Lo sendiri tunggu apa? Bukannya pulang"
Adik kelasnya yang mendengar ucapan Fiona hanya mampu tertawa pelan dan menggeleng "gue lagi tunggu jemputan Kak"
Fiona mendengus dan bersidekap dan tak lepas menunjukan ekspresi kesalnya pada adik kelasnya tersebut. "Nunggu jemputan? Atau tunggu Gabriel nganter lo pulang? Gausah mimpi kalo Gabriel bakal nganterin lo lagi!"
Fiona nampak puas melihat wajah memerah adik kelasnya itu. Dia memilih pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahnya untuk menghilangkan sisa kantuk di sana.
Sekembalinya Fiona ke lapangan basket, nampaknya Gabriel masih lama karena masih berkumpul dengan teman-teman dan pelatih pria itu.
Fiona juga tak lagi melihat adik kelasnya tadi, kini hanya tinggal dia yang menunggu sendirian.
Fiona mengambil ponselnya dan memilih mendengarkan musik melalui earphone yang dibawanya.
Tak lama, kantuknya kembali dan Fiona memilih mendengarkan lagu sambil memejamkan kedua matanya, tanpa sadar dia jatuh dalam tidurnya.
Fiona merasakan seseorang menepuk pipinya perlahan dan mengapit hidungnya hingga ia tak bisa bernapas dan membuka paksa kedua matanya.
Ia melihat bagaimana wajah Gabriel yang menahan tawa karena berhasil mengerjainya. "Ih rese!" Gabriel tertawa saat Fiona mengusap hidungnya.
"Yuk pulang"
Fiona melirik sekitarnya dan menyadari bahwa lapangan basket di depannya sudah kosong "sudah selesai?" Gabriel mengangguk menjawab tanya Fiona. "Tidur lo terlalu pulas, sampe gak tau kalo udah selesai latihan"
"Gue pake earphone gak kedengeran lah!" Fiona menunjukan earphone di tangannya di hadapan wajah Gabriel sebelum dia masukan benda tersebut ke dalam tasnya.
"Yaudah yuk pulang, capek juga nungguin lo selesai ekskul"
Gabriel tertawa dan mengacak rambut Fiona gemas "lagian maksa mau tungguin"
"Biar gaada yang genit sama lo!"
Gabriel hanya menganggukkan kepalanya dan berjalan terlebih dahulu meninggalkan Fiona yang berusaha menjajarkan langkahnya.
***
Gabriel menghentikan motornya di halaman rumahnya. Dia membawa turut Fiona mampir ke rumahnya, karena gadis itu yang hanya sendirian di rumah.
Tadi Gabriel mendapat pesan dari Papah Devan, Papah Fiona yang menitipkan Fiona di rumahnya sampai nanti dirinya yang menjemput karena Neneknya Fiona yang tengah berada di rumah om Fiona dan rumah mereka kosong.
Daripada Fiona harus tinggal sendiri lebih baik Fiona bersama keluarga Gabriel yang sudah mereka anggap sebagai sodara sendiri.
"Mamah Jess masak apa ya?"
Fiona melepaskan helm di kepalanya dan menyerahkan benda tersebut pada Gabriel. "Entah, mungkin bakso lagi, Mamah belakangan ini suka banget masak bakso"
Fiona terkekeh pelan dan masuk duluan meninggalkan Gabriel yang meletakan helm di atas rak di garasi rumahnya.
"Mamah Jesslyn?"
Fiona masuk dan memeluk tubuh wanita dari belakang yang sudah ia anggap layaknya Mamahnya sendiri itu. Jesslyn yang tengah memasak di sebuah panci besar itu mengusap tangan Fiona yang membelit perutnya.
"Pasti bakso lagi?"
Gabriel masuk dari halaman belakang yang terhubung pada dapur rumahnya, lantas memberikan tanya pada sang Mamah yang hanya memberikan senyum lebarnya. "Papahmu suka makanan ini El, jadi Mamah masak untuknya" saat mengucap itu bibir Jesslyn tak melunturkan senyumnya membuat Gabriel memutar matanya malas.
"Tapi setiap hari Mamah masak itu, memang tidak bosan?"
Fiona hanya terkekeh menyaksikan ibu daan anak yang tengah berdebat dari meja makan, dan memakan apel yang ada di sana.
"Papahmu tidak bosan tuh"
Gabriel menghela napasnya pelan dan melenggang, dia tau orangtuanya itu masih saling mencintai dengan dalam dan terkadang tak menyembunyikan perasaan cintanya hingga membuatnya muak, namun dengan begitu dia bahagia karena orangtuanya yang selau harmonis meski kadang menjengkelkan karena tak pernah menutupi keromantisan darinya.
Fiona tertawa melihat wajah keruh Gabriel saat meninggalkan dapur.
"Fiona suka bakso kok Mah"
Jesslyn tertawa mendengar ucapan Fiona.
"Mamah tuh cinta banget sama Om Arion ya?"
Jesslyn yang tengah mengaduk kuah baksonya lantas mematikan kompornya saat air di dalam panci tersebut mulai mendidih sebelum ia menjawab tanya Fiona.
"Sangat" Fiona tertawa melihat wajah memerah Jesslyn yang tak bisa disembunyikan.
"Sikap Gabriel dan Papahnya itu sama ya? Dulu saat Mamah mencoba menaklukan hati Om Arion itu bagaimana?"
Jesslyn tertawa pelan dan menggeleng "kamu masih kecil, mau tau aja"
Fiona menggeleng pelan dengan senyum gelinya "hanya penasaran, kan Mamah pernah cerita kalo buat Om Arion jatuh cinta itu sulit, apa sifat Gabriel itu menurun dari Papahnya?"
Jessln memutar tubuhnya dan menatap pada Fiona dengan tatapan menggodanya membuat Fiona gugup dan membuang pandang karena tatapan Jesslyn.
"Kamu suka sama Gabriel ya?"
"Enggak! Fiona gak suka kok"
Jesslyn tertawa pelan dan menyandarkan kedua tangannya pada meja makan di depannya sembari matanya masih memperhatikan Fiona.
"Gabriel dan Papahnya sedikit berbeda, jika Arion memiliki sifat keras kepala dan begitu arrogant, sangat sulit untuk membuat dia luluh pada awalnya. Jika Gabriel, dia menuruni sifat tak tega milikku hingga hatinya pasti lebih lembut dibanding Papahnya, jadi kalau kamu memang serius suka sama Gabriel, sentuh hatinya dulu"
Jesslyn membisikan kata-kata terakhirnya membuat wajah Fiona memerah malu. "Enggak Mah, Fiona tidak menaruh perasaan sama Gabriel!"
Fiona membuang pandang saat mendengar tawa Jesslyn yang terdengar tak percaya pada ucapannya.
Ayolah, seharusnya dia bisa meyakinkan Jesslyn jika dia memang tak menaruh rasa apapun terhadap anaknya namun mengapa wajahnya memerah yang hanya membuktikan apa yang diucapkan Jesslyn benar?
TBC...
Devan menutup pintu mobilnya dengan kedua mata yang terarah pada sosok pria yang duduk di kursi depan rumahnya."Nathan!" Devan memanggil si pemilik nama yang tak lain keponakannya itu di atas kursi yang hanya memberikannya senyum tipis."Kok di luar? Kenapa tidak masuk?" Devan mengajukan tanya pada Nathan yang berjalan mendekat agar menyalami Omnya tersebut."Nathan gak bawa kunci rumah, tadi udah panggil Om sama Fiona, tapi sepertinya gak ada orang jadi Nathan tunggu di luar"Devan tersenyum tipis dan mengangguk mengerti. "Sepertinya Fiona masih di rumah Gabriel. Ayo masuk dulu! Kamu kenapa tidak menelepon Om kalau mau mampir? Apa sudah lama menunggu di luar?"Nathan tersenyum singkat dan menggeleng "Belum lama Om, belum ada 10 menit Nathan menunggu"Devan membuka pintu rumahnya dan menyuruh Nathan untuk masuk."Fiona sudah lama di rumah temannya Om?" Nathan meletakan tas yang dibawanya itu ke atas sofa
"Fiona lo ke sekolah naik apa?" Gabriel mendekati Fiona yang baru keluar dari kelasnya untuk istirahat, namun Fiona yang merajuk serta marah pada Gabriel memilih mengacuhkannya dan tak menganggap kehadiran Gabriel di sisinya.Fiona sibuk dengan teman-temannya dan mengabaikan Gabriel yang terus mendekatinya."Lo marah sama gue? Gue minta maaf gue pikir lo berangkat sama Kakak sepupu lo!" Gabriel yang tak suka Fiona mengacuhkannya itu menarik tangan gadis itu agar Fiona menatapnya .Apa yang dilakukannya memang berhasil menghentikan langkah Fiona dan membuat gadis itu memberikannya tatapan tajam serta marah. "Gue masih marah sama lo ya El! Jangan panggil atau ngomong sama gue dulu!"Fiona melepas kasar cengkraman Gabriel di tangannya dan kemudian kembali mengajak teman-temannya untuk meninggalkan Gabriel sendiri di lorong lantai dua itu."Wihh ada yang marahan nih!" Sebuah suara dari belakang tubuhnya serta rangkulan Gab
"Fiona gak mau tau!! Papah sudah janji mau bawa Fiona pergi ke tempat yang banyak jajannya!! Ayo Papah!"Gadis kecil yang rambutnya dikuncir dua itu tampak terus merengek di depan sang Papah yang tengah sibuk mengerjakan laporan kerjanya. Pak Devan, Papah dari gadis bernama Fiona ini nampak menghela napasnya perlahan melihat rengekan sang putri kecil yang terus meraung di dekat meja kerjanya."Sayang, Fiona lihat kan Papah sedang bekerja nak, Sama Nenek dulu ya ... Fiona ke supermarket sama Nenek, beli apapun yang Fiona suka--""Papah Janji hari minggu mau pergi sama Fiona, tapi kenapa sekarang bohong?!! Fiona maunya sama Papah!! Sama Papah!!"Dan pecahlah tangis anak berusia 4 tahun itu dengan kuatnya. Membuat Devan yang melihat sang putri menangis justru memijat keningnya kala pening menghampiri. "Fiona, Papah harus bekerja-""Papah selalu bekerja ... Papah gak pernah ada waktu buat Fiona!! Papah gak pernah main sama Fiona!!"&nb
"Fiona bilang apa! Tidak boleh begitu" Neneknya itu nampak terlihat sungkan pada Jesslyn yang terlihat sama tak enaknya. "Maaf ya, Fiona hanya bicara asal"Jesslyn menggeleng "tidak perlu meminta maaf, saya juga tidak masalah kok." Jesslyn tersenyum tipis dan berjongkok di dekat tubuh Fiona."Fiona sayang, lain kali ya Tante Jess main ke rumah Fiona" Jesslyn mengusap rambut Fiona yang dikuncir itu dengan lembut."Tapi kenapa? Fiona masih mau bersama Mamah--""Fiona!" Neneknya nampak menegur dan Fiona tak menghiraukannya, pandangan gadis kecil itu masih terfokus pada Jesslyn. "Besok kita masih bisa bertemu di sini lagi Fiona""Janji? Besok, Mamah datang lagi ke sini?"Jesslyn mengangguk pelan "Ya, Tante janji akan datang di jam yang sama"Fiona tersenyum senang dan memeluk Jesslyn erat "Fiona senang sekali, Fiona juga janji akan datang bersama Papah!" Neneknya yang berdiri di dekat sang cucu hanya menghela napas pelan dan terseny
"Papah!!, ayo katanya mau pergi" Fiona sejak bangung pagi tadi pukul 6, tak henti mengingatkan sang Papah untuk pergi ke swalayan yang berada di dekat komplek perumahan mereka.Tak hentinya Fiona mengatakan bahwa dia tak sabar untuk bertemu Mamah barunya."Sabar sayang, Papahmu sedang mandi" Neneknya yang keluar dari dapur setelah membantu satu asisten rumah tangannya membuat sarapan itu memilih menemani Fiona yang tak henti meneriaki Papahnya agar mereka segera pergi.membutuhkan waktu 20 menit menunggu Papahnya itu selesai membersihkan dirinya dari dalam kamar mandi."Papah sangat lama!" Fiona bersidekap kesal menatap Devan yang hanya terkekeh melihat Fiona yang menggembungkan pipinya kesal."Fiona, Papahmu kan harus tampil menawan untuk mengambil hati calon mamah barumu"Neneknya itu berbisik di telinga Fiona yang mampu Devan ikut dengar, karena dari pada berbisik Ibunya itu lebih tepat se