**Apa itu?Inara menatap nyalang Gavin yang belum sadar bahwa dirinya ada di sana. Ia tidak tahu bagaimana menyebut rasa yang saat ini berkecamuk dalam hatinya, namun yang jelas, ia tidak suka melihat Gavin seperti itu. Perempuan dengan baju kurang bahan yang berada di sana seperti tampak bangga dan justru sepenuh hati menyerahkan diri kepada sang CEO.Itu memuakkan, sungguh. Inara membayangkan dirinya berjalan mendekat dan menarik rambut si gadis jalang sampai tercerabut lepas dari kulit kepalanya serta melemparnya menjauh dari Gavin. Tapi hal itu jelas hanya terjadi dalam bayangannya saja.“Kenapa hanya berdiri di sana? Masuklah, kamu mencari Gavin, kan?”Inara terkesiap, baru sadar jika ada seseorang di balik pintu yang menunggu dirinya masuk. Perempuan itu ragu-ragu. Mengerling lelaki yang masih menampakkan senyum menyebalkan.“Ap-apa Pak Gavin sedang sibuk?” Inara menyesali pertanyaannya, sebab hal seperti itu seharusnya sudah tidak perlu lagi dipertanyakan. Terlihat jelas bahw
**“Pak Gavin, lepaskan saya!”Inara menyentakkan tubuhnya lepas dari kungkungan Gavin. Shock, perempuan itu menutupi bibirnya yang terasa perih dengan telapak tangan.“Bisa-bisanya Pak Gavin lakukan itu!”Namun, agaknya percuma saja perempuan itu marah-marah. Sebab Gavin sepertinya sama sekali tidak sadar. Ia mengeluh pelan, berguling di atas sofa kemudian diam dengan mata terpejam erat dan desir napas teratur. Tuan Direktur itu tertidur lelap. Sama sekali mengabaikan Inara yang berdiri tertegun dengan bibir bengkak dan sedikit berdarah.“Dia mabuk,” gerutu Inara pelan. Menatap sengit ke arah Gavin dengan perasaan penuh dendam. Ingin rasanya ia mengguyur pria itu dengan seember air, tapi sebaiknya tidak usah.“Aku pulang saja. Memang ini salahku, segala mengkhawatirkan lelaki semacam Gavin. Seharusnya aku sadar, diriku sendiri yang perlu dikhawatirkan bukannya dia.”Perempuan itu berbalik dan seketika langkahnya membeku. “Dari tadi pintunya kebuka lebar begini, kah?”Benar, pintu apa
**Gavin tidak jadi sarapan. Ia buru-buru menutup kembali ponselnya dan beralih memandang Inara yang saat itu tengah menatapnya penuh rasa khawatir. Dan meninjau dari seperti apa sikap perempuan ini, Gavin yakin sekali Inara tidak –belum– tahu tentang video yang baru saja ia tonton dan mungkin saat ini membuat gempar jagat maya. “Aku berangkat ke kantor sekarang,” tegasnya seraya beranjak dari kursi meja makan.“Pak, tapi anda belum makan apa-apa,” cegah Inara. Perempuan itu yakin sekali ada yang tidak beres dengan sang CEO ini.“Nggak perlu. Ingat kata-kataku tadi, Inara. Jangan kelayapan keluar rumah. Telepon aku kalau ada apa-apa.”Dan laki-laki itu berlalu, menjauh dari pandangan. Meninggalkan Inara sendirian yang menggerutu sebal.“Jangan kelayapan-jangan kelayapan, cara ngomongnya udah kayak aku ini perempuan yang hobinya berkeliaran malam-malam kayak kuntilanak begitu. Sebentar baik, sebentar ketus. Orang aneh!” “Mama, Om kenapa?” Pertanyaan Aylin membuat fokus Inara kembali.
**“Apa yang akan Mami lakukan? Dia nggak akan mendatangi Inara ke rumah lagi, kan?”Nah, sesudahnya, Gavin kembali dilanda bimbang. Ia berpikir-pikir, mungkinkah kembali pulang untuk mencegah ibunya serta Jessica melakukan hal yang tidak-tidak kepada Inara lagi? Tapi sejak tadi pagi, Gavin sudah bolak-balik dari apartemen ke rumah, kemudian ke kantor. Itu sangat tidak efisien.“Selamat pagi, Pak Gavin.” Suara sapaan pelan mengalihkan atensi pria itu. Ia berujar mempersilahkan masuk, dan sekretarisnya muncul di ambang pintu.“Pak, Gavin, anda sudah ditunggu di ruang meeting oleh jajaran dewan direksi. Meeting evaluasi tahunan kita mulai lima menit lagi.”Oh, sial! Gavin sama sekali lupa bahwa pagi ini adalah jadwal meeting evaluasi tahunan perusahaan. Jelas ia tidak bisa ke mana-mana.“Duluan ke sana, siapkan materinya, aku segera menyusul.” Ia mengiyakan untuk mengusir sekretarisnya secara tidak langsung, sebab berpikir harus melakukan sesuatu untuk mengantisipasi keadaan Inara.“Al
**Inara masih termangu-mangu di depan kaca. Mematai mobil putih Aldo yang baru saja menghilang dari pandangan. Risau rasa hati, namun ia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Apa yang membuat Riani dan Jessica datang dengan emosi membara seperti tadi?“Mama ….”Hingga kemudian suara serak Aylin membuat perhatiannya teralihkan. Gadis cilik itu sedang digendong oleh Sara –maid rumahnya– yang tadi ia titahkan untuk mengamankan sang putri kecil.“Aylin? Kenapa minta gendong begitu? Jangan, Nak, turun. Kamu sudah besar, loh.” Inara gegas mengayun langkah mendekati putrinya, mengulurkan tangan untuk mengambil alih Aylin dari tangan pelayan rumahnya.“Mama, kenapa tante yang itu sering mukul Mama? Mama salah apa?”Senyum mengembang di bibir Inara seiring dengan pertanyaan itu. Ia mengusap surai panjang putrinya. “Nggak, Nak. Tante tadi cuma salah paham, jadi marah-marah sedikit. Nggak maksud mukul, kok. Mama nggak apa-apa, tuh.”“Kata Om nggak boleh bohong ….” Aylin mengulurkan tangan u
**Inara menunggu Gavin pulang dengan cemas. Seharian hanya murung, sejak Sara menunjukkan kepadanya video yang membuat heboh tadi pagi. Hingga hari beranjak senja, perempuan itu hanya duduk diam menunggui putrinya bermain. Pikirannya bagai benang kusut yang sulit terurai.Hingga kemudian deru suara kendaraan yang sudah familiar terdengar di halaman rumah, Inara merasa hatinya mencelos. Bagaimana ia harus bersikap kepada Gavin sesudah ini?Masih berdiam diri saat pintu kamar Aylin dibuka dari luar, Inara menoleh kemudian menunduk.“Inara?”“Y-ya, Pak?”Hela napas Gavin terdengar hingga ke seberang ruangan. Inara masih belum pula berani mengangkat wajah sampai lelaki itu kembali bersuara.“Bisa kita bicara sebentar, Inara? Kamu minta tolong Sara untuk menggantikanmu menemani Aylin.”“Baik, Pak.”“Aku tunggu di kamarku.”Inara mengernyit. Kenapa harus di kamar, sementara rumah ini seluas lapangan dan ada banyak sekali ruangan yang menganggur? Nah, namun perempuan itu terlalu pusing unt
** Malam yang sepi, di kediaman prestisius milik keluarga Bagaskara. Aldo menyesap wine berwarna merah pekat dalam gelas kristal di tepi balkon kamarnya yang terletak di lantai tiga. Pandangan pria itu menyapu ke arah depan, di mana hamparan city light yang berkelap-kelip nun di seberang sana. Pria itu melirik sekilas kepada botol kaca Legacy by Angostura yang berdiri dengan angkuh di atas meja. Cairan cokelat kemerahan di dalamnya berkilauan ditimpa cahaya lampu. Menyeringai tipis, ia sama sekali tidak mengira Gavin akan memberikan salah satu koleksinya yang berharga untuknya hanya demi Inara. Revaldo Bagaskara mendenguskan tawa miris. Bayangan perempuan manis dengan dua obsidian bening yang berbinar polos itu memenuhi benaknya dengan tiba-tiba. “Dia memang menarik,” gerutu pria itu sementara sesekali menyesap wine-nya. “Sayang sekali kalau Gavin hanya memakainya sebagai alat pengalihan agar tidak menikah dengan Jessica. Aku pikir perempuan bernama Inara itu pantas mendapatkan pe
**Gavin masih berdiri dengan mata menyipit penuh rasa curiga. Memandang Aldo yang sama sekali tidak mengubah posisi, tetap duduk manis tanpa sedikitpun rasa dosa. Malah membalas pandangan Gavin dengan senyum lebar yang kurang ajar. “Gue kangen sama Inara, jadi gue datang. Nggak tahu kenapa kok tiba-tiba aja kangen. Seriously, gue nggak mau ngapa-ngapain dan cuma pengen liat dia. Nggak apa-apa, kan? Toh, kalian berdua juga nggak ada hubungan yang mengharuskan gue menjauh.”“Gue sama Inara memang nggak punya hubungan yang mengharuskan lo menjauh, tapi gue nggak suka lihat lo di sini. Jadi better lo pergi aja sana.”“Silakan menyingkir dari hadapan kami kalau anda tidak suka, Tuan Muda. Biar kami lanjutin ngobrol dulu. Tadinya nggak ada lo juga baik-baik aja, kok.”Sekali lagi, Gavin layangkan pandangan penuh kebencian kepada dua yang lain. Dan sekali lagi pula Aldo membalasnya dengan seringai kurang ajar, sementara itu Inara masih tetap menunduk tak berani mengangkat wajah sedikitpun.