**Gavin masih berdiri dengan mata menyipit penuh rasa curiga. Memandang Aldo yang sama sekali tidak mengubah posisi, tetap duduk manis tanpa sedikitpun rasa dosa. Malah membalas pandangan Gavin dengan senyum lebar yang kurang ajar. “Gue kangen sama Inara, jadi gue datang. Nggak tahu kenapa kok tiba-tiba aja kangen. Seriously, gue nggak mau ngapa-ngapain dan cuma pengen liat dia. Nggak apa-apa, kan? Toh, kalian berdua juga nggak ada hubungan yang mengharuskan gue menjauh.”“Gue sama Inara memang nggak punya hubungan yang mengharuskan lo menjauh, tapi gue nggak suka lihat lo di sini. Jadi better lo pergi aja sana.”“Silakan menyingkir dari hadapan kami kalau anda tidak suka, Tuan Muda. Biar kami lanjutin ngobrol dulu. Tadinya nggak ada lo juga baik-baik aja, kok.”Sekali lagi, Gavin layangkan pandangan penuh kebencian kepada dua yang lain. Dan sekali lagi pula Aldo membalasnya dengan seringai kurang ajar, sementara itu Inara masih tetap menunduk tak berani mengangkat wajah sedikitpun.
**Gavin mendengus dengan jengah saat pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk dahulu. Sosok di balik daun pintu itu melenggang masuk dengan raut wajah yang sama seperti biasanya, selalu sumringah seakan baru saja memenangkan lotere.“Kenapa wajah lo selalu penuh tekanan begitu? Kebanyakan beban hidup?” cetus Revaldo Bagaskara seraya menghempaskan dirinya di atas sofa mahal di seberang meja kerja Gavin.“Gue kerja. Bukan kelayapan nggak jelas seperti lo,” tandas Gavin singkat.Aldo terkekeh. “Orang tua gue udah handle bisnis mereka dengan sangat amat baik tanpa bantuan dari gue, pun. Mereka emang sengaja lahirin gue buat beban hidup aja, biar ada asem-asemnya dikit.”Gavin berdecak, sama sekali tidak menghiraukan lelaki yang kini bersandar santai di sofanya sembari mengeluarkan ponsel. Ia tetap fokus pada layar laptopnya yang tengah menampilkan gambar grafik saham warna-warni.Aldo memang adalah putra tunggal dari pasangan Arsa dan Yuki Bagaskara. Bisnis perhotelan yang dimiliki sepasan
**“Pak Aldo?”Inara melirik dengan gugup kepada kamera pengawas yang dipasang Gavin di atas pintu masuk hari sebelumnya untuk memantau kalau-kalau Riani dan Jessica tiba-tiba datang. Sekarang, kamera itu jelas bisa mengawasi pergerakannya yang sedang bersama Aldo.“Boleh aku masuk? Kemarin aku sudah bilang kalau akan mengunjungimu setiap hari, kan?”“Tidak boleh, Pak. Maaf, sebaiknya Pak Aldo pulang saja.”Pria tampan itu mencebik dengan wajah kecewa. Entah hanya pura-pura, atau memang benar demikian.“Kenapa nggak boleh masuk? Aku hanya ingin lihat kamu, kok. Bukannya yang aneh-aneh.”“Sekarang sudah lihat kan, Pak? Sudah, ya? Saya tutup pintunya, ya?”Aldo kali ini menampakkan seringai yang tampak liar. Membuat Inara hampir bergidik karena ngeri.“Kenapa? Gavin melarangmu, ya?”“Bu-bukan–”“Takut terlihat olehnya lewat sini?” Pria itu menghadap kepada kamera yang terletak persis lurus dengan tempatnya berdiri. Kemudian dengan terang-terangan melambai ke sana. Inara panik seketika.
**“Bukan begitu, Mama?”Wajah Inara seketika blushing. Merah padam menjalar hingga ke telinga dan leher. Susah payah ia mengendalikan degup jantung yang mendadak bergemuruh tidak karuan, dengan tangan masih membawa nampan berisi gelas jus jeruk.“I-ini jusnya, Pak Gavin. Aylin, kita ke kamar kamu yuk, Nak. Biar Om istirahat dulu. Kasihan Om capek, baru pulang kerja.”Inara letakkan gelasnya di atas nakas, sebelum berbalik dan mengulurkan tangan kepada Aylin. Namun apa yang terjadi, ternyata putrinya menggeleng lirih.“Aylin, jangan begitu. Ayo, sama Mama.”Sekarang, gadis cilik itu menunduk dalam. Dengan suara kecilnya yang lirih, ia bergumam, “Aylin mau di sini sama Om, Mama.”“Aylin lupa, tadi panggilnya gimana?” Gavin justru menginterupsi dengan kata-kata demikian.“Ah, Papa.” Gadis cilik itu tersenyum lebar kepada Gavin hingga matanya menghilang menjadi lengkungan bulan sabit yang cantik, sebelum mengembalikan atensi kepada sang mama. “Mama, mulai hari ini, Aylin akan panggil Om
**Astaga, Gavin tidak bisa berhenti. Dengan memejamkan mata rapat, ia menikmati setiap sentuhan dan pagutannya pada bibir Inara. Entah bagaimana Gavin menjelaskan, tapi ia seperti sudah begitu lama menantikan hal ini. Seperti ia bertemu lagi dengan sesuatu yang ia rindukan namun sebab terlalu lama waktu berlalu, ia sudah melupakannya.“Mmhh!”Tapi, ekstasi itu harus terputus paksa saat Inara mendorong dada bidang Gavin kuat-kuat. Kedua matanya yang terbuka lebar tampak memandang satu yang lain dengan panik.“Pak Gavin!” sentak perempuan itu keras, “Ap-apa yang anda lakukan, Pak?”Inara mundur, menjauhi Gavin yang masih terpaku, dengan raut ketakutan. Ia mencengkeram selimut untuk menutup dadanya –yang sebenarnya tidak perlu, karena baju yang Inara kenakan sama sekali tidak kenapa-kenapa.“Ah … maaf.” Gavin mendesah pelan. Separuh isi kepalanya yang tadi melayang terbang sebab bersentuhan dengan Inara belum kembali, membuat pria itu mengerjap beberapa kali dan mengusap wajahnya dengan
**“Pulang? Pulang ke mana, Mama?”Aylin memandang sang ibu dengan kedua manik bulatnya yang berbinar polos. Gadis cilik itu bangkit dari atas karpet dan mendekati Inara yang sedang terdiam dengan wajah keruh.“Apa Mama menangis?”“Nggak, nggak. Mama nggak menangis, kok. Mama baik-baik saja, Nak.” Inara memaksakan sebuah senyuman. Ia mengusap lembut puncak kepala gadis ciliknya.“Mama, kita mau pulang ke mana? Kata Papa kan ini rumah kita?”“Aylin mau ketemu sama Oma LIna, nggak? Kangen nggak sama Oma?”Mata Aylin berbinar mendengar kata-kata Inara.“Ah, Oma? KIta mau ke rumah Oma? Aylin mau, Aylin mau!”Inara mengangguk. Sudah berhasil mengatasi Aylin, jadi ia pikir selanjutnya akan mudah saja.“Tunggu sebentar, Mama ambil baju-baju kamu dulu, ya. Mama bawa secukupnya saja. Besok-besok Mama ambil lagi sisanya.”“Kita menginap di rumah Oma ya, Mama?” Putri kecil itu bertanya dengan raut wajah ingin tahu.“Nggak, Sayang. Kita bukan akan menginap, tapi akan kembali pulang ke sana.”Ayli
**“Nona Inara pergi bersama Nona Aylin, bawa tas besar. Waktu saya tanya ke mana, katanya Tuan nanti pasti tahu sendiri.”Gavin merasa kemarahannya menyembur hingga ubun-ubun. Pria itu mendesis dan memejamkan mata sekilas, mencoba meredam emosinya sendiri yang rasanya sedetik lagi bisa saja membuat akal sehatnya musnah.“Kenapa tidak kau kejar dia, ha?”“Sudah, Tuan. Sudah saya kejar. Tapi langkah saya kalah cepat. Waktu saya sampai di halaman, Nona sudah nggak kelihatan. Mungkin pakai taksi online yang sudah dipesan sebelumnya.”“Sial!” Gavin mengumpat keras. Berkali-kali berusaha menghubungi ponsel Inara, namun nomornya tidak aktif sejak sore. Pria itu meremas rambutnya seraya mengayun langkah-langkah lebar menuju ruang kerja di mana laptopnya berada untuk mengakses rekaman kamera pengawas siang tadi.Dan tidak ada apapun. Inara dan Aylin memang sempat terekam melewati pintu, namun ketika ia keluar dari pintu gerbang, tak terlihat apapun lagi. Sosoknya tertutup oleh pintu gerbang y
**“Di mana Aldo?”Gavin berucap dengan nada dingin penuh permusuhan kepada beberapa orang sekuriti yang menjaga pintu gerbang kediaman Bagaskara. Pasalnya, kali ini para pegawai rumah Aldo itu memblokade jalan dan tidak mengizinkan Gavin masuk.Kendati para pria bertubuh besar itu sudah mengenal Gavin dengan baik, namun jika kali ini si Tuan Muda datang membawa wajah yang menyiratkan hawa peperangan seperti itu, mereka tidak akan membukakan pintunya.“Panggil dia keluar, atau aku tabrak pintu gerbang kalian ini?”Para petugas keamanan itu memandang dengan raut tidak senang, namun tetap bergegas menelepon sang tuan rumah. Hingga beberapa saat kemudian, seorang sekuriti berujar singkat kepada Gavin.“Tuan sedang menunggu Anda di balkon lantai tiga.”“Apa susahnya menyuruhku masuk? Apa wajahku kelihatan seperti penjahat sekarang?” Gavin masih menggerutu menahan murka saat pintu gerbang di hadapannya terbuka. Ia menginjak pedal gas dan melajukan kendaraannya menuju garasi mobil yang terl