**Inara tertegun mendengar apa yang Gavin katakan barusan. Usahanya melepaskan diri mendadak saja terhenti sebab ia terlalu sibuk tercengang.“Dengar, Inara? Aku tidak akan melepaskanmu, jadi jangan pernah berpikir untuk kabur meninggalkan rumah lagi. Terutama ke sini.”Setelah Gavin merasa perempuan itu mulai tenang dan tidak lagi memberontak, ia melepaskan pelukannya pelan-pelan.“Pak Gavin, anda jahat sekali.”“Mami yang menyebarkan rumor kepada media bahwa aku akan bertunangan. Bahkan aku sendiri juga kaget saat sekretarisku menunjukkan video beritanya di infotainment. Aku sama sekali nggak mengira kalau kalian berdua akan termakan gosip murahan seperti itu.”“Anda tetap harus bertunangan dan menikah betulan dengan Nona Jessica sekarang. Beritanya sudah tersebar ke seluruh penjuru negeri.”Gavin mendenguskan tawa remeh. “Yang benar sajalah, Inara. Harus dengan cara apa lagi aku katakan, bahwa aku hanya akan menikah dengan kamu. Masa bodoh dengan berita konyol itu. Siapa peduli.”
**Inara merindukan tempat ini, sungguh. Lima tahun ia tinggal di sana, memendam sakit dan luka, hanya berteman seorang wanita paruh baya yang sudah dianggapnya ibu sendiri. Kemudian dengan sangat tiba-tiba, ia harus meninggalkan tempat itu dengan cara yang sama sekali tidak terduga. Inara butuh waktu bermenit-menit untuk melepas rindu dengan cara memeluk erat Maulina.“Apakah kalian akan menginap lama?” Wanita itu bertanya kepada Inara, entah apakah kata ‘kalian’ ditujukan kepada Inara dan Aylin saja, ataukah termasuk kepada Gavin juga. Lina masih menganggap Gavin adalah orang jahat yang menculik Inara, omong-omong.“Kami datang untuk memberitahu anda, bahwa saya dan Inara akan menikah.” Gavin menjawab lugas, tanpa basa-basi. “Dan sepertinya kami nggak akan menginap. Saya memiliki sebuah villa di dekat sini.”Membuat Lina tersentak, seketika menjatuhkan pandang kepada Inara untuk meminta penjelasan. “Sebentar … menikah?”“Benar, Bu,” tutur perempuan muda itu dengan suara pelan sembar
**“Pak Gavin, ayo bangun! Kenapa malah diam saja begitu? Pak Gavin, kita pulang sekarang saja, nanti anda masuk angin beneran.”Inara berusaha berdiri, sama sekali mengabaikan bajunya sendiri yang basah kuyup. Mengabaikan pula pria di hadapannya yang sedang berjuang keras untuk loading. Sistem pengendali pusatnya sempat crash sedikit sebab melihat bayangan kain hitam yang tercetak jelas di balik fabrik putih basah yang menempel ke tubuh itu.Gavin mencekal lengan Inara, mencegahnya berdiri. Hingga yang lebih muda tetap terperangkap dalam posisi ambigu.“P-Pak ….” Inara mendelik ngeri. Pasalnya, wajah itu dekat sekali. Ia bahkan bisa melihat pantulan bintang gemintang di atas langit yang terpeta pada permukaan manik bening Gavin.“Sengaja menggodaku, hm?”“Apa sih–”“Jangan macam-macam denganku, Inara. Apakah kamu nggak tahu betapa sulitnya aku menahan diri belakangan ini? Aku bisa saja menyerangmu di sini saat ini juga kalau kamu terus menggoda.”Kedua mata Inara melebar. Sontak mena
**Gavin tidak bisa memikirkan apapun selain Inara, Inara, dan Inara. Berbagai bayangan buruk berkelebatan dalam benaknya sebab kata-kata pria misterius dalam telepon tadi. Saat ia mencoba menghubungi kembali nomor itu, ternyata sudah dinonaktifkan.“Bangsat!”Seraya mengumpat keras, sang CEO mengarahkan setir mobilnya mengikuti panduan dalam digital maps menuju rumah sakit yang paling dekat dengan dirinya berada saat ini. Diinjaknya pedal gas dalam-dalam, mengejar waktu seperti orang lupa diri.Tidak sampai menghabiskan waktu sepuluh menit, SUV hitam itu akhirnya merapat ke trotoar jalan yang seperti tak ada makhluk hidup satupun di sana. Gavin mengernyit sembari mematikan mesin mobil dan mengecek maps pada ponsel sekali lagi.“Ini rumah sakitnya? Kenapa sepi sekali? Apa benar Inara ada di sini?”Pria itu mulai turun dari kendaraannya sembari mengawasi sekitar. Ini bukan rumah sakit kosong, jadi Gavin tidak sebegitu curiga. Tampak beberapa pegawai yang berjaga di dalam front office b
**Rasa nyeri yang tadinya Gavin rasakan di sekitar belakang leher dan dadanya, mendadak menguap pergi, tertutupi oleh hangat tubuh perempuan yang sedang memeluknya kini. Ia membenamkan hidung di pundak Inara, baru menyadari sekarang bahwa aroma wangi tubuh perempuan ini demikian memikatnya.“Pak Gavin, jangan pingsan dulu, tunggu dokternya sebentar saja.”“Aku rasanya seperti mau mati, Inara.”“Pak Gavin!”Pria itu terkekeh geli saat mendengar suara tangis yang lebih muda meraung keras di belakang punggungnya. Inara menarik diri, hendak melepaskan pelukan, namun Gavin menahannya. Membuat keduanya masih pada posisi seperti itu, hingga beberapa saat kemudian sebuah mobil berhenti di halaman rumah Lina.“Dokternya sudah datang!” seru Maulina seraya berlari menyambut ke depan rumah.“Pak Gavin, lepaskan pelukannya sebentar. Dokternya datang, biar diperiksa,” pinta Inara. Perempuan itu pikir lelaki ini memeluknya demikian erat sebab rasa sakit yang tidak tertahankan.“Nanti setelah selesa
**Masih sangat pagi, mungkin sekitar pukul enam lebih sedikit ketika mobil yang membawa Gavin sampai di rumah sakit kota. Ini menguntungkan, sebab tidak sampai ada yang mengetahui perihal keadaan sang CEO selain Inara dan supir pribadinya. Akan sangat merepotkan jika pemberitaan mengenai keadaan Gavin saat ini sampai tersebar.Pria itu segera dibawa masuk ke dalam IGD sementara Inara dan satu yang lain menunggu dengan cemas di luar.“Apakah kita harus kasih tahu Tuan sama Nyonya Sanjaya?” tanya Inara kepada si supir.“Jangan dulu, Nona. Biarkan hanya kita berdua saja yang tahu masalah ini, setidaknya sampai keadaan Tuan stabil. Saya yakin Nyonya Besar nggak akan senang dengan hal ini.”Inara mengangguk. Ia juga berpikir demikian. Jika tidak ada Gavin yang bisa membantu menjelaskan, entah apa yang akan ia katakan kepada Nyonya Besar Sanjaya itu nanti. Bertemu muka dengannya saja Inara seperti akan pingsan rasanya.“Kita sudah cukup lama saling mengenal, tapi anda belum tahu nama saya,
**Pintu ruangan tempat Gavin dirawat menjeblak terbuka tanpa diketuk terlebih dulu. Barangkali orang yang berada di balik pintu itu merasa memiliki kekuasaan lebih besar daripada sang CEO yang sedang terbaring sakit. Tentu saja, sebab adalah Nyonya Besar yang baru saja masuk“Apa yang terjadi dengan dia?” tunjuknya kepada sang putra yang masih terlelap.“Pak–” “Aku bertanya kepadamu, Rendra.”Inara seketika terdiam saat Riani Sanjaya menyela, tak sedikitpun sudi menatap ke arahnya. Wanita itu bersikap seakan Inara tidak tampak dan tidak ada di sana. Maka yang paling muda mundur perlahan. Apakah ada gunanya memaksakan diri?“Tuan diserang orang tidak dikenal pada dini hari kemarin, Nyonya Besar,” terang Rendra seadanya. Pasalnya, ia juga tidak paham apa yang terjadi kepada Gavin.“Bagaimana bisa? Dan bagaimana bisa juga Gavin berada di tempat terpencil seperti ini? Apa yang dia lakukan di sini, ha?”Riani mendelik, bertanya bagai jaksa penuntut umum. Rendra tampak kesulitan menjelask
**Hanya dua hari Gavin berada di rumah sakit. Sesudahnya, ia memaksakan pulang meski keadaannya belum seratus persen pulih. Pria itu memilih pulang saja sebab khawatir dengan pekerjaan kantor yang ia tinggalkan.“Sekretaris anda di kantor kan pasti sudah tangani semua, Pak Gavin,” cetus Inara sementara menggamit lengan pria itu dan membantunya berjalan menuju mobil.“Aku nggak puas kalau nggak kerjakan sendiri dan mengawasi langsung dengan mataku sendiri juga.”“Anda keras kepala.”“Bagus kalau kamu akhirnya menyadari. Dan jangan pegang aku seperti aku manula sembilan puluh tahun begitu, Inara. Aku baik-baik saja.”Inara mengabaikan protes yang terakhir. Ia tetap menggamit rapat lengan pria itu, menyeberangi selasar koridor rumah sakit yang lengang menuju beranda yang memang dikhususkan sebagai titik jemput pasien. Rendra sudah menunggu di dalam mobil bersama Aylin.“Anda bisa naik kan, Pak? Saya sudah tawarkan menggunakan kursi roda saja biar nggak capek, tapi anda malah minta jalan