**Rasa nyeri yang tadinya Gavin rasakan di sekitar belakang leher dan dadanya, mendadak menguap pergi, tertutupi oleh hangat tubuh perempuan yang sedang memeluknya kini. Ia membenamkan hidung di pundak Inara, baru menyadari sekarang bahwa aroma wangi tubuh perempuan ini demikian memikatnya.“Pak Gavin, jangan pingsan dulu, tunggu dokternya sebentar saja.”“Aku rasanya seperti mau mati, Inara.”“Pak Gavin!”Pria itu terkekeh geli saat mendengar suara tangis yang lebih muda meraung keras di belakang punggungnya. Inara menarik diri, hendak melepaskan pelukan, namun Gavin menahannya. Membuat keduanya masih pada posisi seperti itu, hingga beberapa saat kemudian sebuah mobil berhenti di halaman rumah Lina.“Dokternya sudah datang!” seru Maulina seraya berlari menyambut ke depan rumah.“Pak Gavin, lepaskan pelukannya sebentar. Dokternya datang, biar diperiksa,” pinta Inara. Perempuan itu pikir lelaki ini memeluknya demikian erat sebab rasa sakit yang tidak tertahankan.“Nanti setelah selesa
**Masih sangat pagi, mungkin sekitar pukul enam lebih sedikit ketika mobil yang membawa Gavin sampai di rumah sakit kota. Ini menguntungkan, sebab tidak sampai ada yang mengetahui perihal keadaan sang CEO selain Inara dan supir pribadinya. Akan sangat merepotkan jika pemberitaan mengenai keadaan Gavin saat ini sampai tersebar.Pria itu segera dibawa masuk ke dalam IGD sementara Inara dan satu yang lain menunggu dengan cemas di luar.“Apakah kita harus kasih tahu Tuan sama Nyonya Sanjaya?” tanya Inara kepada si supir.“Jangan dulu, Nona. Biarkan hanya kita berdua saja yang tahu masalah ini, setidaknya sampai keadaan Tuan stabil. Saya yakin Nyonya Besar nggak akan senang dengan hal ini.”Inara mengangguk. Ia juga berpikir demikian. Jika tidak ada Gavin yang bisa membantu menjelaskan, entah apa yang akan ia katakan kepada Nyonya Besar Sanjaya itu nanti. Bertemu muka dengannya saja Inara seperti akan pingsan rasanya.“Kita sudah cukup lama saling mengenal, tapi anda belum tahu nama saya,
**Pintu ruangan tempat Gavin dirawat menjeblak terbuka tanpa diketuk terlebih dulu. Barangkali orang yang berada di balik pintu itu merasa memiliki kekuasaan lebih besar daripada sang CEO yang sedang terbaring sakit. Tentu saja, sebab adalah Nyonya Besar yang baru saja masuk“Apa yang terjadi dengan dia?” tunjuknya kepada sang putra yang masih terlelap.“Pak–” “Aku bertanya kepadamu, Rendra.”Inara seketika terdiam saat Riani Sanjaya menyela, tak sedikitpun sudi menatap ke arahnya. Wanita itu bersikap seakan Inara tidak tampak dan tidak ada di sana. Maka yang paling muda mundur perlahan. Apakah ada gunanya memaksakan diri?“Tuan diserang orang tidak dikenal pada dini hari kemarin, Nyonya Besar,” terang Rendra seadanya. Pasalnya, ia juga tidak paham apa yang terjadi kepada Gavin.“Bagaimana bisa? Dan bagaimana bisa juga Gavin berada di tempat terpencil seperti ini? Apa yang dia lakukan di sini, ha?”Riani mendelik, bertanya bagai jaksa penuntut umum. Rendra tampak kesulitan menjelask
**Hanya dua hari Gavin berada di rumah sakit. Sesudahnya, ia memaksakan pulang meski keadaannya belum seratus persen pulih. Pria itu memilih pulang saja sebab khawatir dengan pekerjaan kantor yang ia tinggalkan.“Sekretaris anda di kantor kan pasti sudah tangani semua, Pak Gavin,” cetus Inara sementara menggamit lengan pria itu dan membantunya berjalan menuju mobil.“Aku nggak puas kalau nggak kerjakan sendiri dan mengawasi langsung dengan mataku sendiri juga.”“Anda keras kepala.”“Bagus kalau kamu akhirnya menyadari. Dan jangan pegang aku seperti aku manula sembilan puluh tahun begitu, Inara. Aku baik-baik saja.”Inara mengabaikan protes yang terakhir. Ia tetap menggamit rapat lengan pria itu, menyeberangi selasar koridor rumah sakit yang lengang menuju beranda yang memang dikhususkan sebagai titik jemput pasien. Rendra sudah menunggu di dalam mobil bersama Aylin.“Anda bisa naik kan, Pak? Saya sudah tawarkan menggunakan kursi roda saja biar nggak capek, tapi anda malah minta jalan
**“Pak Gavin, apa nggak sebaiknya saya di rumah saja? Nanti saya ngapain di kantor anda, Pak?” Inara berujar dengan cemas. Mencoba bernegosiasi kalau-kalau dirinya bisa menghindari ajakan Gavin pagi ini. Yang mencetuskan akan mengajak Inara ke kantor setelah diskusinya dengan Joseph Sanjaya semalam.“Kita hanya akan mampir ke kantor sebentar, Inara. Ada beberapa berkas yang harus aku tanda tangani. Setelahnya, kita akan fitting baju pengantin. Bukankah sudah aku katakan, kita harus sering tampil di muka publik mulai sekarang.”“Aduh ….” Inara mengeluh tanpa sadar. Sepertinya ini akan menjadi hari yang panjang untuknya.“Kenapa mengaduh?” Gavin yang sedang bersiap-siap berangkat ke kantor melangkah mendekati Inara sembari menenteng sebuah dasi berwarna hitam di tangannya.“Pak, saya takut salah bicara atau bersikap.”“Bersikap biasa sajalah, Inara. Dan tidak perlu menjawab apapun, aku yang akan menjawab jika ada yang bertanya kepadamu. Sekarang berhenti gelisah seperti itu dan tolong
**“Gavin, pikirkan ini. Ini bukan hanya tentang kamu sendiri, tapi juga menyangkut nama besar keluarga dan perusahaan kamu. Apa kata orang kalau seseorang seperti kamu hanya berakhir dengan perempuan seperti dia?”Jessica masih mencoba menahan emosi dan bicara rasional dengan Gavin, sementara Inara merasa menghilang. Ia diam di atas sofa, dan sejujurnya membenarkan kata-kata perempuan cantik itu.“Aku tidak akan pernah berusaha menyenangkan semua orang, Jes. Ini adalah hidupku sendiri, jadi terserahku mau menjalaninya dengan bagaimana. Lagipula aku tidak akan menimbulkan kejahatan publik yang manapun hanya karena menikah dengan perempuan yang kuinginkan.”Jessica tampak kesusahan menelan saliva. Dadanya naik turun sebab gelombang emosi, yang Inara yakin, pasti setengah mati perempuan itu tahan agar tidak meledak.“Pikirkan keluarga kamu, Gavin. Keluarga kita berdua.”“Aku sudah mengalah kepada mereka bahkan sejak aku pertama kali memasuki kantor Papi, tiga puluh tahun yang lalu. Jadi
**“Aku tidak mengerti apa maksudmu, Rendra.” Gavin menyipitkan mata, memandang sang supir yang masih menunjuk iPad di tangannya.“Sudah saya duga, memang demikian. Masuk saja dulu, Tuan. Akan saya tunjukkan di dalam.”Masih mengerutkan alis penuh tanya, Gavin menggandeng tangan Inara untuk memasuki Audi berwarna dark grey yang terlihat paling mencolok di antara mobil-mobil lain di basement kantor itu.“Tunjukkan padaku ada apa,” tuntut sang CEO begitu Rendra sudah duduk dan menutup pintu di sampingnya. Pria yang selalu berpenampilan rapi itu mengulurkan iPad yang sudah menyala kepada sang Tuan. Membiarkan pria tiga puluh enam tahun itu melihat sendiri kehebohan apa yang tadi ia sebut-sebut. Inara yang penasaran tanpa sadar turut melongokkan kepala di belakang bahu Gavin. Dan sedetik berikutnya, kedua netra perempuan itu membola sempurna.SKANDAL TERBARU CEO SR CORP, ADEGAN PANAS DI DALAM KANTOR!Di bawah headlines yang sangat amat clickbait atau dibesar-besarkan, tampak foto agak blu
**“Wedding Organizer? Mereka berdua pergi ke kantor wedding organizer?”Jessica Freya yang sedang berbicara dengan ponselnya tampak sangat terkejut. Tanpa sadar meremas ujung cardigan yang ia kenakan sebab sengatan rasa nyeri pada hatinya. Perempuan itu membiarkan ponsel yang menempel di telinga merosot perlahan sebab tangannya jatuh lunglai.“Gavin serius dengan perempuan itu. Dia bahkan sama sekali nggak ambil pusing dengan rumor yang baru saja beredar. Padahal foto dia sekarang sudah trending nomor satu di media sosial.”Kesal dan putus asa, Jessica melemparkan ponsel ke atas sofa di ruang tamu kediamannya yang megah namun sunyi senyap. Tanpa bisa ia cegah, butir-butir air mata berjatuhan menuruni kedua pipinya yang bersih mulus seperti porselen Tiongkok, tak bercacat sedikitpun.“Aku sudah melakukan semuanya. Sampai merusak image-nya dan perempuan itu di mata publik agar mereka berdua terlihat seperti orang-orang brengsek. Tapi Gavin malah bertindak sejauh ini. Menikah dalam wakt