**Hanya dua hari Gavin berada di rumah sakit. Sesudahnya, ia memaksakan pulang meski keadaannya belum seratus persen pulih. Pria itu memilih pulang saja sebab khawatir dengan pekerjaan kantor yang ia tinggalkan.“Sekretaris anda di kantor kan pasti sudah tangani semua, Pak Gavin,” cetus Inara sementara menggamit lengan pria itu dan membantunya berjalan menuju mobil.“Aku nggak puas kalau nggak kerjakan sendiri dan mengawasi langsung dengan mataku sendiri juga.”“Anda keras kepala.”“Bagus kalau kamu akhirnya menyadari. Dan jangan pegang aku seperti aku manula sembilan puluh tahun begitu, Inara. Aku baik-baik saja.”Inara mengabaikan protes yang terakhir. Ia tetap menggamit rapat lengan pria itu, menyeberangi selasar koridor rumah sakit yang lengang menuju beranda yang memang dikhususkan sebagai titik jemput pasien. Rendra sudah menunggu di dalam mobil bersama Aylin.“Anda bisa naik kan, Pak? Saya sudah tawarkan menggunakan kursi roda saja biar nggak capek, tapi anda malah minta jalan
**“Pak Gavin, apa nggak sebaiknya saya di rumah saja? Nanti saya ngapain di kantor anda, Pak?” Inara berujar dengan cemas. Mencoba bernegosiasi kalau-kalau dirinya bisa menghindari ajakan Gavin pagi ini. Yang mencetuskan akan mengajak Inara ke kantor setelah diskusinya dengan Joseph Sanjaya semalam.“Kita hanya akan mampir ke kantor sebentar, Inara. Ada beberapa berkas yang harus aku tanda tangani. Setelahnya, kita akan fitting baju pengantin. Bukankah sudah aku katakan, kita harus sering tampil di muka publik mulai sekarang.”“Aduh ….” Inara mengeluh tanpa sadar. Sepertinya ini akan menjadi hari yang panjang untuknya.“Kenapa mengaduh?” Gavin yang sedang bersiap-siap berangkat ke kantor melangkah mendekati Inara sembari menenteng sebuah dasi berwarna hitam di tangannya.“Pak, saya takut salah bicara atau bersikap.”“Bersikap biasa sajalah, Inara. Dan tidak perlu menjawab apapun, aku yang akan menjawab jika ada yang bertanya kepadamu. Sekarang berhenti gelisah seperti itu dan tolong
**“Gavin, pikirkan ini. Ini bukan hanya tentang kamu sendiri, tapi juga menyangkut nama besar keluarga dan perusahaan kamu. Apa kata orang kalau seseorang seperti kamu hanya berakhir dengan perempuan seperti dia?”Jessica masih mencoba menahan emosi dan bicara rasional dengan Gavin, sementara Inara merasa menghilang. Ia diam di atas sofa, dan sejujurnya membenarkan kata-kata perempuan cantik itu.“Aku tidak akan pernah berusaha menyenangkan semua orang, Jes. Ini adalah hidupku sendiri, jadi terserahku mau menjalaninya dengan bagaimana. Lagipula aku tidak akan menimbulkan kejahatan publik yang manapun hanya karena menikah dengan perempuan yang kuinginkan.”Jessica tampak kesusahan menelan saliva. Dadanya naik turun sebab gelombang emosi, yang Inara yakin, pasti setengah mati perempuan itu tahan agar tidak meledak.“Pikirkan keluarga kamu, Gavin. Keluarga kita berdua.”“Aku sudah mengalah kepada mereka bahkan sejak aku pertama kali memasuki kantor Papi, tiga puluh tahun yang lalu. Jadi
**“Aku tidak mengerti apa maksudmu, Rendra.” Gavin menyipitkan mata, memandang sang supir yang masih menunjuk iPad di tangannya.“Sudah saya duga, memang demikian. Masuk saja dulu, Tuan. Akan saya tunjukkan di dalam.”Masih mengerutkan alis penuh tanya, Gavin menggandeng tangan Inara untuk memasuki Audi berwarna dark grey yang terlihat paling mencolok di antara mobil-mobil lain di basement kantor itu.“Tunjukkan padaku ada apa,” tuntut sang CEO begitu Rendra sudah duduk dan menutup pintu di sampingnya. Pria yang selalu berpenampilan rapi itu mengulurkan iPad yang sudah menyala kepada sang Tuan. Membiarkan pria tiga puluh enam tahun itu melihat sendiri kehebohan apa yang tadi ia sebut-sebut. Inara yang penasaran tanpa sadar turut melongokkan kepala di belakang bahu Gavin. Dan sedetik berikutnya, kedua netra perempuan itu membola sempurna.SKANDAL TERBARU CEO SR CORP, ADEGAN PANAS DI DALAM KANTOR!Di bawah headlines yang sangat amat clickbait atau dibesar-besarkan, tampak foto agak blu
**“Wedding Organizer? Mereka berdua pergi ke kantor wedding organizer?”Jessica Freya yang sedang berbicara dengan ponselnya tampak sangat terkejut. Tanpa sadar meremas ujung cardigan yang ia kenakan sebab sengatan rasa nyeri pada hatinya. Perempuan itu membiarkan ponsel yang menempel di telinga merosot perlahan sebab tangannya jatuh lunglai.“Gavin serius dengan perempuan itu. Dia bahkan sama sekali nggak ambil pusing dengan rumor yang baru saja beredar. Padahal foto dia sekarang sudah trending nomor satu di media sosial.”Kesal dan putus asa, Jessica melemparkan ponsel ke atas sofa di ruang tamu kediamannya yang megah namun sunyi senyap. Tanpa bisa ia cegah, butir-butir air mata berjatuhan menuruni kedua pipinya yang bersih mulus seperti porselen Tiongkok, tak bercacat sedikitpun.“Aku sudah melakukan semuanya. Sampai merusak image-nya dan perempuan itu di mata publik agar mereka berdua terlihat seperti orang-orang brengsek. Tapi Gavin malah bertindak sejauh ini. Menikah dalam wakt
**Inara, aku menyukaimu.Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telinga Inara. Memenuhi benaknya seperti kawanan lebah yang mengerumuni taman bunga. Membuat awang Inara senantiasa melayang-layang setiap kali ia diam. Ditambah dengan bayangan senyum Gavin yang menawan, sungguh, rasanya hati Inara meleleh tak berbentuk.“Mama?”Suara lucu itu menyentak Inara keluar dari lamunannya. Ia terkesiap, memandang penuh perhatian kepada putri kecilnya yang sedang memandang ingin tahu.“Ya, Sayang?”“Mama kenapa senyum-senyum sendiri?”“Ah, benarkah?” Perempuan itu terkekeh pelan. Malu sendiri saat tertangkap basah oleh sang putri bahwa ia sedang tersenyum tanpa sadar, indikasi bahwa dirinya sedang berbahagia. “Maaf, Sayang. Mama tadi cuma teringat film lucu di televisi.”“Umm ….” Aylin mencebik, mengerucutkan bibir mungilnya. “Mama, Aylin bosen di rumah.”“Hm?” Inara mengangkat kedua alis. “Sabar, ya. Bulan depan Aylin sudah mulai sekolah, jadi akan punya teman banyak dan nggak akan bosen lagi
**“Anda tahu sesuatu yang kami tidak ketahui, Pak Aldo?” Inara bertanya tanpa maksud menyudutkan. Namun sorot mata penuh curiganya tetap membuat Aldo merasa tersudut.“Nggak, bukan begitu, Inara–”“Tapi anda tahu dari mana tentang ini, Pak? Maaf, tapi ini memang mencurigakan. Seperti yang tadi saya katakan, hanya Nyonya Besar yang tahu tentang ini.” Inara tatap pria itu dengan intens. “Jangan bilang anda yang merencanakan ini. Anda yang mencelakai Pak Gavin?”Pria berparas Kaukasia yang menawan itu terdiam sembari menatap Inara dalam-dalam. Satu sudut bibirnya kemudian mulai terangkat ke atas, menunjukkan bahwa ia memang mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya.“Aku hanya bermaksud memberi sedikit pelajaran, Inara. Sama sekali tidak berencana membuatnya luka seperti itu.”“Pak Aldo!” Inara terbelalak. Ia berdiri dari tempat duduknya dan mendelik memandang satu yang lain. “Apa yang anda lakukan? Pak Gavin teman anda, kan? BIsa-bisanya Pak Aldo lakukan ini?”Pria itu mengangkat bahu m
**Inara menatap televisi yang menyala, yang mana sedang menayangkan pemberitaan tentang Gavin dengan dirinya. Tampak pada layar kaca, dirinya yang sedang digandeng oleh sang CEO keluar dari gedung WO yang kemarin. Inara mendesis, menyadari betapa ia terlihat sangat kikuk dan menyedihkan di sana. Perempuan itu menatap nyalang kepada benda persegi tipis yang menempel di dinding dengan berbagai hal berkecamuk memenuhi benak.“Pernikahannya tinggal beberapa hari lagi …” Bergumam seorang diri dengan sorot mata kosong kepada si televisi, perempuan bersurai sepanjang bahu itu meremas-remas ujung dress yang ia kenakan dengan gelisah.Kemudian berita televisi menampilkan slide lain yang benar-benar menyita atensi Inara kali ini. Sebuah video buram yang sempat booming menghebohkan penjuru negeri beberapa waktu yang lalu, video Gavin yang mencium Inara dalam keadaan mabuk itu.“Mereka akhirnya menghubungkan dua berita itu.” Ia bergumam lagi. “Tapi nggak apa-apalah, kalau begini kan Pak Gavin ng
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be