**“Bukan begitu, Mama?”Wajah Inara seketika blushing. Merah padam menjalar hingga ke telinga dan leher. Susah payah ia mengendalikan degup jantung yang mendadak bergemuruh tidak karuan, dengan tangan masih membawa nampan berisi gelas jus jeruk.“I-ini jusnya, Pak Gavin. Aylin, kita ke kamar kamu yuk, Nak. Biar Om istirahat dulu. Kasihan Om capek, baru pulang kerja.”Inara letakkan gelasnya di atas nakas, sebelum berbalik dan mengulurkan tangan kepada Aylin. Namun apa yang terjadi, ternyata putrinya menggeleng lirih.“Aylin, jangan begitu. Ayo, sama Mama.”Sekarang, gadis cilik itu menunduk dalam. Dengan suara kecilnya yang lirih, ia bergumam, “Aylin mau di sini sama Om, Mama.”“Aylin lupa, tadi panggilnya gimana?” Gavin justru menginterupsi dengan kata-kata demikian.“Ah, Papa.” Gadis cilik itu tersenyum lebar kepada Gavin hingga matanya menghilang menjadi lengkungan bulan sabit yang cantik, sebelum mengembalikan atensi kepada sang mama. “Mama, mulai hari ini, Aylin akan panggil Om
**Astaga, Gavin tidak bisa berhenti. Dengan memejamkan mata rapat, ia menikmati setiap sentuhan dan pagutannya pada bibir Inara. Entah bagaimana Gavin menjelaskan, tapi ia seperti sudah begitu lama menantikan hal ini. Seperti ia bertemu lagi dengan sesuatu yang ia rindukan namun sebab terlalu lama waktu berlalu, ia sudah melupakannya.“Mmhh!”Tapi, ekstasi itu harus terputus paksa saat Inara mendorong dada bidang Gavin kuat-kuat. Kedua matanya yang terbuka lebar tampak memandang satu yang lain dengan panik.“Pak Gavin!” sentak perempuan itu keras, “Ap-apa yang anda lakukan, Pak?”Inara mundur, menjauhi Gavin yang masih terpaku, dengan raut ketakutan. Ia mencengkeram selimut untuk menutup dadanya –yang sebenarnya tidak perlu, karena baju yang Inara kenakan sama sekali tidak kenapa-kenapa.“Ah … maaf.” Gavin mendesah pelan. Separuh isi kepalanya yang tadi melayang terbang sebab bersentuhan dengan Inara belum kembali, membuat pria itu mengerjap beberapa kali dan mengusap wajahnya dengan
**“Pulang? Pulang ke mana, Mama?”Aylin memandang sang ibu dengan kedua manik bulatnya yang berbinar polos. Gadis cilik itu bangkit dari atas karpet dan mendekati Inara yang sedang terdiam dengan wajah keruh.“Apa Mama menangis?”“Nggak, nggak. Mama nggak menangis, kok. Mama baik-baik saja, Nak.” Inara memaksakan sebuah senyuman. Ia mengusap lembut puncak kepala gadis ciliknya.“Mama, kita mau pulang ke mana? Kata Papa kan ini rumah kita?”“Aylin mau ketemu sama Oma LIna, nggak? Kangen nggak sama Oma?”Mata Aylin berbinar mendengar kata-kata Inara.“Ah, Oma? KIta mau ke rumah Oma? Aylin mau, Aylin mau!”Inara mengangguk. Sudah berhasil mengatasi Aylin, jadi ia pikir selanjutnya akan mudah saja.“Tunggu sebentar, Mama ambil baju-baju kamu dulu, ya. Mama bawa secukupnya saja. Besok-besok Mama ambil lagi sisanya.”“Kita menginap di rumah Oma ya, Mama?” Putri kecil itu bertanya dengan raut wajah ingin tahu.“Nggak, Sayang. Kita bukan akan menginap, tapi akan kembali pulang ke sana.”Ayli
**“Nona Inara pergi bersama Nona Aylin, bawa tas besar. Waktu saya tanya ke mana, katanya Tuan nanti pasti tahu sendiri.”Gavin merasa kemarahannya menyembur hingga ubun-ubun. Pria itu mendesis dan memejamkan mata sekilas, mencoba meredam emosinya sendiri yang rasanya sedetik lagi bisa saja membuat akal sehatnya musnah.“Kenapa tidak kau kejar dia, ha?”“Sudah, Tuan. Sudah saya kejar. Tapi langkah saya kalah cepat. Waktu saya sampai di halaman, Nona sudah nggak kelihatan. Mungkin pakai taksi online yang sudah dipesan sebelumnya.”“Sial!” Gavin mengumpat keras. Berkali-kali berusaha menghubungi ponsel Inara, namun nomornya tidak aktif sejak sore. Pria itu meremas rambutnya seraya mengayun langkah-langkah lebar menuju ruang kerja di mana laptopnya berada untuk mengakses rekaman kamera pengawas siang tadi.Dan tidak ada apapun. Inara dan Aylin memang sempat terekam melewati pintu, namun ketika ia keluar dari pintu gerbang, tak terlihat apapun lagi. Sosoknya tertutup oleh pintu gerbang y
**“Di mana Aldo?”Gavin berucap dengan nada dingin penuh permusuhan kepada beberapa orang sekuriti yang menjaga pintu gerbang kediaman Bagaskara. Pasalnya, kali ini para pegawai rumah Aldo itu memblokade jalan dan tidak mengizinkan Gavin masuk.Kendati para pria bertubuh besar itu sudah mengenal Gavin dengan baik, namun jika kali ini si Tuan Muda datang membawa wajah yang menyiratkan hawa peperangan seperti itu, mereka tidak akan membukakan pintunya.“Panggil dia keluar, atau aku tabrak pintu gerbang kalian ini?”Para petugas keamanan itu memandang dengan raut tidak senang, namun tetap bergegas menelepon sang tuan rumah. Hingga beberapa saat kemudian, seorang sekuriti berujar singkat kepada Gavin.“Tuan sedang menunggu Anda di balkon lantai tiga.”“Apa susahnya menyuruhku masuk? Apa wajahku kelihatan seperti penjahat sekarang?” Gavin masih menggerutu menahan murka saat pintu gerbang di hadapannya terbuka. Ia menginjak pedal gas dan melajukan kendaraannya menuju garasi mobil yang terl
**Inara tertegun mendengar apa yang Gavin katakan barusan. Usahanya melepaskan diri mendadak saja terhenti sebab ia terlalu sibuk tercengang.“Dengar, Inara? Aku tidak akan melepaskanmu, jadi jangan pernah berpikir untuk kabur meninggalkan rumah lagi. Terutama ke sini.”Setelah Gavin merasa perempuan itu mulai tenang dan tidak lagi memberontak, ia melepaskan pelukannya pelan-pelan.“Pak Gavin, anda jahat sekali.”“Mami yang menyebarkan rumor kepada media bahwa aku akan bertunangan. Bahkan aku sendiri juga kaget saat sekretarisku menunjukkan video beritanya di infotainment. Aku sama sekali nggak mengira kalau kalian berdua akan termakan gosip murahan seperti itu.”“Anda tetap harus bertunangan dan menikah betulan dengan Nona Jessica sekarang. Beritanya sudah tersebar ke seluruh penjuru negeri.”Gavin mendenguskan tawa remeh. “Yang benar sajalah, Inara. Harus dengan cara apa lagi aku katakan, bahwa aku hanya akan menikah dengan kamu. Masa bodoh dengan berita konyol itu. Siapa peduli.”
**Inara merindukan tempat ini, sungguh. Lima tahun ia tinggal di sana, memendam sakit dan luka, hanya berteman seorang wanita paruh baya yang sudah dianggapnya ibu sendiri. Kemudian dengan sangat tiba-tiba, ia harus meninggalkan tempat itu dengan cara yang sama sekali tidak terduga. Inara butuh waktu bermenit-menit untuk melepas rindu dengan cara memeluk erat Maulina.“Apakah kalian akan menginap lama?” Wanita itu bertanya kepada Inara, entah apakah kata ‘kalian’ ditujukan kepada Inara dan Aylin saja, ataukah termasuk kepada Gavin juga. Lina masih menganggap Gavin adalah orang jahat yang menculik Inara, omong-omong.“Kami datang untuk memberitahu anda, bahwa saya dan Inara akan menikah.” Gavin menjawab lugas, tanpa basa-basi. “Dan sepertinya kami nggak akan menginap. Saya memiliki sebuah villa di dekat sini.”Membuat Lina tersentak, seketika menjatuhkan pandang kepada Inara untuk meminta penjelasan. “Sebentar … menikah?”“Benar, Bu,” tutur perempuan muda itu dengan suara pelan sembar
**“Pak Gavin, ayo bangun! Kenapa malah diam saja begitu? Pak Gavin, kita pulang sekarang saja, nanti anda masuk angin beneran.”Inara berusaha berdiri, sama sekali mengabaikan bajunya sendiri yang basah kuyup. Mengabaikan pula pria di hadapannya yang sedang berjuang keras untuk loading. Sistem pengendali pusatnya sempat crash sedikit sebab melihat bayangan kain hitam yang tercetak jelas di balik fabrik putih basah yang menempel ke tubuh itu.Gavin mencekal lengan Inara, mencegahnya berdiri. Hingga yang lebih muda tetap terperangkap dalam posisi ambigu.“P-Pak ….” Inara mendelik ngeri. Pasalnya, wajah itu dekat sekali. Ia bahkan bisa melihat pantulan bintang gemintang di atas langit yang terpeta pada permukaan manik bening Gavin.“Sengaja menggodaku, hm?”“Apa sih–”“Jangan macam-macam denganku, Inara. Apakah kamu nggak tahu betapa sulitnya aku menahan diri belakangan ini? Aku bisa saja menyerangmu di sini saat ini juga kalau kamu terus menggoda.”Kedua mata Inara melebar. Sontak mena
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be