**Riani Sanjaya terus menangis sesenggukan di kursi belakang mobil yang ia tumpangi. Tidak tahu ke mana pria dalam mobil itu akan membawanya. Dan sebab rasa putus asa yang terlampau besar, sepertinya Riani tidak lagi peduli ia akan dibawa ke mana.“Nyonya kenapa sendirian di tengah jalan?” Pria dari balik kemudi itu bertanya. Ia memandang penuh simpati dari kaca spion.Riani hanya menggeleng. Air mata berjatuhan, membasahi bibirnya yang pias. Semua orang yang melihatnya, akan mengira wanita itu tengah bersedih karena kehilangan orang yang ia cintai. Tidak ada seorang pun yang tahu, bahwa Riani menangis sebab rasa sesal yang menghantam hatinya dengan telak.Apakah pada titik ini, Riani sudah bisa dibilang mencintai Joseph? Kalau benar begitu, maka hari ini ia akan menjadi orang yang paling tidak beruntung di dunia ini. Rasa cinta itu datang setelah ia kehilangan.“Siapa kau ini?” Setelah beberapa saat waktu berlalu, Riani akhirnya memutuskan bertanya. “Kau tahu di mana suamiku berada
**Riani sama sekali tidak bisa mengingat apa yang terjadi dengan dirinya setelah melihat tubuh sang suami untuk yang terakhir kalinya di dalam peti. Ketika ia membuka mata berjam-jam sesudahnya, ia sudah menghadap langit-langit temaram yang asing. Ini jelas sekali bukan kamar tidurnya. Riani meraba tubuhnya, yang ternyata juga sudah tidak basah kuyup seperti sebelumnya. Seseorang sudah menukar baju basah yang ia kenakan dengan pakaian kering.Beberapa saat terdiam dan tenggelam dalam heningnya suasana, akhirnya suara derit pintu yang terbuka terdengar menusuk rungu.“Mami? Sudah bangun?”Itu adalah suara Inara. Riani enggan bergerak sekalipun hanya untuk mengalihkan pandang dan menengok Inara yang datang. Ia tetap pada posisi semula, diam memandang langit-langit kamar yang temaram.“Mam, aku bawakan sup hangat. Dimakan ya, biar nggak masuk angin. Sekarang sudah malam, dan aku yakin Mami belum makan apapun dari siang.”Inara meletakkan nampan berisi mangkuk sup dan cangkir minuman han
**Kehilangan Joseph meninggalkan duka yang mendalam pada hati Gavin. Ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa akan setiba-tiba ini kehilangan ayah yang dicintainya. Terlebih lagi, Joseph tidak pernah mengeluhkan sakit apapun selama ini, apalagi gangguan jantung. Segalanya tampak baik-baik saja sejauh ini. Hal itu membuat Gavin masih merasa ini mimpi, sampai berhari-hari waktu berlalu.“Papa lagi sedih, ya?”Ketika pria itu sedang duduk menyendiri di halaman belakang rumahnya yang luas, sang putri menghampiri dan bertanya.Gavin mengalihkan pandang kepada putri kecilnya yang jelita. Ia memaksakan mengulas senyum meski sulit ia lakukan.“Papa sedih, Nak.”“Karena Opa Jo sakit?”“Sebenarnya, karena Opa Jo sudah nggak sama-sama kita lagi.”“Hm?” Kedua manik doe milik Aylin berkedip polos. “Opa Jo dimasukkan ke dalam kotak ya, Papa? Kata orang-orang, Opa Jo meninggal? Meninggal itu apa?”Gavin hanya tersenyum sementara mengelus surai panjang sang putri. Lidahnya terasa kelu, tidak mampu
**Inara berdebar-debar. Sudah lama bersuamikan seorang Gavin Devano Sanjaya, baru kali ini ia bertandang ke kediaman orang tua pria itu. Itu pun juga dalam suasana yang tidak cukup bagus. Berkali-kali ia menghela napas, menenangkan dirinya sendiri di kursi belakang. Tanpa ia tahu, Rendra sedang mengawasinya dari balik kaca spion.“Nona baik-baik saja?” Orang kepercayaan Gavin nomor satu itu bertanya dengan khawatir. Sekali-sekali ia membagi fokus mengemudinya dengan memandang sang Nona di kursi belakang. “Apakah kita batalkan saja? Atau kalau perlu, saya saja yang nanti bicara dengan Nyonya Besar.”“Nggak apa-apa, Pak Ren. Aku hanya gugup, kok. Ini kan pertama kalinya aku datang ke kediaman Mami.” Perempuan itu tersenyum dan balas memandang sekilas ke arah kaca spion. “Sepanjang jadi istrinya Gavin, aku sama sekali belum pernah datang ke rumah Mami, kan. Ke apartemen Gavin yang lama dulu saja juga cuma satu atau dua kali.”“Karena Tuan Muda mengkhawatirkan keselamatan anda, Nona. Man
**Betapa aneh rasanya, saat kemudian waktu kembali berjalan seperti sedia kala namun dengan keadaan yang lebih damai. Kesedihan masih sesekali terasa saat Gavin mengenang Joseph sendirian, namun pria itu memilih mengalihkan kekosongan hati akibat ditinggal Papi tercinta dengan kembali aktif mengurus kantor SR. Sebab sang Nyonya Besar yang sempat menjabat seumur jagung, secara tidak resmi kembali mundur pelan-pelan.Riani dan Gavin mengunjungi makam Joseph setiap hari, namun mengambil waktu yang berbeda agar satu sama lain tidak bertemu muka di pemakaman. Sepertinya ibu dan anak ini memang tidak lagi bisa memperbaiki hubungan, maka keduanya memilih sama-sama calm down saja.Inara sebaliknya, yang sekarang secara rutin mendatangi mansion utama untuk memantau keadaan sang mertua. Bukan berarti Inara sudah berakrab-akrab ria, ia hanya memantau dari kejauhan. Malah terkadang tidak menampakkan diri dan hanya melihat Riani duduk sendirian di taman belakang mansion megahnya, kemudian pulang.
**“Inara ….”Demi apapun, Inara terkesiap mendengar satu kata yang keluar dari bibir mertuanya itu. Selama nyaris dua tahun menjadi istri Gavin, ini adalah pertama kalinya Riani memanggil namanya. Pertama kali Riani menyebut namanya dengan sejelas itu.“Mam?” Inara menatap wanita itu dengan tidak yakin.“Kalau aku datang ke rumah kalian, apakah Gavin akan menerima? Ataukah akan membiarkan aku begitu saja seperti pertama dan terakhir kali aku datang ke sana?”Inara terkesima. Tidak percaya kata-kata seperti itu akan meluncur dari bibir wanita yang sepertinya telah menghabiskan separuh hidupnya untuk menciptakan musuh.“Aku … aku ingin datang dan melihat putrimu.”Inara sampai bertukar pandang dengan Aldo sebab sama-sama mengira salah dengar. Ah, atau mungkinkah Riani salah makan sesuatu tadi pagi sehingga sekarang merasa pusing?“Mam, serius bicara begitu?” Wanita itu menoleh kepada sang menantu yang terheran-heran. Wajahnya masih sama seperti kemarin-kemarin, hampa dan tidak ada war
**“Mau apa Mami ke sini lagi?”Riani terpaku di tempatnya berdiri. Ia bahkan tidak berani menggerakkan kakinya sedikitpun dan hanya termangu di samping mobil yang barusan menurunkannya.“Ada perlu apa Mami ke sini lagi?” ulang Gavin, yang membuat Riani justru kian tersudut.Bagaimana? Riani ragu-ragu melangkah. Haruskah berbalik dan pulang saja? Tapi Inara tadi berkata tidak masalah jika ia datang. Ah, lebih dari itu, di mana Inara saat ini?“Ga-Gavin ….”“Aku tanya, Ada perlu apa lagi Mami ke sini?”“Papa, ada siapa di luar?”Ketegangan dua orang dewasa itu seketika terinterupsi saat suara kecil menyeruak di antara mereka. Aylin muncul di ambang pintu untuk memeriksa dengan siapa ayahnya bersitegang. Gadis cilik itu lantas menggulirkan pandangan kedua mata polosnya, menuju satu-satunya objek lain selain sang ayah yang berada di halaman petang hari itu.“Papa, ada tamu, ya?”“Aylin ….”“Papa, kenapa tamunya diam saja di sana? Kenapa nggak disuruh masuk?” Meski bocah kecil itu bertan
**(Mengandung konten 21+)“Sayang?”Inara mendorong pintu ruang kerja suaminya yang tidak terkunci. Ia masuk perlahan, mendapati sang suami yang sedang berdiam diri di hadapan layar laptop, di atas kursi kerjanya.“Apa aku mengganggu? Kamu sibuk?”Gavin mendengus. “Aku akan dengan senang hati menerima gangguanmu, Inara. Sini, masuklah.”Inara tersenyum lebar. Dengan agak terlalu antusias ia masuk dan menutup kembali pintunya. Melangkah ke arah Gavin, kemudian mendudukkan diri di atas pangkuan pria itu.“Sudah malam, kenapa kerja terus?”“Aku harus cari uang buat menghidupi kamu dan Aylin, istriku.”“Kamu nggak akan mendadak jatuh miskin hanya karena satu hari saja nggak lembur. Tutup laptopnya dan ayo kita ke kamar.”Gavin tertawa pelan. Istrinya ini memang paling pintar mengalihkan suasana hati ketika ia sedang badmood.“Memangnya kenapa harus ke kamar, Inara? Nggak bisakah di sini saja?”“Kalau kamu mau di sini, ya aku nggak keberatan.”Gavin kali ini benar-benar tertawa, melupakan
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be