**Semesta seperti turut bersedih atas kehilangan Joseph Sanjaya siang itu. Gerimis mengalun turun. Tidak deras, namun konstan bagaikan air mata langit.Sebelum Joseph dikebumikan di peristirahatan terakhirnya, dan sebelum berita duka disampaikan kepada seluruh kerabat, Gavin ingin mengabarkan semua ini sendiri kepada Riani. Maka di bawah rinai gerimis yang turun dalam senyap siang itu, Gavin mengemudi sendirian menuju kantor SR, di mana sang ibu sedang berada.Jas hitam dan rambutnya yang basah menarik perhatian seluruh penghuni kantor, namun Gavin tidak peduli. Ia masuk lift menuju ruangan pimpinan dalam diam, tidak berbagi sapa kepada siapapun yang ditemuinya.Riani yang sedang fokus pada pekerjaan mengangkat wajah perlahan saat pintu ruangannya dibuka tanpa diketuk dulu. Ia gagal menyuarakan hardikan saat mendapati siapa yang datang dan seperti apa keadaannya.“Gavin?” gumamnya pelan. Kedua matanya tajam menatap sosok sang putra yang tampak sangat tidak biasa. Kulitnya yang pucat
**Riani Sanjaya terus menangis sesenggukan di kursi belakang mobil yang ia tumpangi. Tidak tahu ke mana pria dalam mobil itu akan membawanya. Dan sebab rasa putus asa yang terlampau besar, sepertinya Riani tidak lagi peduli ia akan dibawa ke mana.“Nyonya kenapa sendirian di tengah jalan?” Pria dari balik kemudi itu bertanya. Ia memandang penuh simpati dari kaca spion.Riani hanya menggeleng. Air mata berjatuhan, membasahi bibirnya yang pias. Semua orang yang melihatnya, akan mengira wanita itu tengah bersedih karena kehilangan orang yang ia cintai. Tidak ada seorang pun yang tahu, bahwa Riani menangis sebab rasa sesal yang menghantam hatinya dengan telak.Apakah pada titik ini, Riani sudah bisa dibilang mencintai Joseph? Kalau benar begitu, maka hari ini ia akan menjadi orang yang paling tidak beruntung di dunia ini. Rasa cinta itu datang setelah ia kehilangan.“Siapa kau ini?” Setelah beberapa saat waktu berlalu, Riani akhirnya memutuskan bertanya. “Kau tahu di mana suamiku berada
**Riani sama sekali tidak bisa mengingat apa yang terjadi dengan dirinya setelah melihat tubuh sang suami untuk yang terakhir kalinya di dalam peti. Ketika ia membuka mata berjam-jam sesudahnya, ia sudah menghadap langit-langit temaram yang asing. Ini jelas sekali bukan kamar tidurnya. Riani meraba tubuhnya, yang ternyata juga sudah tidak basah kuyup seperti sebelumnya. Seseorang sudah menukar baju basah yang ia kenakan dengan pakaian kering.Beberapa saat terdiam dan tenggelam dalam heningnya suasana, akhirnya suara derit pintu yang terbuka terdengar menusuk rungu.“Mami? Sudah bangun?”Itu adalah suara Inara. Riani enggan bergerak sekalipun hanya untuk mengalihkan pandang dan menengok Inara yang datang. Ia tetap pada posisi semula, diam memandang langit-langit kamar yang temaram.“Mam, aku bawakan sup hangat. Dimakan ya, biar nggak masuk angin. Sekarang sudah malam, dan aku yakin Mami belum makan apapun dari siang.”Inara meletakkan nampan berisi mangkuk sup dan cangkir minuman han
**Kehilangan Joseph meninggalkan duka yang mendalam pada hati Gavin. Ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa akan setiba-tiba ini kehilangan ayah yang dicintainya. Terlebih lagi, Joseph tidak pernah mengeluhkan sakit apapun selama ini, apalagi gangguan jantung. Segalanya tampak baik-baik saja sejauh ini. Hal itu membuat Gavin masih merasa ini mimpi, sampai berhari-hari waktu berlalu.“Papa lagi sedih, ya?”Ketika pria itu sedang duduk menyendiri di halaman belakang rumahnya yang luas, sang putri menghampiri dan bertanya.Gavin mengalihkan pandang kepada putri kecilnya yang jelita. Ia memaksakan mengulas senyum meski sulit ia lakukan.“Papa sedih, Nak.”“Karena Opa Jo sakit?”“Sebenarnya, karena Opa Jo sudah nggak sama-sama kita lagi.”“Hm?” Kedua manik doe milik Aylin berkedip polos. “Opa Jo dimasukkan ke dalam kotak ya, Papa? Kata orang-orang, Opa Jo meninggal? Meninggal itu apa?”Gavin hanya tersenyum sementara mengelus surai panjang sang putri. Lidahnya terasa kelu, tidak mampu
**Inara berdebar-debar. Sudah lama bersuamikan seorang Gavin Devano Sanjaya, baru kali ini ia bertandang ke kediaman orang tua pria itu. Itu pun juga dalam suasana yang tidak cukup bagus. Berkali-kali ia menghela napas, menenangkan dirinya sendiri di kursi belakang. Tanpa ia tahu, Rendra sedang mengawasinya dari balik kaca spion.“Nona baik-baik saja?” Orang kepercayaan Gavin nomor satu itu bertanya dengan khawatir. Sekali-sekali ia membagi fokus mengemudinya dengan memandang sang Nona di kursi belakang. “Apakah kita batalkan saja? Atau kalau perlu, saya saja yang nanti bicara dengan Nyonya Besar.”“Nggak apa-apa, Pak Ren. Aku hanya gugup, kok. Ini kan pertama kalinya aku datang ke kediaman Mami.” Perempuan itu tersenyum dan balas memandang sekilas ke arah kaca spion. “Sepanjang jadi istrinya Gavin, aku sama sekali belum pernah datang ke rumah Mami, kan. Ke apartemen Gavin yang lama dulu saja juga cuma satu atau dua kali.”“Karena Tuan Muda mengkhawatirkan keselamatan anda, Nona. Man
**Betapa aneh rasanya, saat kemudian waktu kembali berjalan seperti sedia kala namun dengan keadaan yang lebih damai. Kesedihan masih sesekali terasa saat Gavin mengenang Joseph sendirian, namun pria itu memilih mengalihkan kekosongan hati akibat ditinggal Papi tercinta dengan kembali aktif mengurus kantor SR. Sebab sang Nyonya Besar yang sempat menjabat seumur jagung, secara tidak resmi kembali mundur pelan-pelan.Riani dan Gavin mengunjungi makam Joseph setiap hari, namun mengambil waktu yang berbeda agar satu sama lain tidak bertemu muka di pemakaman. Sepertinya ibu dan anak ini memang tidak lagi bisa memperbaiki hubungan, maka keduanya memilih sama-sama calm down saja.Inara sebaliknya, yang sekarang secara rutin mendatangi mansion utama untuk memantau keadaan sang mertua. Bukan berarti Inara sudah berakrab-akrab ria, ia hanya memantau dari kejauhan. Malah terkadang tidak menampakkan diri dan hanya melihat Riani duduk sendirian di taman belakang mansion megahnya, kemudian pulang.
**“Inara ….”Demi apapun, Inara terkesiap mendengar satu kata yang keluar dari bibir mertuanya itu. Selama nyaris dua tahun menjadi istri Gavin, ini adalah pertama kalinya Riani memanggil namanya. Pertama kali Riani menyebut namanya dengan sejelas itu.“Mam?” Inara menatap wanita itu dengan tidak yakin.“Kalau aku datang ke rumah kalian, apakah Gavin akan menerima? Ataukah akan membiarkan aku begitu saja seperti pertama dan terakhir kali aku datang ke sana?”Inara terkesima. Tidak percaya kata-kata seperti itu akan meluncur dari bibir wanita yang sepertinya telah menghabiskan separuh hidupnya untuk menciptakan musuh.“Aku … aku ingin datang dan melihat putrimu.”Inara sampai bertukar pandang dengan Aldo sebab sama-sama mengira salah dengar. Ah, atau mungkinkah Riani salah makan sesuatu tadi pagi sehingga sekarang merasa pusing?“Mam, serius bicara begitu?” Wanita itu menoleh kepada sang menantu yang terheran-heran. Wajahnya masih sama seperti kemarin-kemarin, hampa dan tidak ada war
**“Mau apa Mami ke sini lagi?”Riani terpaku di tempatnya berdiri. Ia bahkan tidak berani menggerakkan kakinya sedikitpun dan hanya termangu di samping mobil yang barusan menurunkannya.“Ada perlu apa Mami ke sini lagi?” ulang Gavin, yang membuat Riani justru kian tersudut.Bagaimana? Riani ragu-ragu melangkah. Haruskah berbalik dan pulang saja? Tapi Inara tadi berkata tidak masalah jika ia datang. Ah, lebih dari itu, di mana Inara saat ini?“Ga-Gavin ….”“Aku tanya, Ada perlu apa lagi Mami ke sini?”“Papa, ada siapa di luar?”Ketegangan dua orang dewasa itu seketika terinterupsi saat suara kecil menyeruak di antara mereka. Aylin muncul di ambang pintu untuk memeriksa dengan siapa ayahnya bersitegang. Gadis cilik itu lantas menggulirkan pandangan kedua mata polosnya, menuju satu-satunya objek lain selain sang ayah yang berada di halaman petang hari itu.“Papa, ada tamu, ya?”“Aylin ….”“Papa, kenapa tamunya diam saja di sana? Kenapa nggak disuruh masuk?” Meski bocah kecil itu bertan