**Kesedihan Joseph ternyata berlarut-larut hingga banyak waktu ke depan. Saat sedang bersama dengan Aylin, atau Inara dan Gavin, kesedihan itu mungkin bisa teralihkan. Namun saat Joseph kembali berada di rumahnya sendiri, ia tidak bisa mengendalikan rasa sedih yang mencengkeram hatinya.Terlebih saat ini Riani kembali aktif di kantor, sehingga Joseph nyaris tidak pernah bertemu muka dengan wanita itu selain saat sarapan pagi. Di samping juga karena Riani sendiri yang enggan didekati.Maka, hari-hari Joseph habiskan dalam sepi, merenungi cintanya yang tiga puluh sembilan tahun bertepuk sebelah tangan.Ponsel berdering saat Joseph sedang melamun di tepi balkon lantai tiga, tempat favoritnya menikmati senja yang perlahan mulai lindap menyambut malam. Awan-awan jingga yang menyepuh bagian barat kaki langit tampak syahdu sekali.Pria itu mendekati benda pipih yang ia letakkan di atas meja beranda balkon. Nama Inara tertera di layarnya. Dengan senyum mengembang, Joseph menerima panggilan
**“Aku coba hubungi Mami lagi ya, Sayang?”Inara menepuk pelan bahu Gavin sebelum beranjak dari sofa ruang tunggu kamar VIP tempat Joseph dirawat.Berjam-jam telah berlalu dan Joseph sekarang sudah berada di ruangan ICU VIP meski belum sadar dan belum boleh ditunggui. Inara dan Gavin menunggu di ruangan khusus yang disediakan, sementara Rendra sedang membereskan masalah administrasi.Gavin meraih tangan Inara dan mencegahnya beranjak. “Nggak usah, Inara. Sepertinya nggak ada gunanya juga. Lagian belum tentu kalau Mami mau datang.”Kedua alis Inara terangkat naik tanpa sadar. “Kok begitu? Siapa tahu sekarang Mami sudah ada di rumah dan lagi cari Papi, lho.”“Kalaupun iya, para maid di rumah pasti sudah kasih tahu Papi ada di mana, dan Mami sudah dari tadi ada di sini. Nyatanya enggak, kan?”Inara terdiam, tidak bisa menjawab apapun. Hanya memandang iba kepada sang suami yang tampak begitu terpukul dengan kejadian ini.“Di sini saja, Inara. Aku nggak bisa tanpa kamu sekarang ini.”Ah,
**Hampir menjelang pagi, Arsa, Eliza, dan Aldo datang, menyusul ke rumah sakit. Eliza seketika berbagi pelukan dan air mata dengan sang putri. Seluruh keluarga inti sudah berada di tempat saat ini.“Mami kamu nggak datang, Vin?” Arsa bertanya, yang segera mendapatkan delikan tidak setuju dari Eliza.“Nggak apa-apa, Ma’am.” Tapi Gavin menimpali dengan senyuman. “Memang kenyataannya seperti ini, kan? Ya, benar. Inara sudah nelepon Mami tadi. Dia nggak mau datang atau seperti itu. Sepertinya sakitnya Papi ada hubungannya sama Mami. Papi lagi pegang cincin pernikahan Mami sampai di ruangan UGD kemarin.”Pasangan suami istri Bagaskara itu bertukar pandang setelah mendengar keterangan Gavin. Hanya bisa menghela napas sembari menepuk-nepuk pelan pundak menantu mereka untuk memberikan dukungan moral. Sangat mengerti, sebab kekecewaan tergambar jelas dalam raut wajah Gavin.“Kalian berdua semalaman di sini dan nggak tidur, kan? Gue beliin sesuatu di luar, ya?” Gavin menawarkan, lebih karena i
**Semesta seperti turut bersedih atas kehilangan Joseph Sanjaya siang itu. Gerimis mengalun turun. Tidak deras, namun konstan bagaikan air mata langit.Sebelum Joseph dikebumikan di peristirahatan terakhirnya, dan sebelum berita duka disampaikan kepada seluruh kerabat, Gavin ingin mengabarkan semua ini sendiri kepada Riani. Maka di bawah rinai gerimis yang turun dalam senyap siang itu, Gavin mengemudi sendirian menuju kantor SR, di mana sang ibu sedang berada.Jas hitam dan rambutnya yang basah menarik perhatian seluruh penghuni kantor, namun Gavin tidak peduli. Ia masuk lift menuju ruangan pimpinan dalam diam, tidak berbagi sapa kepada siapapun yang ditemuinya.Riani yang sedang fokus pada pekerjaan mengangkat wajah perlahan saat pintu ruangannya dibuka tanpa diketuk dulu. Ia gagal menyuarakan hardikan saat mendapati siapa yang datang dan seperti apa keadaannya.“Gavin?” gumamnya pelan. Kedua matanya tajam menatap sosok sang putra yang tampak sangat tidak biasa. Kulitnya yang pucat
**Riani Sanjaya terus menangis sesenggukan di kursi belakang mobil yang ia tumpangi. Tidak tahu ke mana pria dalam mobil itu akan membawanya. Dan sebab rasa putus asa yang terlampau besar, sepertinya Riani tidak lagi peduli ia akan dibawa ke mana.“Nyonya kenapa sendirian di tengah jalan?” Pria dari balik kemudi itu bertanya. Ia memandang penuh simpati dari kaca spion.Riani hanya menggeleng. Air mata berjatuhan, membasahi bibirnya yang pias. Semua orang yang melihatnya, akan mengira wanita itu tengah bersedih karena kehilangan orang yang ia cintai. Tidak ada seorang pun yang tahu, bahwa Riani menangis sebab rasa sesal yang menghantam hatinya dengan telak.Apakah pada titik ini, Riani sudah bisa dibilang mencintai Joseph? Kalau benar begitu, maka hari ini ia akan menjadi orang yang paling tidak beruntung di dunia ini. Rasa cinta itu datang setelah ia kehilangan.“Siapa kau ini?” Setelah beberapa saat waktu berlalu, Riani akhirnya memutuskan bertanya. “Kau tahu di mana suamiku berada
**Riani sama sekali tidak bisa mengingat apa yang terjadi dengan dirinya setelah melihat tubuh sang suami untuk yang terakhir kalinya di dalam peti. Ketika ia membuka mata berjam-jam sesudahnya, ia sudah menghadap langit-langit temaram yang asing. Ini jelas sekali bukan kamar tidurnya. Riani meraba tubuhnya, yang ternyata juga sudah tidak basah kuyup seperti sebelumnya. Seseorang sudah menukar baju basah yang ia kenakan dengan pakaian kering.Beberapa saat terdiam dan tenggelam dalam heningnya suasana, akhirnya suara derit pintu yang terbuka terdengar menusuk rungu.“Mami? Sudah bangun?”Itu adalah suara Inara. Riani enggan bergerak sekalipun hanya untuk mengalihkan pandang dan menengok Inara yang datang. Ia tetap pada posisi semula, diam memandang langit-langit kamar yang temaram.“Mam, aku bawakan sup hangat. Dimakan ya, biar nggak masuk angin. Sekarang sudah malam, dan aku yakin Mami belum makan apapun dari siang.”Inara meletakkan nampan berisi mangkuk sup dan cangkir minuman han
**Kehilangan Joseph meninggalkan duka yang mendalam pada hati Gavin. Ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa akan setiba-tiba ini kehilangan ayah yang dicintainya. Terlebih lagi, Joseph tidak pernah mengeluhkan sakit apapun selama ini, apalagi gangguan jantung. Segalanya tampak baik-baik saja sejauh ini. Hal itu membuat Gavin masih merasa ini mimpi, sampai berhari-hari waktu berlalu.“Papa lagi sedih, ya?”Ketika pria itu sedang duduk menyendiri di halaman belakang rumahnya yang luas, sang putri menghampiri dan bertanya.Gavin mengalihkan pandang kepada putri kecilnya yang jelita. Ia memaksakan mengulas senyum meski sulit ia lakukan.“Papa sedih, Nak.”“Karena Opa Jo sakit?”“Sebenarnya, karena Opa Jo sudah nggak sama-sama kita lagi.”“Hm?” Kedua manik doe milik Aylin berkedip polos. “Opa Jo dimasukkan ke dalam kotak ya, Papa? Kata orang-orang, Opa Jo meninggal? Meninggal itu apa?”Gavin hanya tersenyum sementara mengelus surai panjang sang putri. Lidahnya terasa kelu, tidak mampu
**Inara berdebar-debar. Sudah lama bersuamikan seorang Gavin Devano Sanjaya, baru kali ini ia bertandang ke kediaman orang tua pria itu. Itu pun juga dalam suasana yang tidak cukup bagus. Berkali-kali ia menghela napas, menenangkan dirinya sendiri di kursi belakang. Tanpa ia tahu, Rendra sedang mengawasinya dari balik kaca spion.“Nona baik-baik saja?” Orang kepercayaan Gavin nomor satu itu bertanya dengan khawatir. Sekali-sekali ia membagi fokus mengemudinya dengan memandang sang Nona di kursi belakang. “Apakah kita batalkan saja? Atau kalau perlu, saya saja yang nanti bicara dengan Nyonya Besar.”“Nggak apa-apa, Pak Ren. Aku hanya gugup, kok. Ini kan pertama kalinya aku datang ke kediaman Mami.” Perempuan itu tersenyum dan balas memandang sekilas ke arah kaca spion. “Sepanjang jadi istrinya Gavin, aku sama sekali belum pernah datang ke rumah Mami, kan. Ke apartemen Gavin yang lama dulu saja juga cuma satu atau dua kali.”“Karena Tuan Muda mengkhawatirkan keselamatan anda, Nona. Man