“Damar? ini pasti Damar.” Maya berdiri menghampiri pemuda yang ia yakin sekali namanya Damar.
“Iya, Neng Maya.” jawab pemuda yang bernama Damar itu.“Alah! Pake Neng sagala euy, panggil saja Maya. Dulu kamu masih kecil, sekarang sudah segini, loh.” Dengan logat sunda kentalnya Maya, seperti nampak sudah akrab dengan pemuda itu.Pemuda bernama Damar itu tersenyum.
“Tadi Nenek yang suruh kemari,” kata Nenek menyela obrolan mereka.“Saluran air di belakang kadang macet, Nenek menyuruh Damar membetulkan, tadi kebetulan ketemu waktu Damar mau ke mesjid,” terang Nenek. Maya mengangguk mengerti.Sisi yang menyaksikan obrolan mereka terbengong-bengong sampai lupa untuk minum. Sejak tadi tangannya hanya memainkan pinggiran piring makanannya. Itu pemuda yang tadi pagi Sisi lihat mengobrol dengan Nenek. Jadi Damar ternyata namanya. Batin Sisi.
”Waduh, aku sampe kelupaan, kenalin ini Sisi temen kantorku di Jakarta.” Ternyata Maya baru sadar kalau ia harus kenalkan Damar ke Sisi. Sisi menganggguk sedikit. Namun pandangan mata Sisi sempat beradu pandang cukup lama dengan Damar. Pada saat mereka bersalaman, begitupun Damar. Sisi seperti terhipnotis mata tajam Damar, yang seolah hendak menyentuh kelopak mata Sisi.
“Sisi,” ucap Sisi lirih memperkenalkan diri.
Setelah melihat dari dekat, memang penglihatan Sisi tadi pagi tidak berbohong. Damar memang pemuda tampan, sopan, dan ramah. Walau agak sedikit tidak terawat, namun Sisi yakin jika Damar dirapikan sedikit saja bisa mirip artis-artis ibukota. Fedy Nuril. Tutur katanya juga lemah lembut, tidak urakan, seperti kebanyakan pemuda-pemuda di kota.“Damar...” suara Damar memperkenalkan diri juga, membuat hati Sisi lupa segalanya, bahkan lupa ada Maya dan Nenek di situ.
Hari pertama di rumah Nenek, membuat Sisi betah dan makin kerasan. Ia menurut saja setiap Maya ajak jalan keliling-keliling kampung. Sambil melihat orang-orang kampung situ yang selalu ramah menyapa Sisi juga Maya setiap berpapasan dengan mereka berdua.
Seakan Sisi lupa semua masalahnya, lupa kegundahan dan kesedihannya, dan tentunya lupa akan, Rio!
Rio meninggalkannya demi pesan almarhum papanya sebelum meninggal, bahwa ia harus pindah menetap ke Australia untuk bekerja dan menikahi Cecilia. Merupakan putri dari seorang konglomerat, teman sejawat papanya Rio sejak kecil.
Dan itulah yang membuat Sisi dan Rio harus memaksakan untuk berpisah. Karena Rio sangat tidak ingin mengecewakan almarhum papanya. Begitu juga Sisi, ia merasa harus ikhlas dengan semuanya itu. Meski berat saat itu, melepas Rio.
Hari kedua, Sisi masih berada di situ menikmati suasana desa yang sejuk bersama sahabatnya, Maya. Sejenak ia tidak terpaku dengan sosok Damar yang sehari penuh kemarin mengelilingi pikirannya. Bagi Sisi, Damar itu sempurna. Sempurna dalam arti bahwa, berbeda dengan pemuda kota yang berani dan kadang brutal, bahkan yang sering orang bilang “MODUS” entahlah, seperti itulah istilahnya. Selintaspun ia tidak tebersit nama atau bayangan RIO, ya “RIO”
Sisi lupa sama sekali.
Padahal baru saja dua hari di sini, pikiran Sisi segar, sesegar ia kali pertama melihat Damar. Dan kini hingga detik ini telah membawanya ke awang-awang, sehingga membuatnya betah berlama-lama di tempat ini.
Tapi tidak mungkin Sisi berlama-lama juga di sini. Dia kan harus bekerja, di Jakarta. Dan kembali ke Jakarta, kembali ke rumah. Di rumahnya yang ada hanya mama dan kakaknya yang amat bawel, Sena. Namun Sisi amat menyayanginya. Kak Sena amat perhatian meski tegas dan sedikit cerewet.“Sisi!” suara Maya mengejutkannya yang sedang memperhatikan anak-anak kecil yang berlari-lari berkejaran bersama teman-teman sebayanya. Mereka anak-anak kecil desa ini begitu polos dan alami. Sambil bermain permainan yang masih tradisional di daerah sini. Senyum Sisi amat lepas memperhatikan mereka dari jauh.
“Sisi!” panggilan Maya semakin dekat.
“Si, kau tau gak?” tanya Maya. Sisi menggeleng cepat, karena memang tidak tahu apa yang dimaksud pertanyaan Maya.“Kenapa memangnya, May?” tanya Sisi kembali.“Masih ingat Damar?” Sisi mengangguk dua kali dengan cepat. Dengan mata sedikit mendelik, memandang langsung ke arah mata Maya. Seperti menunggu kata-kata Maya selanjutnya tanpa sabar.“Damar itu tinggal di sana Si," kata Maya sambil menuding kecil jemari telunjuknya. Sisi langsung spontan menengok ke arah yang ditunjuk Maya. Sisi mengangguk berkali-kali sambil membatin, “Jauh juga ya."“Karena mesjid kan dekat sini saja yang ada Si,” ucap Maya seolah mengerti apa yang dipikirkan Sisi.
“Nah, Damar memang sering sholat di Mesjid sini Si, makanya kenal Nenek, dan nenek amat dekat dengan Damar. Karena Damar suka menolong ibu-ibu di sini, atau orang tua di sini, dan dia selalu membantu mereka. Damar tinggal dengan ibunya di sana, dia anak baik." Maya menjelaskan sambil menyengir, disambut cengiran Sisi juga.
Ada-ada saja Maya, ceritanya. Berarti memang Damar benar-benar pemuda sopan, ramah dan suka menolong. Wah, hebatnya masih ada ternyata pemuda seperti itu di zaman modern ini. Maklumlah di desa. Beribadah juga meski harus menempuh jarak yang sangat jauh dari tempat tinggalnya. Sisi kagum.
“Oh ya, Si,” lanjut Maya lagi. “Dia itu pernah bilang ke Nenek kepingin kerja di Jakarta loh. Hnya saja nenek bilang, Jakarta tidak seperti yang kita bayangkan, enak, gaji gede. Jakarta itu keras begitu kata nenek ke Damar,”
“Hahahaha!” Maya tertawa terpingkal, diikuti Sisi tertawa juga. Menurut mereka berdua itu menggelikan, karena ditambah sekarang hati Sisi seperti baru, lebih fresh. Pikiranpun seperti lepas bebas. Ingin rasanya lebih lama lagi di sini.
“Padahal Jakarta gak seperti itu juga ya May, tergantung bagaimana manusianya,” lanjut Sisi sembari senyum simpul.
“Sejak itu Damar sepertinya gak lagi minat ke Jakarta, Si." Maya mengerlingkan matanya.“Masa?” tanya Sisi heran.Sisi menyatukan jari jemarinya sembari sedikit terlihat berpikir keras. Ah sudahlah, pemikiran yang tidak ada gunanya. Buat apa ia sampai punya pikiran untuk mengajak Damar melamar kerjaan, bahkan membantunya mencari pekerjaan di Jakarta. Kantor ia bekerjapun belum mencari calon karyawan baru, apalagi ia menjanjikan pekerjaan di Jakarta. Buat Damar?
Ahhh sudahlah, kembali Sisi menepisnya, berpuluh pemikiran itu tidak akan ada jalannya.
Menyusuri pedesaan ini memang menyenangkan. Karena Sisi seperti merasakan hati yang baru, benar-benar seperti bunga merekah dihati. Apakah Sisi sekarang sedang jatuh cinta? Aduh! Secepat itu, Si? Sisi membuang perasaan itu, yang sejujurnya tidak dapat ia lakukan. Dan memang diakuinya, ia tengah jatuh cinta. Sosok yang sempat membuat beberapa hari ini berbunga-bunga tiada henti. Ia benar-benar kuat merasakan hatinya berdebar kencang ketika membayangkan wajah pemuda itu.Besok, mereka harus kembali ke Jakarta, untuk masuk kantor lagi. Pastinya tidak bisa berlama-lama di desa ini. Tetapi hati Sisi ada kerinduan. Ingin bertemu Damar lagi, seperti ada sengatan listrik kuat didiri Sisi. Yang sepertinya Damar belum tahu, dan sepertinya Damar tidak merasakan apa yang Sisi rasakan.Namun, Sisi teringat kembali saat ia dan Damar diperkenalkan Maya. Mata Damar berbeda saat menatapnya, dan bola mata mereka saling bertabrakan, bertautan. Apakah itu artinya mereka saling jatuh cinta
Sesaat mereka terdiam, Sisi masih dalam pengaruh lelucon Damar tadi dan masih menyisakan tawanya. Sehingga, tanpa ia sadari, Damar menarik lembut jemari Sisi. Sisi tersentak kaget, membisu, entah mau bilang apa. Damar erat meraih jemarinya. Dan meremas lembut jemari Sisi.Tangan Damar terasa hangat. Sedangkan tangan Sisi dingin sekali, seperti itu yang Sisi rasakan. Damar diam membisu, tanpa berkata. Apalagi Sisi, mereka hanya bertatapan lama. Namun wajah mereka begitu dekat, bola mata mereka lurus bertabrakan. Sunyi di antara mereka tanpa suara. Mereka sepertinya tadi penuh canda dan obrolan-obrolan renyah. Kali ini beda hanya mata mereka yang berbicara. Entah membicarakan apa. Dan genggam erat jemari mereka yang menjawab setiap pertanyaan yang terlontar dari mata masing-masing.“Aku suka kamu, Si." Suara itu baru terdengar, Sisi merasakan tubuhnya seperti tidak ada tulang belulangnya, lemas. Jantungnya seperti copot entah lepas ke arah mana, ia tidak perduli. Y
Setelah sampai pada jembatan kecil, dan membuat Sisi sedikit ngeri. Karena di bawahnya, adalah kali yang airnya deras namun jernih, Sisi agak sedikit takut.“Pegangan yang erat, Si!” seru Maya sambil meraih tangan Sisi, dan mereka bebarengan bergandengan tangan hingga sampai di ujung jembatan. Sisi tidak berani melihat ke bawah.Sesampai di ujung jembatan, Sisi bernafas lega. Membayangkan arus deras di bawah jembatan yang ia lalui bersama Maya tadi. Ditambah, jembatannya sempit dan agak bergoyang-goyang membikin dada Sisi berdegup. Karena mereka kan membawa tas yang cukup berat, juga ransel yang Sisi dan Maya bawa di pundak mereka.“Sampai juga.” Maya membetulkan posisi ranselnya dan tas goddie bagnya yang ia tenteng lumayan berat.“Itu, rumah Damar!” seru Maya tiba-tiba. Sontak membuat Sisi langsung menyimak. Tentu saja itu yang sejak tadi ia tunggu-tunggu, yaitu melewati rumah Damar.“Yuk, kita mampir dulu sebentar saja ke sana," ajak Maya. Sisi menge
Sisi teringat saat itu lagi, sebentar saja. Membayang kembali apa yang waktu itu Rio utarakan. Meski ia sempat lupa sama sekali selama bersama Maya di Bandung, saat itu. Sampai ia bertemu dengan seorang Damar. Semua ia lewati dengan mulus. Tetapi kenapa setelah ia sendirian seperti ini, masih saja kuat bayangan itu mendatanginya dan mendekat padanya lagi.Sisi tidak mau menangis lagi. Sisi ingin melupakan Rio, sekarang ia bertekad untuk lihat ke depan bukan ke belakang. Rio adalah masa lalunya kini. Sekarang ada seseorang yang mengisi hatinya. Dia memang sudah sanggup melupakan rasa pahit pada diri Sisi, yaitu mengingat akan Rio.Damar pun sepertinya bisa. Dan kini Sisi jatuh cinta pada Damar, begitupun Damar, Sisi merasakannya. Pandangan mata Damar begitu teduh. Membuat Sisi selalu rindu sosoknya, ingat saat mereka pertama berkenalan, sampai ia tidak sengaja bertemu saat ia sedang sendiri duduk di bawah pohon rindang. Semua kebetulan, dan meski sudah lewat, Sisi masih m
Sudah seharian mereka menghabiskan waktu di mall. Merekapun merasa puas. Makan, belanja, dan menghabiskan waktu dengan kak Sena, memang menyenangkan. Hingga Sisi lupa sesaat dengan apa yang dilihatnya tadi, yaitu Rio dengan seorang gadis. Yang sama sekali tidak Sisi kenal.Walaupun dengan Cecilia, Sisi belum mengenal dan bertemu denganya, namun Sisi sudah pernah diperlihatkan Rio dari fotonya. Sisi hafal sekali, dan berbeda dengan Cecilia gadis yang dilihatnya tadi. Yang berjalan dengan Rio.Cecilia terlihat amat terhormat difoto itu. Dengan berbalut gaun malam anggun difotonya itu. Tidak seperti yang Sisi lihat tadi. Memakai rok mini, manja, dan matanya lebih suka melihat barang mewah, seperti penampilannya. Sangat fashionable juga glamour, dan Rio suka jalan dengan gadis itu? Bukan Cecilia? Sisi tidak habis fikir.Sampai di rumah pun, Sisi masih terbayang dengan apa yang ia saksikan tadi, Rio dengan gadis itu. Sudahlah, tak perlu dipanjangin bayanginnya. Karena s
Sisi masih saja memikirkan perkataan Maya tadi pagi. Hari ini di kantor, membuatnya kembali tidak bersemangat. Ia masih saja mengingat Rio yang berjalan dengan cewek yang dia bilang itu adik Cecilia. Kenapa tidak ada Cecilia bersama mereka? Dan mereka sangat mesra terlihat. Bahkan cewek itu menyender-nyender kepada pundak Rio."Hei! bengong! ayok buru rapiin meja kamu. Kita hari ini keluar cari inspirasi. Bos yang suruh." Tepukan di pundak Sisi mengejutkan Sisi yang sedang kelihatan bengong."Bentar, May, Aku rapikan dulu mejaku."Maya mengangguk.Pekerjaan mencari berita adalah tugas mereka. Jadi memang mereka tidak harus stay di kantor saja.Sisi merapikan mejanya segera. Semua barang-barang atribut, nametag dan sebagainya ia masukkan ke dalam tasnya. Lalu segera berbarengan keluar kantor bersama dengan Maya."Kita bebas, Si. Berita apapun akan kita dapatkan nanti. mensurvey suatu tempat yang akan kita kunjungi. Tidak harus pusat perbelanjaan," jelas May
itu kan Rio? Tapi sedang sama siapa?"Si?" Tegur Maya sambil lambai-lambaikan tangan di wajah Sisi"Itu." Sisi menuding ke arah belakang Maya.Maya lalu segera menoleh."Itu Rio, kan?" tanya Maya."He eh!" Sisi mengangguk"Sama siapa itu, Si?""Entahlah," Sisi menggeleng. Mengangkat kedua punggungnya."Bodo amatlah May," ujar Sisi dengan wajah datar dan memelas.Sisi jadi tidak semangat makan. Makanannya dia acak-acak saja tanpa memakannya.Maya mengernyit melihat Sisi."Cewek itu yang Papanya Rio jodohkan?" Maya bertanya makin penasaran.Sisi menggeleng"Bukan, May. Itu bukan Cecilia. Makanya aku gak ngerti, May" jelas Sisi sambil menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya. Malas-malasan.Padahal Sisi kesal juga lihat pemandangan itu. Jelas banget Rio selingkuh. Selingkuh dari Cecilia. Jauh darinya, Sisi pikir ia bakal sama Cecilia pilihan Papanya. Tapi justru sama cewek lain. Keterlaluan memang Rio.Rio
Ketika melihat kemarin di restoran itu, Sisi merasa kesal sendiri. Lantaran ia masih dibuat berpikir mengapa Rio selalu jalan dengan cewek itu? Dan bukan dengan Cecilia. Ah membingungkan."Aku gak habis pikir ih. Kemana Cecilia? apa benar itu adalah adik Cecilia? Atau Cecilia tidak berhubungan dengan Rio? Dan menjodohkan adiknya dengan Rio? Memang Cecilia punya adik?"Berbagai pertanyaan itu yang terus mengiang dikepala Sisi. Meski Ia membenci Rio dan sudah tidak ingin perduli lagi. Tetap saja Sisi masih kepingin tau saja. Emang dasar Sisi.Belum lagi Damar yang mau ke Jakarta belum juga memberi kabar lagi. Setidaknya beri pesan kepada Sisi. Dan itu yang paling Sisi tunggu-tunggu.Sisi juga membayangkan bisa bertemu dengan Damar di Jakarta. Maka ia akan makin bisa melupakan Rio. Yang sangat dibencinya itu.Rio banyak mengirim pesan padanya. Sisi tak pernah gubris. Apalagi membalasnya. Tetapi Rio masih juga mengganggunya."Si, aku ingin bertemu