Tepat sekali di depan pintu yang dibiarkan terbuka lebar, Maya melongokkan kepalanya.
“Assalammualaikum Nek?” Maya langsung memeluk punggung nenek dari belakang, nenek sedikit terkejut dan langsung menyadari itu adalah cucu tersayangnya. Nenek hapal sekali. Wanita setengah baya itupun membalikkan tubuhnya membalas pelukan Maya.
“Tumben kau Maya, kenapa tidak memberi kabar dahulu?” tanya Nenek sembari mencubit pelan pipi halus cucunya itu.
“Maaf, Nek, mendadak. Inipun ijin dari kantor.”
“Ohya, Nek, kenalkan ini temen kantorku Sisi." Tanpa basa-basi Maya langsung memperkenalkan Sisi. Sisi mencium punggung tangan Nenek, sambil dibalas dengan senyuman wanita setengah baya itu.Setelah beberapa saat mereka mengobrol. Maya pun mengajak Sisi menempati kamar kosong yang akan ditempati mereka berdua.
Setelah sebelumnya Nenek yang menawarkannya."Haduh, cape banget!" Maya berseru. Sambil mendudukkan tubuhnya dipinggiran ranjang.
Maya dan Sisi memang tampak lelah sekali, setelah perjalanan dari Jakarta. Lalu mereka berdua masih harus berjalan jauh menuju tempat Nenek. Mereka butuh istirahat, setelah makan siang yang lumayan telat. Yaitu kesorean. Merekapun terlelap, sehabis sholat Isya.
Pagi-pagi buta, kira-kira jam 5 kurang, Sisi terbangun. Seperti mendengar suara perempuan dan seorang lelaki tengah mengobrol, di ruang tengah. Cahaya lampu nampak terang di situ.
Sebenarnya, Sisi tidak mau tahu, hanya saja ia sangat penasaran. Sisi bangun dan sedikit membuka jendela kamar, yang mengarah ke ruang tengah.
Memang jendelanya sudah terbuka setengah, dan tidak pernah terkunci sepertinya. Sisipun tidak perlu membuka lebar-lebar. Hanya cukup mendorongnya sedikit dengan halus.
Sisi melihat wanita setengah baya itu adalah Nenek Maya, sedang berbicara dengan lelaki yang masih muda, dan terlihat malah amat muda. Masih dibilang seumuran dengan Sisi dan Maya. Nenek masih memakai mukena, dan hendak sholat subuh sepertinya.
“Baik, Nek, nanti sekitar jam 7-an saya perbaiki." Kata-kata itu amat jelas Sisi dengar terucap dari mulut pemuda itu. Entah apa urusannya Sisi tidak tahu dan memang tidak mau tahu.
Satu pertanyaan saja, siapa pemuda itu? Ah! sudahlah, mungkin orang kampung sini, ada perlu dengan Nenek. Begitu pikir Sisi.
Ok, sebenarnya bukan hanya itu saja. Baiklah, pemuda itu memang tampan. Entahlah, Sisi malah jadi serba salah sendiri. Banyak kalimat-kalimat mengganggu di atas kepalanya. Mutar-mutar mendengung.
Pemuda itu, sederhana, bahkan amat sangat. Sisi perhatikan dari ujung kaki sampai kepala, dengan kulit sawo matang yang terlihat bersih. Wajahnyapun terlihat bersih, dia juga berbicara dengan Nenek terlihat sangat sopan. Bahkan amat menghormati Nenek.
Siapa ya dia? Sisi melirik ke arah Maya yang masih tertidur pulas, seolah ingin menanyakan Maya langsung, siapa pemuda tampan itu. Lebih baik, ia tunggu nanti kalau Maya sudah terbangun.
Sisi kembali ke tempat tidurnya di samping Maya. Duduk di pinggiran tempat tidur, dan mulai menggoyangkan punggung Maya yang tidur pulas membelakanginya tadi.
“May! bangun. kita sholat subuh, yuk! Sudah telat nih." Sisi menggugah dengan sedikit berbisik.
Maya kelihatan membuka susah payah matanya yang terkatup rapat, karena memang kelihatannya masih mengantuk. “Iya Si…” Maya pun duduk, sambil mengucek matanya. Bola matanya berjalan ke kanan dan ke kiri. Rupanya, ia belum sadarkan diri.
“Kau sudah bangun, Si?” Tanya Maya meski matanya masih terlihat setengah terbuka.
“Iya sudah, cuma belum wudhu,” sahut Sisi sambil beranjak, membuka pintu. Maya menyusulnya dari belakang.Sisi belum lupa dengan pemuda itu, ia mencari waktu tepat untuk menanyakan kepada Nenek. Saat sarapan, atau ketika selesainya. Sisi ingin menanyakannya langsung ke Nenek. Masih saja belum pas waktunya. Sisi ragu dan sedikit malu juga jika menanyakan hal itu kepada Nenek.
***
“Assalammualaikum Nenek.” Tiba-tiba ada suara lelaki sedikit mengejutkan Sisi, juga Maya, namun Sisi langsung menangkap raut wajah Maya, Maya mengenalnya. Ya Maya terlihat menampakkan wajah senangnya.
Tetapi Sisi tidak asing dengan suara itu.
“Damar? ini pasti Damar.” Maya berdiri menghampiri pemuda yang ia yakin sekali namanya Damar. “Iya, Neng Maya.” jawab pemuda yang bernama Damar itu.“Alah! Pake Neng sagala euy, panggil saja Maya. Dulu kamu masih kecil, sekarang sudah segini, loh.” Dengan logat sunda kentalnya Maya, seperti nampak sudah akrab dengan pemuda itu. Pemuda bernama Damar itu tersenyum.“Tadi Nenek yang suruh kemari,” kata Nenek menyela obrolan mereka.“Saluran air di belakang kadang macet, Nenek menyuruh Damar membetulkan, tadi kebetulan ketemu waktu Damar mau ke mesjid,” terang Nenek. Maya mengangguk mengerti. Sisi yang menyaksikan obrolan mereka terbengong-bengong sampai lupa untuk minum. Sejak tadi tangannya hanya memainkan pinggiran piring makanannya. Itu pemuda yang tadi pagi Sisi lihat mengobrol dengan Nenek. Jadi Damar ternyata namanya. Batin Sisi. ”Waduh, aku sampe kelupaan, kenalin ini Sisi temen kantorku di Jakarta.” Ternyata Maya baru sadar kalau ia
Menyusuri pedesaan ini memang menyenangkan. Karena Sisi seperti merasakan hati yang baru, benar-benar seperti bunga merekah dihati. Apakah Sisi sekarang sedang jatuh cinta? Aduh! Secepat itu, Si? Sisi membuang perasaan itu, yang sejujurnya tidak dapat ia lakukan. Dan memang diakuinya, ia tengah jatuh cinta. Sosok yang sempat membuat beberapa hari ini berbunga-bunga tiada henti. Ia benar-benar kuat merasakan hatinya berdebar kencang ketika membayangkan wajah pemuda itu.Besok, mereka harus kembali ke Jakarta, untuk masuk kantor lagi. Pastinya tidak bisa berlama-lama di desa ini. Tetapi hati Sisi ada kerinduan. Ingin bertemu Damar lagi, seperti ada sengatan listrik kuat didiri Sisi. Yang sepertinya Damar belum tahu, dan sepertinya Damar tidak merasakan apa yang Sisi rasakan.Namun, Sisi teringat kembali saat ia dan Damar diperkenalkan Maya. Mata Damar berbeda saat menatapnya, dan bola mata mereka saling bertabrakan, bertautan. Apakah itu artinya mereka saling jatuh cinta
Sesaat mereka terdiam, Sisi masih dalam pengaruh lelucon Damar tadi dan masih menyisakan tawanya. Sehingga, tanpa ia sadari, Damar menarik lembut jemari Sisi. Sisi tersentak kaget, membisu, entah mau bilang apa. Damar erat meraih jemarinya. Dan meremas lembut jemari Sisi.Tangan Damar terasa hangat. Sedangkan tangan Sisi dingin sekali, seperti itu yang Sisi rasakan. Damar diam membisu, tanpa berkata. Apalagi Sisi, mereka hanya bertatapan lama. Namun wajah mereka begitu dekat, bola mata mereka lurus bertabrakan. Sunyi di antara mereka tanpa suara. Mereka sepertinya tadi penuh canda dan obrolan-obrolan renyah. Kali ini beda hanya mata mereka yang berbicara. Entah membicarakan apa. Dan genggam erat jemari mereka yang menjawab setiap pertanyaan yang terlontar dari mata masing-masing.“Aku suka kamu, Si." Suara itu baru terdengar, Sisi merasakan tubuhnya seperti tidak ada tulang belulangnya, lemas. Jantungnya seperti copot entah lepas ke arah mana, ia tidak perduli. Y
Setelah sampai pada jembatan kecil, dan membuat Sisi sedikit ngeri. Karena di bawahnya, adalah kali yang airnya deras namun jernih, Sisi agak sedikit takut.“Pegangan yang erat, Si!” seru Maya sambil meraih tangan Sisi, dan mereka bebarengan bergandengan tangan hingga sampai di ujung jembatan. Sisi tidak berani melihat ke bawah.Sesampai di ujung jembatan, Sisi bernafas lega. Membayangkan arus deras di bawah jembatan yang ia lalui bersama Maya tadi. Ditambah, jembatannya sempit dan agak bergoyang-goyang membikin dada Sisi berdegup. Karena mereka kan membawa tas yang cukup berat, juga ransel yang Sisi dan Maya bawa di pundak mereka.“Sampai juga.” Maya membetulkan posisi ranselnya dan tas goddie bagnya yang ia tenteng lumayan berat.“Itu, rumah Damar!” seru Maya tiba-tiba. Sontak membuat Sisi langsung menyimak. Tentu saja itu yang sejak tadi ia tunggu-tunggu, yaitu melewati rumah Damar.“Yuk, kita mampir dulu sebentar saja ke sana," ajak Maya. Sisi menge
Sisi teringat saat itu lagi, sebentar saja. Membayang kembali apa yang waktu itu Rio utarakan. Meski ia sempat lupa sama sekali selama bersama Maya di Bandung, saat itu. Sampai ia bertemu dengan seorang Damar. Semua ia lewati dengan mulus. Tetapi kenapa setelah ia sendirian seperti ini, masih saja kuat bayangan itu mendatanginya dan mendekat padanya lagi.Sisi tidak mau menangis lagi. Sisi ingin melupakan Rio, sekarang ia bertekad untuk lihat ke depan bukan ke belakang. Rio adalah masa lalunya kini. Sekarang ada seseorang yang mengisi hatinya. Dia memang sudah sanggup melupakan rasa pahit pada diri Sisi, yaitu mengingat akan Rio.Damar pun sepertinya bisa. Dan kini Sisi jatuh cinta pada Damar, begitupun Damar, Sisi merasakannya. Pandangan mata Damar begitu teduh. Membuat Sisi selalu rindu sosoknya, ingat saat mereka pertama berkenalan, sampai ia tidak sengaja bertemu saat ia sedang sendiri duduk di bawah pohon rindang. Semua kebetulan, dan meski sudah lewat, Sisi masih m
Sudah seharian mereka menghabiskan waktu di mall. Merekapun merasa puas. Makan, belanja, dan menghabiskan waktu dengan kak Sena, memang menyenangkan. Hingga Sisi lupa sesaat dengan apa yang dilihatnya tadi, yaitu Rio dengan seorang gadis. Yang sama sekali tidak Sisi kenal.Walaupun dengan Cecilia, Sisi belum mengenal dan bertemu denganya, namun Sisi sudah pernah diperlihatkan Rio dari fotonya. Sisi hafal sekali, dan berbeda dengan Cecilia gadis yang dilihatnya tadi. Yang berjalan dengan Rio.Cecilia terlihat amat terhormat difoto itu. Dengan berbalut gaun malam anggun difotonya itu. Tidak seperti yang Sisi lihat tadi. Memakai rok mini, manja, dan matanya lebih suka melihat barang mewah, seperti penampilannya. Sangat fashionable juga glamour, dan Rio suka jalan dengan gadis itu? Bukan Cecilia? Sisi tidak habis fikir.Sampai di rumah pun, Sisi masih terbayang dengan apa yang ia saksikan tadi, Rio dengan gadis itu. Sudahlah, tak perlu dipanjangin bayanginnya. Karena s
Sisi masih saja memikirkan perkataan Maya tadi pagi. Hari ini di kantor, membuatnya kembali tidak bersemangat. Ia masih saja mengingat Rio yang berjalan dengan cewek yang dia bilang itu adik Cecilia. Kenapa tidak ada Cecilia bersama mereka? Dan mereka sangat mesra terlihat. Bahkan cewek itu menyender-nyender kepada pundak Rio."Hei! bengong! ayok buru rapiin meja kamu. Kita hari ini keluar cari inspirasi. Bos yang suruh." Tepukan di pundak Sisi mengejutkan Sisi yang sedang kelihatan bengong."Bentar, May, Aku rapikan dulu mejaku."Maya mengangguk.Pekerjaan mencari berita adalah tugas mereka. Jadi memang mereka tidak harus stay di kantor saja.Sisi merapikan mejanya segera. Semua barang-barang atribut, nametag dan sebagainya ia masukkan ke dalam tasnya. Lalu segera berbarengan keluar kantor bersama dengan Maya."Kita bebas, Si. Berita apapun akan kita dapatkan nanti. mensurvey suatu tempat yang akan kita kunjungi. Tidak harus pusat perbelanjaan," jelas May
itu kan Rio? Tapi sedang sama siapa?"Si?" Tegur Maya sambil lambai-lambaikan tangan di wajah Sisi"Itu." Sisi menuding ke arah belakang Maya.Maya lalu segera menoleh."Itu Rio, kan?" tanya Maya."He eh!" Sisi mengangguk"Sama siapa itu, Si?""Entahlah," Sisi menggeleng. Mengangkat kedua punggungnya."Bodo amatlah May," ujar Sisi dengan wajah datar dan memelas.Sisi jadi tidak semangat makan. Makanannya dia acak-acak saja tanpa memakannya.Maya mengernyit melihat Sisi."Cewek itu yang Papanya Rio jodohkan?" Maya bertanya makin penasaran.Sisi menggeleng"Bukan, May. Itu bukan Cecilia. Makanya aku gak ngerti, May" jelas Sisi sambil menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya. Malas-malasan.Padahal Sisi kesal juga lihat pemandangan itu. Jelas banget Rio selingkuh. Selingkuh dari Cecilia. Jauh darinya, Sisi pikir ia bakal sama Cecilia pilihan Papanya. Tapi justru sama cewek lain. Keterlaluan memang Rio.Rio