Sesaat mereka terdiam, Sisi masih dalam pengaruh lelucon Damar tadi dan masih menyisakan tawanya. Sehingga, tanpa ia sadari, Damar menarik lembut jemari Sisi. Sisi tersentak kaget, membisu, entah mau bilang apa. Damar erat meraih jemarinya. Dan meremas lembut jemari Sisi.
Tangan Damar terasa hangat. Sedangkan tangan Sisi dingin sekali, seperti itu yang Sisi rasakan. Damar diam membisu, tanpa berkata. Apalagi Sisi, mereka hanya bertatapan lama. Namun wajah mereka begitu dekat, bola mata mereka lurus bertabrakan. Sunyi di antara mereka tanpa suara. Mereka sepertinya tadi penuh canda dan obrolan-obrolan renyah. Kali ini beda hanya mata mereka yang berbicara. Entah membicarakan apa. Dan genggam erat jemari mereka yang menjawab setiap pertanyaan yang terlontar dari mata masing-masing.
“Aku suka kamu, Si." Suara itu baru terdengar, Sisi merasakan tubuhnya seperti tidak ada tulang belulangnya, lemas. Jantungnya seperti copot entah lepas ke arah mana, ia tidak perduli. Yang Sisi lakukan sekarang hanya terpaku bisu, entah ada keringat menetes atau tidak Sisi tidak merasakan, karena saat itu tidak ada matahari. Hari sudah amat sore, mulai beranjak senja dan gelap. Anginpun sudah berkurang, seharusnya bisa saja Sisi berkeringat saat itu. Tapi apapun itu ia tidak merasakan. Yang ia rasakan hanya darahnya seperti mengalir di seluruh tubuhnya dan ia rasakan alirannya. Tiba-tiba Damar menarik tangannya lembut, membuat Sisi terkejut.
“Maaf, maafkan aku Si, aku sudah lancang!” Damar kemudian beranjak dari duduknya di batang pohon besar di bawah pohon rindang yang dia duduki sejak tadi bersama Sisi. Sisi bingung. Mereka pun berdiri. Menyadari bahwa hari sudah semakin gelap.
“Aku antar, ya?” tawar Damar kemudian. Sisi spontan mengangguk dan tersenyum tipis. Namun ia masih merasakannya barusan, yang membuatnya tersentak hingga jatuh cinta yang memuncak, karena pasalnya Damarpun menyukainya. Jelas dia mengucapkannya tadi, dan apakah itu mimpi? Tidak juga, buktinya sekarang mereka masih jalan berdua ke arah rumah nenek dan Damar mengantarkannya. Berarti, Sisi tidak sedang bermimpi.
Belum juga Damar menggandeng tangan Sisi. Ia biarkan mereka berjalan beriringan namun sedikit merenggang. Mereka hanya jalan dan sudah tidak mengobrol lagi. Namun di hati Sisi, kata-kata Damar seperti suara yang menggema terulang-ulang ditelinganya, tidak hilang-hilang. Kenapa ia berkata seperti itu? Sisi bingung.
Merekapun akhirnya sampai juga di rumah nenek. Disambut Maya yang mendelik seperti mau ngoceh kecil kepada Sisi.
“Aku telepon kamu tidak diangkat-angkat, ternyata handphonemu tertinggal di sini, Si, ampun deh kamu bikin aku khawatir tau, aku hampir mau nyamperin eh kamu dan, Damar sudah di sini?” Maya cemberut, kemudian tersenyum melihat Damar.
“Kalian ketemu di mana?” tanyanya kemudian.
“Kami bertemu sewaktu aku sedang duduk sendirian, May, kemudian si Damar datang nemenin aku ngobrol saja, eh kesorean dan dia anter aku pulang ke sini,” jelas Sisi.“Syukurlah,” ucap Maya kemudian. Sisi menjelaskan seadanya. Dilanjutkan dengan Damar yang pamit untuk pulang. Sisi pun mengucapkan terima kasih sudah diantarkan sampai rumah nenek. Dan sepertinya Damar bisa telat sampai rumah karena jarak rumahnya dengan rumah nenek lumayan jauh. Makanya dia langsung pamit pada mereka berdua.
Pagi ini Maya dan Sisi berkemas-kemas packing barang-barangnya. Karena hari ini sudah harus bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta. Mereka berdua sudah rapi, wangi dan cantik.
“Kalian hati-hati ya," pesan Nenek.
“Nek, makasih sekali, aku pasti bakal kangen nenek terus, dan sudah ngerepotin nenek beberapa hari ini,” Maya mengucap pamit sembari memeluk nenek sangat erat. Sisi pun pamit sambil mencium tangan nenek dan memeluknya juga.“Terima kasih ya, nek, sudah mau kami repotin, dan masakan nenek sangat enak, aku bisa kangen banget dengan masakan nenek ini."
Nenek membalas pelukan Sisi sambil tersenyum sangat dalam. Mereka pun berjalan ke depan pekarangan, setelah adegan berpeluk-pelukan usai. Maya lambaikan tangan ke arah nenek begitu juga nenek. Sisi terharu melihat antara cucu dan neneknya tersebut yang harus berpisah. Sisi juga amat sedih, harus berpisah dengan Damar.
“Hei! kita tidak pamit dengan Damar?" tanya Sisi tiba-tiba.
“Nanti bisa kok, sekalian. Kan, kita akan lewati rumahnya. Sengaja, supaya sekalian bisa pamit." Maya tersenyum.
“Kenapa sih, Si?” tanya Maya sambil mencolek lengannya.
“Kenapa apanya sih?” Sisi tersipu.“Tuh matamu."
“Kenapa dengan mataku?” Sisi manyun. “Eh, ngomong-ngomong kalian kemarin seharian ngobrol apa saja sih?” Maya bertanya kepingin tahu saja. Sisi terlihat santai supaya tidak mencurigakan.
“Kami ngobrol biasa saja, May,” jawab Sisi santai.“Sepertinya Damar suka kamu deh, Si."Maya menggodanya.
“Iiihh, apaan sih kamu, May, jangan ngelantur ah,"“Memang kenapa? kalian cocok kok. Damar itu pemuda baik, dan aku rasa dia belum punya pacar deh." Maya nyerocos bercanda. Sepertinya Maya mengerti apa yang sedang Sisi rasakan.Sisi jadi malu. Mereka masih berjalan menyusuri landai-landai yang sedikit turunan. Untungnya tanahnya kering, dan bukan musim penghujan, jadi tidak terlalu licin. Sehingga mereka bisa berjalan sembari ngobrol santai. Dan berpegangan pada pagar bambu yang dipatok pada sisi-sisinya.
Setelah sampai pada jembatan kecil, dan membuat Sisi sedikit ngeri. Karena di bawahnya, adalah kali yang airnya deras namun jernih, Sisi agak sedikit takut.“Pegangan yang erat, Si!” seru Maya sambil meraih tangan Sisi, dan mereka bebarengan bergandengan tangan hingga sampai di ujung jembatan. Sisi tidak berani melihat ke bawah.Sesampai di ujung jembatan, Sisi bernafas lega. Membayangkan arus deras di bawah jembatan yang ia lalui bersama Maya tadi. Ditambah, jembatannya sempit dan agak bergoyang-goyang membikin dada Sisi berdegup. Karena mereka kan membawa tas yang cukup berat, juga ransel yang Sisi dan Maya bawa di pundak mereka.“Sampai juga.” Maya membetulkan posisi ranselnya dan tas goddie bagnya yang ia tenteng lumayan berat.“Itu, rumah Damar!” seru Maya tiba-tiba. Sontak membuat Sisi langsung menyimak. Tentu saja itu yang sejak tadi ia tunggu-tunggu, yaitu melewati rumah Damar.“Yuk, kita mampir dulu sebentar saja ke sana," ajak Maya. Sisi menge
Sisi teringat saat itu lagi, sebentar saja. Membayang kembali apa yang waktu itu Rio utarakan. Meski ia sempat lupa sama sekali selama bersama Maya di Bandung, saat itu. Sampai ia bertemu dengan seorang Damar. Semua ia lewati dengan mulus. Tetapi kenapa setelah ia sendirian seperti ini, masih saja kuat bayangan itu mendatanginya dan mendekat padanya lagi.Sisi tidak mau menangis lagi. Sisi ingin melupakan Rio, sekarang ia bertekad untuk lihat ke depan bukan ke belakang. Rio adalah masa lalunya kini. Sekarang ada seseorang yang mengisi hatinya. Dia memang sudah sanggup melupakan rasa pahit pada diri Sisi, yaitu mengingat akan Rio.Damar pun sepertinya bisa. Dan kini Sisi jatuh cinta pada Damar, begitupun Damar, Sisi merasakannya. Pandangan mata Damar begitu teduh. Membuat Sisi selalu rindu sosoknya, ingat saat mereka pertama berkenalan, sampai ia tidak sengaja bertemu saat ia sedang sendiri duduk di bawah pohon rindang. Semua kebetulan, dan meski sudah lewat, Sisi masih m
Sudah seharian mereka menghabiskan waktu di mall. Merekapun merasa puas. Makan, belanja, dan menghabiskan waktu dengan kak Sena, memang menyenangkan. Hingga Sisi lupa sesaat dengan apa yang dilihatnya tadi, yaitu Rio dengan seorang gadis. Yang sama sekali tidak Sisi kenal.Walaupun dengan Cecilia, Sisi belum mengenal dan bertemu denganya, namun Sisi sudah pernah diperlihatkan Rio dari fotonya. Sisi hafal sekali, dan berbeda dengan Cecilia gadis yang dilihatnya tadi. Yang berjalan dengan Rio.Cecilia terlihat amat terhormat difoto itu. Dengan berbalut gaun malam anggun difotonya itu. Tidak seperti yang Sisi lihat tadi. Memakai rok mini, manja, dan matanya lebih suka melihat barang mewah, seperti penampilannya. Sangat fashionable juga glamour, dan Rio suka jalan dengan gadis itu? Bukan Cecilia? Sisi tidak habis fikir.Sampai di rumah pun, Sisi masih terbayang dengan apa yang ia saksikan tadi, Rio dengan gadis itu. Sudahlah, tak perlu dipanjangin bayanginnya. Karena s
Sisi masih saja memikirkan perkataan Maya tadi pagi. Hari ini di kantor, membuatnya kembali tidak bersemangat. Ia masih saja mengingat Rio yang berjalan dengan cewek yang dia bilang itu adik Cecilia. Kenapa tidak ada Cecilia bersama mereka? Dan mereka sangat mesra terlihat. Bahkan cewek itu menyender-nyender kepada pundak Rio."Hei! bengong! ayok buru rapiin meja kamu. Kita hari ini keluar cari inspirasi. Bos yang suruh." Tepukan di pundak Sisi mengejutkan Sisi yang sedang kelihatan bengong."Bentar, May, Aku rapikan dulu mejaku."Maya mengangguk.Pekerjaan mencari berita adalah tugas mereka. Jadi memang mereka tidak harus stay di kantor saja.Sisi merapikan mejanya segera. Semua barang-barang atribut, nametag dan sebagainya ia masukkan ke dalam tasnya. Lalu segera berbarengan keluar kantor bersama dengan Maya."Kita bebas, Si. Berita apapun akan kita dapatkan nanti. mensurvey suatu tempat yang akan kita kunjungi. Tidak harus pusat perbelanjaan," jelas May
itu kan Rio? Tapi sedang sama siapa?"Si?" Tegur Maya sambil lambai-lambaikan tangan di wajah Sisi"Itu." Sisi menuding ke arah belakang Maya.Maya lalu segera menoleh."Itu Rio, kan?" tanya Maya."He eh!" Sisi mengangguk"Sama siapa itu, Si?""Entahlah," Sisi menggeleng. Mengangkat kedua punggungnya."Bodo amatlah May," ujar Sisi dengan wajah datar dan memelas.Sisi jadi tidak semangat makan. Makanannya dia acak-acak saja tanpa memakannya.Maya mengernyit melihat Sisi."Cewek itu yang Papanya Rio jodohkan?" Maya bertanya makin penasaran.Sisi menggeleng"Bukan, May. Itu bukan Cecilia. Makanya aku gak ngerti, May" jelas Sisi sambil menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya. Malas-malasan.Padahal Sisi kesal juga lihat pemandangan itu. Jelas banget Rio selingkuh. Selingkuh dari Cecilia. Jauh darinya, Sisi pikir ia bakal sama Cecilia pilihan Papanya. Tapi justru sama cewek lain. Keterlaluan memang Rio.Rio
Ketika melihat kemarin di restoran itu, Sisi merasa kesal sendiri. Lantaran ia masih dibuat berpikir mengapa Rio selalu jalan dengan cewek itu? Dan bukan dengan Cecilia. Ah membingungkan."Aku gak habis pikir ih. Kemana Cecilia? apa benar itu adalah adik Cecilia? Atau Cecilia tidak berhubungan dengan Rio? Dan menjodohkan adiknya dengan Rio? Memang Cecilia punya adik?"Berbagai pertanyaan itu yang terus mengiang dikepala Sisi. Meski Ia membenci Rio dan sudah tidak ingin perduli lagi. Tetap saja Sisi masih kepingin tau saja. Emang dasar Sisi.Belum lagi Damar yang mau ke Jakarta belum juga memberi kabar lagi. Setidaknya beri pesan kepada Sisi. Dan itu yang paling Sisi tunggu-tunggu.Sisi juga membayangkan bisa bertemu dengan Damar di Jakarta. Maka ia akan makin bisa melupakan Rio. Yang sangat dibencinya itu.Rio banyak mengirim pesan padanya. Sisi tak pernah gubris. Apalagi membalasnya. Tetapi Rio masih juga mengganggunya."Si, aku ingin bertemu
Damar.Masih saja pemuda itu bikin Sisi gak bisa tidur dengan nyenyak. Belum lagi Rio yang tidak pernah berhenti mengganggunya. Sudah tau nyakitin, masih saja menghubungi Sisi. Apa sih maunya? Sisi ngomel sendiri.Damar kabarnya hari ini ada di Jakarta. Tetapi kenapa belum ada kabar berita? kasih pesan singkatpun tidak. Masa iya harus Sisi yang memulai duluan?Memang Jakarta itu kan kota yang keras. Banyak godaan yang harusnya kita pandai-pandai menjaga diri kita, agar tidak mudah tertipu dengan orang yang bermaksud tidak baik kepada kita. Tetapi Sisi yakin Damar bisa mengatasi dan menjaga dirinya. Lagian dia pernah bilang kalau dia punya teman di Jakarta, dan akan tinggal sementara di rumah temannya tersebut sampai dia mendapat pekerjaan."Kok Damar gak kasih kabar, ya?" tanya Sisi sambil memainkan pena ditangannya. Sambil berpikir menulis apa hari ini. Karena Sisi biasa menulis artikel-artikel berita. Itu pekerjaannya sebagai seorang jusnalis."Siii... "
Mall di mana-mana memang selalu ramai. Apalagi dihari libur seperti ini. Pada saat liburan anak-anak sekolah dan pekerja-pekerja kantoran. Mengajak sanak familinya untuk berliburan. Dan Mall pilihan yang paling tepat untuk refreshing.Seperti yang sekarang Sisi bersama kak Sena dan juga Harry lakukan. Kalau dulu Sisi masih bersama Rio, kalau jalan gini ke Mall ya pasti lumayan ada teman ngobrol Sisi. Kalau Kak Sena sedang asik berdua dengan Harry. Sekarang beda, Sisi sendirian. Tapi tidak apa, bukan masalah yang besar. Dengan begini lebih bebas kok. Sisi merasa tidak banyak pikiran. Meski bisa saja Sisi ajak Maya, tapi tak perlu. Biar jadi obat nyamuk sekali-sekali."Si? mau lihat-lihat pakaian, atau mau makan dulu?" tanya Kak Sena, menawarkan pilihan yang keduanya Sisi suka."Lihat-lihat pakaian Kak, di sana tuh bagus banget baju-bajunya. Gak norak-norak modelnya," sahut Sisi, sembari menunjuk ke arah depan bersebrangan dengan restoran cepat saji."Ya sudah, OK!"