Setelah sampai pada jembatan kecil, dan membuat Sisi sedikit ngeri. Karena di bawahnya, adalah kali yang airnya deras namun jernih, Sisi agak sedikit takut.
“Pegangan yang erat, Si!” seru Maya sambil meraih tangan Sisi, dan mereka bebarengan bergandengan tangan hingga sampai di ujung jembatan. Sisi tidak berani melihat ke bawah.
Sesampai di ujung jembatan, Sisi bernafas lega. Membayangkan arus deras di bawah jembatan yang ia lalui bersama Maya tadi. Ditambah, jembatannya sempit dan agak bergoyang-goyang membikin dada Sisi berdegup. Karena mereka kan membawa tas yang cukup berat, juga ransel yang Sisi dan Maya bawa di pundak mereka.
“Sampai juga.” Maya membetulkan posisi ranselnya dan tas goddie bagnya yang ia tenteng lumayan berat.
“Itu, rumah Damar!” seru Maya tiba-tiba. Sontak membuat Sisi langsung menyimak. Tentu saja itu yang sejak tadi ia tunggu-tunggu, yaitu melewati rumah Damar.
“Yuk, kita mampir dulu sebentar saja ke sana," ajak Maya. Sisi mengekor saja, tanpa berkata apa-apa.
Mereka sampailah di depan rumah Damar. Nampak di situ seorang pemuda sedang mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di halaman depan rumahnya, tanpa menyadari ada dua gadis cantik yang hendak mendekatinya. Namun, keburu Damar lebih dulu menyadari ada yang berjalan ke arahnya, ia pun menoleh.
“Hei kalian!” Damar langsung saja menyapa.“Maaf lagi berantakan, ni.”
“Tidak apa-apa, Mar, kami cuma mau pamit nih. Mau ke Jakarta, sudah cukup libur cutinya,” Maya nyengir simple.“Oh iya, aku sampai lupa,” kata Damar sembari bergegas meletakkan aritnya meminggirkannya ke pojokan tembok dekat teras.
“Bisa aku mengantar kalian sampai naik angkot?” tawar Damar. Maya menggeleng pasti.
“Tidak usah, Mar, kami bisa sendiri kok." Sahut Maya segera. Dengan senyumannya.
“Baiklah kalau begitu, kamu hati-hati ya, Si...” Langsung suara itu menyetrum hati Sisi yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Damar mengobrol dengan Maya. Dengan senyuman penuh arti buat Sisi.
Ternyata dia tidak lupa mengucapkan kata untukku, bathin Sisi.
“Iya!” Sisi mengangguk. Sisi tersipu amat malu, ada sepintas dipikirannya untuk meminta nomor telepon Damar.
"Pesan hati-hatinya buat Sisi aja, nih?" Maya menyelutuk, sembari mengedipkan sebelah matannya ke arah Sisi.
“Aku boleh minta nomormu?” ternyata Damar lebih dulu memintanya. Sisi terlambat, dan membuat Sisi mengawang-awang. Namun senang hatinya.
"Waduh, bisa telepon-teleponan, nih," kembali Maya menggoda.
Segera Sisi mengeluarkan telepon genggamnya, dari dalam tas selempang kecilnya yang berwarna merah jambu. Untuk memberikan nomornya kepada Damar. Tanpa perdulikan Maya yang masih menggodanya, dengan senyuman khasnya.
Akhirnya, Sisi merasa lega mendapatkan nomor handphone Damar, setidaknya ia bisa menghubungi Damar kapan saja. Meskipun mereka terpisah antara Jakarta-Bandung.
“Terima kasih ya,” ucap Damar kepada Sisi, setelah ia mencatat nomor Sisi dan menyimpan di handphonenya.
“Sama-sama," Sisi membalas.
“Ya sudah yuk, mari Damar kami duluan ya, salam buat ibumu, ya.” Maya menarik lengan Sisi. Karena kalau tidak begitu ini akan lama, sepertinya Maya paham sekali. Mereka berdua saling menyimpan perasaan. Biarlah, Maya setuju-setuju saja. Biar Sisi bisa melupakan sosok Rio yang sudah membuat hatinya sakit.Rio memang harus menuruti pesan dari Almarhum papanya untuk menikahi Cecilia, dan Rio menuruti. Sisipun sama sekali tidak memaksa, merengek Rio untuk tidak menuruti pesan papanya sebelum meninggal.
Sisi tahu diri. Walau teramat sakit, Sisi berusaha kuat. Meski selalu masih terlihat murung di kantor. Makanya Maya mengajaknya ambil cuti untuk sekedar refreshing, demi melihat Sisi yang terlihat berubah menjadi pendiam. Dan selalu tidak mood jika diajak bercanda.
Dan, syukurlah setelah ini Maya merasa berhasil membuat Sisi melupakan Rio barang sekejap. Lihat saja, sekarang sepertinya Sisi terpikat dengan Damar, dan Damarpun Maya lihat sepertinya juga menyukai Sisi.
Tentu sajalah, Sisi itu sangat manis. Lelaki mana yang tidak menyukainya. Dengan rambut panjangnya yang lurus, hidung mungilnya, bibir tipisnya, juga bicaranya yang lembut. Dan yang pasti Sisi sangat pemalu. Jadi tidak mungkin dia memulai duluan menunjukkan menyukai Damar. Sebelum Damar yang lebih dulu suka Sisi. Dan Damar, nampaknya menaruh hati pada Sisi. Maya tahu sekali itu.
“Maafkan aku Si, aku sudah berjanji pada Papa, beliau ingin sekali aku kelak bisa menikah dengan Cecilia, dan meneruskan usaha Papa, karena aku ini anak lelaki penerus satu-satunya yang beliau harapkan."
Sisi kaku terdiam mendengarkan penjelasan Rio yang membuat hatinya amat sakit.
“Aku mencintaimu, Si, tapi maafkan aku. Ini semua bukan keinginanku.” Rio terus bicara, sementara Sisi tetap pada posisi diam. Rio meremas jemari Sisi, tanpa memberi kesempatan Sisi untuk mengeluarkan suaranya. Tanpa menunggu dan melihat Sisi mulai menangis, Rio langsung saja beranjak dari tempat duduknya dan berlalu dari Sisi.
Sama sekali tidak punya hati, dia langsung saja meninggalkannya sendiri menangis di Kafe itu menahan sakit hatinya. Serta, suara lirih Sisi yang memanggil namanya. Tetapi, Rio sudah jauh.
Sakit sekali rasa yang Sisi alami saat itu. Dengan sekuat tenaga Sisi berusaha kuat. Mencoba mengerti dengan perjodohan ini.
Sisi teringat saat itu lagi, sebentar saja. Membayang kembali apa yang waktu itu Rio utarakan. Meski ia sempat lupa sama sekali selama bersama Maya di Bandung, saat itu. Sampai ia bertemu dengan seorang Damar. Semua ia lewati dengan mulus. Tetapi kenapa setelah ia sendirian seperti ini, masih saja kuat bayangan itu mendatanginya dan mendekat padanya lagi.Sisi tidak mau menangis lagi. Sisi ingin melupakan Rio, sekarang ia bertekad untuk lihat ke depan bukan ke belakang. Rio adalah masa lalunya kini. Sekarang ada seseorang yang mengisi hatinya. Dia memang sudah sanggup melupakan rasa pahit pada diri Sisi, yaitu mengingat akan Rio.Damar pun sepertinya bisa. Dan kini Sisi jatuh cinta pada Damar, begitupun Damar, Sisi merasakannya. Pandangan mata Damar begitu teduh. Membuat Sisi selalu rindu sosoknya, ingat saat mereka pertama berkenalan, sampai ia tidak sengaja bertemu saat ia sedang sendiri duduk di bawah pohon rindang. Semua kebetulan, dan meski sudah lewat, Sisi masih m
Sudah seharian mereka menghabiskan waktu di mall. Merekapun merasa puas. Makan, belanja, dan menghabiskan waktu dengan kak Sena, memang menyenangkan. Hingga Sisi lupa sesaat dengan apa yang dilihatnya tadi, yaitu Rio dengan seorang gadis. Yang sama sekali tidak Sisi kenal.Walaupun dengan Cecilia, Sisi belum mengenal dan bertemu denganya, namun Sisi sudah pernah diperlihatkan Rio dari fotonya. Sisi hafal sekali, dan berbeda dengan Cecilia gadis yang dilihatnya tadi. Yang berjalan dengan Rio.Cecilia terlihat amat terhormat difoto itu. Dengan berbalut gaun malam anggun difotonya itu. Tidak seperti yang Sisi lihat tadi. Memakai rok mini, manja, dan matanya lebih suka melihat barang mewah, seperti penampilannya. Sangat fashionable juga glamour, dan Rio suka jalan dengan gadis itu? Bukan Cecilia? Sisi tidak habis fikir.Sampai di rumah pun, Sisi masih terbayang dengan apa yang ia saksikan tadi, Rio dengan gadis itu. Sudahlah, tak perlu dipanjangin bayanginnya. Karena s
Sisi masih saja memikirkan perkataan Maya tadi pagi. Hari ini di kantor, membuatnya kembali tidak bersemangat. Ia masih saja mengingat Rio yang berjalan dengan cewek yang dia bilang itu adik Cecilia. Kenapa tidak ada Cecilia bersama mereka? Dan mereka sangat mesra terlihat. Bahkan cewek itu menyender-nyender kepada pundak Rio."Hei! bengong! ayok buru rapiin meja kamu. Kita hari ini keluar cari inspirasi. Bos yang suruh." Tepukan di pundak Sisi mengejutkan Sisi yang sedang kelihatan bengong."Bentar, May, Aku rapikan dulu mejaku."Maya mengangguk.Pekerjaan mencari berita adalah tugas mereka. Jadi memang mereka tidak harus stay di kantor saja.Sisi merapikan mejanya segera. Semua barang-barang atribut, nametag dan sebagainya ia masukkan ke dalam tasnya. Lalu segera berbarengan keluar kantor bersama dengan Maya."Kita bebas, Si. Berita apapun akan kita dapatkan nanti. mensurvey suatu tempat yang akan kita kunjungi. Tidak harus pusat perbelanjaan," jelas May
itu kan Rio? Tapi sedang sama siapa?"Si?" Tegur Maya sambil lambai-lambaikan tangan di wajah Sisi"Itu." Sisi menuding ke arah belakang Maya.Maya lalu segera menoleh."Itu Rio, kan?" tanya Maya."He eh!" Sisi mengangguk"Sama siapa itu, Si?""Entahlah," Sisi menggeleng. Mengangkat kedua punggungnya."Bodo amatlah May," ujar Sisi dengan wajah datar dan memelas.Sisi jadi tidak semangat makan. Makanannya dia acak-acak saja tanpa memakannya.Maya mengernyit melihat Sisi."Cewek itu yang Papanya Rio jodohkan?" Maya bertanya makin penasaran.Sisi menggeleng"Bukan, May. Itu bukan Cecilia. Makanya aku gak ngerti, May" jelas Sisi sambil menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya. Malas-malasan.Padahal Sisi kesal juga lihat pemandangan itu. Jelas banget Rio selingkuh. Selingkuh dari Cecilia. Jauh darinya, Sisi pikir ia bakal sama Cecilia pilihan Papanya. Tapi justru sama cewek lain. Keterlaluan memang Rio.Rio
Ketika melihat kemarin di restoran itu, Sisi merasa kesal sendiri. Lantaran ia masih dibuat berpikir mengapa Rio selalu jalan dengan cewek itu? Dan bukan dengan Cecilia. Ah membingungkan."Aku gak habis pikir ih. Kemana Cecilia? apa benar itu adalah adik Cecilia? Atau Cecilia tidak berhubungan dengan Rio? Dan menjodohkan adiknya dengan Rio? Memang Cecilia punya adik?"Berbagai pertanyaan itu yang terus mengiang dikepala Sisi. Meski Ia membenci Rio dan sudah tidak ingin perduli lagi. Tetap saja Sisi masih kepingin tau saja. Emang dasar Sisi.Belum lagi Damar yang mau ke Jakarta belum juga memberi kabar lagi. Setidaknya beri pesan kepada Sisi. Dan itu yang paling Sisi tunggu-tunggu.Sisi juga membayangkan bisa bertemu dengan Damar di Jakarta. Maka ia akan makin bisa melupakan Rio. Yang sangat dibencinya itu.Rio banyak mengirim pesan padanya. Sisi tak pernah gubris. Apalagi membalasnya. Tetapi Rio masih juga mengganggunya."Si, aku ingin bertemu
Damar.Masih saja pemuda itu bikin Sisi gak bisa tidur dengan nyenyak. Belum lagi Rio yang tidak pernah berhenti mengganggunya. Sudah tau nyakitin, masih saja menghubungi Sisi. Apa sih maunya? Sisi ngomel sendiri.Damar kabarnya hari ini ada di Jakarta. Tetapi kenapa belum ada kabar berita? kasih pesan singkatpun tidak. Masa iya harus Sisi yang memulai duluan?Memang Jakarta itu kan kota yang keras. Banyak godaan yang harusnya kita pandai-pandai menjaga diri kita, agar tidak mudah tertipu dengan orang yang bermaksud tidak baik kepada kita. Tetapi Sisi yakin Damar bisa mengatasi dan menjaga dirinya. Lagian dia pernah bilang kalau dia punya teman di Jakarta, dan akan tinggal sementara di rumah temannya tersebut sampai dia mendapat pekerjaan."Kok Damar gak kasih kabar, ya?" tanya Sisi sambil memainkan pena ditangannya. Sambil berpikir menulis apa hari ini. Karena Sisi biasa menulis artikel-artikel berita. Itu pekerjaannya sebagai seorang jusnalis."Siii... "
Mall di mana-mana memang selalu ramai. Apalagi dihari libur seperti ini. Pada saat liburan anak-anak sekolah dan pekerja-pekerja kantoran. Mengajak sanak familinya untuk berliburan. Dan Mall pilihan yang paling tepat untuk refreshing.Seperti yang sekarang Sisi bersama kak Sena dan juga Harry lakukan. Kalau dulu Sisi masih bersama Rio, kalau jalan gini ke Mall ya pasti lumayan ada teman ngobrol Sisi. Kalau Kak Sena sedang asik berdua dengan Harry. Sekarang beda, Sisi sendirian. Tapi tidak apa, bukan masalah yang besar. Dengan begini lebih bebas kok. Sisi merasa tidak banyak pikiran. Meski bisa saja Sisi ajak Maya, tapi tak perlu. Biar jadi obat nyamuk sekali-sekali."Si? mau lihat-lihat pakaian, atau mau makan dulu?" tanya Kak Sena, menawarkan pilihan yang keduanya Sisi suka."Lihat-lihat pakaian Kak, di sana tuh bagus banget baju-bajunya. Gak norak-norak modelnya," sahut Sisi, sembari menunjuk ke arah depan bersebrangan dengan restoran cepat saji."Ya sudah, OK!"
"Apa? Damar di Jakarta?" seru Maya terperanjat."Sst, jangan keras-keras gitu ngomongnya, May,""Kamu serius, Si?" tanya Maya memastikan apakah pendengarannya itu tidak salah."Jelas banget, May! Aku melihatnya, saking yakinnya aku samperin dong. Eh, belum juga mau negur. Rio muncul! Aku kaget!" Sisi cerita bersemangat."Aku mengurungkan, aku juga sempat tidak percaya.""Damar, emang pernah bilang kalau dia punya teman di Jakarta. Dan mana aku tau kalau temannya itu adalah, Rio," Maya menarik napasnya dan menghembuskannya perlahan. Iapun tidak menyangka."Ini suatu kebetulan yang sangat dasyat, Si," ujarnya."Benar!" sahut Sisi cepat." Kamu tau gak sih, May?" tanya Sisi kemudian."Setiap aku ke mana-mana pasti bertemu Rio. Padahal, aku tidak berharap bertemu dia lagi sejak dia bersama Cecilia. Nyatanya justru sering ketemu terus.""Parahnya lagi, malahan dia kenal banget sama Damar!" seru Sisi."Iya, pasti k
Hari menegangkan bukan hanya hari ini saja. Bagi Sisi, kemarin dan sebelum-sebelumnya tetaplah sama. Sisi perlahan seolah menghindari Damar.Cowok itu sepertinya datang sangat awal sekali. Laksana pegawai teladan. Maya belum kelihatan. Dia biasanya beberapa menit sebelum jam kerja dimulai baru sampai. Terkadang itulah kebiasaannya."Pasti nungguin Maya."Suara yang Sisi sudah tidak asing lagi, mengejutkannya."Oh, Hai Delon. Ngagetin," ujar Sisi santai. Agar sekalian tidak membuat Delon merasa aneh dengan sikapnya pagi ini."Iya, aku nunggu Maya." Sisi menjawab dengan tenang.Delon mendekati Sisi. Melihat gerak-geriknya, sepertinya dia mencari celah waktu untuk bisa ngobrol dengan Sisi. Sisi mengibaskan rambut lurus nan lembutnya."Kamu udah sarapan?" tanya Delon. Dari pertanyaannya, sepertinya dia mengajaknya ke kafetaria.Sembari memberi senyuman Sisi menjawab pertanyaan Delon yang dirasanya hanya selingan untuknya."Sudah. Aku sarapan roti," ucapnya.Delon hanya tertunduk saja. Terli
"Apakah menurutmu Rio sudah menjadi masa lalumu, Si?" tanya Maya, suatu hari. Hari ini kebetulan libur kerja. Dan mereka berdua menyempatkan waktu untuk sekedar berjalan-jalan saja. "Aku tidak bisa menjawab sekarang, May. Aku pun masih bingung." Sisi memainkan sedotan minuman soda susu. "Aku hanya merasa ingin menjauhi dia, semua sebenarnya demi kebaikan aku dan dia," ucap Sisi lirih. "Kami berpisah baik-baik, dan terencana. Juga demi almarhum Papanya Rio." "Meskipun itu buatku amat menyakitkan." Sisi menunduk lesu. Sisi diam sesaat. Tidak meneruskan ucapannya kembali. Malahan melanjutkan menyeruput soda susunya. Sisi sudah lelah jika harus merefresh ulang hal yang itu-itu terus. Apakah hidupnya akan terus dihantui oleh sosok Rio? Sedangkan dirinya bersikeras untuk melupakan lelaki itu. Hingga akhirnya bertemu Damar, yang membuatnya nyaman. Serta dapat melupakan Rio. Namun masalah baru yang lebih parah kembali muncul. Sisi semakin terpojok tak dapat berkutik. Semua flashback. Yan
Segerap rasa, Sisi tuangkan dalam sepi. Sisi tau, dia sedang dalam posisi tak beraturan. Nyatanya, ia yang harus mengalami ini semua. Keinginannya ingin menjauhi Rio. Tetapi, malahan bayangannya terus menguntit. Bahkan manusianya ada di depannya. Seperti waktu itu, yang seharusnya dia hanya bertemu dengan Damar, tetapi dia dikagetkan oleh sosok Rio kembali. Yang ada tepat di samping Damar. Sisi yang memendam rasanya untuk Damar. Begitupun dia tau persis, Damar memang menaruh hati untuknya juga. Sisi pun begitu sadar, jika dia cukup lama menahannya. Itu dikarenakan, dia mengetahui tak sengaja, kalau Rio bersaudara dengan Damar. Kaget? Sangat. Itulah kenapa Sisi sampai sekarang masih tidak bisa menunjukkannya pada Damar. "Aku bingung May, kenapa Rio seolah tidak suka aku mengenal Damar?" Sisi meringkukkan badannya di atas ranjang di kamar Maya. Maya menarik napasnya panjang. Dan menghembuskanya. "Kenapa bisa ya, Damar bersaudara dengan Rio?" Maya mikir keras. Menggaruk-garuk kepalany
"Maaf, sudah nunggu lama."Sisi buru-buru menoleh ke belakang. Meski terkejut, dia tau itu suara Damar.Namun seketika, justru kaget itu dobel. Dia hampir terperanjat. Malahan, sudah terjadi. Sisi hampir ingin menghentikan sendiri detak jantungnya. Karena apa yang dia lihat sangat membuatnya shock."Kau, kau. Ah! Aku belum lama di sini. Aku...," Sisi menghentikan suaranya. Lalu menarik napas cepat, dan menghembuskannya segera. Sebenarnya gugup itu sudah nampak di diri Sisi."Biasa, Si. Macet di jalan. Oh ya, mana Maya?"Damar tak sadar sudah menyelamatkan Sisi, dengan ungkapannya. Hingga gugupnya tak nampak. Sisi menggangguk."Aku tidak mengajaknya. Dia pulang sendiri sepertinya." Sisi menjawab, berjuang untuk bersikap lebih tenang.Mereka berdua, duduk tepat di depan Sisi. Dengan begitu santai. Lalu, Damar memanggil pelayan. Pelayan langsung menghampirinya."Capucinno Panas sama, ehm, kau pesan apa, Rio?""Sepe
Suasana kantor seperti biasa saja. Tidak ada sedikitpun yang berbeda. Itu bagi Sisi. Ia mengetuk-ngetuk bolpointnya. Pikirannya melayang ke mana-mana. Hingga sampai pada kata-kata Maya yang mengatakan, agar ia menawarkan lowongan pekerjaan di kantor kepada Damar."Si, bagaimana kalau kamu tawarkan saja kepada Damar?" Kata- kata yang selalu diingat Sisi dan menempel terus. Karena ia tidak tahu harus bagaimana. Setahunya, latar pendidikan Damar tidak sesuai dengan pesyaratan yang diminta.Apakah aku terlalu jahat dan mempunyai pandangan seperti itu? Sisi bertanya pada dirinya sendiri.Maya saja bisa seyakin itu? Sisi masih penuh dengan renungan. Perang berkecamuk di kepalanya."Heh!"Tetiba suara yang sangat dikenalnya, sudah membuatnya terkejut. Dari lamunan sesaat itu."Ngapain sih? Mata ke sana terus? Bengong ya, kamu?" Maya memiring-miringkan kepalanya memandangi dekat wajah Sisi."Bikin kaget aja sih, May?""Duh, maaf lo
Sisi masih memandangi rangkaian bunga, pemberian seseorang misterius. Sambil mengamatinya. Lalu tersenyum. Bunga itu tidak ada nama pengirimnya. Mawar berwarna putih bercampur merah jambu, lalu dihiasi daun-daun hijau yang masih segar. Belum layu. Bunganya diletakkan di vas bening, berisikan air. Sisi lalu terlihat tersenyum sangat lebar."Aku tahu, dari siapa bunga ini," gumamnya menerka sendiri."Damar," ucapnya lirih. Menebak dengan yakin. Tidak ketinggalan senyumnya terbit.Ternyata seorang Damar yang pemalu itu, bisa juga romantis. Batin Sisi. Lalu, ia berusaha meraih ponselnya, untuk menelepon Damar. Namun, tetiba ia mengurungkan niatnya."Kalau aku telepon dia, nanti gak seru lagi. Bukan surprise namanya." Sisi.mengurungkan niatnya."Lagipula, ia tidak memberikan nama pengirim. Ia tidak mau aku tahu. Walau, aku sudah tahu." Sisi senyum-senyum sambil memeluk ponsel ke dadanya.Sisi menaruh kembali ponselnya di atas meja. Dan berbaring. Karena sebe
"Si ... jadi Ibunya Rio adalah sahabat kecil emaknya Damar?" tanya Maya. Damar sudah pulang sedari tadi. ia beralasan kalau sudah berjanji akan jalan dengan temannya. Temannya adalah Rio."Iya, Rio gak pernah cerita.""Pantas saja mereka begitu akrab," imbuh Maya."Aku gak tau harus bagaimana, May.""Pikiranku gak karuan. Badanku juga masih lemas, jadi aku malas sekali memikirkan itu semua." Sisi lalu memiringkan tubuhnya. Maya diam."Ya, sudah. Baiknya kamu full istirahat, Si. Jangan mikir yang enggak-enggak dulu," ujar Maya akhirnya."May ... apa mungkin sebenarnya Rio sudah tau kalau Damar menjenguk aku?" tanya Sisi dengan suara lirihnya."Aku kurang tau juga, Si," Maya langsung menyimpulkan. Karena ia juga tak mau menebak-nebak asal."Bisa minta tolong air putih, May," perintah Sisi. Dengan sigap Maya mengambilkan gelas bening berisi air mineral, di meja. Mungkin Sisi agak kesulitan jika harus merubah posisi baringnya. Makanya ia l
Pagi ini seharusnya bangun lebih awal membuatnya segar. Tetapi Sisi merasakan badannya sakit semua. Rasanya pegel banget. Kayaknya kemarin baik-baik saja.Datang bulan, juga tidak pernah sampai terasa badan jadi lesu begini. Namun Sisi baru minggu kemarin selesai berhalangan."Mungkin aku kelelahan." Sisi mencoba rileks."Aku kecapean, karena banyak pikiran." Ia mereka-reka sendiri.Ia segera meraih ponsel dan mengetik pesan. Yang ditujukan untuk Maya.Sisi : May! Aku gak masuk kerja hari ini ya. Badanku sakit banget.Maya : Tumben banget Si?Oke, aku ijinin ke pak Bos segera.Sisi : Thank ya, May.Sisi segera mematikan layar ponselnya. Lalu memijat keningnya."Kok, jadi kepalaku malahan terasa sakit?"Sisi memijat kepalanya pelan. Lalu ia berbaring kembali di tempat tidur."Si! kamu sudah siap?"Suara kak Sena dengan ketukan kecil dari luar."Bareng kakak, yuk?""Si?"Suara kak Sena masih saja me
Ada rasa penasaran Sisi. Dan itu masih saja mengganjal. Kenapa tak ia tanyakan saja siapa Rio sebenarnya?"Atau bisa jadi, mereka bertemu di jalan. Lalu Damar bertanya pada Rio, dan mereka pun berteman," tebak Sisi. Mereka-reka sendiri."Tapi, bukankah terlalu dramatisir? sebegitu mudahnyakah Rio menawarkan menginap di rumahnya?" Sisi terus menebak-nebak. Sampai ia sendiri merasa ngaco dengan pikirannya itu.Sisi melirik ponselnya, nampak chat dari Maya masuk. Katanya, ada hal yang mau dibicarakan. Kebetulan sekali, Sisi lagi butuh teman.Terdengar sayup suara motor Maya. Dan disambut oleh Kak Sena yang sepertinya sedang ngobrol sama Harry di teras."Hei! Lagi galau, Non?" tiba-tiba suara beserta wajah Maya sudah menyembul di pintu kamarnya."Kamu, bikin kaget aja." Sisi mengelus-elus dadanya."Cepet banget sudah sampai, May?" tanya Sisi menyerbu dengan pertanyaan. Sekaligus dia merasa tumben saja Maya lagi mood main ke mari."Si! Lang