Hari menegangkan bukan hanya hari ini saja. Bagi Sisi, kemarin dan sebelum-sebelumnya tetaplah sama. Sisi perlahan seolah menghindari Damar.Cowok itu sepertinya datang sangat awal sekali. Laksana pegawai teladan. Maya belum kelihatan. Dia biasanya beberapa menit sebelum jam kerja dimulai baru sampai. Terkadang itulah kebiasaannya."Pasti nungguin Maya."Suara yang Sisi sudah tidak asing lagi, mengejutkannya."Oh, Hai Delon. Ngagetin," ujar Sisi santai. Agar sekalian tidak membuat Delon merasa aneh dengan sikapnya pagi ini."Iya, aku nunggu Maya." Sisi menjawab dengan tenang.Delon mendekati Sisi. Melihat gerak-geriknya, sepertinya dia mencari celah waktu untuk bisa ngobrol dengan Sisi. Sisi mengibaskan rambut lurus nan lembutnya."Kamu udah sarapan?" tanya Delon. Dari pertanyaannya, sepertinya dia mengajaknya ke kafetaria.Sembari memberi senyuman Sisi menjawab pertanyaan Delon yang dirasanya hanya selingan untuknya."Sudah. Aku sarapan roti," ucapnya.Delon hanya tertunduk saja. Terli
"Tapi…Rio?” Suara Sisi nyaris tidak terdengar. Rio perlahan melepaskan jemarinya yang sejak tadi menggenggam erat jemari tangan halus Sisi. Bola mata Sisi berkaca, benar-benar ia tidak percaya dengan semua ini, dan tidak sanggup lagi bibirnya kembali menyebut nama “Rio”. Air mata Sisi perlahan menetes, dan makin deras mengaliri pipinya. Rio berdiri dari kursinya dan meninggalkan Sisi, tanpa sepatah katapun. Sisi hanya bisa diam terpaku. Langkahnya terlihat gontai, namun Rio tetap melangkah menjauh dari tempat duduk Sisi. Air minum orange juice kesukaan Sisi dan Cappucino kegemaran Rio yang mereka pesan masih utuh. Dan tampaknya Capucinnonya sudah mulai dingin. Ya..memang inilah kenyataan yang harus Sisi terima pada akhirnya. Rio adalah kekasihnya yang amat ia cintai, Rio harus melakukan itu demi melanjutkan keinginan dan cita-cita almarhum Papanya. “Ahh betapa indahnya pemandangan di sini May..aku suka banget," kagum Sisi sambil sesekali
Tepat sekali di depan pintu yang dibiarkan terbuka lebar, Maya melongokkan kepalanya. “Assalammualaikum Nek?” Maya langsung memeluk punggung nenek dari belakang, nenek sedikit terkejut dan langsung menyadari itu adalah cucu tersayangnya. Nenek hapal sekali. Wanita setengah baya itupun membalikkan tubuhnya membalas pelukan Maya. “Tumben kau Maya, kenapa tidak memberi kabar dahulu?” tanya Nenek sembari mencubit pelan pipi halus cucunya itu. “Maaf, Nek, mendadak. Inipun ijin dari kantor.”“Ohya, Nek, kenalkan ini temen kantorku Sisi." Tanpa basa-basi Maya langsung memperkenalkan Sisi. Sisi mencium punggung tangan Nenek, sambil dibalas dengan senyuman wanita setengah baya itu. Setelah beberapa saat mereka mengobrol. Maya pun mengajak Sisi menempati kamar kosong yang akan ditempati mereka berdua.Setelah sebelumnya Nenek yang menawarkannya. "Haduh, cape banget!" Maya berseru. Sambil mendudukkan tubuhnya dipinggiran ranjang. Maya dan S
“Damar? ini pasti Damar.” Maya berdiri menghampiri pemuda yang ia yakin sekali namanya Damar. “Iya, Neng Maya.” jawab pemuda yang bernama Damar itu.“Alah! Pake Neng sagala euy, panggil saja Maya. Dulu kamu masih kecil, sekarang sudah segini, loh.” Dengan logat sunda kentalnya Maya, seperti nampak sudah akrab dengan pemuda itu. Pemuda bernama Damar itu tersenyum.“Tadi Nenek yang suruh kemari,” kata Nenek menyela obrolan mereka.“Saluran air di belakang kadang macet, Nenek menyuruh Damar membetulkan, tadi kebetulan ketemu waktu Damar mau ke mesjid,” terang Nenek. Maya mengangguk mengerti. Sisi yang menyaksikan obrolan mereka terbengong-bengong sampai lupa untuk minum. Sejak tadi tangannya hanya memainkan pinggiran piring makanannya. Itu pemuda yang tadi pagi Sisi lihat mengobrol dengan Nenek. Jadi Damar ternyata namanya. Batin Sisi. ”Waduh, aku sampe kelupaan, kenalin ini Sisi temen kantorku di Jakarta.” Ternyata Maya baru sadar kalau ia
Menyusuri pedesaan ini memang menyenangkan. Karena Sisi seperti merasakan hati yang baru, benar-benar seperti bunga merekah dihati. Apakah Sisi sekarang sedang jatuh cinta? Aduh! Secepat itu, Si? Sisi membuang perasaan itu, yang sejujurnya tidak dapat ia lakukan. Dan memang diakuinya, ia tengah jatuh cinta. Sosok yang sempat membuat beberapa hari ini berbunga-bunga tiada henti. Ia benar-benar kuat merasakan hatinya berdebar kencang ketika membayangkan wajah pemuda itu.Besok, mereka harus kembali ke Jakarta, untuk masuk kantor lagi. Pastinya tidak bisa berlama-lama di desa ini. Tetapi hati Sisi ada kerinduan. Ingin bertemu Damar lagi, seperti ada sengatan listrik kuat didiri Sisi. Yang sepertinya Damar belum tahu, dan sepertinya Damar tidak merasakan apa yang Sisi rasakan.Namun, Sisi teringat kembali saat ia dan Damar diperkenalkan Maya. Mata Damar berbeda saat menatapnya, dan bola mata mereka saling bertabrakan, bertautan. Apakah itu artinya mereka saling jatuh cinta
Sesaat mereka terdiam, Sisi masih dalam pengaruh lelucon Damar tadi dan masih menyisakan tawanya. Sehingga, tanpa ia sadari, Damar menarik lembut jemari Sisi. Sisi tersentak kaget, membisu, entah mau bilang apa. Damar erat meraih jemarinya. Dan meremas lembut jemari Sisi.Tangan Damar terasa hangat. Sedangkan tangan Sisi dingin sekali, seperti itu yang Sisi rasakan. Damar diam membisu, tanpa berkata. Apalagi Sisi, mereka hanya bertatapan lama. Namun wajah mereka begitu dekat, bola mata mereka lurus bertabrakan. Sunyi di antara mereka tanpa suara. Mereka sepertinya tadi penuh canda dan obrolan-obrolan renyah. Kali ini beda hanya mata mereka yang berbicara. Entah membicarakan apa. Dan genggam erat jemari mereka yang menjawab setiap pertanyaan yang terlontar dari mata masing-masing.“Aku suka kamu, Si." Suara itu baru terdengar, Sisi merasakan tubuhnya seperti tidak ada tulang belulangnya, lemas. Jantungnya seperti copot entah lepas ke arah mana, ia tidak perduli. Y
Setelah sampai pada jembatan kecil, dan membuat Sisi sedikit ngeri. Karena di bawahnya, adalah kali yang airnya deras namun jernih, Sisi agak sedikit takut.“Pegangan yang erat, Si!” seru Maya sambil meraih tangan Sisi, dan mereka bebarengan bergandengan tangan hingga sampai di ujung jembatan. Sisi tidak berani melihat ke bawah.Sesampai di ujung jembatan, Sisi bernafas lega. Membayangkan arus deras di bawah jembatan yang ia lalui bersama Maya tadi. Ditambah, jembatannya sempit dan agak bergoyang-goyang membikin dada Sisi berdegup. Karena mereka kan membawa tas yang cukup berat, juga ransel yang Sisi dan Maya bawa di pundak mereka.“Sampai juga.” Maya membetulkan posisi ranselnya dan tas goddie bagnya yang ia tenteng lumayan berat.“Itu, rumah Damar!” seru Maya tiba-tiba. Sontak membuat Sisi langsung menyimak. Tentu saja itu yang sejak tadi ia tunggu-tunggu, yaitu melewati rumah Damar.“Yuk, kita mampir dulu sebentar saja ke sana," ajak Maya. Sisi menge
Sisi teringat saat itu lagi, sebentar saja. Membayang kembali apa yang waktu itu Rio utarakan. Meski ia sempat lupa sama sekali selama bersama Maya di Bandung, saat itu. Sampai ia bertemu dengan seorang Damar. Semua ia lewati dengan mulus. Tetapi kenapa setelah ia sendirian seperti ini, masih saja kuat bayangan itu mendatanginya dan mendekat padanya lagi.Sisi tidak mau menangis lagi. Sisi ingin melupakan Rio, sekarang ia bertekad untuk lihat ke depan bukan ke belakang. Rio adalah masa lalunya kini. Sekarang ada seseorang yang mengisi hatinya. Dia memang sudah sanggup melupakan rasa pahit pada diri Sisi, yaitu mengingat akan Rio.Damar pun sepertinya bisa. Dan kini Sisi jatuh cinta pada Damar, begitupun Damar, Sisi merasakannya. Pandangan mata Damar begitu teduh. Membuat Sisi selalu rindu sosoknya, ingat saat mereka pertama berkenalan, sampai ia tidak sengaja bertemu saat ia sedang sendiri duduk di bawah pohon rindang. Semua kebetulan, dan meski sudah lewat, Sisi masih m
Hari menegangkan bukan hanya hari ini saja. Bagi Sisi, kemarin dan sebelum-sebelumnya tetaplah sama. Sisi perlahan seolah menghindari Damar.Cowok itu sepertinya datang sangat awal sekali. Laksana pegawai teladan. Maya belum kelihatan. Dia biasanya beberapa menit sebelum jam kerja dimulai baru sampai. Terkadang itulah kebiasaannya."Pasti nungguin Maya."Suara yang Sisi sudah tidak asing lagi, mengejutkannya."Oh, Hai Delon. Ngagetin," ujar Sisi santai. Agar sekalian tidak membuat Delon merasa aneh dengan sikapnya pagi ini."Iya, aku nunggu Maya." Sisi menjawab dengan tenang.Delon mendekati Sisi. Melihat gerak-geriknya, sepertinya dia mencari celah waktu untuk bisa ngobrol dengan Sisi. Sisi mengibaskan rambut lurus nan lembutnya."Kamu udah sarapan?" tanya Delon. Dari pertanyaannya, sepertinya dia mengajaknya ke kafetaria.Sembari memberi senyuman Sisi menjawab pertanyaan Delon yang dirasanya hanya selingan untuknya."Sudah. Aku sarapan roti," ucapnya.Delon hanya tertunduk saja. Terli
"Apakah menurutmu Rio sudah menjadi masa lalumu, Si?" tanya Maya, suatu hari. Hari ini kebetulan libur kerja. Dan mereka berdua menyempatkan waktu untuk sekedar berjalan-jalan saja. "Aku tidak bisa menjawab sekarang, May. Aku pun masih bingung." Sisi memainkan sedotan minuman soda susu. "Aku hanya merasa ingin menjauhi dia, semua sebenarnya demi kebaikan aku dan dia," ucap Sisi lirih. "Kami berpisah baik-baik, dan terencana. Juga demi almarhum Papanya Rio." "Meskipun itu buatku amat menyakitkan." Sisi menunduk lesu. Sisi diam sesaat. Tidak meneruskan ucapannya kembali. Malahan melanjutkan menyeruput soda susunya. Sisi sudah lelah jika harus merefresh ulang hal yang itu-itu terus. Apakah hidupnya akan terus dihantui oleh sosok Rio? Sedangkan dirinya bersikeras untuk melupakan lelaki itu. Hingga akhirnya bertemu Damar, yang membuatnya nyaman. Serta dapat melupakan Rio. Namun masalah baru yang lebih parah kembali muncul. Sisi semakin terpojok tak dapat berkutik. Semua flashback. Yan
Segerap rasa, Sisi tuangkan dalam sepi. Sisi tau, dia sedang dalam posisi tak beraturan. Nyatanya, ia yang harus mengalami ini semua. Keinginannya ingin menjauhi Rio. Tetapi, malahan bayangannya terus menguntit. Bahkan manusianya ada di depannya. Seperti waktu itu, yang seharusnya dia hanya bertemu dengan Damar, tetapi dia dikagetkan oleh sosok Rio kembali. Yang ada tepat di samping Damar. Sisi yang memendam rasanya untuk Damar. Begitupun dia tau persis, Damar memang menaruh hati untuknya juga. Sisi pun begitu sadar, jika dia cukup lama menahannya. Itu dikarenakan, dia mengetahui tak sengaja, kalau Rio bersaudara dengan Damar. Kaget? Sangat. Itulah kenapa Sisi sampai sekarang masih tidak bisa menunjukkannya pada Damar. "Aku bingung May, kenapa Rio seolah tidak suka aku mengenal Damar?" Sisi meringkukkan badannya di atas ranjang di kamar Maya. Maya menarik napasnya panjang. Dan menghembuskanya. "Kenapa bisa ya, Damar bersaudara dengan Rio?" Maya mikir keras. Menggaruk-garuk kepalany
"Maaf, sudah nunggu lama."Sisi buru-buru menoleh ke belakang. Meski terkejut, dia tau itu suara Damar.Namun seketika, justru kaget itu dobel. Dia hampir terperanjat. Malahan, sudah terjadi. Sisi hampir ingin menghentikan sendiri detak jantungnya. Karena apa yang dia lihat sangat membuatnya shock."Kau, kau. Ah! Aku belum lama di sini. Aku...," Sisi menghentikan suaranya. Lalu menarik napas cepat, dan menghembuskannya segera. Sebenarnya gugup itu sudah nampak di diri Sisi."Biasa, Si. Macet di jalan. Oh ya, mana Maya?"Damar tak sadar sudah menyelamatkan Sisi, dengan ungkapannya. Hingga gugupnya tak nampak. Sisi menggangguk."Aku tidak mengajaknya. Dia pulang sendiri sepertinya." Sisi menjawab, berjuang untuk bersikap lebih tenang.Mereka berdua, duduk tepat di depan Sisi. Dengan begitu santai. Lalu, Damar memanggil pelayan. Pelayan langsung menghampirinya."Capucinno Panas sama, ehm, kau pesan apa, Rio?""Sepe
Suasana kantor seperti biasa saja. Tidak ada sedikitpun yang berbeda. Itu bagi Sisi. Ia mengetuk-ngetuk bolpointnya. Pikirannya melayang ke mana-mana. Hingga sampai pada kata-kata Maya yang mengatakan, agar ia menawarkan lowongan pekerjaan di kantor kepada Damar."Si, bagaimana kalau kamu tawarkan saja kepada Damar?" Kata- kata yang selalu diingat Sisi dan menempel terus. Karena ia tidak tahu harus bagaimana. Setahunya, latar pendidikan Damar tidak sesuai dengan pesyaratan yang diminta.Apakah aku terlalu jahat dan mempunyai pandangan seperti itu? Sisi bertanya pada dirinya sendiri.Maya saja bisa seyakin itu? Sisi masih penuh dengan renungan. Perang berkecamuk di kepalanya."Heh!"Tetiba suara yang sangat dikenalnya, sudah membuatnya terkejut. Dari lamunan sesaat itu."Ngapain sih? Mata ke sana terus? Bengong ya, kamu?" Maya memiring-miringkan kepalanya memandangi dekat wajah Sisi."Bikin kaget aja sih, May?""Duh, maaf lo
Sisi masih memandangi rangkaian bunga, pemberian seseorang misterius. Sambil mengamatinya. Lalu tersenyum. Bunga itu tidak ada nama pengirimnya. Mawar berwarna putih bercampur merah jambu, lalu dihiasi daun-daun hijau yang masih segar. Belum layu. Bunganya diletakkan di vas bening, berisikan air. Sisi lalu terlihat tersenyum sangat lebar."Aku tahu, dari siapa bunga ini," gumamnya menerka sendiri."Damar," ucapnya lirih. Menebak dengan yakin. Tidak ketinggalan senyumnya terbit.Ternyata seorang Damar yang pemalu itu, bisa juga romantis. Batin Sisi. Lalu, ia berusaha meraih ponselnya, untuk menelepon Damar. Namun, tetiba ia mengurungkan niatnya."Kalau aku telepon dia, nanti gak seru lagi. Bukan surprise namanya." Sisi.mengurungkan niatnya."Lagipula, ia tidak memberikan nama pengirim. Ia tidak mau aku tahu. Walau, aku sudah tahu." Sisi senyum-senyum sambil memeluk ponsel ke dadanya.Sisi menaruh kembali ponselnya di atas meja. Dan berbaring. Karena sebe
"Si ... jadi Ibunya Rio adalah sahabat kecil emaknya Damar?" tanya Maya. Damar sudah pulang sedari tadi. ia beralasan kalau sudah berjanji akan jalan dengan temannya. Temannya adalah Rio."Iya, Rio gak pernah cerita.""Pantas saja mereka begitu akrab," imbuh Maya."Aku gak tau harus bagaimana, May.""Pikiranku gak karuan. Badanku juga masih lemas, jadi aku malas sekali memikirkan itu semua." Sisi lalu memiringkan tubuhnya. Maya diam."Ya, sudah. Baiknya kamu full istirahat, Si. Jangan mikir yang enggak-enggak dulu," ujar Maya akhirnya."May ... apa mungkin sebenarnya Rio sudah tau kalau Damar menjenguk aku?" tanya Sisi dengan suara lirihnya."Aku kurang tau juga, Si," Maya langsung menyimpulkan. Karena ia juga tak mau menebak-nebak asal."Bisa minta tolong air putih, May," perintah Sisi. Dengan sigap Maya mengambilkan gelas bening berisi air mineral, di meja. Mungkin Sisi agak kesulitan jika harus merubah posisi baringnya. Makanya ia l
Pagi ini seharusnya bangun lebih awal membuatnya segar. Tetapi Sisi merasakan badannya sakit semua. Rasanya pegel banget. Kayaknya kemarin baik-baik saja.Datang bulan, juga tidak pernah sampai terasa badan jadi lesu begini. Namun Sisi baru minggu kemarin selesai berhalangan."Mungkin aku kelelahan." Sisi mencoba rileks."Aku kecapean, karena banyak pikiran." Ia mereka-reka sendiri.Ia segera meraih ponsel dan mengetik pesan. Yang ditujukan untuk Maya.Sisi : May! Aku gak masuk kerja hari ini ya. Badanku sakit banget.Maya : Tumben banget Si?Oke, aku ijinin ke pak Bos segera.Sisi : Thank ya, May.Sisi segera mematikan layar ponselnya. Lalu memijat keningnya."Kok, jadi kepalaku malahan terasa sakit?"Sisi memijat kepalanya pelan. Lalu ia berbaring kembali di tempat tidur."Si! kamu sudah siap?"Suara kak Sena dengan ketukan kecil dari luar."Bareng kakak, yuk?""Si?"Suara kak Sena masih saja me
Ada rasa penasaran Sisi. Dan itu masih saja mengganjal. Kenapa tak ia tanyakan saja siapa Rio sebenarnya?"Atau bisa jadi, mereka bertemu di jalan. Lalu Damar bertanya pada Rio, dan mereka pun berteman," tebak Sisi. Mereka-reka sendiri."Tapi, bukankah terlalu dramatisir? sebegitu mudahnyakah Rio menawarkan menginap di rumahnya?" Sisi terus menebak-nebak. Sampai ia sendiri merasa ngaco dengan pikirannya itu.Sisi melirik ponselnya, nampak chat dari Maya masuk. Katanya, ada hal yang mau dibicarakan. Kebetulan sekali, Sisi lagi butuh teman.Terdengar sayup suara motor Maya. Dan disambut oleh Kak Sena yang sepertinya sedang ngobrol sama Harry di teras."Hei! Lagi galau, Non?" tiba-tiba suara beserta wajah Maya sudah menyembul di pintu kamarnya."Kamu, bikin kaget aja." Sisi mengelus-elus dadanya."Cepet banget sudah sampai, May?" tanya Sisi menyerbu dengan pertanyaan. Sekaligus dia merasa tumben saja Maya lagi mood main ke mari."Si! Lang