"Oke. Lepasin saya sekarang, Kanda.""Lho, kok masih pakai sebutan 'saya'?" Dinda langsung memutar otak lagi. Apa ia harus pakai aku? Atau Dinda? "Ehm, lepasin Dinda, Kanda," ucapnya dengan pipi semerah tomat. Akhirnya ia lebih memilih pakai nama. Terdengar lebih menghormati. Bagaimanapun, rasa kagumnya pada sang dokter membuatnya tetap tak mau serampangan saat berinteraksi dengan laki-laki itu. Andra meneguk salivanya. Ia senang mendengarnya, bahkan hatinya gemas. Ingin rasanya melahap gadis manis yang terus tersipu malu di dalam dekapannya itu. "Nah begitu, dong. Aku suka mendengarnya."Tangan kokohnya kemudian melepaskan pelukan. Lalu meraup wajah karena terlanjur berhasrat. "Kita harus segera berangkat, atau aku tak akan bisa menahan diri lagi," ucapnya. Dinda menatap iba. Memang tak seharusnya seperti ini. Demi menjaga cita-citanya, sang dokter menunda hak sebagai suami. Gadis itu menggigit bibirnya. Haruskah ia yang menawarkan? Sungguh ia tak apa-apa jika harus memberika
Bab 82Pukul 5 sore, akhirnya mereka selesai mensurvei. Keduanya sudah sepakat untuk menjadikan tanah itu tempat tinggal masa depan mereka. Sudah meluruskan masalah plus minusnya membangun hunian di sana, juga sudah deal masa harga dan luasnya. "Daerah ini sudah banyak yang laku. Tapi kami akan batasi penghuninya. Agar bukit indah ini masih terlihat lapang dan hijau," terang pemilik tanah.Andra mengangguk-angguk puas. Ini memang kriteria tanah yang ia mau. Apalagi Dinda juga sangat suka. Matanya melirik gadis yang sedang asik bermain dengan putra kecil si bapak pemilik tanah. "Kami juga menolak pembangunan pabrik. Hanya satu pabrik yang sudah dapat izin. Itu pabrik roti," sambung di bapak. "Pabrik roti?" sela Dinda sambil menghampiri dengan raut tertarik."Benar, Mbak.""Wah, asik dong! Tiap hari bisa nyium aroma roti yang dipanggang," gadis itu kegirangan."Iya, Mbak. Karena pertimbangan itu juga, kami merasa pabrik roti bisa menambah estetika pemukiman bukit ini.""Ya sudah, Pak
Bab 83Keluar dari kamarnya, Andra menyusul Dinda ke dapur dan melihat gadis itu sedang memindahkan makanan ke dalam piring saji. Rambut hitamnya yang tak tertutup hijab dikuncir kuda. Tubuh rampingnya tertutup kaos Gembrong dan celana panjang. Andra meneguk salivanya. Begitu saja penampilan Dinda sudah membuatnya panas dingin, bagaimana lagi kalau berpakaian terbuka? Andra mengusap wajahnya gugup. Sepertinya jiwa kelelakiannya hanya hidup saat melihat Dinda. Karena sebelumnya begitu banyak wanita yang menggoda bahkan menyerahkan dirinya. Tapi ia malah jijik pada perempuan-perempuan yang tak tahu menjaga diri itu.Perlahan laki-laki itu mendekat ingin membantu. Berdiri di belakang Dinda membuat harum rambut gadis itu tercium di hidungnya. Sementara Dinda sendiri sama sekali tak menyadari kehadiran Andra di belakangnya. Hatinya sedang sibuk menenangkan dan memberanikan diri untuk hal yang akan terjadi setelah makan malam nanti. Sambal pedas udang dan tempe telah ia pindahkan kedala
Malam, pukul setengah sebelas. Dinda menunggu resah di ruang makan. Makanan sudah ia panaskan karena Andra akan pulang sebentar lagi. Sementara hujan semakin lebat di luar sana. Laki-laki itu sudah mengabari akan pulang terlambat malam ini. Namun Dinda tetap merasa cemas sebelum Andra tiba di rumah. Hujan yang lebat seperti itu bisa membuat perjalanan berbahaya. Di bawah meja, Bingo tampak tidur berbantalkan kakinya. Sesekali kucing itu mengeong lembut sambil menatap gadis itu. Berusaha menenangkan hati pemilik barunya itu. Duk! Terdengar suara pintu ditutup dari luar. Dinda langsung duduk tegak. "Dr.Andra pulang, Bingo!" serunya. "Alhamdulillah ...."Tanpa menunggu lagi ia bangkit dari kursinya dan bergegas menuju ke depan. Sementara Bingo mengikutinya di belakang. Ceklek! Dinda membuka pintunya. Kosong. "Kok nggak ada ya, Bingo? Padahal tadi kayak suara pintu mobil?" tanyanya dengan suara yang sedikit kencang, mengalahkan derasnya suara hujan.Dengan wajah kecewa ia melang
Begitu lengan sweater itu tersingkap sedikit, tangan Dinda seketika terhenti. Ada perban yang membalut lengan kokoh itu. Artinya, Andra telah berbohong padanya. Yang dilihatnya tadi bukan noda saos, melainkan noda darah. Dinda menarik kembali lengan sweater laki-laki itu perlahan. Kemudian kembali berbaring dengan perasaan yang bercampur aduk. Mungkinkah yang dikatakan Reza benar adanya? Tapi selama ini dr.Andra tak pernah membunuh. Apa mungkin karena tidak sengaja? Mungkin mahasiswi itu memberontak dan melukainya, sehingga tanpa sengaja ....Ah, ia tak bisa membayangkannya. Hatinya takut jika benar nyawa perempuan itu melayang di tangan laki-laki yang telah menjadi suaminya itu. Dadanya terasa sakit dan sesak. Apalagi sang dokter menyembunyikan hal itu darinya. Hingga subuh menjelang, Dinda tak bisa menutup matanya. Ia bangkit dari ranjang, dan duduk di tepinya dengan pikiran yang kacau. Setelah beberapa saat, gadis itu menghela napas berat. Ia sudah memutuskan, jika ia me
Di dalam ruangan bernuansa putih, laki-laki berwajah tampan dengan hidung mancung yang tak lain adalah dr. Andra Janson itu duduk termangu.Netra coklat terangnya tampak terbalut kesedihan. Bibirnya yang menarik beberapa kali mendesah berat. "Huff ...," Tangan kokohnya yang masih diperban mere mas rambut dengan raut frustasi. Hatinya benar-benar kacau. Ia tak tahu apa yang telah terjadi sampai Dinda menuduhnya telah menyekap seorang mahasiswi hingga meninggal. Klek.Suara pintu ruangannya dibuka. Seorang perawat muda yang baru bekerja di rumah sakit itu melongok melalui celah pintu. "Boleh saya masuk, Dok?" Andra melepaskan cengkraman di rambutnya dan mengangguk. "Ya, silahkan."Gadis cantik berseragam perawat itu tersenyum senang dan melangkah masuk. Matanya tampak terpana menatap ketampanan sang dokter yang semakin tampak seksi dengan rambut yang berantakan. "Dokter lagi pusing? Atau mungkin kecapean? Saya bisa buatkan teh hangat untuk Dokter sekarang."Andra menghela napas m
Tring. Ponselnya tiba-tiba berdering. Andra bergegas mengambilnya, berharap Dinda yang menelepon balik karena melihat panggilan tak terjawab darinya. Namun ternyata di layar ponselnya tertera nomor yang tak terdaftar. Andra mengernyit, namun tetap mengangkat telepon itu. "Halo?" Suara seorang laki-laki terdengar di seberang. "Halo, ini dengan siapa?""Saya Basri, Pak Dokter. Yang di padang bukit.""Oh, iya Pak?" Andra langsung mengenali, ini adalah di bapak pemilik tanah yang dibelinya untuk hunian impiannya bersama Dinda. "Ada apa?" "Ini ... anu, Pak Dokter. Saya mau ngasih tau kalau Neng Dinda ada di sini.""Oh ya? Syukurlah," Andra menghempaskan napas lega sambil merebahkan punggungnya di sandaran jok mobil dengan mata terpejam. Ia benar-benar lega. "Saya sudah menduga kalau Pak Dokter tidak tau. Makanya saya coba nelpon biar Pak Dokter tak khawatir.""Iya, Pak. Terimakasih banyak. Saya langsung ke sana sekarang."Andra memutuskan sambungan teleponnya. Lalu dengan penuh sema
Pagi menjelang. Setelah melaksanakan shalat subuh, Dinda mengintip keluar rumah Pak Basri itu dan melihat mobil Andra masih terparkir di depan. Gadis itu menghela napas. Sang dokter mungkin tidur di dalam mobilnya dan belum bangun untuk shalat subuh. Ia harusnya bagaimana? Membangunkan laki-laki itu? Tapi hatinya masih marah. Ia marah karena sang dokter masih saja tak terbuka. Padahal mereka bisa mencari jalan keluarnya bersama. Kenapa laki-laki itu tak benar-benar berubah jika memang mencintainya? Dinda akhirnya memutuskan untuk menunggu. Namun hingga lima belas menit kemudian, pintu mobil itu tak juga terbuka. Kalau ia terus menunggu maka waktu subuh bisa habis. Setelah menarik napas dalam-dalam, akhirnya Dinda memutuskan untuk membangunkan. Ia membuka pintu dan melangkah menghampiri mobil mahal itu. Ragu-ragu kepalanya mendekat untuk mengintip pada jendelanya yang gelap. Memang ada dr. Andra di dalam sana. Laki-laki itu masih tertidur di kursi belakang. Tuk tuk. Dinda men
Extra partAndra berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celananya. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki bertubuh kekar dan bertopi yang tak lain adalah IPDA Reza. "Apa yang bisa membuatku yakin, kau tak akan berubah karena trauma itu lagi?" Andra menghela napas. "Yang pertama, aku telah mengetahui apa alasan ibuku menggantung diri. Dan aku juga sudah menangkap orang yang menjadi penyebab ibuku melakukan hal itu. Yang kedua, aku memiliki seorang istri seperti Dinda, kau juga mengenalnya seperti apa, dia tak akan membiarkanku kembali ke masa lalu.""Baiklah kalau begitu. Aku akan melupakan sebuah flashdisk yang pernah aku temukan di rumahmu di bukit Pinus.""Flashdisk?" Andra mengernyit. Karena rasanya ia dan Dinda telah memusnahkan semua flashdisk-nya. "Ya," Reza tersenyum tipis. "Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu kali akan jatuh juga."Andra terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Itu benar," sahutnya."Aku pergi dulu. Siang ini aku harus segera b
Soni dan Guntur serentak keluar dari pintunya masing-masing. Lalu berlari menuju pintu masuk. Menyusul Andra yang sudah berlari lebih dulu. Sementara Dinda yang terpaksa tak ikut langsung mengunci pintu mobil seperti perintah Andra sebelumnya. "Bahaya, kalau karyawan perempuan itu dilenyapkan juga karena cuma dia saksi matanya," deduksi Soni sambil berlari di samping Guntur. "Tidak, bagaimana kalau karyawan perempuan itu yang membawa air bercampur racun?"Brak!Andra mendobrak pintunya. Lalu berlari cepat ke arah dua orang karyawan yang berjongkok di samping tubuh Yani. "Jangan bergerak!" teriaknya. Kedua orang itu tersentak dan sama-sama menoleh ke arah suara yang mengagetkan itu! Namun bedanya, yang perempuan langsung menunduk kembali. Andra tertegun. Ia mengenal wajah itu. *Flashback.Jamal menatap sosok berpakaian serba hitam yang datang untuk berterimakasih padanya kedalam penjara. "Kenapa kau ingin mengkambinghitamkan laki-laki yang kau cintai?" Sosok itu menghela nap
Hari sudah siang, semua karyawan PT sedang keluar untuk makan siang. Begitu juga dengan pekerja di gudang. Mereka baru saja keluar, saat mobil Andra dan timnya berhenti di tepi jalan. Andra membuka jendela mobilnya. Sekilas terdengar salah seorang pekerja di gudang itu membicarakan sesuatu dengan bibir tersenyum-senyum. "Pekerja baru itu cantik banget, ya? Udah gitu pekerja keras lagi. Barang sekarung besar itu diseret sendiri. Aku udah nawarin bantuan tapi doi menolak secara halus.""Iya, gue juga udah ngajak makan. Katanya mau nyelesain kerjaan dulu. Bakal betah gue kerja kalo ada temen kerja kayak gitu," timpal temannya. Sementara itu, Martin dan lima anak buah kepercayaannya langsung mengepung di sekeliling gudang.Sedangkan Andra, Dinda, Soni, dan Guntur tidak langsung keluar dari mobil karena Soni harus meretas kamera CCTV gudang untuk melihat keadaan di dalam."Tidak akan lama," Soni langsung fokus.Kamera berhasil di retas setelah beberapa saat. Tampaklah penampakan isi gud
Tring. Semua yang terdiam tampak tersentak kaget mendengar dering ponsel Andra. "Paman Amir," ujarnya pada Dinda. Lalu mengangkat telepon itu."Ya, halo," jawabnya. "Halo, Nak Andra! Istriku menghilang!" panik Amir di seberang. "Apa?!" Mata Andra melebar. Yani, yang menjadi umpan jebakannya menghilang? "Paman yakin dia tidak pergi ke suatu tempat?" "Entahlah, tapi sepertinya istriku benar-benar takut akan dituntut. Jadi kurasa tak mungkin dia berani mengacaukan rencana.""Baiklah, kalau begitu. Aku akan mencarinya!" Andra mematikan teleponnya dan menatap semua orang di dekatnya. "Kita salah sasaran!" serunya. "Bibi Yani kenapa?" tanya Dinda yang tak tahu mengenai rencana yang disusun Andra. "Dia menjadi umpan untuk menangkap pembunuh itu. Dan sekarang dia menghilang."Dinda tercenung. Hatinya resah. Bagaimanapun, Yani tetap keluarga dekatnya. "Dinda akan bantu mencari.""Tidak, ini bahaya Dinda. Makanya aku tidak memberitahu mu sejak awal.""Dinda akan berhati-hati dan terus
"Soni, Guntur! Kalian yang berada lebih dekat langsung beralih ke rumah Dinas. Dugaan kita meleset. Target malah di rumah Dinas dan istriku dalam bahaya!" teriak Andra sambil berlari. Tiba di luar, tampak Martin telah menunggu dengan motornya. Andra langsung berlari menyongsong orang kepercayaannya itu. "Cepat, Martin!" "Baik, Dok!" angguk Martin yang kemudian menarik gas motornya sekencang mungkin. *Dinda berdiri membeku melihat laki-laki berwajah pucat itu berjalan menghampirinya. Ia berhenti berlari karena teringat pada Bingo yang tertinggal di kamar. Laki-laki bernama Faisal itu menggendong Bingo dan kemudian berhenti 3 langkah di hadapan Dinda. "Lepasin Bingo!" Dinda memberanikan diri untuk membentak. Faisal tak menanggapi. Tangannya yang sebelah lagi merogoh saku belakang celana, membuat Dinda was-was menerka apa yang diambil laki-laki itu. Bagaimana kalau senjata tajam? Namun ternyata yang diambilnya adalah sebuah buku catatan dan pulpen. Orang itu kemudian menurunkan
Bab 107Tiba-tiba, Amir muncul dan menghadang jalan Andra. Laki-laki paruh baya itu kemudian berlutut dengan wajah memelas, membuat orang-orang di sekitar langsung memperhatikan. "Nak Andra, tolong kasihanilah kami, jangan tuntut kami. Nak Andra boleh mengambil toko baru itu, Kami akan menyerahkan sertifikatnya juga."Andra menghela napas. "Aku hanya ingin toko buku milik istriku kembali seperti semula. Aku tidak butuh toko lain!" tegasnya. Amir melirik cemas, meski telah membantu bersandiwara seperti ini ternyata suami dari keponakannya itu tetap tak mau memberi keringanan. "Tapi itu tak mungkin bisa, Nak! Orang itu telah mendapatkan tokonya dengan harga murah, tidak mungkin mau mengembalikannya lagi."Andra menatap tak sabar. Bisa-bisanya Amir mengambil kesempatan untuk bernegosiasi dengannya di tengah sandiwara yang telah ia atur. Ia hanya ingin Amir mengatakan bahwa Yani hendak bunuh diri, untuk memancing si pembunuh. "Kalian bisa membelinya kembali dengan harga yang lebih
"Kalau dalam kasus pembunuhan itu si pelaku sengaja mencari orang-orang yang hendak bunuh diri, kita bisa menjebaknya dengan memberi umpan seseorang yang akan berpura-pura bunuh diri. Dan lebih baik, orang itu memiliki hubungan dengan Anda atau istri Anda, Pak Andra," usul Guntur, sang detektif swasta.Andra mengangguk-angguk. "Aku tau siapa yang bisa berperan menjadi umpan," sahutnya. *Andra berdiri di hadapan sebuah ruko dengan tangan di dalam saku celananya. Bibirnya tersenyum menatap teras toko dimana ia dan seorang gadis baik hati bertemu. Kala itu ia hanya menganggap gadis berwajah ayu itu sebagai kelinci percobaan.Namun siapa sangka, kelinci percobaannya malah menjadi kelinci manis yang ia cintai. Bahkan berhasil mengubah jati dirinya.Klik. Pintu kaca toko terbuka. Seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah Amir muncul dari dalam dan tampak tersentak kaget melihat Andra yang berdiri di depan tokonya. "N-nak Andra?" sebutnya terbata. "Ya. Ini saya."Amir buru-bur
"Apa kita pindah ke rumah dinas saja dulu? Sampai kasus ini selesai," tawar Andra. Ia melihat Dinda mulai tidak nyaman dan was-was setiap saat, setelah munculnya pemilik Bingo di rumah baru mereka itu.Meski enggan untuk meninggalkan rumah impiannya bersama Andra, namun Dinda merasa tawaran sang suami lebih tepat untuk saat ini. Rumah dinas berada di tengah kota, dan jarak rumah dengan tetangga juga tak jauh. Akhirnya, setelah berbenah mereka berangkat ke rumah dinas. Rumah dimana keduanya saling mengenal hingga saling mencintai dan bermadu kasih. Tiba di sana, bibir Dinda seketika tersenyum. Banyak kenangan manis yang telah terpatri di rumah itu."Kamu senang?" Andra ikut tersenyum dan merangkul pundak istrinya hangat.Dinda mengangguk, kemudian melangkah masuk bersama dalam rangkulan lelaki itu.Andra benar-benar memperhatikan dan memanjakannya. Laki-laki itu juga mengajaknya bersantai sore, membuatkannya teh dan menikmati senja di kursi taman seperti biasa. "Padahal harusnya Di
Dinda menatap laki-laki berkumis yang tiba-tiba masuk dan mengecam suaminya itu, dengan tatapan kesal. Persis seperti komisaris korup dalam film India, atasan Reza itu benar-benar bermuka dua. Beberapa hari yang lalu Andra sempat cerita bahwa sang komisaris berterimakasih padanya karena telah membantu menangkap Jamal. Laki-laki bermata kecil itu juga meminta maaf karena pernah menuduh Andra sebagai pelaku pembunuhan dan juga pernah ingin mempidanakannya saat kasus dengan Dahlan dahulu. Dada Dinda serasa bergemuruh mengingat semuanya.Sekarang, pria itu kembali ingin menjerat suaminya dan menuduhnya memberi kesaksian palsu. "Saya tidak berbohong, Suami saya memang langsung pulang sore itu.""Baiklah kalau Anda bersikeras seperti itu. Saya cuma mau nanya, apa Anda punya buktinya?"Dinda terdiam dengan sejuta rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan. Sementara itu di luar ruangan, Alex dan Fathimah sedang duduk menunggu dengan raut cemas. "Alex, semua ini salahku. Coba saja aku tak ter