Begitu lengan sweater itu tersingkap sedikit, tangan Dinda seketika terhenti. Ada perban yang membalut lengan kokoh itu. Artinya, Andra telah berbohong padanya. Yang dilihatnya tadi bukan noda saos, melainkan noda darah. Dinda menarik kembali lengan sweater laki-laki itu perlahan. Kemudian kembali berbaring dengan perasaan yang bercampur aduk. Mungkinkah yang dikatakan Reza benar adanya? Tapi selama ini dr.Andra tak pernah membunuh. Apa mungkin karena tidak sengaja? Mungkin mahasiswi itu memberontak dan melukainya, sehingga tanpa sengaja ....Ah, ia tak bisa membayangkannya. Hatinya takut jika benar nyawa perempuan itu melayang di tangan laki-laki yang telah menjadi suaminya itu. Dadanya terasa sakit dan sesak. Apalagi sang dokter menyembunyikan hal itu darinya. Hingga subuh menjelang, Dinda tak bisa menutup matanya. Ia bangkit dari ranjang, dan duduk di tepinya dengan pikiran yang kacau. Setelah beberapa saat, gadis itu menghela napas berat. Ia sudah memutuskan, jika ia me
Di dalam ruangan bernuansa putih, laki-laki berwajah tampan dengan hidung mancung yang tak lain adalah dr. Andra Janson itu duduk termangu.Netra coklat terangnya tampak terbalut kesedihan. Bibirnya yang menarik beberapa kali mendesah berat. "Huff ...," Tangan kokohnya yang masih diperban mere mas rambut dengan raut frustasi. Hatinya benar-benar kacau. Ia tak tahu apa yang telah terjadi sampai Dinda menuduhnya telah menyekap seorang mahasiswi hingga meninggal. Klek.Suara pintu ruangannya dibuka. Seorang perawat muda yang baru bekerja di rumah sakit itu melongok melalui celah pintu. "Boleh saya masuk, Dok?" Andra melepaskan cengkraman di rambutnya dan mengangguk. "Ya, silahkan."Gadis cantik berseragam perawat itu tersenyum senang dan melangkah masuk. Matanya tampak terpana menatap ketampanan sang dokter yang semakin tampak seksi dengan rambut yang berantakan. "Dokter lagi pusing? Atau mungkin kecapean? Saya bisa buatkan teh hangat untuk Dokter sekarang."Andra menghela napas m
Tring. Ponselnya tiba-tiba berdering. Andra bergegas mengambilnya, berharap Dinda yang menelepon balik karena melihat panggilan tak terjawab darinya. Namun ternyata di layar ponselnya tertera nomor yang tak terdaftar. Andra mengernyit, namun tetap mengangkat telepon itu. "Halo?" Suara seorang laki-laki terdengar di seberang. "Halo, ini dengan siapa?""Saya Basri, Pak Dokter. Yang di padang bukit.""Oh, iya Pak?" Andra langsung mengenali, ini adalah di bapak pemilik tanah yang dibelinya untuk hunian impiannya bersama Dinda. "Ada apa?" "Ini ... anu, Pak Dokter. Saya mau ngasih tau kalau Neng Dinda ada di sini.""Oh ya? Syukurlah," Andra menghempaskan napas lega sambil merebahkan punggungnya di sandaran jok mobil dengan mata terpejam. Ia benar-benar lega. "Saya sudah menduga kalau Pak Dokter tidak tau. Makanya saya coba nelpon biar Pak Dokter tak khawatir.""Iya, Pak. Terimakasih banyak. Saya langsung ke sana sekarang."Andra memutuskan sambungan teleponnya. Lalu dengan penuh sema
Pagi menjelang. Setelah melaksanakan shalat subuh, Dinda mengintip keluar rumah Pak Basri itu dan melihat mobil Andra masih terparkir di depan. Gadis itu menghela napas. Sang dokter mungkin tidur di dalam mobilnya dan belum bangun untuk shalat subuh. Ia harusnya bagaimana? Membangunkan laki-laki itu? Tapi hatinya masih marah. Ia marah karena sang dokter masih saja tak terbuka. Padahal mereka bisa mencari jalan keluarnya bersama. Kenapa laki-laki itu tak benar-benar berubah jika memang mencintainya? Dinda akhirnya memutuskan untuk menunggu. Namun hingga lima belas menit kemudian, pintu mobil itu tak juga terbuka. Kalau ia terus menunggu maka waktu subuh bisa habis. Setelah menarik napas dalam-dalam, akhirnya Dinda memutuskan untuk membangunkan. Ia membuka pintu dan melangkah menghampiri mobil mahal itu. Ragu-ragu kepalanya mendekat untuk mengintip pada jendelanya yang gelap. Memang ada dr. Andra di dalam sana. Laki-laki itu masih tertidur di kursi belakang. Tuk tuk. Dinda men
Bab 89Alex menemui Bos Mario yang masih meringkuk di dalam tahanan dengan menenteng sebuah tas besar. "Beraninya kau kemari?!" desis laki-laki paruh baya itu dengan tatapan penuh dendam."Aku membawa kesepakatan bagus untukmu.""Cih! Apa yang bisa dilakukan anak bau kencur sepertimu?"Alex membuka tas yang dibawanya sebagai jawaban. Berpuluh-puluh ikat uang menumpuk di dalamnya. Membuat mata mantan bosnya itu membelalak tak percaya. "Dari mana kau dapatkan uang itu?" Mario menyipitkan matanya. "Kau merampok uangku? Atau jangan-jangan selama ini kau korupsi?"Alex masih tak menjawab. Ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama, kartu yang belum pernah diketahui bosnya. "Owner Semanggi Mobil?" Mario mengernyit dalam. Ia tau Semanggi Group, di mana-mana ada usahanya. Dan ia juga tahu pemiliknya bernama Alex, tapi sungguh ia tak tahu Alex yang bersamanya selama ini adalah orangnya. Ia menemukan Alex saat pemuda itu berlari dari jeratan Komar dan menjadikannya anak buah.
Andra menghentikan mobilnya di hadapan sebuah rumah dengan halaman luas yang sangat indah dan instagrameble. Penuh dengan bunga berwarna-warni dan meja taman. Ada juga bunga rambat yang dibentuk melengkung seperti gerbang. Dinda melihat sebuah papan nama bertuliskan Prewedding Photo. "Prewed?""Kalo kita harusnya after wedding, ya? Aku ingin kita punya foto pernikahan buat dipajang di rumah baru nanti. Waktu ijab qobul kan tukang fotonya punya si Dahlan."Dinda menggigit bibirnya. Ia tak percaya diri untuk difoto bersama Dr. Andra. Lelaki itu teramat tampan dan pasti akan sangat gagah saat difoto. Sementara dirinya selfi pun tak berani. Begitu tiba di teras rumah megah itu, seorang laki-laki langsung keluar menyambut dengan senyuman lebar. "Dokter Andra Janson! Senang sekali saya waktu Dokter ngasih kabar akan datang untuk difoto."Andra mengulurkan tangan dan menjabat tangan laki-laki itu. "Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik.""Insyaallah, Dokter. Saya akan berusaha mendap
Dinda penasaran apa isinya kotak itu.Andra melihat arah tatapan Dinda. Laki-laki itu menghampiri dan mengambil kotaknya. "Kamu pasti ingin tau apa isi kotak ini," tanyanya. Dinda mengangguk. Sang dokter kemudian membukanya. "Ini baju yang aku pakai saat penyekapan. Baju ini menjadi saksi betapa arogannya aku saat itu. Aku ingin memusnahkannya. Tapi seperti melihat aib sendiri, aku selalu ingin menghindarinya dan enggan menyentuh kotak ini lagi.""Dinda bisa bantu membakarnya.""Tidak. Kamu sudah banyak membantu dengan turun tangan membakar rekaman videonya. Temani aku saja, aku akan membakarnya sendiri."Dinda tersenyum dan mengangguk. Andra melangkah menghampiri sebuah tong sampah yang dipakai tukang untuk membuang potongan kayu tak terpakai dan membakar kotak itu di sana. Kotak berisi jaket kulit hitam dan celana hitam itu terbakar bersama kayunya.Hari telah siang, panas matahari lumayan terik ditambah panasnya bara api yang menyala cukup besar itu."Dinda haus," lirih Dinda
"Dr. Andra?" Reza mencekal lengan Alex.Alex menghentikan langkahnya dan menoleh dengan raut dingin. Matanya beralih pada lengan yang dicekal Reza dan melepaskannya dengan kasar."Kenapa Anda kemari setelah membunuh dua nyawa yang tak bersalah? Anda ingin menyerahkan diri?" Alex mengerutkan keningnya. Andra dituduh membunuh dua nyawa? Sejenak kemudian Reza juga mengerutkan keningnya. Ia baru sadar kalau lelaki di hadapannya itu bukan dr. Andra. "Maaf, saya salah orang. Anda mirip sekali dengan Dr. Andra," ucapnya.Alex tak menjawab. Dengan ekspresi yang sama ia berbalik dan pergi dari tempat itu. Ia harus memberitahu Andra tentang apa yang didengarnya barusan. *Tring. Andra mendesah berat. Baru saja gangguan dari seorang bocah kecil terselesaikan karena Pak Bahri menjemput putranya itu, kini waktu romantisnya kembali terganggu dengan sebuah telepon. "Alex," gumamnya. "Sebentar ya, Din. Aku angkat telepon dulu," ujarnya pada Dinda yang sedang menggigit ayam kecap buatan istri
Extra partAndra berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celananya. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki bertubuh kekar dan bertopi yang tak lain adalah IPDA Reza. "Apa yang bisa membuatku yakin, kau tak akan berubah karena trauma itu lagi?" Andra menghela napas. "Yang pertama, aku telah mengetahui apa alasan ibuku menggantung diri. Dan aku juga sudah menangkap orang yang menjadi penyebab ibuku melakukan hal itu. Yang kedua, aku memiliki seorang istri seperti Dinda, kau juga mengenalnya seperti apa, dia tak akan membiarkanku kembali ke masa lalu.""Baiklah kalau begitu. Aku akan melupakan sebuah flashdisk yang pernah aku temukan di rumahmu di bukit Pinus.""Flashdisk?" Andra mengernyit. Karena rasanya ia dan Dinda telah memusnahkan semua flashdisk-nya. "Ya," Reza tersenyum tipis. "Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu kali akan jatuh juga."Andra terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Itu benar," sahutnya."Aku pergi dulu. Siang ini aku harus segera b
Soni dan Guntur serentak keluar dari pintunya masing-masing. Lalu berlari menuju pintu masuk. Menyusul Andra yang sudah berlari lebih dulu. Sementara Dinda yang terpaksa tak ikut langsung mengunci pintu mobil seperti perintah Andra sebelumnya. "Bahaya, kalau karyawan perempuan itu dilenyapkan juga karena cuma dia saksi matanya," deduksi Soni sambil berlari di samping Guntur. "Tidak, bagaimana kalau karyawan perempuan itu yang membawa air bercampur racun?"Brak!Andra mendobrak pintunya. Lalu berlari cepat ke arah dua orang karyawan yang berjongkok di samping tubuh Yani. "Jangan bergerak!" teriaknya. Kedua orang itu tersentak dan sama-sama menoleh ke arah suara yang mengagetkan itu! Namun bedanya, yang perempuan langsung menunduk kembali. Andra tertegun. Ia mengenal wajah itu. *Flashback.Jamal menatap sosok berpakaian serba hitam yang datang untuk berterimakasih padanya kedalam penjara. "Kenapa kau ingin mengkambinghitamkan laki-laki yang kau cintai?" Sosok itu menghela nap
Hari sudah siang, semua karyawan PT sedang keluar untuk makan siang. Begitu juga dengan pekerja di gudang. Mereka baru saja keluar, saat mobil Andra dan timnya berhenti di tepi jalan. Andra membuka jendela mobilnya. Sekilas terdengar salah seorang pekerja di gudang itu membicarakan sesuatu dengan bibir tersenyum-senyum. "Pekerja baru itu cantik banget, ya? Udah gitu pekerja keras lagi. Barang sekarung besar itu diseret sendiri. Aku udah nawarin bantuan tapi doi menolak secara halus.""Iya, gue juga udah ngajak makan. Katanya mau nyelesain kerjaan dulu. Bakal betah gue kerja kalo ada temen kerja kayak gitu," timpal temannya. Sementara itu, Martin dan lima anak buah kepercayaannya langsung mengepung di sekeliling gudang.Sedangkan Andra, Dinda, Soni, dan Guntur tidak langsung keluar dari mobil karena Soni harus meretas kamera CCTV gudang untuk melihat keadaan di dalam."Tidak akan lama," Soni langsung fokus.Kamera berhasil di retas setelah beberapa saat. Tampaklah penampakan isi gud
Tring. Semua yang terdiam tampak tersentak kaget mendengar dering ponsel Andra. "Paman Amir," ujarnya pada Dinda. Lalu mengangkat telepon itu."Ya, halo," jawabnya. "Halo, Nak Andra! Istriku menghilang!" panik Amir di seberang. "Apa?!" Mata Andra melebar. Yani, yang menjadi umpan jebakannya menghilang? "Paman yakin dia tidak pergi ke suatu tempat?" "Entahlah, tapi sepertinya istriku benar-benar takut akan dituntut. Jadi kurasa tak mungkin dia berani mengacaukan rencana.""Baiklah, kalau begitu. Aku akan mencarinya!" Andra mematikan teleponnya dan menatap semua orang di dekatnya. "Kita salah sasaran!" serunya. "Bibi Yani kenapa?" tanya Dinda yang tak tahu mengenai rencana yang disusun Andra. "Dia menjadi umpan untuk menangkap pembunuh itu. Dan sekarang dia menghilang."Dinda tercenung. Hatinya resah. Bagaimanapun, Yani tetap keluarga dekatnya. "Dinda akan bantu mencari.""Tidak, ini bahaya Dinda. Makanya aku tidak memberitahu mu sejak awal.""Dinda akan berhati-hati dan terus
"Soni, Guntur! Kalian yang berada lebih dekat langsung beralih ke rumah Dinas. Dugaan kita meleset. Target malah di rumah Dinas dan istriku dalam bahaya!" teriak Andra sambil berlari. Tiba di luar, tampak Martin telah menunggu dengan motornya. Andra langsung berlari menyongsong orang kepercayaannya itu. "Cepat, Martin!" "Baik, Dok!" angguk Martin yang kemudian menarik gas motornya sekencang mungkin. *Dinda berdiri membeku melihat laki-laki berwajah pucat itu berjalan menghampirinya. Ia berhenti berlari karena teringat pada Bingo yang tertinggal di kamar. Laki-laki bernama Faisal itu menggendong Bingo dan kemudian berhenti 3 langkah di hadapan Dinda. "Lepasin Bingo!" Dinda memberanikan diri untuk membentak. Faisal tak menanggapi. Tangannya yang sebelah lagi merogoh saku belakang celana, membuat Dinda was-was menerka apa yang diambil laki-laki itu. Bagaimana kalau senjata tajam? Namun ternyata yang diambilnya adalah sebuah buku catatan dan pulpen. Orang itu kemudian menurunkan
Bab 107Tiba-tiba, Amir muncul dan menghadang jalan Andra. Laki-laki paruh baya itu kemudian berlutut dengan wajah memelas, membuat orang-orang di sekitar langsung memperhatikan. "Nak Andra, tolong kasihanilah kami, jangan tuntut kami. Nak Andra boleh mengambil toko baru itu, Kami akan menyerahkan sertifikatnya juga."Andra menghela napas. "Aku hanya ingin toko buku milik istriku kembali seperti semula. Aku tidak butuh toko lain!" tegasnya. Amir melirik cemas, meski telah membantu bersandiwara seperti ini ternyata suami dari keponakannya itu tetap tak mau memberi keringanan. "Tapi itu tak mungkin bisa, Nak! Orang itu telah mendapatkan tokonya dengan harga murah, tidak mungkin mau mengembalikannya lagi."Andra menatap tak sabar. Bisa-bisanya Amir mengambil kesempatan untuk bernegosiasi dengannya di tengah sandiwara yang telah ia atur. Ia hanya ingin Amir mengatakan bahwa Yani hendak bunuh diri, untuk memancing si pembunuh. "Kalian bisa membelinya kembali dengan harga yang lebih
"Kalau dalam kasus pembunuhan itu si pelaku sengaja mencari orang-orang yang hendak bunuh diri, kita bisa menjebaknya dengan memberi umpan seseorang yang akan berpura-pura bunuh diri. Dan lebih baik, orang itu memiliki hubungan dengan Anda atau istri Anda, Pak Andra," usul Guntur, sang detektif swasta.Andra mengangguk-angguk. "Aku tau siapa yang bisa berperan menjadi umpan," sahutnya. *Andra berdiri di hadapan sebuah ruko dengan tangan di dalam saku celananya. Bibirnya tersenyum menatap teras toko dimana ia dan seorang gadis baik hati bertemu. Kala itu ia hanya menganggap gadis berwajah ayu itu sebagai kelinci percobaan.Namun siapa sangka, kelinci percobaannya malah menjadi kelinci manis yang ia cintai. Bahkan berhasil mengubah jati dirinya.Klik. Pintu kaca toko terbuka. Seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah Amir muncul dari dalam dan tampak tersentak kaget melihat Andra yang berdiri di depan tokonya. "N-nak Andra?" sebutnya terbata. "Ya. Ini saya."Amir buru-bur
"Apa kita pindah ke rumah dinas saja dulu? Sampai kasus ini selesai," tawar Andra. Ia melihat Dinda mulai tidak nyaman dan was-was setiap saat, setelah munculnya pemilik Bingo di rumah baru mereka itu.Meski enggan untuk meninggalkan rumah impiannya bersama Andra, namun Dinda merasa tawaran sang suami lebih tepat untuk saat ini. Rumah dinas berada di tengah kota, dan jarak rumah dengan tetangga juga tak jauh. Akhirnya, setelah berbenah mereka berangkat ke rumah dinas. Rumah dimana keduanya saling mengenal hingga saling mencintai dan bermadu kasih. Tiba di sana, bibir Dinda seketika tersenyum. Banyak kenangan manis yang telah terpatri di rumah itu."Kamu senang?" Andra ikut tersenyum dan merangkul pundak istrinya hangat.Dinda mengangguk, kemudian melangkah masuk bersama dalam rangkulan lelaki itu.Andra benar-benar memperhatikan dan memanjakannya. Laki-laki itu juga mengajaknya bersantai sore, membuatkannya teh dan menikmati senja di kursi taman seperti biasa. "Padahal harusnya Di
Dinda menatap laki-laki berkumis yang tiba-tiba masuk dan mengecam suaminya itu, dengan tatapan kesal. Persis seperti komisaris korup dalam film India, atasan Reza itu benar-benar bermuka dua. Beberapa hari yang lalu Andra sempat cerita bahwa sang komisaris berterimakasih padanya karena telah membantu menangkap Jamal. Laki-laki bermata kecil itu juga meminta maaf karena pernah menuduh Andra sebagai pelaku pembunuhan dan juga pernah ingin mempidanakannya saat kasus dengan Dahlan dahulu. Dada Dinda serasa bergemuruh mengingat semuanya.Sekarang, pria itu kembali ingin menjerat suaminya dan menuduhnya memberi kesaksian palsu. "Saya tidak berbohong, Suami saya memang langsung pulang sore itu.""Baiklah kalau Anda bersikeras seperti itu. Saya cuma mau nanya, apa Anda punya buktinya?"Dinda terdiam dengan sejuta rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan. Sementara itu di luar ruangan, Alex dan Fathimah sedang duduk menunggu dengan raut cemas. "Alex, semua ini salahku. Coba saja aku tak ter