Malam, pukul setengah sebelas. Dinda menunggu resah di ruang makan. Makanan sudah ia panaskan karena Andra akan pulang sebentar lagi. Sementara hujan semakin lebat di luar sana. Laki-laki itu sudah mengabari akan pulang terlambat malam ini. Namun Dinda tetap merasa cemas sebelum Andra tiba di rumah. Hujan yang lebat seperti itu bisa membuat perjalanan berbahaya. Di bawah meja, Bingo tampak tidur berbantalkan kakinya. Sesekali kucing itu mengeong lembut sambil menatap gadis itu. Berusaha menenangkan hati pemilik barunya itu. Duk! Terdengar suara pintu ditutup dari luar. Dinda langsung duduk tegak. "Dr.Andra pulang, Bingo!" serunya. "Alhamdulillah ...."Tanpa menunggu lagi ia bangkit dari kursinya dan bergegas menuju ke depan. Sementara Bingo mengikutinya di belakang. Ceklek! Dinda membuka pintunya. Kosong. "Kok nggak ada ya, Bingo? Padahal tadi kayak suara pintu mobil?" tanyanya dengan suara yang sedikit kencang, mengalahkan derasnya suara hujan.Dengan wajah kecewa ia melang
Begitu lengan sweater itu tersingkap sedikit, tangan Dinda seketika terhenti. Ada perban yang membalut lengan kokoh itu. Artinya, Andra telah berbohong padanya. Yang dilihatnya tadi bukan noda saos, melainkan noda darah. Dinda menarik kembali lengan sweater laki-laki itu perlahan. Kemudian kembali berbaring dengan perasaan yang bercampur aduk. Mungkinkah yang dikatakan Reza benar adanya? Tapi selama ini dr.Andra tak pernah membunuh. Apa mungkin karena tidak sengaja? Mungkin mahasiswi itu memberontak dan melukainya, sehingga tanpa sengaja ....Ah, ia tak bisa membayangkannya. Hatinya takut jika benar nyawa perempuan itu melayang di tangan laki-laki yang telah menjadi suaminya itu. Dadanya terasa sakit dan sesak. Apalagi sang dokter menyembunyikan hal itu darinya. Hingga subuh menjelang, Dinda tak bisa menutup matanya. Ia bangkit dari ranjang, dan duduk di tepinya dengan pikiran yang kacau. Setelah beberapa saat, gadis itu menghela napas berat. Ia sudah memutuskan, jika ia me
Di dalam ruangan bernuansa putih, laki-laki berwajah tampan dengan hidung mancung yang tak lain adalah dr. Andra Janson itu duduk termangu.Netra coklat terangnya tampak terbalut kesedihan. Bibirnya yang menarik beberapa kali mendesah berat. "Huff ...," Tangan kokohnya yang masih diperban mere mas rambut dengan raut frustasi. Hatinya benar-benar kacau. Ia tak tahu apa yang telah terjadi sampai Dinda menuduhnya telah menyekap seorang mahasiswi hingga meninggal. Klek.Suara pintu ruangannya dibuka. Seorang perawat muda yang baru bekerja di rumah sakit itu melongok melalui celah pintu. "Boleh saya masuk, Dok?" Andra melepaskan cengkraman di rambutnya dan mengangguk. "Ya, silahkan."Gadis cantik berseragam perawat itu tersenyum senang dan melangkah masuk. Matanya tampak terpana menatap ketampanan sang dokter yang semakin tampak seksi dengan rambut yang berantakan. "Dokter lagi pusing? Atau mungkin kecapean? Saya bisa buatkan teh hangat untuk Dokter sekarang."Andra menghela napas m
Tring. Ponselnya tiba-tiba berdering. Andra bergegas mengambilnya, berharap Dinda yang menelepon balik karena melihat panggilan tak terjawab darinya. Namun ternyata di layar ponselnya tertera nomor yang tak terdaftar. Andra mengernyit, namun tetap mengangkat telepon itu. "Halo?" Suara seorang laki-laki terdengar di seberang. "Halo, ini dengan siapa?""Saya Basri, Pak Dokter. Yang di padang bukit.""Oh, iya Pak?" Andra langsung mengenali, ini adalah di bapak pemilik tanah yang dibelinya untuk hunian impiannya bersama Dinda. "Ada apa?" "Ini ... anu, Pak Dokter. Saya mau ngasih tau kalau Neng Dinda ada di sini.""Oh ya? Syukurlah," Andra menghempaskan napas lega sambil merebahkan punggungnya di sandaran jok mobil dengan mata terpejam. Ia benar-benar lega. "Saya sudah menduga kalau Pak Dokter tidak tau. Makanya saya coba nelpon biar Pak Dokter tak khawatir.""Iya, Pak. Terimakasih banyak. Saya langsung ke sana sekarang."Andra memutuskan sambungan teleponnya. Lalu dengan penuh sema
Pagi menjelang. Setelah melaksanakan shalat subuh, Dinda mengintip keluar rumah Pak Basri itu dan melihat mobil Andra masih terparkir di depan. Gadis itu menghela napas. Sang dokter mungkin tidur di dalam mobilnya dan belum bangun untuk shalat subuh. Ia harusnya bagaimana? Membangunkan laki-laki itu? Tapi hatinya masih marah. Ia marah karena sang dokter masih saja tak terbuka. Padahal mereka bisa mencari jalan keluarnya bersama. Kenapa laki-laki itu tak benar-benar berubah jika memang mencintainya? Dinda akhirnya memutuskan untuk menunggu. Namun hingga lima belas menit kemudian, pintu mobil itu tak juga terbuka. Kalau ia terus menunggu maka waktu subuh bisa habis. Setelah menarik napas dalam-dalam, akhirnya Dinda memutuskan untuk membangunkan. Ia membuka pintu dan melangkah menghampiri mobil mahal itu. Ragu-ragu kepalanya mendekat untuk mengintip pada jendelanya yang gelap. Memang ada dr. Andra di dalam sana. Laki-laki itu masih tertidur di kursi belakang. Tuk tuk. Dinda men
Bab 89Alex menemui Bos Mario yang masih meringkuk di dalam tahanan dengan menenteng sebuah tas besar. "Beraninya kau kemari?!" desis laki-laki paruh baya itu dengan tatapan penuh dendam."Aku membawa kesepakatan bagus untukmu.""Cih! Apa yang bisa dilakukan anak bau kencur sepertimu?"Alex membuka tas yang dibawanya sebagai jawaban. Berpuluh-puluh ikat uang menumpuk di dalamnya. Membuat mata mantan bosnya itu membelalak tak percaya. "Dari mana kau dapatkan uang itu?" Mario menyipitkan matanya. "Kau merampok uangku? Atau jangan-jangan selama ini kau korupsi?"Alex masih tak menjawab. Ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama, kartu yang belum pernah diketahui bosnya. "Owner Semanggi Mobil?" Mario mengernyit dalam. Ia tau Semanggi Group, di mana-mana ada usahanya. Dan ia juga tahu pemiliknya bernama Alex, tapi sungguh ia tak tahu Alex yang bersamanya selama ini adalah orangnya. Ia menemukan Alex saat pemuda itu berlari dari jeratan Komar dan menjadikannya anak buah.
Andra menghentikan mobilnya di hadapan sebuah rumah dengan halaman luas yang sangat indah dan instagrameble. Penuh dengan bunga berwarna-warni dan meja taman. Ada juga bunga rambat yang dibentuk melengkung seperti gerbang. Dinda melihat sebuah papan nama bertuliskan Prewedding Photo. "Prewed?""Kalo kita harusnya after wedding, ya? Aku ingin kita punya foto pernikahan buat dipajang di rumah baru nanti. Waktu ijab qobul kan tukang fotonya punya si Dahlan."Dinda menggigit bibirnya. Ia tak percaya diri untuk difoto bersama Dr. Andra. Lelaki itu teramat tampan dan pasti akan sangat gagah saat difoto. Sementara dirinya selfi pun tak berani. Begitu tiba di teras rumah megah itu, seorang laki-laki langsung keluar menyambut dengan senyuman lebar. "Dokter Andra Janson! Senang sekali saya waktu Dokter ngasih kabar akan datang untuk difoto."Andra mengulurkan tangan dan menjabat tangan laki-laki itu. "Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik.""Insyaallah, Dokter. Saya akan berusaha mendap
Dinda penasaran apa isinya kotak itu.Andra melihat arah tatapan Dinda. Laki-laki itu menghampiri dan mengambil kotaknya. "Kamu pasti ingin tau apa isi kotak ini," tanyanya. Dinda mengangguk. Sang dokter kemudian membukanya. "Ini baju yang aku pakai saat penyekapan. Baju ini menjadi saksi betapa arogannya aku saat itu. Aku ingin memusnahkannya. Tapi seperti melihat aib sendiri, aku selalu ingin menghindarinya dan enggan menyentuh kotak ini lagi.""Dinda bisa bantu membakarnya.""Tidak. Kamu sudah banyak membantu dengan turun tangan membakar rekaman videonya. Temani aku saja, aku akan membakarnya sendiri."Dinda tersenyum dan mengangguk. Andra melangkah menghampiri sebuah tong sampah yang dipakai tukang untuk membuang potongan kayu tak terpakai dan membakar kotak itu di sana. Kotak berisi jaket kulit hitam dan celana hitam itu terbakar bersama kayunya.Hari telah siang, panas matahari lumayan terik ditambah panasnya bara api yang menyala cukup besar itu."Dinda haus," lirih Dinda