Namun baru saja Dinda hendak mengambil sisa berkasnya, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Detak jantung Dinda seolah seketika terhenti, begitu juga dengan tangannya. Ia menatap ke arah pintu dengan napas tertahan. Siapa yang masuk?Daun pintu itu perlahan terbuka. Dan Reza pun muncul di baliknya.Dinda tak bisa berkata-kata saat mata Reza tertuju padanya dan berkas di lantai. Hingga beberapa saat, Reza mematung di ambang pintu. Sementara di luar sana masih terdengar kegaduhan. Kemudian laki-laki itu membuka pintunya lebih lebar dan melangkah ke dalam.Dinda semakin pucat. Matanya membulat dengan keringat yang semakin deras. Perlahan kepalanya menggeleng. Menunjukkan ia tak rela Reza mengambil berkas-berkas itu. Langkah Reza langsung terhenti. Menatap wajah ketakutan gadis itu sejenak dengan perasaan yang bercampur aduk. Sedih, kecewa, dan tak percaya jika Dinda akan mati-matian melindungi dr. Andra. Kemudian ia berbalik kembali dan melangkah keluar tanpa berkata apa-apa. Menutup pin
Andra dan Dinda kembali ke Rumah Pinus dengan tangan yang saling menggenggam. Ini adalah hari pertama bagi mereka. Hati pertama untuk membuka lembaran baru.Di dalam sana ternyata sudah ada Alex dan Fathimah yang tengah menunggu dengan raut cemas. "Ya Tuhan! Kemana saja kalian? Aku benar-benar berpikir kalian telah dibawa ke kantor polisi. Pintu tak terkunci, HP pun tertinggal," sambut Alex gusar. "Kami baru dari belakang bukit." Andra menunjukkan korek api di tangannya. Alex langsung mengerti maksud Andra. Ia tak lagi melanjutkan pertanyaannya di hadapan Fathimah. "Syukurlah, kalian tidak apa-apa," ucapnya lega. "Apa setelah ini kita akan aman?" tanya Fathimah. "Ya, untuk sementara. Ditahan karena penyerangan ini adalah hal kecil bagi Bos Mario. Tapi aku akan mencari cara, agar dia tidak menggangu kita lagi," jawab Alex. Pak Lik dan Mbok Lik kemudian muncul di ambang pintu. "Orang desa bilang, di hutan Pinus semalam ada suara tembakan, apa itu benar?" tanya Pak Lik khawatir.
"Oke. Lepasin saya sekarang, Kanda.""Lho, kok masih pakai sebutan 'saya'?" Dinda langsung memutar otak lagi. Apa ia harus pakai aku? Atau Dinda? "Ehm, lepasin Dinda, Kanda," ucapnya dengan pipi semerah tomat. Akhirnya ia lebih memilih pakai nama. Terdengar lebih menghormati. Bagaimanapun, rasa kagumnya pada sang dokter membuatnya tetap tak mau serampangan saat berinteraksi dengan laki-laki itu. Andra meneguk salivanya. Ia senang mendengarnya, bahkan hatinya gemas. Ingin rasanya melahap gadis manis yang terus tersipu malu di dalam dekapannya itu. "Nah begitu, dong. Aku suka mendengarnya."Tangan kokohnya kemudian melepaskan pelukan. Lalu meraup wajah karena terlanjur berhasrat. "Kita harus segera berangkat, atau aku tak akan bisa menahan diri lagi," ucapnya. Dinda menatap iba. Memang tak seharusnya seperti ini. Demi menjaga cita-citanya, sang dokter menunda hak sebagai suami. Gadis itu menggigit bibirnya. Haruskah ia yang menawarkan? Sungguh ia tak apa-apa jika harus memberika
Bab 82Pukul 5 sore, akhirnya mereka selesai mensurvei. Keduanya sudah sepakat untuk menjadikan tanah itu tempat tinggal masa depan mereka. Sudah meluruskan masalah plus minusnya membangun hunian di sana, juga sudah deal masa harga dan luasnya. "Daerah ini sudah banyak yang laku. Tapi kami akan batasi penghuninya. Agar bukit indah ini masih terlihat lapang dan hijau," terang pemilik tanah.Andra mengangguk-angguk puas. Ini memang kriteria tanah yang ia mau. Apalagi Dinda juga sangat suka. Matanya melirik gadis yang sedang asik bermain dengan putra kecil si bapak pemilik tanah. "Kami juga menolak pembangunan pabrik. Hanya satu pabrik yang sudah dapat izin. Itu pabrik roti," sambung di bapak. "Pabrik roti?" sela Dinda sambil menghampiri dengan raut tertarik."Benar, Mbak.""Wah, asik dong! Tiap hari bisa nyium aroma roti yang dipanggang," gadis itu kegirangan."Iya, Mbak. Karena pertimbangan itu juga, kami merasa pabrik roti bisa menambah estetika pemukiman bukit ini.""Ya sudah, Pak
Bab 83Keluar dari kamarnya, Andra menyusul Dinda ke dapur dan melihat gadis itu sedang memindahkan makanan ke dalam piring saji. Rambut hitamnya yang tak tertutup hijab dikuncir kuda. Tubuh rampingnya tertutup kaos Gembrong dan celana panjang. Andra meneguk salivanya. Begitu saja penampilan Dinda sudah membuatnya panas dingin, bagaimana lagi kalau berpakaian terbuka? Andra mengusap wajahnya gugup. Sepertinya jiwa kelelakiannya hanya hidup saat melihat Dinda. Karena sebelumnya begitu banyak wanita yang menggoda bahkan menyerahkan dirinya. Tapi ia malah jijik pada perempuan-perempuan yang tak tahu menjaga diri itu.Perlahan laki-laki itu mendekat ingin membantu. Berdiri di belakang Dinda membuat harum rambut gadis itu tercium di hidungnya. Sementara Dinda sendiri sama sekali tak menyadari kehadiran Andra di belakangnya. Hatinya sedang sibuk menenangkan dan memberanikan diri untuk hal yang akan terjadi setelah makan malam nanti. Sambal pedas udang dan tempe telah ia pindahkan kedala
Malam, pukul setengah sebelas. Dinda menunggu resah di ruang makan. Makanan sudah ia panaskan karena Andra akan pulang sebentar lagi. Sementara hujan semakin lebat di luar sana. Laki-laki itu sudah mengabari akan pulang terlambat malam ini. Namun Dinda tetap merasa cemas sebelum Andra tiba di rumah. Hujan yang lebat seperti itu bisa membuat perjalanan berbahaya. Di bawah meja, Bingo tampak tidur berbantalkan kakinya. Sesekali kucing itu mengeong lembut sambil menatap gadis itu. Berusaha menenangkan hati pemilik barunya itu. Duk! Terdengar suara pintu ditutup dari luar. Dinda langsung duduk tegak. "Dr.Andra pulang, Bingo!" serunya. "Alhamdulillah ...."Tanpa menunggu lagi ia bangkit dari kursinya dan bergegas menuju ke depan. Sementara Bingo mengikutinya di belakang. Ceklek! Dinda membuka pintunya. Kosong. "Kok nggak ada ya, Bingo? Padahal tadi kayak suara pintu mobil?" tanyanya dengan suara yang sedikit kencang, mengalahkan derasnya suara hujan.Dengan wajah kecewa ia melang
Begitu lengan sweater itu tersingkap sedikit, tangan Dinda seketika terhenti. Ada perban yang membalut lengan kokoh itu. Artinya, Andra telah berbohong padanya. Yang dilihatnya tadi bukan noda saos, melainkan noda darah. Dinda menarik kembali lengan sweater laki-laki itu perlahan. Kemudian kembali berbaring dengan perasaan yang bercampur aduk. Mungkinkah yang dikatakan Reza benar adanya? Tapi selama ini dr.Andra tak pernah membunuh. Apa mungkin karena tidak sengaja? Mungkin mahasiswi itu memberontak dan melukainya, sehingga tanpa sengaja ....Ah, ia tak bisa membayangkannya. Hatinya takut jika benar nyawa perempuan itu melayang di tangan laki-laki yang telah menjadi suaminya itu. Dadanya terasa sakit dan sesak. Apalagi sang dokter menyembunyikan hal itu darinya. Hingga subuh menjelang, Dinda tak bisa menutup matanya. Ia bangkit dari ranjang, dan duduk di tepinya dengan pikiran yang kacau. Setelah beberapa saat, gadis itu menghela napas berat. Ia sudah memutuskan, jika ia me
Di dalam ruangan bernuansa putih, laki-laki berwajah tampan dengan hidung mancung yang tak lain adalah dr. Andra Janson itu duduk termangu.Netra coklat terangnya tampak terbalut kesedihan. Bibirnya yang menarik beberapa kali mendesah berat. "Huff ...," Tangan kokohnya yang masih diperban mere mas rambut dengan raut frustasi. Hatinya benar-benar kacau. Ia tak tahu apa yang telah terjadi sampai Dinda menuduhnya telah menyekap seorang mahasiswi hingga meninggal. Klek.Suara pintu ruangannya dibuka. Seorang perawat muda yang baru bekerja di rumah sakit itu melongok melalui celah pintu. "Boleh saya masuk, Dok?" Andra melepaskan cengkraman di rambutnya dan mengangguk. "Ya, silahkan."Gadis cantik berseragam perawat itu tersenyum senang dan melangkah masuk. Matanya tampak terpana menatap ketampanan sang dokter yang semakin tampak seksi dengan rambut yang berantakan. "Dokter lagi pusing? Atau mungkin kecapean? Saya bisa buatkan teh hangat untuk Dokter sekarang."Andra menghela napas m