“Teteh yakin mau nikah sama pria itu?” tanya Alea yang saat ini sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa sedangkan aku di atas ranjang.
“Teteh kan masih pelajar. Kalau ada yang tahu teteh menikah pasti nanti beasiswa teteh dicabut.”
“Tapi teh, Azmi-azmi itu sepertinya akan menuruti permintaan kakeknya.”
“Tidak. Intinya teteh mau sekolah dahulu. Yang ada di pikiran teteh sekarang itu lulus sekolah supaya teteh bisa dapat pekerjaan yang bagus.”
“Paling kalau lulusan SMA ujung-ujungnya nanti kerja di pabrik.”
“Tidak masalah. Setidaknya teteh tidak harus kepanasan mengirim susu ke warung-warung padahal gaji tidak seberapa.”
Itu lah pembicaraan kami sebelum tidur.
Sebenarnya kebiasaan ini selalu kami lakukan sebelum tidur. Aku, Alea, Tia dan Lastri akan bergiliran membicarakan hal-hal yang kita alami sehari penuh, terkadang mereka juga tidak hanya jadi pendengar tapi sebagai pemberi solusi juga di saat salah satu dari kita sedang tertimpa masalah.
***
Jam 5 subuh aku terbangun. Waktunya solat subuh. Seperti sudah menjadi alarm alami kalau jam 5 subuh itu sudah bangun.
Aku bangun dan membuka lemari kecil yang ada di samping pintu toilet. Tidak ada mukena, sajadah juga tidak ada.
Aku keluar dari ruang VVIP tersebut. Aku akan meminjam mukena dan sajadah pada perawat. Aku menuju perawat station yang berada di luar pintu kaca.
Di sana hanya ada satu perawat yang sedang fokus pada komputer.
“Mbak,” panggilku pada perawat itu.
Perawat itu menatapku lalu tersenyum sopan, “Ya bu, ada yang bisa saya bantu?”
Bu? Aku belum setua itu.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, “Kalau mushola di mana?”
“Mushola ada di lantai 1,” jawab perawat itu.
“Terima kasih.”
Aku bergegas menuju mushola. Aku tidak mengajak Alea, karena dia masih halangan.
Sampai di mushola aku langsung menunaikkan kewajibanku sebagai muslim.
Tidak lama, aku kembali lagi menuju ruangan kakek Amar.
Saat mau masuk lift, ada mas Azmi di dalam lift dengan membawa tas besar.
Mas Azmi menatapku lekat, “Mumpung kau ada di sini kita ke kafetaria dahulu.”
“Iya, mas.”
Mas Azmi mengerutkan kening mendengar panggilanku padanya. Selanjutnya dia menekan tombol 3 pada lift.
Ya, kafetaria ada di lantai 3.
Aku duduk di salah satu kursi di sana dan mas Azmi sedang membeli makanan.
Mas Azmi menyerahkan sepotong sandwich dan susu coklat padaku.
“Jadi Fitri …”
“Ya mas …”
“Terkait permintaan kakek semalam, bisa kah kamu menyetujuinya?”
Aku yang sedang mengunyah sandwich itu otomatis terhenti mendengar pertanyaan dari mas Azmi. Meski mas Azmi hanya menatapku dengan datar, tapi pandangan mata itu penuh dengan aura intimidasi.
“Maaf mas, tapi saya masih sekolah.”
“Kelas berapa?”
“Kelas 3 SMA.”
“Punya KTP?”
“Punya.”
“Good. Kamu sudah bukan anak di bawah umur lagi dan umur kamu sudah cukup mampu untuk menikah.”
Aku menggelengkan kepalaku tak percaya, “Mas bahkan aku besok masih harus ujian.”
“Jadi permasalahannya itu? Ujian?”
“Bukan itu saja, tapi-”
Mas Azmi mengangkat tangannya, menyuruh aku berhenti bicara.
“Kita akan menikah setelah kamu menyelesaikan ujian. Setelah menikah kamu sepenuhnya tanggung jawabku. Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu sama sekali. Masalah finansial aku akan memberimu uang setiap bulannya, pergunakan uang itu dengan baik. Cukup menguntungkan bukan?” ucap final mas Azmi dengan pandangan remeh.
Aku hanya diam menunggu kelanjutan ucapan mas Azmi, aku yakin dia belum selesai bicara.
“Tapi sebagai gantinya … Kamu jangan pernah mencampuri urusanku dan urus saja dirimu sendiri.”
Aku dan Alea sedang dalam angkutan umum perjalanan pulang ke panti.Alea dari tadi diam saja. Mungkin masih ngantuk, lagi pula aku tidak ingin mengajak Alea berbicara juga karena masih shock akan pembicaraan aku dan mas Azmi di kafetaria tadi.Aku akan menjadi istrinya dan dia juga akan menjadi suamiku. Setelah menikah nanti, bagaimana mungkin aku tidak mengurus mas Azmi sedangkan dia akan jadi ladang pahala untukku?Bahkan mas Azmi bilang, “Kembali lagi nanti saat akan akad. Tidak perlu menjenguk kakek!”Apa-apaan pria itu.***Anak-anak panti sepertinya sudah selesai sarapan. Mereka sedang belajar bersama di halaman panti. Tia dan Lastri sedang mengajar mereka.Aku dan Alea menghampiri bu Sri yang masih duduk di meja makan. Ibu Sri ini merupakan ibu panti di sini. Kami giliran mencium tangan beliau."Bagaimana keadaan kakek yang kalian tolong itu?""Dia ada riwayat jantung bu. Tadi pagi dokter bilang keadaan kakek sudah membaik tapi masih harus dirawat, soalnya keadaannya masih perl
BAB 7Aku dan Bu Sri tercengang mendengar ucapan Alea.Alea masih kecil. Benar yang dikatakan mas Azmi, aku sudah punya KTP dan dari segi umur aku sudah mampu untuk menikah.Tapi Alea? Dia bahkan masih kelas 1 SMA dan belum memiliki kartu tanda pengenal apa pun.Aku menegakkan tubuhku lalu pindah duduk di samping Alea.“Lea kamu harus cerita semua yang teteh tidak tahu tentang kakek Amar.”Lea menghela napas kasar. Raut wajah memelas tapi menahan emosi sangat kentara di sana.“Jadi tadi pagi setelah kakek Amar selesai diperiksa dokter, kakek Amar bilang-”*Flashback*“Kamu Alea ‘kan?”“Iya, kek. Kakek haus?”Kakek Amar menggeleng. Dia memegang erat tangan Alea.“Menikah lah dengan cucu kakek. Kalau Fitri tidak mau, maka gantikan Fitri menjadi pengantin dari cucu kakek.”Alea tersentak.“Tapi Alea masih kelas 1 SMA, kek.”“Maka dari itu bujuk lah kakakmu untuk menikah dengan cucu kakek. Dan juga kalau nanti kamu sudah dewasa kamu harus menikah dengan salah satu cucu kakek juga.”Speech
“Sudah selesai, teteh? Mau Tama bantu?” ucap sebuah suara di belakangku. Saat aku berbalik di sana sudah ada Tama yang terlihat rapi dengan baju koko, sarung dan kopiah yang bertengger di kepala Tama. Sangat tampan.Sepertinya Tama baru pulang dari masjid usai melaksanakan solat subuh. Biasanya anak-anak yang lain akan langsung masuk kamar setelah pulang dari masjid. Berbeda dengan Tama, dia akan ke dapur dan selalu menawarkan bantuan pada kami yang kebagian memasak tiap harinya.“Kamu ganti baju dahulu. Nanti tolong bantu teteh untuk menyajikan sarapan di meja makan.”Tama mengangguk padaku dan masuk ke dalam kamar untuk berganti baju.Tidak lama, Tama menghampiri aku. Dia dengan cekatan memindahkan sambal goreng tempe dari dalam wajan ke dalam mangkuk besar dan menyimpannya di atas meja. Lalu Tama mengambil gulungan telur yang sudah kubuat. Dia mengikutiku memotong telur dadar.Hari ini aku memasak nasi kuning dengan lauk telur yang diiris-iris dan juga sambal goreng tempe.“Awas. T
Di luar kelas, anak-anak kelas sedang belajar bersama. Mereka membentuk kelompok-kelompok. Saat ujian begini Dina itu bagai gula, banyak sekali yang mengerubungi dia. Dina itu termasuk saingan. Kita sama-sama pintar. Bedanya dia rajin, aku malas.Mereka memperlakukan kami berbeda. Mereka mengerubungi Dina saat ujian saja. Sedangkan biasanya mereka mengerubungi aku saat ada tugas saja. Aku dan Dina beda prinsip. Aku yang baik hati selalu menolong teman yang kesusahan saat mengerjakan tugas dan meminta imbalan pada mereka sedangkan Dina cukup pelit dengan tugas. Dina orangnya harus orang lain berusaha belajar dahulu baru Dina akan bantu saat mereka mentok tidak bisa berpikir. Aku sih mana tega seperti itu.Yang penting ada uang ada tugas.Sekali Dina pernah memarahi aku karena aku selalu mengerjakan tugas mereka. Tapi setelah tau aku membutuhkan uang, Dina sudah tidak lagi marah padaku.Aku duduk di lantai. Haris menghampiri dengan napas yang tersengal-sengal. Aku menyodorkan botol minu
Ujian hari pertama ini adalah pelajaran Agama lalu Pendidikan Kewarganegaraan.Hari pertama ini aku bilang masih aman dan terbilang mudah. Setelah ujian pun anak-anak yang lain tidak ada yang mengeluh. Aku yakin mereka sanggup menjawab soal ujian hari ini.Barulah nanti di hari Jumat, hari terakhir ujian kami akan menemui raja terakhir, yaitu Matematika dan Fisika.Haris duduk dua kursi di samping aku, kami hanya terhalang Gina dan Gerald saja. Dia menghampiri meja aku berada. Diikuti Salman yang berjalan dari arah belakang barisan kursi milikku.“Yuk. Let’s go kita ke kantin!” ajak Haris.“Cepat Fit! Aku lapar!” ucap Salman.“Sebentar …” ucapku memasukkan alat tulis yang menjadi alat tempur milikku hari ini.Diantara semua siswa, aku yang selalu selesai terakhir. Kami berjalan keluar kelas bersama. Banyak fans-fans Haris dan Salman yang selalu mencibir jika aku bersama mereka. Padahal mereka tahu jika kami pure hanya berteman saja.‘Dasar cewek gatal.’‘Tidak tahu diri.’Aku lihat H
“Excuse me? Aku? Maksudnya?”“Fit. Kamu tau aku suka Haris. Tapi kenapa kamu menempel Haris terus.”“Aku tidak seperti itu,” ucapku terkekeh melihat Caca yang sedang cemburu.“Fit. Aku tidak sedang bercanda.”“Dengar ya Ca. Kita teman sekelas dari kelas 10. Aku tidak pernah cari gara-gara dengan kamu. Dan hubungan kita sebagai teman juga baik-baik saja,” aku menghela napas pelan.Aku lihat Caca mengepalkan tangannya.“Tapi gara-gara Haris kamu jadi sinis sama aku. Kalau kamu mau tahu aku, Haris dan Salman hanya akan belajar bersama. Kamu tau aku sangat membutuhkan uang untuk adik-adikku di panti. Jadi aku menerima tawaran mereka untuk mengajari mereka selama ujian karena mereka akan membayar aku. Bahkan tadi saja Salman dan Haris akan membayar apa pun yang aku makan. Itu sebagai bentuk rasa terima kasih mereka sama aku. Kita tidak ada maksud lain.”“Tapi kamu jadi akrab sama Haris,” cicit Caca.“Kamu cemburu?”selidik aku menatap wajah Caca yang sudah memerah malu.“Menurut kamu?” sewo
BAB 12“Kalian duduk saja di ruang tamu,” titah Haris. Haris langsung pergi menuju kamar miliknya yang sepertinya berada di lantai 2 rumah ini.Salman membimbing aku dan Caca untuk duduk di ruang tamu. Aku yang tak bisa diam, berjalan mengelilingi ruang tamu dan melihat furniture yang ada di sini. Di pojok kanan, ada begitu banyak foto. Sepertinya itu foto keluarga Haris.DegDi sana ada foto kakek Amar dan mas Azmi. Jadi benar wajah Haris mirip dengan mas Azmi. Ternyata mereka ada hubungan darah.“Salman,” panggilku pada Salman yang sibuk bermain telepon genggam.“Ya.”“Sini.”Salman menghampiriku,”Kenapa?”“Ini foto keluarga Haris?”Salman mengangguk, “Ini mas Azmi, kakak Haris,”--tunjuk Salman pada foto mas Azmi--“Ini kakek Haris”--tunjuk Salman pada foto kakek Amar--”Kalau yang lain sepupu Haris. Aku belum pernah bertemu mereka jadi aku kurang tahu dengan yang lain,” jelas Salman.“Jadi kamu pernah bertemu kakak dan kakek dari Haris?”“Sudah. Aku cukup sering datang ke rumah Haris
Keesokan harinya … Baru saja semalam ibu Sri berbicara padaku bahwa uang bulanan panti semakin menipis karena digunakan untuk membayar iuran bulanan sekolah anak-anak dan sudah 2 bulan ini donatur tetap panti ini tidak mengirimkan donasi. Entah ada masalah apa dengan para donatur pada kami. Apa kami punya salah? Ibu Sri juga sudah bilang jika dia beberapa kali menghubungi para donatur, tapi tidak ada satu pun yang mengangkat telepon dari ibu. Uang tabungan milikku sebenarnya ada. Aku juga tidak bilang pada ibu jika aku memiliki tabungan. Dahulu sekali aku pernah memberikan uang tabungan milikku untuk membiayai baby Arsan yang sedang sakit, tapi ibu menolak dengan keras. Aku memasuki Bank dan mengambil nomor antrean untuk ke bagian teller. Dari tadi aku menggenggam buku rekening milikku. Di buku rekening itu tertera 9.550.000 rupiah. Aku akan menarik semua uang milikku dan diberikan pada bu Sri. Kurang lebih aku menunggu selama 15 menit, barulah nomor antrean milikku dipanggil.