Keesokan harinya … Baru saja semalam ibu Sri berbicara padaku bahwa uang bulanan panti semakin menipis karena digunakan untuk membayar iuran bulanan sekolah anak-anak dan sudah 2 bulan ini donatur tetap panti ini tidak mengirimkan donasi. Entah ada masalah apa dengan para donatur pada kami. Apa kami punya salah? Ibu Sri juga sudah bilang jika dia beberapa kali menghubungi para donatur, tapi tidak ada satu pun yang mengangkat telepon dari ibu. Uang tabungan milikku sebenarnya ada. Aku juga tidak bilang pada ibu jika aku memiliki tabungan. Dahulu sekali aku pernah memberikan uang tabungan milikku untuk membiayai baby Arsan yang sedang sakit, tapi ibu menolak dengan keras. Aku memasuki Bank dan mengambil nomor antrean untuk ke bagian teller. Dari tadi aku menggenggam buku rekening milikku. Di buku rekening itu tertera 9.550.000 rupiah. Aku akan menarik semua uang milikku dan diberikan pada bu Sri. Kurang lebih aku menunggu selama 15 menit, barulah nomor antrean milikku dipanggil.
Aku dan mas Azmi sampai di sebuah toko baju bridal yang cukup terkemuka di kota ini.Saat masuk ke dalam toko, lagi-lagi aku kagum dengan isi toko ini. Berbagai macam gaun pernikahan tersedia di sini.Begitu mewah!Semenjak aku bertemu dengan kakek Amar bayak hal baru yang aku temukan, mulai dari ruang VVIP rumah sakit, rumah Haris yang mewah, naik mobil mewah dan sekarang masuk ke toko mewah.Huft … Aku belum siap akan semua ini!“Pakai kebaya saja. Repot kalau pakai gaun yang besar itu,” tunjuk mas Azmi pada sebuah mannequin yang mengenakan ball-gown yang di pajang di kaca.Aku menggeleng, “Aku juga tidak mau, mas.”Sebenarnya ada satu kebaya yang dari awal sudah menarik perhatian. Kebaya itu terletak di pojok toko. Aku mendekati mannequin itu. Kebaya panjang berwarna abu muda dengan taburan mote berwarna hitam di bagian dada. Mataku tidak teralihkan dari mannequin tersebut.Seorang manager toko menghampiri kami, “Selamat siang pak,” ucap wanita itu mendekati mas Azmi tentunya dan b
“Besok kebayanya sampai di panti.”“Iya, mas.”Kebaya yang kami beli itu tidak langsung dibawa pulang atas perintah mas Azmi. Saat di toko itu, mas Azmi menawar harga kebaya yang terlampau mahal untuk kebaya yang kusam. Mas Azmi terlihat kesal saat mendengar harga asli dari kebaya tersebut.Tidak masalah saya mengeluarkan uang seharga kebaya ini, bahkan lebih pun tidak masalah. Tapi saya ingin kebaya ini terlihat baru lagi. Saya kemari ingin membeli kebaya baru, bukan kebaya kusam. - ucap mas Azmi saat di toko tadi.Akhirnya pihak toko menawarkan untuk laundry.Saat melihat mas Azmi menawar, aku jadi yakin kalau semua orang kaya tidak asal beli barang apa yang mereka inginkan. Mungkin orang-orang kaya itu berani membayar mahal jika kualitas barang yang dibelinya juga bagus. Kalau seperti itu aku juga setuju.“Mas. Bisa tolong antarkan saya ke rumah mas?”Mas Azmi mengerutkan kening namun tidak melepaskan pandangannya dari jalanan di hadapannya.“Mau apa?”“Saya mau belajar bersama Har
Kami belajar sudah berjalan selama setengah jam, tapi aku belum melihat mas Azmi lagi.Terdengar langkah kaki dari arah tangga, aku yakin itu mas Azmi. Aku tetap fokus menerangkan materi pada Haris dan Salman, meski suara langkah kaki itu cukup mengganggu konsentrasi.“Angka yang ada di dalam kurung ini di kali ‘kan dahulu. Ini dengan ini, lalu ini dengan ini,” ucap-ku menerangkan contoh soal yang ada di dalam buku paket pada Haris dan Salman. “Lalu yang ini minus si kali plus jadi minus. Taruh saja di sini. Lalu-”Ucapan-ku terhenti karena Caca menyenggol lengan-ku, aku menoleh padanya dengan pandangan tanya. Alih-alih berbicara, Caca memberi kode padaku untuk menatap ke depan di mana di sana ada mas Azmi yang sedang turun dari tangga dan menggulung lengan kemeja.Padahal tanpa diberi kode aku sudah paham.Pria yang sedang menggulung kemeja itu terlihat hot. Urat menonjol pada lengannya menunjukkan jika lengan itu kokoh dan kuat. Mas Azmi sepertinya pergi ke dapur.Semua itu tidak lu
Hari yang tidak aku harapkan akhirnya tiba.Jika anak-anak lain selepas ujian akan pergi refreshing dengan menghabiskan waktu jalan-jalan ke mall, pergi ke pantai, makan-makan di cafe atau melakukan hal-hal yang biasa anak remaja lakukan, berbeda denganku.Sepulang ujian aku langsung pulang ke panti asuhan mengganti baju seragam menjadi baju bebas dan pergi ke rumah sakit.Aku duduk di atas ranjang. Dipangkuanku terdapat kebaya yang waktu itu aku dan mas Azmi beli. Aku hanya menatap kosong kebaya ini.Huft …Hari ini adalah hari di mana statusku akan berubah. Saat mas Azmi mengucap ijab qobul maka saat itu juga aku akan berganti status.Ya tuhan … Bagaimana kehidupan setelah menikah nanti?Impianku yang menginginkan pernikahan yang indah, suami yang mencintaiku, rumah tangga yang harmonis sepertin
Di kaca besar itu memperlihatkan aku yang dibalut dengan kebaya dan rambut yang disanggul rapi. Make-up yang ku gunakan juga natural saja. MUA juga menyayangkan jika aku menggunakan make-up tebal, mereka bilang sayang nanti cantik naturalnya tertutup.Ruangan rawat inap ini di sulap menjadi tempat aku dirias. Aku tidak tahu berapa uang yang dikeluarkan mas Azmi untuk menyewa kamar ini. Alea duduk di kursi yang tersedia di ruangan ini, sedang bu Sri berada di ruangan kakek Amar.Pernikahan ini hanya dihadiri oleh pihak keluarga mas Azmi termasuk kakek Amar dan juga bu Sri serta Alea. Tidak ada pihak luar kecuali orang dari KUA, nanti juga ada orang dari KUA yang akan menjadi waliku saat ijab qobul nanti.Dan pasti ada Haris juga di sana.Seandainya aku punya ayah, pasti yang akan menjadi waliku itu ayahku, bukan orang lain. Tapi apa lah dayaku, aku hanya anak yang tidak diinginkan. Buktinya aku
“Sepertinya aku butuh penjelasan dari kalian!” ujar Haris tajam menatap ke arahku lalu pada mas Azmi.Aku mengalihkan pandangan tidak berani menatap Haris. Kulihat mas Azmi hanya memainkan telepon genggam dan tidak tertarik dengan kemarahan Haris.“Fitri yang menolong kakek saat penyakit jantung kakek kambuh. Dia dan Alea yang membawa kakek ke rumah sakit. Dan sebagai tanda ucapan terima kasih, Fitri harus menjadi cucu menantu kakek, Alea juga,” terang kakek Amar pada Haris dengan wajah ceria.“Kakek bukan meringankan beban Fitri, justru kakek menambah beban Fitri.”“Benarkah?” tanya kakek Amar menatapku. Aku hanya bisa menundukkan kepala, menghindari tatapan penuh tanya dari kakek Amar.“Kek, Haris tahu betul bagaimana keadaan Fitri. Dengan kakek menjadi donatur tetap panti asuhan tempat Fitri berada itu sudah membuat Fitri senang. Benar ‘kan, Fit?”Aku, Alea dan Bu Sri mengangguk setuju dengan ucapan Haris.“Sudah lah Haris! Kamu terlalu banyak bicara. Berisik!” ucap kakek tidak ter
Aku membelalakkan mataku. Dalam hatiku bertanya, “Rumah mewah ini milik mas Azmi? Jadi ini rumahku juga?”Aku menggelengkan kepalaku. Mencoba membuat diriku sadar dari khayalan yang tidak mungkin menjadi kenyataan.Tidak … Ini hanya rumah mas Azmi. Bukan rumahku!Rumah ini lebih besar dari rumah Haris dan kakek Amar. Rumah ini juga mengusung tema modern, berbanding terbalik dengan rumah yang ditempati Haris yang mengusung tema tradisional.Masih sibuk memperhatikan isi rumah ini, tahu-tahu Mas Azmi sudah berjalan menjauh menaiki anak tangga dan tidak menghiraukanku yang dari tadi berada dibelakangnya. Aku sadar saat mas Azmi sudah ada di pertengahan anak tangga, maka dari itu aku langsung bergegas berjalan cepat mendekati mas Azmi.Tersisa dua anak tangga lagi.Mas Azmi berhenti dan berbalik menghadapku. Otomatis aku juga berhenti.Ini bukan drama yang jika si tokoh pria berhenti berjalan di depan maka si tokoh wanita akan menubruk punggung si tokoh pria. Tidak … Tidak seperti itu. Ak