Kami belajar sudah berjalan selama setengah jam, tapi aku belum melihat mas Azmi lagi.Terdengar langkah kaki dari arah tangga, aku yakin itu mas Azmi. Aku tetap fokus menerangkan materi pada Haris dan Salman, meski suara langkah kaki itu cukup mengganggu konsentrasi.“Angka yang ada di dalam kurung ini di kali ‘kan dahulu. Ini dengan ini, lalu ini dengan ini,” ucap-ku menerangkan contoh soal yang ada di dalam buku paket pada Haris dan Salman. “Lalu yang ini minus si kali plus jadi minus. Taruh saja di sini. Lalu-”Ucapan-ku terhenti karena Caca menyenggol lengan-ku, aku menoleh padanya dengan pandangan tanya. Alih-alih berbicara, Caca memberi kode padaku untuk menatap ke depan di mana di sana ada mas Azmi yang sedang turun dari tangga dan menggulung lengan kemeja.Padahal tanpa diberi kode aku sudah paham.Pria yang sedang menggulung kemeja itu terlihat hot. Urat menonjol pada lengannya menunjukkan jika lengan itu kokoh dan kuat. Mas Azmi sepertinya pergi ke dapur.Semua itu tidak lu
Hari yang tidak aku harapkan akhirnya tiba.Jika anak-anak lain selepas ujian akan pergi refreshing dengan menghabiskan waktu jalan-jalan ke mall, pergi ke pantai, makan-makan di cafe atau melakukan hal-hal yang biasa anak remaja lakukan, berbeda denganku.Sepulang ujian aku langsung pulang ke panti asuhan mengganti baju seragam menjadi baju bebas dan pergi ke rumah sakit.Aku duduk di atas ranjang. Dipangkuanku terdapat kebaya yang waktu itu aku dan mas Azmi beli. Aku hanya menatap kosong kebaya ini.Huft …Hari ini adalah hari di mana statusku akan berubah. Saat mas Azmi mengucap ijab qobul maka saat itu juga aku akan berganti status.Ya tuhan … Bagaimana kehidupan setelah menikah nanti?Impianku yang menginginkan pernikahan yang indah, suami yang mencintaiku, rumah tangga yang harmonis sepertin
Di kaca besar itu memperlihatkan aku yang dibalut dengan kebaya dan rambut yang disanggul rapi. Make-up yang ku gunakan juga natural saja. MUA juga menyayangkan jika aku menggunakan make-up tebal, mereka bilang sayang nanti cantik naturalnya tertutup.Ruangan rawat inap ini di sulap menjadi tempat aku dirias. Aku tidak tahu berapa uang yang dikeluarkan mas Azmi untuk menyewa kamar ini. Alea duduk di kursi yang tersedia di ruangan ini, sedang bu Sri berada di ruangan kakek Amar.Pernikahan ini hanya dihadiri oleh pihak keluarga mas Azmi termasuk kakek Amar dan juga bu Sri serta Alea. Tidak ada pihak luar kecuali orang dari KUA, nanti juga ada orang dari KUA yang akan menjadi waliku saat ijab qobul nanti.Dan pasti ada Haris juga di sana.Seandainya aku punya ayah, pasti yang akan menjadi waliku itu ayahku, bukan orang lain. Tapi apa lah dayaku, aku hanya anak yang tidak diinginkan. Buktinya aku
“Sepertinya aku butuh penjelasan dari kalian!” ujar Haris tajam menatap ke arahku lalu pada mas Azmi.Aku mengalihkan pandangan tidak berani menatap Haris. Kulihat mas Azmi hanya memainkan telepon genggam dan tidak tertarik dengan kemarahan Haris.“Fitri yang menolong kakek saat penyakit jantung kakek kambuh. Dia dan Alea yang membawa kakek ke rumah sakit. Dan sebagai tanda ucapan terima kasih, Fitri harus menjadi cucu menantu kakek, Alea juga,” terang kakek Amar pada Haris dengan wajah ceria.“Kakek bukan meringankan beban Fitri, justru kakek menambah beban Fitri.”“Benarkah?” tanya kakek Amar menatapku. Aku hanya bisa menundukkan kepala, menghindari tatapan penuh tanya dari kakek Amar.“Kek, Haris tahu betul bagaimana keadaan Fitri. Dengan kakek menjadi donatur tetap panti asuhan tempat Fitri berada itu sudah membuat Fitri senang. Benar ‘kan, Fit?”Aku, Alea dan Bu Sri mengangguk setuju dengan ucapan Haris.“Sudah lah Haris! Kamu terlalu banyak bicara. Berisik!” ucap kakek tidak ter
Aku membelalakkan mataku. Dalam hatiku bertanya, “Rumah mewah ini milik mas Azmi? Jadi ini rumahku juga?”Aku menggelengkan kepalaku. Mencoba membuat diriku sadar dari khayalan yang tidak mungkin menjadi kenyataan.Tidak … Ini hanya rumah mas Azmi. Bukan rumahku!Rumah ini lebih besar dari rumah Haris dan kakek Amar. Rumah ini juga mengusung tema modern, berbanding terbalik dengan rumah yang ditempati Haris yang mengusung tema tradisional.Masih sibuk memperhatikan isi rumah ini, tahu-tahu Mas Azmi sudah berjalan menjauh menaiki anak tangga dan tidak menghiraukanku yang dari tadi berada dibelakangnya. Aku sadar saat mas Azmi sudah ada di pertengahan anak tangga, maka dari itu aku langsung bergegas berjalan cepat mendekati mas Azmi.Tersisa dua anak tangga lagi.Mas Azmi berhenti dan berbalik menghadapku. Otomatis aku juga berhenti.Ini bukan drama yang jika si tokoh pria berhenti berjalan di depan maka si tokoh wanita akan menubruk punggung si tokoh pria. Tidak … Tidak seperti itu. Ak
Tok tok tok“Keluar! Turun ke bawah!” teriak mas Azmi dari luar kamar.Aku yang sedang sibuk menasihati diriku sendiri jadi terkejut mendengar teriakan mas Azmi dari luar kamar.Takut-takut aku membuka pintu kamar secara perlahan. Tidak ada mas Azmi. Saat aku turun ke lantai bawah, aku melihat mas Azmi sudah duduk di single sofa ruang tengah dan sedang memainkan telepon genggam miliknya.Aku mendekati mas Azmi lalu duduk di sofa yang berseberangan dengan mas Azmi.“Lama sekali! Padahal hanya mandi,” sentak mas Azmi“Maaf mas,” cicitku.Mas Azmi menghela napas lalu memijit keningnya. Aku tidak tega, sepertinya mas Azmi sedang pusing, “Mau Fitri pijat kepalanya?” tawarku.Mas Azmi menghentikan memijat kening, sebagai ga
Biasanya selepas subuh aku membereskan kamar lalu membantu ibu dan anak-anak panti yang kebagian memasak di dapur. Tapi saat ini aku hanya duduk di ranjang dan tidak melakukan apa pun. Sangat aneh jika aku tidak melakukan apa pun.“Lebih baik aku ke dapur saja.”Aku beranjak menuju dapur. Berbeda dengan keadaan rumah semalam yang sepi, saat ini justru terbilang ramai. Ada beberapa orang pembantu rumah tangga yang sedang membereskan rumah. Saat aku melewati mereka, mereka tersenyum ke arahku dan aku membalas senyuman mereka.Tengkukku tiba-tiba gatal, aku merasa justru dan merasa tak pantas mendapat senyuman sopan dari orang-orang yang lebih tua dariku. Malu lebih tepatnya, semua itu karena mereka lebih tua dariku tapi mereka seolah segan padaku.Ada seorang ibu paruh baya yang sedang sibuk di counter dapur. Aku menghampirinya. “Saya bantu, bu,” kataku sambil senyum ke arah ibu tersebut. Ibu itu sangat kaget mendengar suaraku yang tiba-tiba.“Astagfirulloh! Ya ampun, non! Mbok kaget.”
Tubuhku cukup segar setelah mandi barusan.Hari ini hari sabtu dan kemarin aku baru saja selesai melaksanakan ujian, otomatis hari ini libur bagi seluruh pelajar sepertiku. Hah enaknya…Sudah jam 7 pagi, pasti mas Azmi sudah turun ke bawah untuk sarapan. Lebih baik aku bergegas ikut sarapan bersamanya.Benar saja tebakanku, mas Azmi sedang menyimpan tas kerjanya di kursi. Saat dia mengangkat mangkuk nasi goreng itu aku lantas berteriak, “Stop, mas!” Mas Azmi berjingkat kaget. Aku mempercepat langkahku menuju ke arahnya. “Biar aku yang hangatkan nasinya!”Aku mengambil mangkuk besar itu dari genggaman mas Azmi. Dia masih diam, mungkin masih shock akan teriakan yang berasal dariku tadi.Mata mas Azmi melotot tajam. Aku tidak menghiraukan pelototan mas Azmi dan berbalik menuju microwave yang ada di dapur.5 menit berlalu. Dengan meyibukkan diriku sendiri melakukan entah apa pun itu yang ada di dapur setidaknya dapat mengurangi ketegangan yang terjadi. Dari tadi mas Azmi melotot tajam da