Tubuhku cukup segar setelah mandi barusan.Hari ini hari sabtu dan kemarin aku baru saja selesai melaksanakan ujian, otomatis hari ini libur bagi seluruh pelajar sepertiku. Hah enaknya…Sudah jam 7 pagi, pasti mas Azmi sudah turun ke bawah untuk sarapan. Lebih baik aku bergegas ikut sarapan bersamanya.Benar saja tebakanku, mas Azmi sedang menyimpan tas kerjanya di kursi. Saat dia mengangkat mangkuk nasi goreng itu aku lantas berteriak, “Stop, mas!” Mas Azmi berjingkat kaget. Aku mempercepat langkahku menuju ke arahnya. “Biar aku yang hangatkan nasinya!”Aku mengambil mangkuk besar itu dari genggaman mas Azmi. Dia masih diam, mungkin masih shock akan teriakan yang berasal dariku tadi.Mata mas Azmi melotot tajam. Aku tidak menghiraukan pelototan mas Azmi dan berbalik menuju microwave yang ada di dapur.5 menit berlalu. Dengan meyibukkan diriku sendiri melakukan entah apa pun itu yang ada di dapur setidaknya dapat mengurangi ketegangan yang terjadi. Dari tadi mas Azmi melotot tajam da
“Aku siap!” ucapku lantang. Mas Azmi menaikkan alisnya meremehkan.Jujur saja aku malu saat mengatakannya. Tapi aku sudah memikirkan ini semua jauh-jauh hari. Selama masa ujian, saat siang hari aku belajar bersama Haris, Salman dan Caca, sedangkan saat malam hari aku berselancar di media sosial mencari tata cara menjadi istri yang baik, termasuk cara menyenangkan suami.Memang se-niat itu aku memikirkan pernikahan ini. Tapi baru juga kurang dari satu hari, yang kurasa justru jauh dari rumah tangga yang akan bahagia. Tidak sesuai dengan yang selama ini aku baca di media sosial.Aku memang tidak mau menikah di usia se-dini ini, tapi jika memang mas Azmi adalah jodohku yang sudah dipersiapkan oleh tuhan maka aku harus menerimanya. Untuk kedepannya mengenai rumah tangga ini kita tidak bisa memprediksi, tinggal jalani saja.“Baguslah kalau kamu siap. Jadi saya tidak perlu buang uang untuk sewa wanita malam. Sudah dapat yang gratis ini,” ucap mas Azmi enteng, seolah aku wanita yang tidak me
Di taman kecil ini aku hanya duduk di kursi besi yang tersedia di tengah taman.“Aku harus merencanakan cara menaklukan mas Azmi,”Tapi bagaimana caranya?Ah, aku tahu!Aku pergi menuju sebuah bangunan kecil yang ada di sebelah rumah utama.Yup, rumah khusus seluruh pembantu rumah tangga ini tinggal. Aku akan menemui mbok Tarsih. Aku akan mewawancarai mbok Tarsih.Di depan rumah itu terdapat dua orang wanita muda yang sedang mengobrol di teras, mereka mungkin beberapa tahun di atasku. Aku tidak begitu mengerti apa yang dikatakan mereka, karena mereka menggunakan bahasa yang sepertinya berasal dari Jawa Timur, terkesan keras.Kenapa aku tahu? Karena teman sekolahku ada yang berasal dari kota Solo dan bahasa yang dia gunakan saat berbincang bersama ibunya saat itu sangat pelan dan pembawaannya anggun.Maaf aku tidak bermaksud mendiskreditkan sesuatu, semua ini hanya berdasarkan penglihatanku saja.Salah seorang dari mereka menyadari kedatanganku lantas dia langsung berdiri dan sedikit m
“Non mau tanya apa?”Aku menghela napas. Aku tahu aku salah dengan mencari tahu tentang mas Azmi pada mereka bertiga itu salah, tapi mereka lebih tahu dariku tentang mas Azmi. Aku yakin mereka pasti curiga dengan hubungan aku dengan mas Azmi dan mereka juga akan tahu jika hubunganku dengan mas Azmi tidak baik-baik saja.“Mas Azmi, mbok. Semuanya,” tegasku.“Maksudnya?” Mereka bertiga terlihat bingung.“Kalian sudah lama kerja dengan mas Azmi ‘kan?”“Kami sudah bekerja selama 2 tahun. Tepat saat rumah ini pertama kali ditempati sama den Azmi.”“Jadi rumah ini baru 2 tahun?”Mbok Tarsih, Risa dan Tari mengangguk.“Kalau mbok tahu makanan kesukaan mas Azmi?”“Begini deh, non. Saya bakal cerita tentang den Azmi. Jadi saat pertama kali kami kemari, kami hanya bekerja saat pagi hari untuk membereskan rumah dan memasak sarapan. Lalu kita akan kembali bekerja lagi saat sore hari untuk menyiapkan makan malam. Bahkan dari awal kami tidak diperbolehkan ke rumah utama jika ada den Azmi.”Fitri
“Fit! Fitri!” Kaget saat mendengar suara seorang pria yang teriak-teriak dari arah ruang tamu. Aku tetap saja memakan buah-buahan yang sudah aku kupas dan tidak menghiraukan suara pria yang teriak-teriak itu. Jujur saja itu sangat mengganggu, tapi biarkan saja. Tiba-tiba saja ada seorang pria tampan yang datang dengan terengah-engah muncul di dekat pintu dapur. “Heh! Fitri!” Bug … Dia menggebrak meja. Haris … Ya, pria yang teriak-teriak itu Haris. Aku tidak heran sama sekali kalau dia akan datang menemui ku. Dia pasti akan bertanya ini-itu tentang pernikahan kemarin. Haris duduk dengan terengah di kursi makan di hadapanku. “Ada apa?” ucap ku lalu memasukkan sepotong apel ke dalam mulutku. “Aku yang harusnya bertanya seperti itu. Ada apa? Bagaimana mungkin kamu menikah dengan kakakku?” tanya Haris to the point dengan raut muka keras. Aku bangkit dari duduk ku lalu mengambilkan segelas air putih untuk Haris. “Seperti yang kakek Amar katakan. Aku menolong kakek saat sakit jantun
Arghhh …Aku dan Alea mendengar suara orang yang sedang merintih di balik rak makanan yang ada di supermarket ini. Alea memandang aku yang sama kebingungan mendengar suara rintihan itu. Terlihat raut wajah ketakutan Alea. Jelas saja Alea ketakutan, karena memang dasarnya Alea itu penakut.“Teh, dengar itu ‘kan?”Aku mengangguk, “Kita lihat ke sana.”Alea menarik lengan kananku yang bersiap menuju ke balik rak, dia menggeleng kencang, “Jangan ke sana teh.”“Suaranya seperti yang kesakitan. Kita harus tolong,” cicitku menghempas pelan genggaman Alea pada lengan kananku.Aku melangkah menuju balik rak. Sebenarnya rasa ragu terasa di hatiku. Bukan hanya Alea, tapi aku juga merasa takut. Bagaimana tidak, sudah jam 10 malam dan supermarket 24 jam ini sudah dapat dipastikan sepi pengunjung.Alangkah kaget … Di sana … ada seorang kakek tua yang sedang kesakitan memegang dada sebelah kiri dengan posisi membungkuk berpegangan pada rak. Tanpa pikir panjang aku sedikit berlari menuju kakek terse
Sesampainya di rumah sakit, di depan ruang UGD terdapat beberapa perawat yang sedang menurunkan seorang pasien dari mobil ambulance.Alea dan sopir taksi turun dari mobil dan menarik atensi dari beberapa perawat yang ada di sana. Bagaimana tidak menarik atensi, Alea datang ke UGD dengan wajah panik, apalagi dengan sikapnya saat panik yang tidak bisa diam itu.Beberapa perawat datang menghampiri mobil kami, bahkan ada perawat yang membawa brankar.Saat perawat-perawat itu mengangkat si kakek ke atas brankar dan membawanya ke UGD, aku ikut juga masuk ke UGD.Ada beberapa brankar yang sudah diisi oleh pasien-pasien. Ada pasien yang seperti habis terkena kecelakaan, ada juga pasien yang sudah tua renta seperti si kakek, ada juga pasien yang masih anak-anak.Seorang perawat sedang memasang jarum infus dan alat pernapasan pada kakek.Alea datang dan berdiri di sampingku, “Sudah bayar taksinya?” tanyaku.“Sudah kak,” angguk Alea.Setelah perawat itu selesai, seorang dokter jaga menghampiri k
Aku dan Alea masih berdiri di dekat brankar kakek Amar.“Untung saja besok libur. Jadi tidak masalah pulang malam,” ucapku lega.“Ibu bagaimana? Dia pasti khawatir. Ini pertama kalinya kita keluar malam lewat dari jam sepuluh,”-- Alea melihat jam pada telepon genggam miliknya--”Lihat teh, sudah jam sebelas lewat,” ucap Alea.Aku terkekeh, “Tidak mungkin juga menghubungi ibu sekarang. Pasti ibu sudah tidur. Sebenarnya teteh sudah kirim pesan tadi saat di dalam mobil pada ibu. Ibu balas katanya hati-hati saat pulang nanti, katanya jangan pulang dahulu malam ini. Nanti pulangnya saat subuh saja.”“Hah … Syukurlah … Aku pikir ibu akan marah,” lega Alea.Hmm …Fokusku dan Alea teralih saat mendengar suara yang berasal dari kakek Amar. Aku melihat mata kakek bergerak pelan dan kelopak matanya terbuka sedikit demi sedikit.Tangan kakek Amar terangkat sedikit. Otomatis aku menggenggam telapak tangan kakek Amar dan mendekatkan kepalaku saat melihat kakek yang membuka mulut seolah ingin berbica