Aku dan Alea masih berdiri di dekat brankar kakek Amar.
“Untung saja besok libur. Jadi tidak masalah pulang malam,” ucapku lega.
“Ibu bagaimana? Dia pasti khawatir. Ini pertama kalinya kita keluar malam lewat dari jam sepuluh,”-- Alea melihat jam pada telepon genggam miliknya--”Lihat teh, sudah jam sebelas lewat,” ucap Alea.
Aku terkekeh, “Tidak mungkin juga menghubungi ibu sekarang. Pasti ibu sudah tidur. Sebenarnya teteh sudah kirim pesan tadi saat di dalam mobil pada ibu. Ibu balas katanya hati-hati saat pulang nanti, katanya jangan pulang dahulu malam ini. Nanti pulangnya saat subuh saja.”
“Hah … Syukurlah … Aku pikir ibu akan marah,” lega Alea.
Hmm …
Fokusku dan Alea teralih saat mendengar suara yang berasal dari kakek Amar. Aku melihat mata kakek bergerak pelan dan kelopak matanya terbuka sedikit demi sedikit.
Tangan kakek Amar terangkat sedikit. Otomatis aku menggenggam telapak tangan kakek Amar dan mendekatkan kepalaku saat melihat kakek yang membuka mulut seolah ingin berbicara, “Kek?” tanyaku.
Telingaku mendekat ke arah mulut kakek Amar, “Te-terima kasih,” ucap kakek Amar dengan pelan dan tersendat.
Aku tersenyum, “Sama-sama, kek. Kakek harus sembuh. Tadi saya sudah telepon keluarga kakek. Mungkin sebentar lagi sampai.”
Kakek Amar tersenyum teduh.
“Kek, nama saya Alea, sedangkan ini namanya Fitri,” ucap Alea tiba-tiba sambil menepuk pundakku. Kakek Amar mengangguk kecil dan tersenyum.
Dari arah luar terdengar suara gaduh, seperti ada orang yang berlari. Benar saja ada pria yang berlari ke arah station perawat. Laki-laki itu berperawakan tinggi, tidak terlalu kekar namun cukup tampan. Raut wajah panik sangat terlihat di sana.
Samar aku mendengar, “Amar Sugeng Nataprawira dimana?”
Seorang perawat menunjuk ke arah aku dan Alea. Saat pria itu melihat kami, lalu dia mengalihkan pandangan ke arah brankar di hadapan kami, “Kakek!”
Dia berjalan cepat ke arah kami, “Ya ampun kakek. Kakek tidak apa-apa? Ada yang sakit? Dadanya sakit lagi?” ucap pria itu panik saat sudah sampai ke dekat brankar kakek Amar. Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dengan lancar. Padahal aku yakin kakek Amar tidak sanggup menjawab semua pertanyaan itu.
Kakek Amar hanya menggeleng ringan.
Pria itu menggenggam telapak tangan kakek Amar yang satunya lagi, sedangkan yang satunya lagi masih aku genggam. Bahkan genggaman tangan kakek Amar tidak mengendur sama sekali meski cucunya sudah tiba.
“Azmi …” panggil kakek Amar pelan.
“Ya, kek,” ucap pria bernama Azmi itu sambil mendekatkan kepalanya ke wajah kakek Amar.
“Kalian berdua menikah lah,” pinta kakek Amar pelan dengan mengeratkan pegangan tangannya pada tanganku.
“Iya … Nanti Azmi menikah.”
“Dengan Fitri.”
Apa?
Aku?
Kedua mataku membola. Apa maksudnya semua ini? Aku harus menikah? Dengan pria ini? Bahkan kenal pun tidak.
Alea menyenggol lenganku. Aku menoleh pada Alea. Senyum menggoda yang ku dapatkan saat melihat wajah Alea.
“Siapa Fitri? Aku tidak punya teman maupun rekan kerja bernama Fitri,” ucap pria itu.
“Ini Fitri,” ucap kakek Azmi mengalihkan pandangan ke arahku. Otomatis pria itu juga melihat ke arahku.
Aku hanya bisa menelan ludah.
Gugup sekali dipandang oleh pria setampan Azmi ini.
“Kamu yang namanya Fitri?” tanya Azmi dengan pandangan yang tidak bisa aku tebak apa maksud dari pandangan itu.
“Iya,” ucapku serak saking gugup.
Azmi-Azmi itu menghela napas keras.
“Baiklah kalau-” ucap Azmi. Namun aku segera menyela ucapannya.
“Tapi maaf kek. Saya tidak bisa. Saya masih sekolah,” ucapku menolak permintaan kakek Amar.
“Ini permintaan terakhir dalam hidup saya. Saya mohon terima permintaan terakhir saya,” ucap kakek Amar lirih dan pelan. Matanya berlinang air mata di pelupuk mata kakek Amar tanpa terjatuh.
Aku menggeleng pelan. Barulah air mata itu jatuh dari pelupuk mata kakek Azmi.
Kami berjalan bersama menuju ruang rawat inap untuk kakek Amar.Jika dilihat lorong rumah sakit yang kami lalui ini sangat berbeda dengan pada umumnya. Lorong rumah sakit yang kami lewati ini terkesan mewah. Bahkan seperti lorong yang ada di hotel-hotel.Sebelum masuk ke ruang rawat inap tempat kakek Amar dirawat, kami melewati sebuah pintu kaca sensor, di mana jika ada orang yang akan masuk ke dalam maka pintu itu akan terbuka dengan sendirinya.Pada pintu kaca itu terdapat tulisan ‘VVIP’Hmm … Pantas saja lorong ini cukup mewah, ternyata jalan menuju ruang VVIP. Ruangan khusus orang-orang kaya.Aku melihat Alea yang dari tadi tidak melepas genggaman tanganku. Alea seperti orang yang terkesima dengan lorong ini, tidak jarang dia membuka mulutnya tanda terkesima dengan apa yang dia lihat. Bukan hanya Alea, tapi aku juga. Aku jadi makin penasaran dengan isi ruang rawat inapnya.Kakek Amar masih terbaring di atas brankar yang di dorong oleh 2 perawat, mas Azmi berjalan di samping kakek
“Teteh yakin mau nikah sama pria itu?” tanya Alea yang saat ini sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa sedangkan aku di atas ranjang.“Teteh kan masih pelajar. Kalau ada yang tahu teteh menikah pasti nanti beasiswa teteh dicabut.”“Tapi teh, Azmi-azmi itu sepertinya akan menuruti permintaan kakeknya.”“Tidak. Intinya teteh mau sekolah dahulu. Yang ada di pikiran teteh sekarang itu lulus sekolah supaya teteh bisa dapat pekerjaan yang bagus.”“Paling kalau lulusan SMA ujung-ujungnya nanti kerja di pabrik.”“Tidak masalah. Setidaknya teteh tidak harus kepanasan mengirim susu ke warung-warung padahal gaji tidak seberapa.”Itu lah pembicaraan kami sebelum tidur.Sebenarnya kebiasaan ini selalu kami lakukan sebelum tidur. Aku, Alea, Tia dan Lastri akan bergiliran membicarakan hal-hal yang kita alami sehari penuh, terkadang mereka juga tidak hanya jadi pendengar tapi sebagai pemberi solusi juga di saat salah satu dari kita sedang tertimpa masalah.***Jam 5 subuh aku terbangun. Waktunya sol
Aku dan Alea sedang dalam angkutan umum perjalanan pulang ke panti.Alea dari tadi diam saja. Mungkin masih ngantuk, lagi pula aku tidak ingin mengajak Alea berbicara juga karena masih shock akan pembicaraan aku dan mas Azmi di kafetaria tadi.Aku akan menjadi istrinya dan dia juga akan menjadi suamiku. Setelah menikah nanti, bagaimana mungkin aku tidak mengurus mas Azmi sedangkan dia akan jadi ladang pahala untukku?Bahkan mas Azmi bilang, “Kembali lagi nanti saat akan akad. Tidak perlu menjenguk kakek!”Apa-apaan pria itu.***Anak-anak panti sepertinya sudah selesai sarapan. Mereka sedang belajar bersama di halaman panti. Tia dan Lastri sedang mengajar mereka.Aku dan Alea menghampiri bu Sri yang masih duduk di meja makan. Ibu Sri ini merupakan ibu panti di sini. Kami giliran mencium tangan beliau."Bagaimana keadaan kakek yang kalian tolong itu?""Dia ada riwayat jantung bu. Tadi pagi dokter bilang keadaan kakek sudah membaik tapi masih harus dirawat, soalnya keadaannya masih perl
BAB 7Aku dan Bu Sri tercengang mendengar ucapan Alea.Alea masih kecil. Benar yang dikatakan mas Azmi, aku sudah punya KTP dan dari segi umur aku sudah mampu untuk menikah.Tapi Alea? Dia bahkan masih kelas 1 SMA dan belum memiliki kartu tanda pengenal apa pun.Aku menegakkan tubuhku lalu pindah duduk di samping Alea.“Lea kamu harus cerita semua yang teteh tidak tahu tentang kakek Amar.”Lea menghela napas kasar. Raut wajah memelas tapi menahan emosi sangat kentara di sana.“Jadi tadi pagi setelah kakek Amar selesai diperiksa dokter, kakek Amar bilang-”*Flashback*“Kamu Alea ‘kan?”“Iya, kek. Kakek haus?”Kakek Amar menggeleng. Dia memegang erat tangan Alea.“Menikah lah dengan cucu kakek. Kalau Fitri tidak mau, maka gantikan Fitri menjadi pengantin dari cucu kakek.”Alea tersentak.“Tapi Alea masih kelas 1 SMA, kek.”“Maka dari itu bujuk lah kakakmu untuk menikah dengan cucu kakek. Dan juga kalau nanti kamu sudah dewasa kamu harus menikah dengan salah satu cucu kakek juga.”Speech
“Sudah selesai, teteh? Mau Tama bantu?” ucap sebuah suara di belakangku. Saat aku berbalik di sana sudah ada Tama yang terlihat rapi dengan baju koko, sarung dan kopiah yang bertengger di kepala Tama. Sangat tampan.Sepertinya Tama baru pulang dari masjid usai melaksanakan solat subuh. Biasanya anak-anak yang lain akan langsung masuk kamar setelah pulang dari masjid. Berbeda dengan Tama, dia akan ke dapur dan selalu menawarkan bantuan pada kami yang kebagian memasak tiap harinya.“Kamu ganti baju dahulu. Nanti tolong bantu teteh untuk menyajikan sarapan di meja makan.”Tama mengangguk padaku dan masuk ke dalam kamar untuk berganti baju.Tidak lama, Tama menghampiri aku. Dia dengan cekatan memindahkan sambal goreng tempe dari dalam wajan ke dalam mangkuk besar dan menyimpannya di atas meja. Lalu Tama mengambil gulungan telur yang sudah kubuat. Dia mengikutiku memotong telur dadar.Hari ini aku memasak nasi kuning dengan lauk telur yang diiris-iris dan juga sambal goreng tempe.“Awas. T
Di luar kelas, anak-anak kelas sedang belajar bersama. Mereka membentuk kelompok-kelompok. Saat ujian begini Dina itu bagai gula, banyak sekali yang mengerubungi dia. Dina itu termasuk saingan. Kita sama-sama pintar. Bedanya dia rajin, aku malas.Mereka memperlakukan kami berbeda. Mereka mengerubungi Dina saat ujian saja. Sedangkan biasanya mereka mengerubungi aku saat ada tugas saja. Aku dan Dina beda prinsip. Aku yang baik hati selalu menolong teman yang kesusahan saat mengerjakan tugas dan meminta imbalan pada mereka sedangkan Dina cukup pelit dengan tugas. Dina orangnya harus orang lain berusaha belajar dahulu baru Dina akan bantu saat mereka mentok tidak bisa berpikir. Aku sih mana tega seperti itu.Yang penting ada uang ada tugas.Sekali Dina pernah memarahi aku karena aku selalu mengerjakan tugas mereka. Tapi setelah tau aku membutuhkan uang, Dina sudah tidak lagi marah padaku.Aku duduk di lantai. Haris menghampiri dengan napas yang tersengal-sengal. Aku menyodorkan botol minu
Ujian hari pertama ini adalah pelajaran Agama lalu Pendidikan Kewarganegaraan.Hari pertama ini aku bilang masih aman dan terbilang mudah. Setelah ujian pun anak-anak yang lain tidak ada yang mengeluh. Aku yakin mereka sanggup menjawab soal ujian hari ini.Barulah nanti di hari Jumat, hari terakhir ujian kami akan menemui raja terakhir, yaitu Matematika dan Fisika.Haris duduk dua kursi di samping aku, kami hanya terhalang Gina dan Gerald saja. Dia menghampiri meja aku berada. Diikuti Salman yang berjalan dari arah belakang barisan kursi milikku.“Yuk. Let’s go kita ke kantin!” ajak Haris.“Cepat Fit! Aku lapar!” ucap Salman.“Sebentar …” ucapku memasukkan alat tulis yang menjadi alat tempur milikku hari ini.Diantara semua siswa, aku yang selalu selesai terakhir. Kami berjalan keluar kelas bersama. Banyak fans-fans Haris dan Salman yang selalu mencibir jika aku bersama mereka. Padahal mereka tahu jika kami pure hanya berteman saja.‘Dasar cewek gatal.’‘Tidak tahu diri.’Aku lihat H
“Excuse me? Aku? Maksudnya?”“Fit. Kamu tau aku suka Haris. Tapi kenapa kamu menempel Haris terus.”“Aku tidak seperti itu,” ucapku terkekeh melihat Caca yang sedang cemburu.“Fit. Aku tidak sedang bercanda.”“Dengar ya Ca. Kita teman sekelas dari kelas 10. Aku tidak pernah cari gara-gara dengan kamu. Dan hubungan kita sebagai teman juga baik-baik saja,” aku menghela napas pelan.Aku lihat Caca mengepalkan tangannya.“Tapi gara-gara Haris kamu jadi sinis sama aku. Kalau kamu mau tahu aku, Haris dan Salman hanya akan belajar bersama. Kamu tau aku sangat membutuhkan uang untuk adik-adikku di panti. Jadi aku menerima tawaran mereka untuk mengajari mereka selama ujian karena mereka akan membayar aku. Bahkan tadi saja Salman dan Haris akan membayar apa pun yang aku makan. Itu sebagai bentuk rasa terima kasih mereka sama aku. Kita tidak ada maksud lain.”“Tapi kamu jadi akrab sama Haris,” cicit Caca.“Kamu cemburu?”selidik aku menatap wajah Caca yang sudah memerah malu.“Menurut kamu?” sewo