Arghhh …
Aku dan Alea mendengar suara orang yang sedang merintih di balik rak makanan yang ada di supermarket ini. Alea memandang aku yang sama kebingungan mendengar suara rintihan itu. Terlihat raut wajah ketakutan Alea. Jelas saja Alea ketakutan, karena memang dasarnya Alea itu penakut.
“Teh, dengar itu ‘kan?”
Aku mengangguk, “Kita lihat ke sana.”
Alea menarik lengan kananku yang bersiap menuju ke balik rak, dia menggeleng kencang, “Jangan ke sana teh.”
“Suaranya seperti yang kesakitan. Kita harus tolong,” cicitku menghempas pelan genggaman Alea pada lengan kananku.
Aku melangkah menuju balik rak. Sebenarnya rasa ragu terasa di hatiku. Bukan hanya Alea, tapi aku juga merasa takut. Bagaimana tidak, sudah jam 10 malam dan supermarket 24 jam ini sudah dapat dipastikan sepi pengunjung.
Alangkah kaget … Di sana … ada seorang kakek tua yang sedang kesakitan memegang dada sebelah kiri dengan posisi membungkuk berpegangan pada rak. Tanpa pikir panjang aku sedikit berlari menuju kakek tersebut.
“Alea! Cepat kemari!” teriakku pada Alea yang tak kunjung mengikuti aku. Aku yakin jika Alea masih berdiam diri di balik rak tempat kami berdiri tadi.
Arghhh …
Rintihan itu keluar lagi dari mulut si kakek.
Aku mendekati si kakek dan membantu beliau berdiri.
“Astagfirulloh,” pekik Alea sambil menutup mulutnya dan bola matanya membesar karena kaget.
“Kakek! Kakek dengar suara saya?” tanyaku khawatir. Kakek tersebut mengangguk. Dia menoleh dan menatap wajah aku dengan pandangan sayu. Jelas terlihat wajah yang sedang menahan rasa sakit itu. Aku memegang dada si kakek. Terasa detak jantung yang kencang.
“Teh! Kita harus bawa dia ke rumah sakit,” ucap Alea panik.
“Pesan taxi online sekarang juga!” perintahku. Tanpa menunggu waktu lama, Alea mengeluarkan telepon genggam miliknya dan memesan taxi.
Alea pergi begitu saja dari hadapanku, “Ck! Malah pergi,” ucapku kesal.
Tidak lama, Alea datang dengan seorang laki-laki berseragam pramuniaga yang sedang menjaga supermarket ini. Pria tersebut sama kaget seperti Alea tadi saat melihat kakek tua ini.
“Mas! Tolong!”
Pria itu membopong si kakek dan membawanya keluar supermarket. Dia mendudukkan kakek itu di kursi khusus pembeli. Aku memegang telapak tangan kakek itu. Tangannya cukup basah akan keringat.
“Dingin,” cicitku sambil menatap Alea dan pramuniaga itu
Pria itu mengambil sesuatu di dalam saku celananya. Dia mengeluarkan minyak kayu putih lalu menyerahkannya padaku, “Pakai ini saja, mbak.”
Aku mengusap telapak tanganku yang telah diberi minyak kayu putih ke telapak tangan si kakek. Aku duduk jongkok di hadapan si kakek dan tidak berhenti mengusap telapak tangan kakek itu.
Pria pramuniaga itu mengusap beberapa kali punggung si kakek.
“Kakek … Dadanya masih sakit?” tanyaku pelan.
Kakek itu mengangguk lagi.
Tin tin
Suara klakson mobil terdengar nyaring, “Taksinya datang, teh!” ucap Alea lega.
Sopir taksi itu keluar dari mobil dan membantu pria pramuniaga itu untuk memasukkan kakek itu ke dalam mobil.
Alea duduk di samping sopir dan aku duduk di kursi belakang di samping kakek.
Pria pramuniaga itu masih berdiri di dekat mobil. Aku membuka kaca mobil lalu berucap, ”Mas. Terima kasih ya.”
“Sama-sama, mbak. Tidak masalah, lagi pula toko sedang sepi,” ucap pria itu sambil tersenyum ramah.
Aku mengangguk singkat pada pria itu dan dibalas dengan anggukan juga.
Mobil yang kami kendarai berjalan menjauhi supermarket dan beranjak pergi menuju rumah sakit.
“Teh? Bagaimana dengan belanjaan kita?” tanya Alea.
Aku menepuk keningku.
Sungguh, aku lupa.
Sesampainya di rumah sakit, di depan ruang UGD terdapat beberapa perawat yang sedang menurunkan seorang pasien dari mobil ambulance.Alea dan sopir taksi turun dari mobil dan menarik atensi dari beberapa perawat yang ada di sana. Bagaimana tidak menarik atensi, Alea datang ke UGD dengan wajah panik, apalagi dengan sikapnya saat panik yang tidak bisa diam itu.Beberapa perawat datang menghampiri mobil kami, bahkan ada perawat yang membawa brankar.Saat perawat-perawat itu mengangkat si kakek ke atas brankar dan membawanya ke UGD, aku ikut juga masuk ke UGD.Ada beberapa brankar yang sudah diisi oleh pasien-pasien. Ada pasien yang seperti habis terkena kecelakaan, ada juga pasien yang sudah tua renta seperti si kakek, ada juga pasien yang masih anak-anak.Seorang perawat sedang memasang jarum infus dan alat pernapasan pada kakek.Alea datang dan berdiri di sampingku, “Sudah bayar taksinya?” tanyaku.“Sudah kak,” angguk Alea.Setelah perawat itu selesai, seorang dokter jaga menghampiri k
Aku dan Alea masih berdiri di dekat brankar kakek Amar.“Untung saja besok libur. Jadi tidak masalah pulang malam,” ucapku lega.“Ibu bagaimana? Dia pasti khawatir. Ini pertama kalinya kita keluar malam lewat dari jam sepuluh,”-- Alea melihat jam pada telepon genggam miliknya--”Lihat teh, sudah jam sebelas lewat,” ucap Alea.Aku terkekeh, “Tidak mungkin juga menghubungi ibu sekarang. Pasti ibu sudah tidur. Sebenarnya teteh sudah kirim pesan tadi saat di dalam mobil pada ibu. Ibu balas katanya hati-hati saat pulang nanti, katanya jangan pulang dahulu malam ini. Nanti pulangnya saat subuh saja.”“Hah … Syukurlah … Aku pikir ibu akan marah,” lega Alea.Hmm …Fokusku dan Alea teralih saat mendengar suara yang berasal dari kakek Amar. Aku melihat mata kakek bergerak pelan dan kelopak matanya terbuka sedikit demi sedikit.Tangan kakek Amar terangkat sedikit. Otomatis aku menggenggam telapak tangan kakek Amar dan mendekatkan kepalaku saat melihat kakek yang membuka mulut seolah ingin berbica
Kami berjalan bersama menuju ruang rawat inap untuk kakek Amar.Jika dilihat lorong rumah sakit yang kami lalui ini sangat berbeda dengan pada umumnya. Lorong rumah sakit yang kami lewati ini terkesan mewah. Bahkan seperti lorong yang ada di hotel-hotel.Sebelum masuk ke ruang rawat inap tempat kakek Amar dirawat, kami melewati sebuah pintu kaca sensor, di mana jika ada orang yang akan masuk ke dalam maka pintu itu akan terbuka dengan sendirinya.Pada pintu kaca itu terdapat tulisan ‘VVIP’Hmm … Pantas saja lorong ini cukup mewah, ternyata jalan menuju ruang VVIP. Ruangan khusus orang-orang kaya.Aku melihat Alea yang dari tadi tidak melepas genggaman tanganku. Alea seperti orang yang terkesima dengan lorong ini, tidak jarang dia membuka mulutnya tanda terkesima dengan apa yang dia lihat. Bukan hanya Alea, tapi aku juga. Aku jadi makin penasaran dengan isi ruang rawat inapnya.Kakek Amar masih terbaring di atas brankar yang di dorong oleh 2 perawat, mas Azmi berjalan di samping kakek
“Teteh yakin mau nikah sama pria itu?” tanya Alea yang saat ini sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa sedangkan aku di atas ranjang.“Teteh kan masih pelajar. Kalau ada yang tahu teteh menikah pasti nanti beasiswa teteh dicabut.”“Tapi teh, Azmi-azmi itu sepertinya akan menuruti permintaan kakeknya.”“Tidak. Intinya teteh mau sekolah dahulu. Yang ada di pikiran teteh sekarang itu lulus sekolah supaya teteh bisa dapat pekerjaan yang bagus.”“Paling kalau lulusan SMA ujung-ujungnya nanti kerja di pabrik.”“Tidak masalah. Setidaknya teteh tidak harus kepanasan mengirim susu ke warung-warung padahal gaji tidak seberapa.”Itu lah pembicaraan kami sebelum tidur.Sebenarnya kebiasaan ini selalu kami lakukan sebelum tidur. Aku, Alea, Tia dan Lastri akan bergiliran membicarakan hal-hal yang kita alami sehari penuh, terkadang mereka juga tidak hanya jadi pendengar tapi sebagai pemberi solusi juga di saat salah satu dari kita sedang tertimpa masalah.***Jam 5 subuh aku terbangun. Waktunya sol
Aku dan Alea sedang dalam angkutan umum perjalanan pulang ke panti.Alea dari tadi diam saja. Mungkin masih ngantuk, lagi pula aku tidak ingin mengajak Alea berbicara juga karena masih shock akan pembicaraan aku dan mas Azmi di kafetaria tadi.Aku akan menjadi istrinya dan dia juga akan menjadi suamiku. Setelah menikah nanti, bagaimana mungkin aku tidak mengurus mas Azmi sedangkan dia akan jadi ladang pahala untukku?Bahkan mas Azmi bilang, “Kembali lagi nanti saat akan akad. Tidak perlu menjenguk kakek!”Apa-apaan pria itu.***Anak-anak panti sepertinya sudah selesai sarapan. Mereka sedang belajar bersama di halaman panti. Tia dan Lastri sedang mengajar mereka.Aku dan Alea menghampiri bu Sri yang masih duduk di meja makan. Ibu Sri ini merupakan ibu panti di sini. Kami giliran mencium tangan beliau."Bagaimana keadaan kakek yang kalian tolong itu?""Dia ada riwayat jantung bu. Tadi pagi dokter bilang keadaan kakek sudah membaik tapi masih harus dirawat, soalnya keadaannya masih perl
BAB 7Aku dan Bu Sri tercengang mendengar ucapan Alea.Alea masih kecil. Benar yang dikatakan mas Azmi, aku sudah punya KTP dan dari segi umur aku sudah mampu untuk menikah.Tapi Alea? Dia bahkan masih kelas 1 SMA dan belum memiliki kartu tanda pengenal apa pun.Aku menegakkan tubuhku lalu pindah duduk di samping Alea.“Lea kamu harus cerita semua yang teteh tidak tahu tentang kakek Amar.”Lea menghela napas kasar. Raut wajah memelas tapi menahan emosi sangat kentara di sana.“Jadi tadi pagi setelah kakek Amar selesai diperiksa dokter, kakek Amar bilang-”*Flashback*“Kamu Alea ‘kan?”“Iya, kek. Kakek haus?”Kakek Amar menggeleng. Dia memegang erat tangan Alea.“Menikah lah dengan cucu kakek. Kalau Fitri tidak mau, maka gantikan Fitri menjadi pengantin dari cucu kakek.”Alea tersentak.“Tapi Alea masih kelas 1 SMA, kek.”“Maka dari itu bujuk lah kakakmu untuk menikah dengan cucu kakek. Dan juga kalau nanti kamu sudah dewasa kamu harus menikah dengan salah satu cucu kakek juga.”Speech
“Sudah selesai, teteh? Mau Tama bantu?” ucap sebuah suara di belakangku. Saat aku berbalik di sana sudah ada Tama yang terlihat rapi dengan baju koko, sarung dan kopiah yang bertengger di kepala Tama. Sangat tampan.Sepertinya Tama baru pulang dari masjid usai melaksanakan solat subuh. Biasanya anak-anak yang lain akan langsung masuk kamar setelah pulang dari masjid. Berbeda dengan Tama, dia akan ke dapur dan selalu menawarkan bantuan pada kami yang kebagian memasak tiap harinya.“Kamu ganti baju dahulu. Nanti tolong bantu teteh untuk menyajikan sarapan di meja makan.”Tama mengangguk padaku dan masuk ke dalam kamar untuk berganti baju.Tidak lama, Tama menghampiri aku. Dia dengan cekatan memindahkan sambal goreng tempe dari dalam wajan ke dalam mangkuk besar dan menyimpannya di atas meja. Lalu Tama mengambil gulungan telur yang sudah kubuat. Dia mengikutiku memotong telur dadar.Hari ini aku memasak nasi kuning dengan lauk telur yang diiris-iris dan juga sambal goreng tempe.“Awas. T
Di luar kelas, anak-anak kelas sedang belajar bersama. Mereka membentuk kelompok-kelompok. Saat ujian begini Dina itu bagai gula, banyak sekali yang mengerubungi dia. Dina itu termasuk saingan. Kita sama-sama pintar. Bedanya dia rajin, aku malas.Mereka memperlakukan kami berbeda. Mereka mengerubungi Dina saat ujian saja. Sedangkan biasanya mereka mengerubungi aku saat ada tugas saja. Aku dan Dina beda prinsip. Aku yang baik hati selalu menolong teman yang kesusahan saat mengerjakan tugas dan meminta imbalan pada mereka sedangkan Dina cukup pelit dengan tugas. Dina orangnya harus orang lain berusaha belajar dahulu baru Dina akan bantu saat mereka mentok tidak bisa berpikir. Aku sih mana tega seperti itu.Yang penting ada uang ada tugas.Sekali Dina pernah memarahi aku karena aku selalu mengerjakan tugas mereka. Tapi setelah tau aku membutuhkan uang, Dina sudah tidak lagi marah padaku.Aku duduk di lantai. Haris menghampiri dengan napas yang tersengal-sengal. Aku menyodorkan botol minu