Aku dan Alea sedang dalam angkutan umum perjalanan pulang ke panti.
Alea dari tadi diam saja. Mungkin masih ngantuk, lagi pula aku tidak ingin mengajak Alea berbicara juga karena masih shock akan pembicaraan aku dan mas Azmi di kafetaria tadi.
Aku akan menjadi istrinya dan dia juga akan menjadi suamiku. Setelah menikah nanti, bagaimana mungkin aku tidak mengurus mas Azmi sedangkan dia akan jadi ladang pahala untukku?
Bahkan mas Azmi bilang, “Kembali lagi nanti saat akan akad. Tidak perlu menjenguk kakek!”
Apa-apaan pria itu.
***
Anak-anak panti sepertinya sudah selesai sarapan. Mereka sedang belajar bersama di halaman panti. Tia dan Lastri sedang mengajar mereka.
Aku dan Alea menghampiri bu Sri yang masih duduk di meja makan. Ibu Sri ini merupakan ibu panti di sini. Kami giliran mencium tangan beliau.
"Bagaimana keadaan kakek yang kalian tolong itu?"
"Dia ada riwayat jantung bu. Tadi pagi dokter bilang keadaan kakek sudah membaik tapi masih harus dirawat, soalnya keadaannya masih perlu perawatan dan belum sembuh total," jelas Alea. Dia menjelaskan apa yang dokter ucapkan tadi karena saat dokter itu datang hanya ada Alea di ruangan kakek Amar.
"Syukurlah kalau memang sudah membaik. Kalian sudah sarapan?"
"Sudah, tapi Fitri lapar lagi," ucapku terkekeh.
Perutku memang perut kampung, sudah diberi makan sandwich tapi kalau belum bertemu nasi terasa seperti belum makan.
"Ya sudah. Makan dahulu sana," ucap bu Sri menunjuk meja makan yang masih tersedia nasi goreng di dalam satu mangkuk besar.
"Alea mau tidur saja bu," ucap Alea tiba-tiba saja berdiri dan pergi masuk ke dalam kamar. Mungkin tubuhnya pegal karena tidur di atas sofa.
Aku dan ibu bingung dengan sikap Alea. Dia jadi pendiam karena yang kami tahu Alea itu orangnya ceria.
Tadi saat aku dan mas Azmi masuk ke ruangan kakek Amar, Alea sedang duduk di samping kakek Amar dan sedang menggenggam tangan kakek Amar. Aku lihat kakek Amar sudah bangun juga dari tidurnya.
Tadi pagi wajah kakek Amar sudah tidak ada pandangan layu dan ekspresi menahan sakit lagi.
"Bu, ada yang mau Fitri bicarakan."
"Ada apa Fit?" tanya Bu Sri mengerutkan keningnya.
"Kita bicara di kamar ibu boleh?" tanyaku. Sepertinya ia paham kalau apa yang akan kami bicarakan cukup penting. Bu Sri mengangguk dan tersenyum menenangkan ke arahku.
*
Aku menceritakan semua yang aku alami saat menolong kakek Amar. Bu Sri mendengarkan aku bercerita tanpa memotong sedikit pun ucapanku. Aku bercerita sambil memeluk Bu Sri.
“Menurut ibu bagaimana?”
“Dari lubuk hati ibu yang paling dalam jujur saja ibu tidak mau kamu menikah secepat ini.“
“Fitri juga sudah menolak. Tapi pria itu kekeh mengajak Fitri untuk menikah.”
Bu Sri menerawang.
“Apa maksud kakek Amar dan pria itu untuk menikahkan kamu dengan cucunya itu?”
“Itu Fitri juga tidak tahu.”
Aku makin mengeratkan pelukanku pada Bu Sri.
Tok tok
“Bu. Ini Alea,” teriak suara itu dari luar kamar ibu Sri.
“Masuk saja Lea,” balas bu Sri.
Alea masuk ke dalam kamar bu Sri dan ikut memeluk bu Sri dari samping. Jadi kami berdua memeluk bu Sri dengan erat di kedua sisi.
“Lea tadi katanya mau tidur,” ucap Bu Sri.
“Lea tidak bisa tidur bu. Ini gara-gara kakek Amar,” rajuk Alea.
Aku mengerutkan kening.
Bu Sri mengusap pipi Lea, “Kenapa, hm?”
“Kakek Amar meminta Lea menikah juga.”
Apa?
BAB 7Aku dan Bu Sri tercengang mendengar ucapan Alea.Alea masih kecil. Benar yang dikatakan mas Azmi, aku sudah punya KTP dan dari segi umur aku sudah mampu untuk menikah.Tapi Alea? Dia bahkan masih kelas 1 SMA dan belum memiliki kartu tanda pengenal apa pun.Aku menegakkan tubuhku lalu pindah duduk di samping Alea.“Lea kamu harus cerita semua yang teteh tidak tahu tentang kakek Amar.”Lea menghela napas kasar. Raut wajah memelas tapi menahan emosi sangat kentara di sana.“Jadi tadi pagi setelah kakek Amar selesai diperiksa dokter, kakek Amar bilang-”*Flashback*“Kamu Alea ‘kan?”“Iya, kek. Kakek haus?”Kakek Amar menggeleng. Dia memegang erat tangan Alea.“Menikah lah dengan cucu kakek. Kalau Fitri tidak mau, maka gantikan Fitri menjadi pengantin dari cucu kakek.”Alea tersentak.“Tapi Alea masih kelas 1 SMA, kek.”“Maka dari itu bujuk lah kakakmu untuk menikah dengan cucu kakek. Dan juga kalau nanti kamu sudah dewasa kamu harus menikah dengan salah satu cucu kakek juga.”Speech
“Sudah selesai, teteh? Mau Tama bantu?” ucap sebuah suara di belakangku. Saat aku berbalik di sana sudah ada Tama yang terlihat rapi dengan baju koko, sarung dan kopiah yang bertengger di kepala Tama. Sangat tampan.Sepertinya Tama baru pulang dari masjid usai melaksanakan solat subuh. Biasanya anak-anak yang lain akan langsung masuk kamar setelah pulang dari masjid. Berbeda dengan Tama, dia akan ke dapur dan selalu menawarkan bantuan pada kami yang kebagian memasak tiap harinya.“Kamu ganti baju dahulu. Nanti tolong bantu teteh untuk menyajikan sarapan di meja makan.”Tama mengangguk padaku dan masuk ke dalam kamar untuk berganti baju.Tidak lama, Tama menghampiri aku. Dia dengan cekatan memindahkan sambal goreng tempe dari dalam wajan ke dalam mangkuk besar dan menyimpannya di atas meja. Lalu Tama mengambil gulungan telur yang sudah kubuat. Dia mengikutiku memotong telur dadar.Hari ini aku memasak nasi kuning dengan lauk telur yang diiris-iris dan juga sambal goreng tempe.“Awas. T
Di luar kelas, anak-anak kelas sedang belajar bersama. Mereka membentuk kelompok-kelompok. Saat ujian begini Dina itu bagai gula, banyak sekali yang mengerubungi dia. Dina itu termasuk saingan. Kita sama-sama pintar. Bedanya dia rajin, aku malas.Mereka memperlakukan kami berbeda. Mereka mengerubungi Dina saat ujian saja. Sedangkan biasanya mereka mengerubungi aku saat ada tugas saja. Aku dan Dina beda prinsip. Aku yang baik hati selalu menolong teman yang kesusahan saat mengerjakan tugas dan meminta imbalan pada mereka sedangkan Dina cukup pelit dengan tugas. Dina orangnya harus orang lain berusaha belajar dahulu baru Dina akan bantu saat mereka mentok tidak bisa berpikir. Aku sih mana tega seperti itu.Yang penting ada uang ada tugas.Sekali Dina pernah memarahi aku karena aku selalu mengerjakan tugas mereka. Tapi setelah tau aku membutuhkan uang, Dina sudah tidak lagi marah padaku.Aku duduk di lantai. Haris menghampiri dengan napas yang tersengal-sengal. Aku menyodorkan botol minu
Ujian hari pertama ini adalah pelajaran Agama lalu Pendidikan Kewarganegaraan.Hari pertama ini aku bilang masih aman dan terbilang mudah. Setelah ujian pun anak-anak yang lain tidak ada yang mengeluh. Aku yakin mereka sanggup menjawab soal ujian hari ini.Barulah nanti di hari Jumat, hari terakhir ujian kami akan menemui raja terakhir, yaitu Matematika dan Fisika.Haris duduk dua kursi di samping aku, kami hanya terhalang Gina dan Gerald saja. Dia menghampiri meja aku berada. Diikuti Salman yang berjalan dari arah belakang barisan kursi milikku.“Yuk. Let’s go kita ke kantin!” ajak Haris.“Cepat Fit! Aku lapar!” ucap Salman.“Sebentar …” ucapku memasukkan alat tulis yang menjadi alat tempur milikku hari ini.Diantara semua siswa, aku yang selalu selesai terakhir. Kami berjalan keluar kelas bersama. Banyak fans-fans Haris dan Salman yang selalu mencibir jika aku bersama mereka. Padahal mereka tahu jika kami pure hanya berteman saja.‘Dasar cewek gatal.’‘Tidak tahu diri.’Aku lihat H
“Excuse me? Aku? Maksudnya?”“Fit. Kamu tau aku suka Haris. Tapi kenapa kamu menempel Haris terus.”“Aku tidak seperti itu,” ucapku terkekeh melihat Caca yang sedang cemburu.“Fit. Aku tidak sedang bercanda.”“Dengar ya Ca. Kita teman sekelas dari kelas 10. Aku tidak pernah cari gara-gara dengan kamu. Dan hubungan kita sebagai teman juga baik-baik saja,” aku menghela napas pelan.Aku lihat Caca mengepalkan tangannya.“Tapi gara-gara Haris kamu jadi sinis sama aku. Kalau kamu mau tahu aku, Haris dan Salman hanya akan belajar bersama. Kamu tau aku sangat membutuhkan uang untuk adik-adikku di panti. Jadi aku menerima tawaran mereka untuk mengajari mereka selama ujian karena mereka akan membayar aku. Bahkan tadi saja Salman dan Haris akan membayar apa pun yang aku makan. Itu sebagai bentuk rasa terima kasih mereka sama aku. Kita tidak ada maksud lain.”“Tapi kamu jadi akrab sama Haris,” cicit Caca.“Kamu cemburu?”selidik aku menatap wajah Caca yang sudah memerah malu.“Menurut kamu?” sewo
BAB 12“Kalian duduk saja di ruang tamu,” titah Haris. Haris langsung pergi menuju kamar miliknya yang sepertinya berada di lantai 2 rumah ini.Salman membimbing aku dan Caca untuk duduk di ruang tamu. Aku yang tak bisa diam, berjalan mengelilingi ruang tamu dan melihat furniture yang ada di sini. Di pojok kanan, ada begitu banyak foto. Sepertinya itu foto keluarga Haris.DegDi sana ada foto kakek Amar dan mas Azmi. Jadi benar wajah Haris mirip dengan mas Azmi. Ternyata mereka ada hubungan darah.“Salman,” panggilku pada Salman yang sibuk bermain telepon genggam.“Ya.”“Sini.”Salman menghampiriku,”Kenapa?”“Ini foto keluarga Haris?”Salman mengangguk, “Ini mas Azmi, kakak Haris,”--tunjuk Salman pada foto mas Azmi--“Ini kakek Haris”--tunjuk Salman pada foto kakek Amar--”Kalau yang lain sepupu Haris. Aku belum pernah bertemu mereka jadi aku kurang tahu dengan yang lain,” jelas Salman.“Jadi kamu pernah bertemu kakak dan kakek dari Haris?”“Sudah. Aku cukup sering datang ke rumah Haris
Keesokan harinya … Baru saja semalam ibu Sri berbicara padaku bahwa uang bulanan panti semakin menipis karena digunakan untuk membayar iuran bulanan sekolah anak-anak dan sudah 2 bulan ini donatur tetap panti ini tidak mengirimkan donasi. Entah ada masalah apa dengan para donatur pada kami. Apa kami punya salah? Ibu Sri juga sudah bilang jika dia beberapa kali menghubungi para donatur, tapi tidak ada satu pun yang mengangkat telepon dari ibu. Uang tabungan milikku sebenarnya ada. Aku juga tidak bilang pada ibu jika aku memiliki tabungan. Dahulu sekali aku pernah memberikan uang tabungan milikku untuk membiayai baby Arsan yang sedang sakit, tapi ibu menolak dengan keras. Aku memasuki Bank dan mengambil nomor antrean untuk ke bagian teller. Dari tadi aku menggenggam buku rekening milikku. Di buku rekening itu tertera 9.550.000 rupiah. Aku akan menarik semua uang milikku dan diberikan pada bu Sri. Kurang lebih aku menunggu selama 15 menit, barulah nomor antrean milikku dipanggil.
Aku dan mas Azmi sampai di sebuah toko baju bridal yang cukup terkemuka di kota ini.Saat masuk ke dalam toko, lagi-lagi aku kagum dengan isi toko ini. Berbagai macam gaun pernikahan tersedia di sini.Begitu mewah!Semenjak aku bertemu dengan kakek Amar bayak hal baru yang aku temukan, mulai dari ruang VVIP rumah sakit, rumah Haris yang mewah, naik mobil mewah dan sekarang masuk ke toko mewah.Huft … Aku belum siap akan semua ini!“Pakai kebaya saja. Repot kalau pakai gaun yang besar itu,” tunjuk mas Azmi pada sebuah mannequin yang mengenakan ball-gown yang di pajang di kaca.Aku menggeleng, “Aku juga tidak mau, mas.”Sebenarnya ada satu kebaya yang dari awal sudah menarik perhatian. Kebaya itu terletak di pojok toko. Aku mendekati mannequin itu. Kebaya panjang berwarna abu muda dengan taburan mote berwarna hitam di bagian dada. Mataku tidak teralihkan dari mannequin tersebut.Seorang manager toko menghampiri kami, “Selamat siang pak,” ucap wanita itu mendekati mas Azmi tentunya dan b