Wah, pagi-pagi Zara langsung kena serangan visual, ya. Kalau jadi Zara, kira-kira bakal ngapain? Pura-pura nggak lihat dan kabur, atau malah makin canggung terus salah tingkah? Spill pendapat kalian, yuk! Kalau aku sih bakalan pura-pura pingsan aja 🤣
Kael menatap Zara sekilas dengan ekspresi datar, seolah tidak menyadari betapa mematikannya penampilannya saat ini. Dia melangkah santai menuju lemari pakaian di sudut ruangan, mengambil kaos bersih tanpa banyak bicara. "Sudah bangun, ya," kata Kael dengan nada biasa, nyaris tanpa emosi. Namun, Zara tidak merespons. Dia masih berdiri terpaku di tempat, matanya secara tidak sengaja terfokus pada punggung Kael saat pria itu membuka lemari. Udara terasa lebih panas, dan wajah Zara semakin memerah tanpa dia sadari. Kael menoleh sedikit, alisnya terangkat saat menyadari Zara tidak menjawab. Dia memanggil lagi, kali ini dengan nada sedikit lebih keras. “Zara.” Zara terkejut, seakan baru sadar dari lamunan. “E-Eh, iya! Sa–saya kira kamu sudah turun,” jawabnya tergesa-gesa, suaranya terdengar canggung. Dia buru-buru memalingkan pandangan, mencoba menenangkan dirinya dari rasa malu yang tiba-tiba menyerang. Kael memandang Zara sejenak dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara i
Zara membelalakkan mata. ‘Masih saja dia bercanda soal balon?’ batin Zara terkejut. Namun, Kael tetap berjalan santai sambil menggenggam tangan Zara, seolah hal itu adalah bagian dari rutinitas mereka. Namun, saat mereka melewati pintu utama, dia mendekat sedikit dan berbisik, “Biar Ibu nggak curiga.” Jantung Zara kembali berdegup kencang ketika Kael berbisik dengan jarak yang cukup dekat. Dia sedikit menunduk, berharap wajahnya tidak terlalu merah karena rasa gugup yang tiba-tiba menyerangnya. Dalam diam, dia membiarkan Kael menggenggam tangannya hingga mereka sampai di luar rumah. Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Kael akhirnya melepaskan genggamannya. Zara langsung menarik tangannya, mencoba bersikap biasa meskipun pikirannya masih kacau. Dia menatap Kael dengan bingung, hampir ingin protes, tapi Kael lebih dulu berbicara. “Jangan terlalu dipikirin,” katanya datar, membuka pintu mobil tanpa memandang Zara. ‘Gimana nggak kepikiran? Itu pertama kalinya dia nyentu
Kael mengemudikan mobilnya dalam keheningan. Permintaan ayahnya tadi masih berputar di kepala—permintaan yang meski diucapkan dengan nada dingin, terasa seperti ultimatum. Pikirannya sejenak melayang pada wajah Zara yang sering kali tenang, tapi selalu bisa menyiratkan emosi yang tidak mudah ditebak. Apa yang akan Zara katakan jika tahu tentang tuntutan Aryan? Kael mendesah panjang. "Bodoh," gumamnya pelan, mengutuk dirinya sendiri karena terus memikirkan apa yang Zara rasakan. Di rumah, Zara duduk di sofa dengan cangkir teh di tangannya. Dia melirik jam dinding beberapa kali, gelisah tanpa alasan yang jelas. Sejak Kael pergi ke kediaman keluarga Ashwara, suasana rumah terasa terlalu sunyi. Biasanya, dia justru menikmati saat-saat tenang seperti ini, tapi malam ini rasanya berbeda. Pintu depan terbuka, dan Zara langsung menoleh. Kael masuk dengan langkah tenang, wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun seperti biasa. “Baru pulang?” tanya Zara pelan. Kael hanya mengangguk
Sontak semua staf merasa terkejut. Jika Kael sudah angkat bicara, bukankah itu artinya mereka memang keterlaluan? Kael menatap Ana sekilas, matanya dingin dan penuh peringatan tanpa perlu satu kata pun diucapkan. Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Kael berjalan keluar. Zara yang masih berdiri di tempat, tidak bisa menahan rasa heran. Kael tidak membelanya dengan argumen panjang atau mengonfrontasi Ana secara langsung, tapi tindakannya cukup untuk menghentikan semua gosip. Setelah suasana kembali tenang, Ana hanya bisa mendengus pelan dan pergi, jelas merasa kalah tanpa pertarungan. Di luar loker, Zara berjalan mendekati Kael yang sedang mengecek sesuatu di ponselnya. Dia ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Chef ... terima kasih.” Kael meliriknya sebentar, lalu menjawab dengan dingin. “Bukan untukmu, tapi untuk restoran.” Namun, saat Zara berbalik untuk pergi, Kael melanjutkan dengan suara lebih pelan, hampir seperti gumaman, “Jangan hiraukan mereka. Mereka tidak tahu apa-ap
Zara langsung merasa lututnya lemas. Jantungnya berdegup kencang, panik bercampur marah, tetapi dia mencoba menahan ekspresinya tetap netral. “Bos? Siapa yang kamu maksud?” tanya Zara, suaranya bergetar meski dia berusaha tetap terdengar tenang. Ana mengangkat alis, menyeringai puas. “Jangan pura-pura bodoh, Zara. Chef Kael. Apa kamu pikir aku ini buta? Aku memperhatikan kalian. Aku tahu lebih banyak daripada yang kamu kira.” Zara membelalak, tidak percaya bahwa Ana bisa tahu sejauh itu. Pikirannya langsung berputar, mencoba mencari celah. Selama ini, dia merasa sudah sangat berhati-hati, selalu menjaga jarak dari Kael ketika di restoran. Bagaimana Ana bisa tahu? Ana mendekatkan wajahnya, menyeringai dengan nada mengejek. “Wah, Zara, aku nggak menyangka kamu ternyata wanita yang ... hebat,” ucapnya dengan sindiran tajam yang menampar telinga Zara. Dia tertawa pendek, penuh ejekan, sebelum melanjutkan. “Semua orang tahu Chef Kael itu sedingin es. Nggak ada yang bisa me
Zara langsung menoleh, kaget mendengar pernyataan itu. “Jangan,” katanya cepat, suaranya bergetar. “Kalau Ana langsung dipecat, dia pasti makin berpikir semua gosip itu benar.” Kael mengerutkan dahi. “Dia sudah keterlaluan.” “Tapi, dia tahu kita sudah menikah dan saya sedang hamil,” balas Zara, nadanya penuh kekhawatiran. “Gimana kalau dia menyebarkan hal itu ke semua karyawan yang lain? Apa itu nggak akan mencoreng nama baikmu?” Kael tetap tenang, tapi tatapannya sedikit menggelap. “Kalau dia berani menyebarkan apa pun, aku yang akan membereskan.” Zara menelan ludah, mencoba memproses kata-kata Kael yang terdengar begitu pasti. Namun, kekhawatirannya belum hilang sepenuhnya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Atau ... saya saja yang keluar dari restoran?” Kael langsung menatap Zara dengan tajam, hampir menghentikan mobil sejenak. “Jangan harap,” ucapnya, suaranya dingin namun penuh penekanan. “Tapi—” Zara mencoba membalas, tetapi Kael memotongnya. “Kalau k
Pagi datang, dan Zara membuka matanya perlahan. Dia menemukan dirinya masih di sofa, dengan selimut tipis yang melapisi tubuhnya. Ketika menoleh ke arah meja, dia tidak menemukan Kael di sana. Namun, ponselnya masih menyala di atas meja, dengan buku yang tergeletak di sampingnya, seolah menjadi bukti bahwa seseorang telah menemani sepanjang malam.Zara menggenggam selimut itu erat. Ada sesuatu yang berubah dalam hatinya, tetapi dia tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya.Akhirnya, Zara hanya bisa menghela napas, kemudian bangkit dan menuju kamar dengan langkah pelan, niat awal untuk mandi dan bersiap-siap berangkat ke restoran. Namun, tubuhnya yang masih lelah karena tidur di sofa semalaman memaksanya menuju tempat tidur."Sebentar saja," gumamnya, tetapi matanya langsung terpejam, dan dalam sekejap, dia terlelap kembali.Ketika Zara akhirnya terbangun, matahari sudah lebih tinggi dari biasanya. Matanya membelalak panik saat melihat jam dinding."Ya Tuhan, aku terlambat!" Dia langsung
Restoran mulai sibuk menjelang makan siang. Para staf terlihat sibuk melayani meja, Rizal sibuk memantau setiap sudut restoran, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, dan Zara dengan cekatan melayani tamu di areanya.Sementara itu, Kael berada di dapur, berdiri di tengah hiruk-pikuk para koki yang sibuk menyiapkan hidangan. Tatapannya tajam, mengawasi setiap detail untuk memastikan tidak ada kesalahan yang luput dari perhatian.Namun, suasana yang semula berjalan lancar berubah ketika salah satu rekan tamu VIP—seorang pria paruh baya dengan setelan mahal mulai bertingkah. Dia memanggil Zara dengan nada yang terlalu ramah, dan senyumannya menyiratkan sesuatu yang membuat Zara tidak nyaman.“Maaf, bisa tolong tambah air?” tanya pria itu sambil menatap Zara dari atas ke bawah, pandangannya seperti menelusuri tubuh Zara dengan terang-terangan.Zara mengambil botol air mineral dengan tangan sedikit gemetar, tetapi dia mencoba tetap profesional. Dia menuangkan air ke gelas pria itu, la
“Kael …” ucap Zara lirih.Dari seberang, Sarah merasa cukup terkejut, dia terdengar terdiam beberapa detik. Dia jelas tahu bahwa itu adalah suara Kael. Awalnya, dia pikir Kael tidak ada di dekat Zara, tetapi ternyata dia salah.Sarah sedikit gugup, berharap Kael tidak mendengar semua percakapannya dengan jelas. “Oh, Kael! Wah, Tante tidak tahu kalau kamu ada di dekat Zara. Tante hanya ingin bicara sedikit dengan Zara soal ...”“Uang?” potong Kael dengan acuh. Dia tersenyum sinis, senyuman yang tidak memiliki kehangatan sedikit pun. Sarah terdiam lagi, tetapi kali ini dia terdengar sedikit gugup. “Bukan, bukan seperti itu. Maksud Tante ….”Kael menghela napas pelan, dan kembali memotong ucapan Sarah dengan nada suara yang tetap tajam. “Zara sudah bilang dia tidak bisa membantu. Jangan memaksanya!”“Tapi Kael, ini hanya sekali saja—”“Jangan telepon lagi,” potong Kael tegas, suaranya dingin tetapi jelas. Tanpa menunggu respons dari Sarah di ujung telepon, Kael menutup panggilan denga
Pagi itu, Zara turun dari kamar dengan langkah santai. Udara pagi di rumah terasa hangat, dan harum masakan langsung menyambutnya begitu dia sampai di lantai bawah. Dia mengerutkan dahi, merasa ada yang tidak biasa.Biasanya, asisten rumah tangga sudah sibuk menyiapkan sarapan, tetapi pagi ini yang dia lihat adalah punggung tegap Kael di depan dapur. Pria itu mengenakan kaus sederhana dan celana santai, apron hitam terikat di pinggangnya. Pemandangan ini benar-benar tidak biasa.“Kael?” Zara memanggil dengan nada ragu. “Asisten rumah mana?”Kael menoleh sebentar dengan ekspresi datar, seperti biasa.“Pulang kampung,” jawabnya santai sambil kembali fokus mengaduk sesuatu di wajan.Zara berdiri terpaku beberapa saat sebelum berkata, “Kenapa nggak bangunin aku aja? Jadi aku bisa bantu-bantu.”Kael mengangkat bahu, gerakannya ringan. “Nggak perlu. Aku bisa sendiri.”Zara berjalan mendekat, duduk di salah satu kursi meja makan sambil mengamati Kael yang tetap sibuk memasak.“Kalau gitu, na
Kael tidak menjawab langsung. Dia hanya menatap Zara sebentar, matanya menyapu wajah wanita itu yang terlihat lelah dan masih menyisakan bekas kesedihan. Suaranya terdengar pelan namun tegas, “Kaki kamu lecet.”Zara tertegun. Kata-kata itu seperti kehangatan yang menyusup pelan ke dalam pikirannya.Bagaimana Kael bisa tahu? Apakah selama ini pria itu memperhatikannya?Dengan gugup, dia menjawab, “Saya baik-baik aja.”Kael tetap pada pendiriannya. Tanpa banyak bicara, tangannya mulai melepas sepatu Zara dengan hati-hati. Matanya fokus pada tumit Zara yang memerah, dengan luka kecil yang tampak mulai mengering.“Gak mau menurut?” tanya Kael tegas, meskipun ada kelembutan yang terasa dalam nada suaranya. Dia tidak membiarkan Zara berargumen, melanjutkan tindakannya tanpa ragu.Zara menunduk, menatap Kael yang kini dengan santai melepas sepatu formalnya sendiri.“Angkat sedikit,” kata Kael pelan, hampir seperti bisikan.Zara yang masih tertegun hanya bisa menurut, mengangkat kakinya denga
Clara membuka mulutnya, mencoba mencari kata untuk membalas, tetapi ekspresi Kael membuatnya ragu. Dia tahu Kael tidak pernah main-main dengan kata-katanya.Keributan itu mulai menarik perhatian lebih banyak tamu. Di tengah suasana tegang, Maharani mendekat dengan langkah tegas. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya memancarkan ketegasan.“Ada apa ini?” tanya Maharani, suaranya terdengar lembut namun cukup jelas untuk didengar semua orang di sekitar.Zara yang masih berdiri di tempat, mencoba mengatur napasnya. Pipinya masih memerah, tetapi dia tetap menjaga ekspresinya tetap tenang. Maharani menoleh ke Zara, matanya penuh perhatian.“Zara, kamu baik-baik saja?” tanya Maharani, nadanya penuh kekhawatiran.Zara mengangguk pelan, meskipun rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada tamparan di pipinya.“Saya baik-baik saja, Bu,” jawab Zara dengan suara yang hampir berbisik.Maharani lalu menoleh ke Clara, ekspresinya berubah dingin. “Clara, seharusnya kamu menjaga sikap, teru
Seseorang di balik tiang tampak ragu untuk bergerak, tetapi desakan dalam suara Kael cukup membuat sosok itu akhirnya menunjukkan dirinya. Langkah pelan terdengar, dan sosok itu akhirnya keluar dari balik bayangan.Siluetnya tampak samar dalam pencahayaan ruangan yang redup, tetapi mereka berdua tidak mengenali siapa orang itu. Sosok tersebut memakai gaun formal, dengan rambut tergerai yang menutupi sebagian wajahnya. Senyum kecil muncul di bibirnya, membuat suasana semakin tegang.Kael menatap sosok itu tajam, tidak mengendurkan aura dingin yang menyelimuti dirinya. “Siapa? Apa urusanmu?” tanya Kael tegas, nada suaranya tajam seperti pisau.Namun, wanita itu tidak menjawab, dia hanya mengangkat bahu santai, lalu berbalik dan berjalan keluar tanpa mengatakan apa pun. Deon memandang Kael dengan alis terangkat, mencoba membaca reaksi sahabatnya.“Lo kenal dia?” tanya Deon pelan.Kael tidak menjawab, tetapi matanya tetap menatap pintu yang baru saja tertutup, seperti sedang menyusun pot
Acara amal berlangsung semakin meriah. Para tamu sibuk menikmati suasana, berbincang hangat, dan sesekali bertepuk tangan untuk pidato-pidato singkat dari keluarga Ashwara maupun tokoh penting lainnya. Di salah satu sudut aula, keluarga Ashwara tengah sibuk menyapa tamu-tamu penting, meninggalkan Kael dan Zara duduk berdua di meja.Zara merasa sedikit canggung. Duduk di meja VIP dengan pakaian formal dan dikelilingi tamu-tamu yang bicara soal bisnis bukanlah hal yang biasa baginya. Namun, meski Kael di sampingnya tidak banyak bicara, kehadiran pria itu memberikan rasa nyaman yang sulit dijelaskan.Ketegangan kecil di antara mereka mendadak buyar saat Deon datang. Dengan langkah santai khasnya, pria itu mendekati meja mereka. Senyuman lebarnya langsung muncul begitu melihat Kael.“Sorry, gue telat,” sapanya sambil menepuk bahu Kael ringan. “Ada urusan mendadak tadi.”Kael hanya berdecak kecil. “Alasan.”Deon terkekeh, lalu menoleh ke Zara dengan senyum ramah. “Hai, Zara.”Zara me
Suasana di meja langsung terasa lebih tegang dari sebelumnya. Zara bisa merasakan hawa berat yang tiba-tiba menyelimuti, membuatnya duduk lebih tegak tanpa sadar.Aryan mengangkat pandangan dengan ekspresi datar, tetapi ada kilatan ketegangan di matanya.“Irwan,” Aryan menyapa dengan suara yang sopan tapi kaku.Pria di depannya adalah Irwan Adinata, pemilik Adinata Group—nama besar yang selama ini menjadi mitra bisnis Ashwara Group. Selain dikenal dengan arogansinya, dia juga ayah dari Clara Adinata, wanita yang menjadi duri dalam kehidupan Zara akhir-akhir ini.Mata Irwan menyapu meja sejenak sebelum berhenti pada Zara. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya, tapi senyum itu tidak mengandung kehangatan.“Oh,” kata Irwan dengan nada meremehkan. “Jadi ini yang merebut calon menantuku?”Zara menegang. Tangannya yang berada di bawah meja mencengkeram gaunnya erat-erat. Tatapan Irwan terasa tajam seperti pisau, membuat Zara ingin menghindar, tapi dia tahu tidak bisa melakukannya.I
Zara melangkah keluar dari mobil dengan hati-hati. Udaranya sedikit dingin malam itu, tapi keanggunan hotel keluarga Ashwara yang menjulang megah seolah mengimbangi suasana. Cahaya lampu kristal dari dalam gedung memantulkan kemewahan yang begitu memikat, membuat Zara merasa kecil di tengah segala kemegahan ini.Kael berjalan di sampingnya dengan postur tegap seperti biasa. Jas hitam yang dikenakannya menonjolkan aura otoritas yang begitu kuat. Namun, saat dia menoleh pada Zara untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja, ada kelembutan di matanya yang tidak biasanya terlihat.“Tenang saja,” kata Kael pelan, suaranya terdengar lebih tenang dari biasanya.Zara mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa gugup.Mereka melangkah masuk ke aula besar yang dipenuhi tamu-tamu penting. Zara memperhatikan para tamu wanita dengan gaun elegan mereka, sementara para pria mengenakan setelan formal yang mewah. Dia merasa sedikit canggung berada di antara mereka, tapi kehadiran Kael di sampingnya
Zara masih berdiri di tempatnya, menatap Kael dengan ekspresi ragu."Apa saya benar-benar harus ikut? Saya takut nanti malah bikin malu," kata Zara pelan, nadanya terdengar khawatir.Kael mendongak dari dokumennya, menatap Zara sejenak dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. "Kamu cuma perlu duduk, temani aku, dan diam saja."Zara masih belum sepenuhnya yakin. "Tapi ... kalau saya salah sikap atau nggak ngerti cara bawa diri di sana, gimana?"Kael menatapnya lebih lama, matanya sedikit melembut. "Kamu cukup jadi diri sendiri. Kalau kamu nggak nyaman, bilang."Kata-kata itu membuat Zara terdiam sejenak. Meski Kael mengatakannya dengan nada datar seperti biasa, ada sesuatu dalam ucapannya yang terasa menenangkan. Terlebih, tatapan Kael kali ini terasa sedikit berbeda, membuat wajahnya terasa mulai memanas.Akhirnya, Zara hanya bisa mengangguk kecil. "Oke. Tapi, ini kayaknya benar-benar bikin saya canggung deh."Kael mengangkat bahu ringan. "Jangan terlalu tegang. Kalau kamu nggak ikut,