Eh, ada yang modus kayaknya nih 😁 Zara beneran salah fokus sama Kael, atau emang Kael sengaja bikin suasana jadi aneh? Kalau kalian jadi Zara, kira-kira bakal respon gimana ya? Tulis pendapat kalian di kolom komentar, siapa tahu ada yang sama paniknya kayak Zara!
Zara membelalakkan mata. ‘Masih saja dia bercanda soal balon?’ batin Zara terkejut. Namun, Kael tetap berjalan santai sambil menggenggam tangan Zara, seolah hal itu adalah bagian dari rutinitas mereka. Namun, saat mereka melewati pintu utama, dia mendekat sedikit dan berbisik, “Biar Ibu nggak curiga.” Jantung Zara kembali berdegup kencang ketika Kael berbisik dengan jarak yang cukup dekat. Dia sedikit menunduk, berharap wajahnya tidak terlalu merah karena rasa gugup yang tiba-tiba menyerangnya. Dalam diam, dia membiarkan Kael menggenggam tangannya hingga mereka sampai di luar rumah. Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Kael akhirnya melepaskan genggamannya. Zara langsung menarik tangannya, mencoba bersikap biasa meskipun pikirannya masih kacau. Dia menatap Kael dengan bingung, hampir ingin protes, tapi Kael lebih dulu berbicara. “Jangan terlalu dipikirin,” katanya datar, membuka pintu mobil tanpa memandang Zara. ‘Gimana nggak kepikiran? Itu pertama kalinya dia nyent
Kael mengemudikan mobilnya dalam keheningan. Permintaan ayahnya tadi masih berputar di kepala—permintaan yang meski diucapkan dengan nada dingin, terasa seperti ultimatum. Pikirannya sejenak melayang pada wajah Zara yang sering kali tenang, tapi selalu bisa menyiratkan emosi yang tidak mudah ditebak. Apa yang akan Zara katakan jika tahu tentang tuntutan Aryan? Kael mendesah panjang. "Bodoh," gumamnya pelan, mengutuk dirinya sendiri karena terus memikirkan apa yang Zara rasakan. Di rumah, Zara duduk di sofa dengan cangkir teh di tangannya. Dia melirik jam dinding beberapa kali, gelisah tanpa alasan yang jelas. Sejak Kael pergi ke kediaman keluarga Ashwara, suasana rumah terasa terlalu sunyi. Biasanya, dia justru menikmati saat-saat tenang seperti ini, tapi malam ini rasanya berbeda. Pintu depan terbuka, dan Zara langsung menoleh. Kael masuk dengan langkah tenang, wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun seperti biasa. “Baru pulang?” tanya Zara pelan. Kael hanya mengangguk
Sontak semua staf merasa terkejut. Jika Kael sudah angkat bicara, bukankah itu artinya mereka memang keterlaluan? Kael menatap Ana sekilas, matanya dingin dan penuh peringatan tanpa perlu satu kata pun diucapkan. Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Kael berjalan keluar. Zara yang masih berdiri di tempat, tidak bisa menahan rasa heran. Kael tidak membelanya dengan argumen panjang atau mengonfrontasi Ana secara langsung, tapi tindakannya cukup untuk menghentikan semua gosip. Setelah suasana kembali tenang, Ana hanya bisa mendengus pelan dan pergi, jelas merasa kalah tanpa pertarungan. Di luar loker, Zara berjalan mendekati Kael yang sedang mengecek sesuatu di ponselnya. Dia ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Chef ... terima kasih.” Kael meliriknya sebentar, lalu menjawab dengan dingin. “Bukan untukmu, tapi untuk restoran.” Namun, saat Zara berbalik untuk pergi, Kael melanjutkan dengan suara lebih pelan, hampir seperti gumaman, “Jangan hiraukan mereka. Mereka tidak tahu
Zara langsung merasa lututnya lemas. Jantungnya berdegup kencang, panik bercampur marah, tetapi dia mencoba menahan ekspresinya tetap netral. “Bos? Siapa yang kamu maksud?” tanya Zara, suaranya bergetar meski dia berusaha tetap terdengar tenang. Ana mengangkat alis, menyeringai puas. “Jangan pura-pura bodoh, Zara. Chef Kael. Apa kamu pikir aku ini buta? Aku memperhatikan kalian. Aku tahu lebih banyak daripada yang kamu kira.” Zara membelalak, tidak percaya bahwa Ana bisa tahu sejauh itu. Pikirannya langsung berputar, mencoba mencari celah. Selama ini, dia merasa sudah sangat berhati-hati, selalu menjaga jarak dari Kael ketika di restoran. Bagaimana Ana bisa tahu? Ana mendekatkan wajahnya, menyeringai dengan nada mengejek. “Wah, Zara, aku nggak menyangka kamu ternyata wanita yang ... hebat,” ucapnya dengan sindiran tajam yang menampar telinga Zara. Dia tertawa pendek, penuh ejekan, sebelum melanjutkan. “Semua orang tahu Chef Kael itu sedingin es. Nggak ada yang bisa m
Zara langsung menoleh, kaget mendengar pernyataan itu. “Jangan,” katanya cepat, suaranya bergetar. “Kalau Ana langsung dipecat, dia pasti makin berpikir semua gosip itu benar.” Kael mengerutkan dahi. “Dia sudah keterlaluan.” “Tapi, dia tahu kita sudah menikah dan saya sedang hamil,” balas Zara, nadanya penuh kekhawatiran. “Gimana kalau dia menyebarkan hal itu ke semua karyawan yang lain? Apa itu nggak akan mencoreng nama baikmu?” Kael tetap tenang, tapi tatapannya sedikit menggelap. “Kalau dia berani menyebarkan apa pun, aku yang akan membereskan.” Zara menelan ludah, mencoba memproses kata-kata Kael yang terdengar begitu pasti. Namun, kekhawatirannya belum hilang sepenuhnya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Atau ... saya saja yang keluar dari restoran?” Kael langsung menatap Zara dengan tajam, hampir menghentikan mobil sejenak. “Jangan harap,” ucapnya, suaranya dingin namun penuh penekanan. “Tapi—” Zara mencoba membalas, tetapi Kael memotongnya. “Kalau
Pagi datang, dan Zara membuka matanya perlahan. Dia menemukan dirinya masih di sofa, dengan selimut tipis yang melapisi tubuhnya. Ketika menoleh ke arah meja, dia tidak menemukan Kael di sana. Namun, ponselnya masih menyala di atas meja, dengan buku yang tergeletak di sampingnya, seolah menjadi bukti bahwa seseorang telah menemani sepanjang malam.Zara menggenggam selimut itu erat. Ada sesuatu yang berubah dalam hatinya, tetapi dia tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya.Akhirnya, Zara hanya bisa menghela napas, kemudian bangkit dan menuju kamar dengan langkah pelan, niat awal untuk mandi dan bersiap-siap berangkat ke restoran. Namun, tubuhnya yang masih lelah karena tidur di sofa semalaman memaksanya menuju tempat tidur."Sebentar saja," gumamnya, tetapi matanya langsung terpejam, dan dalam sekejap, dia terlelap kembali.Ketika Zara akhirnya terbangun, matahari sudah lebih tinggi dari biasanya. Matanya membelalak panik saat melihat jam dinding."Ya Tuhan, aku terlambat!" Dia langsun
Restoran mulai sibuk menjelang makan siang. Para staf terlihat sibuk melayani meja, Rizal sibuk memantau setiap sudut restoran, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, dan Zara dengan cekatan melayani tamu di areanya.Sementara itu, Kael berada di dapur, berdiri di tengah hiruk-pikuk para koki yang sibuk menyiapkan hidangan. Tatapannya tajam, mengawasi setiap detail untuk memastikan tidak ada kesalahan yang luput dari perhatian.Namun, suasana yang semula berjalan lancar berubah ketika salah satu rekan tamu VIP—seorang pria paruh baya dengan setelan mahal mulai bertingkah. Dia memanggil Zara dengan nada yang terlalu ramah, dan senyumannya menyiratkan sesuatu yang membuat Zara tidak nyaman.“Maaf, bisa tolong tambah air?” tanya pria itu sambil menatap Zara dari atas ke bawah, pandangannya seperti menelusuri tubuh Zara dengan terang-terangan.Zara mengambil botol air mineral dengan tangan sedikit gemetar, tetapi dia mencoba tetap profesional. Dia menuangkan air ke gelas pria itu, l
Ana berbalik dengan cepat, dan ekspresi sinis di wajahnya berubah seketika menjadi senyum manis. Dari arah dapur pastry, Varen berjalan menghampiri mereka dengan langkah santai, tetapi sorot matanya penuh peringatan yang ditujukan langsung pada Ana.“Aku nggak ganggu, kok,” jawab Ana cepat, nada suaranya mendadak lebih lembut. “Aku cuma ngobrol sama Zara, nggak salah ‘kan?”Ana membetulkan ikat rambutnya, gerakannya sengaja dibuat berlebihan, seolah mencari perhatian Varen.Zara yang melihat perubahan sikap Ana hanya bisa mendengus pelan. Dia tidak butuh Varen untuk tahu bahwa ‘obrolan biasa’ Ana sebenarnya penuh racun.Varen menatap Ana dengan alis terangkat, tidak terkesan dengan senyum manis palsunya. “Kalau lo cuma ngobrol biasa, oke nggak apa-apa. Tapi, kalau gue lihat lo ganggu Zara lagi, gue nggak akan tinggal diam.”Ana menahan kesal, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum canggung. “Ya, ya, aku ngerti, Ren.”Dia melangkah pergi, bibirnya bersenandung pelan, menc
"Halo, Tante," sapa Varsha hangat, sebelum matanya beralih ke Kael. Bibirnya melengkung lebih lebar, nada suaranya berubah menjadi lebih lembut. "Kael, lama kita nggak ketemu!"Zara menegang tanpa sadar.Senyuman wanita itu sangat berkelas, aura percaya diri mengelilinginya, seolah kehadirannya di tempat ini adalah sesuatu yang sudah biasa.Kael yang biasanya sedikit bicara, justru langsung membalas sapaan itu. Meski ada sedikit kecanggungan di wajahnya, tetapi nada bicaranya tidak sedingin biasa."Kapan datang?" tanya Kael singkat dengan senyum samar yang hampir sulit dilihat di wajahnya.Varsha menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Dia menjawab sambil tersenyum kecil. "Baru tadi pagi. Aku langsung ke sini setelah urus beberapa hal. Aku cuma mampir sebentar, nggak nyangka kamu ada disini juga."Zara diam, mencoba mencerna informasi itu.Kael masih menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak, alisnya sedikit berkerut. "Mampir? Memangnya kamu dari mana?"Varsha terkekeh, tatap
Acara pun berlanjut hingga malam hari. Orang-orang mulai berpamitan, satu per satu meninggalkan tempat acara. Zara melirik layar ponselnya, berharap Kael sudah mengirim kabar. Namun sejak tadi, ponselnya sepi.Akhirnya, dia mengetik pesan.[Kael, di mana? Mau jemput aku jam berapa?]Tidak lama kemudian, balasan masuk.[Aku masih di restoran. Ada masalah sedikit. Kamu ikut ke rumah ibu saja dulu, nanti aku jemput di sana.]Zara menghela napas pelan. Dia tidak tahu masalah apa yang sedang Kael hadapi di restoran, tetapi yang jelas, malam ini dia tidak bisa langsung pulang bersama Kael.Maharani yang duduk di sebelahnya menoleh. “Gimana, Zara? Kael sudah di jalan?”Zara menggeleng. “Sepertinya Kael masih ada urusan di restoran, Bu. Saya ikut Ibu pulang dulu saja.”“Oh, ya sudah. Ayo kita pulang,” ujar Maharani sambil merapikan tasnya.Zara mengikuti langkah Maharani keluar dari restoran, sesekali melirik layar ponselnya. Ada perasaan aneh di dadanya—entah karena Kael, atau karena Clara ta
Di samping Clara, seorang wanita paruh baya juga duduk dengan tenang, membenahi tas mahalnya di pangkuan. Anggun Kartika Adinata—ibu Clara.Zara menelan ludah, dadanya yang semula terasa sesak kini semakin berat.Telapak tangannya sedikit berkeringat. Matanya tetap tertuju pada Clara dan Anggun yang duduk tenang di sudut ruangan, seolah tak terganggu oleh kedatangan Zara.Zara melirik Maharani, seolah mencari penjelasan. Maharani hanya tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Zara dengan lembut, seolah memberi isyarat agar dia tetap tenang."Mereka memang selalu datang," ujar Maharani pelan, suaranya hanya cukup untuk didengar Zara. "Ibu sengaja tidak memberitahumu, takut kamu tidak mau hadir."Zara membelalakkan mata tipis, hatinya mencelos. Jadi, Maharani memang sudah menduga bahwa dia akan merasa tidak nyaman jika tahu Clara ada di sini?Kael yang berdiri di sebelahnya menyadari perubahan ekspresi Zara. Dia melirik ke arah yang sama, lalu mendengus kecil."Kalau kamu nggak nyaman, k
Zara bisa merasakan adanya kecemasan yang tersembunyi dalam suara Kael. Zara tersenyum singkat, mencoba meredakan ketegangan."Tenang aja, Kael. Ini ibu yang telepon," jawab Zara, berusaha menjaga suasana tetap santai meski dia tahu Kael merasa cemburu.Maharani terdengar di ujung telepon, suaranya ceria dan penuh kehangatan. "Zara, nanti akhir pekan bisa nggak kamu anterin Ibu ke acara arisan? Ada beberapa kenalan Ibu yang ingin bertemu kamu. Ibu pikir, sambil sekalian memperkenalkan menantu kesayangan Ibu ini.”Zara sedikit terkejut mendengar permintaan itu. Namun, dia tidak bisa menolak permintaan ibu mertuanya. Meskipun ada rasa cemas, dia tidak ingin mengecewakan Maharani.Zara mengangguk, meskipun Maharani tidak bisa melihatnya."Tentu, Ibu. Saya akan datang," jawab Zara, mencoba terdengar mantap meskipun sedikit bimbang.Setelah telepon selesai, Zara meletakkan ponselnya di meja, dan Kael menatapnya dengan tatapan serius, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut."Ada apa?" tanya
Zara membeku. Matanya terbelalak menatap emoji hati yang bertengger manis di akhir kalimat. Jantungnya langsung berdebar kencang. Kael? Ngirim emoji hati?Tangan Zara buru-buru mengetik balasan.[Kael ... emoji itu maksudnya apa?]Pesannya belum sempat terkirim ketika muncul notifikasi lain.[Tenang aja, sudah aku beresin sama cara aku.]Zara menganga. Pesan dengan emoji itu hilang. Dia mengetuk-ngetuk layar ponselnya, memastikan kalau dia tidak salah lihat.[Kael? Kamu barusan hapus sesuatu, ya?]Kael membalas singkat.[Typo.]Zara menggigit bibirnya, menahan tawa yang hampir lolos.Kael, meskipun dia dingin dan tidak pernah banyak bicara, tetap saja ada momen-momen seperti ini yang membuat hati Zara berdebar dan ingin berbalik menggoda Kael. Namun untuk sekarang, dia memilih menyimpan kebahagiaan kecil ini sendiri, menikmati perasaan hangat yang meluap tanpa perlu mengungkapkannya.Setelah kejadian itu, Zara kembali bekerja dengan perasaan sedikit lebih ringan. Meski masih ada sisa r
Zara menelan ludah lalu terdiam sejenak, memikirkan bagaimana harus menjelaskan situasi ini. Di satu sisi, dia merasa bersalah karena mencoba mengelak dari kenyataan yang sudah jelas, tapi di sisi lain, dia tak bisa membiarkan Andin mengetahui lebih banyak tentang apa yang terjadi dengan Kael."Lo nggak lagi sakit ‘kan, Andin?" Zara akhirnya memecah keheningan dengan pertanyaan yang terdengar seperti pembelaan diri.Andin menoleh dengan tatapan bingung."Nggak kok, kenapa lo tanya gitu sama gue?" jawab Andin, masih dengan nada tidak mengerti.Zara tersenyum canggung, dia sedikit gugup."Iya, itu buktinya lo halusinasi. Masa iya gue turun dari mobil Chef Kael? Gak mungkin, ‘kan? Gue baru turun dari bus, kayaknya Chef Kael juga mau ke restoran, lo ada-ada aja." Zara berusaha menjelaskan, meskipun kata-katanya terdengar sedikit dipaksakan.Andin menatapnya sejenak, seperti mencoba mencerna, lalu tersenyum kecil. "Iya sih, nggak mungkin. Gue salah lihat kayaknya."Zara menghela napas lega,
Zara mematung. Kalimat terakhir dari Kael seperti sebuah air es yang mengguyur sekujur tubuhnya.Di satu sisi, Zara memang tidak bisa membohongi dirinya yang mulai merasakan sesuatu aneh ketika bersama Kael. Di sisi lain, ia takut bahwa ini mungkin akan menjadi awal buruk baginya.Di sela genggaman itu, ibu jari Kael mengusap lembut tangan Zara, menyalurkan rasa aman. “Kamu gak perlu takut.”Zara menatapnya, mencari sesuatu di mata pria itu. Kejujuran? Ketulusan? Atau hanya sesuatu yang terasa nyata, padahal bukan?Dia tidak menemukan kebohongan di sana. Hanya ada Kael, dengan ekspresi datarnya yang khas, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda."Kael ..." suara Zara lirih, tapi tidak tahu harus melanjutkan dengan apa.Kael menarik napas, lalu tersenyum kecil. "Aku mau kita mulai dari awal. Sebagai kita. Bukan karena kesepakatan atau paksaan siapa pun."Zara masih diam.Kael sekarang bertanya-tanya, apakah dia belum cukup untuk meyakinkan Zara? Apakah selama ini tindakannya belum bisa
Setelah berhasil keluar dari pelukan Kael dan selesai mandi, Zara melilitkan handuk di tubuhnya dan kembali ke kamar untuk berpakaian. Suasana kamar terasa berbeda sekarang, meski Kael sudah tidak ada di sana. Dia merasa kosong, canggung, tetapi juga ... ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuat hatinya terasa berat.Saat dia selesai berpakaian, suara Kael terdengar dari bawah."Zara, ke sini sebentar," panggil Kael dengan tegas, tanpa tergesa.Zara merasa detak jantungnya kembali berdebar. Ada perasaan canggung, tetapi dia tahu, apa pun yang Kael ingin bicarakan, ini penting.Dengan langkah pelan, dia keluar dari kamar dan menuruni tangga, menuju ruang tamu tempat suara Kael berasal.Kael duduk di sofa, wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. Ketika Zara muncul, matanya langsung terarah padanya. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar Zara mendekat, lalu sambil menepuk tempat di sampingnya.Zara ragu sejenak, berdiri di tempatnya dengan tangan menggenggam ujung bajunya.
Mereka akhirnya sampai di rumah, Zara setengah terhuyung mengikuti langkah cepat Kael yang tetap memegangnya erat. Begitu masuk, Kael langsung membawanya ke kamar."Kael, aku bisa sendiri!" Zara mencoba membebaskan diri, tetapi Kael tidak mendengarkan. Dengan satu gerakan, dia membukakan pintu kamar dan membawa Zara ke ranjang.Dia memiringkan tubuh Zara, bersiap membaringkannya. Namun, tubuh Zara yang tidak seimbang membuat Kael juga kehilangan kendali. Tanpa sengaja, Kael ikut jatuh ke ranjang.Bruk!Tubuh Kael menimpa Zara, membuat wajah mereka hanya terpisah beberapa inci.Zara yang kini membelalak kaget, tanpa sadar membuat wajahnya memanas. Kael menahan diri dengan kedua tangannya di sisi kepala Zara, mencoba menjaga jarak, tetapi jarak di antara mereka sudah terlalu dekat.Zara mengedipkan mata, napasnya tertahan."Kael ... " bisik Zara pelan, suara itu hampir tak terdengar.Kael tetap diam, tubuhnya masih berada di atas Zara. Napas Kael menyentuh wajah Zara, hangat dan tak ber