Eh ada yang mulai perhatian nih🥰 Guys, kalau jadi Zara, kalian bakal kaget nggak sih Kael tiba-tiba berubah jadi lumayan perhatian kayak gini? Apa ini tanda dia mulai luluh, atau cuma karena dia nggak mau Zara ngerepotin?
Pagi datang, dan Zara membuka matanya perlahan. Dia menemukan dirinya masih di sofa, dengan selimut tipis yang melapisi tubuhnya. Ketika menoleh ke arah meja, dia tidak menemukan Kael di sana. Namun, ponselnya masih menyala di atas meja, dengan buku yang tergeletak di sampingnya, seolah menjadi bukti bahwa seseorang telah menemani sepanjang malam.Zara menggenggam selimut itu erat. Ada sesuatu yang berubah dalam hatinya, tetapi dia tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya.Akhirnya, Zara hanya bisa menghela napas, kemudian bangkit dan menuju kamar dengan langkah pelan, niat awal untuk mandi dan bersiap-siap berangkat ke restoran. Namun, tubuhnya yang masih lelah karena tidur di sofa semalaman memaksanya menuju tempat tidur."Sebentar saja," gumamnya, tetapi matanya langsung terpejam, dan dalam sekejap, dia terlelap kembali.Ketika Zara akhirnya terbangun, matahari sudah lebih tinggi dari biasanya. Matanya membelalak panik saat melihat jam dinding."Ya Tuhan, aku terlambat!" Dia langsun
Restoran mulai sibuk menjelang makan siang. Para staf terlihat sibuk melayani meja, Rizal sibuk memantau setiap sudut restoran, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, dan Zara dengan cekatan melayani tamu di areanya.Sementara itu, Kael berada di dapur, berdiri di tengah hiruk-pikuk para koki yang sibuk menyiapkan hidangan. Tatapannya tajam, mengawasi setiap detail untuk memastikan tidak ada kesalahan yang luput dari perhatian.Namun, suasana yang semula berjalan lancar berubah ketika salah satu rekan tamu VIP—seorang pria paruh baya dengan setelan mahal mulai bertingkah. Dia memanggil Zara dengan nada yang terlalu ramah, dan senyumannya menyiratkan sesuatu yang membuat Zara tidak nyaman.“Maaf, bisa tolong tambah air?” tanya pria itu sambil menatap Zara dari atas ke bawah, pandangannya seperti menelusuri tubuh Zara dengan terang-terangan.Zara mengambil botol air mineral dengan tangan sedikit gemetar, tetapi dia mencoba tetap profesional. Dia menuangkan air ke gelas pria itu, l
Ana berbalik dengan cepat, dan ekspresi sinis di wajahnya berubah seketika menjadi senyum manis. Dari arah dapur pastry, Varen berjalan menghampiri mereka dengan langkah santai, tetapi sorot matanya penuh peringatan yang ditujukan langsung pada Ana.“Aku nggak ganggu, kok,” jawab Ana cepat, nada suaranya mendadak lebih lembut. “Aku cuma ngobrol sama Zara, nggak salah ‘kan?”Ana membetulkan ikat rambutnya, gerakannya sengaja dibuat berlebihan, seolah mencari perhatian Varen.Zara yang melihat perubahan sikap Ana hanya bisa mendengus pelan. Dia tidak butuh Varen untuk tahu bahwa ‘obrolan biasa’ Ana sebenarnya penuh racun.Varen menatap Ana dengan alis terangkat, tidak terkesan dengan senyum manis palsunya. “Kalau lo cuma ngobrol biasa, oke nggak apa-apa. Tapi, kalau gue lihat lo ganggu Zara lagi, gue nggak akan tinggal diam.”Ana menahan kesal, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum canggung. “Ya, ya, aku ngerti, Ren.”Dia melangkah pergi, bibirnya bersenandung pelan, menc
Malam sebelum acara amal di hotel keluarga Ashwara, suasana rumah terasa sibuk. Zara duduk di ruang tamu, menatap deretan gaun hitam elegan yang tergantung di hadapannya. Semua gaun itu didesain dengan mewah, sesuai dress code malam itu yang serba hitam—formal dan glamor.Stylist yang membawa koleksi gaun itu tersenyum ramah, tangannya menunjuk salah satu gaun dengan potongan klasik. “Kalau ini, potongannya sederhana, tapi tetap elegan. Cocok untuk acara formal seperti malam ini.”Zara mengangguk, mengambil gaun tersebut. Bahannya terasa lembut di tangan, dengan kilauan halus yang tidak terlalu mencolok."Oke, saya coba yang ini dulu," kata Zara sebelum melangkah ke kamar untuk mengganti pakaian.Beberapa menit kemudian, Zara keluar dari kamar dengan gaun yang terpasang sempurna di tubuhnya. Namun, belum sempat dia berbicara, Kael yang sedang duduk di sofa langsung mengangkat wajah dari ponsel di tangannya. Matanya menyapu Zara dari ujung kepala hingga kaki, lalu kembali fokus ke bagi
Zara langsung menoleh, matanya membulat karena kaget. Wajahnya sedikit memerah, tidak yakin apakah dia harus tertawa, membalas, atau pura-pura tidak mendengar.Ucapan Kael tadi terasa seperti sesuatu yang keluar tanpa perhitungan, tapi caranya mengatakannya begitu tulus sehingga Zara tidak tahu harus bagaimana.Maharani, di sisi lain, tertegun. Matanya menatap Kael dengan alis yang sedikit terangkat. Putra tunggalnya yang biasa kaku dan nyaris tidak pernah memberikan pujian, kini berbicara dengan nada hangat, dan itu jelas ditujukan kepada Zara.Ketika Zara mulai melangkah masuk ke aula, Kael dengan sigap menaruh tangannya di punggung Zara, memandu langkahnya dengan santai tapi penuh perhatian. Lantai aula yang licin memang cukup berbahaya dengan sepatu hak tinggi yang Zara kenakan, dan Kael tahu itu.“Pelan-pelan,” ucap Kael, suaranya hampir seperti bisikan.Maharani yang berjalan di belakang mereka hanya bisa diam, tapi pikirannya langsung penuh pertanyaan.‘Kael bisa peduli seperti
Zara menoleh pada Kael, hatinya bergetar mendengar pembelaan itu. Meskipun Kael tetap dingin, kata-katanya mengandung perlindungan yang membuat Zara merasa lebih tenang.Irwan mendengus kecil, merasa tersinggung, tetapi sebelum dia sempat membalas, suara keras Hardi tiba-tiba terdengar.“Irwan, hormati cucuku, atau kau bisa pergi dari acara amal ini,” kata Hardi, matanya memandang lurus pada Irwan. “Kau tidak boleh merusak acara keluargaku. Aku tidak peduli seberapa besar nama Adinata Group. Tapi, kalau kau pikir aku akan membiarkan siapa pun menghina keluargaku, apalagi di acara seperti ini, kau salah besar!”Semua orang menoleh pada Hardi yang sebelumnya hanya diam mengamati. Namun kali ini, suaranya menggema di aula, membawa wibawa yang tidak bisa diabaikan.Irwan terlihat terpukul, tetapi dia berusaha menutupinya dengan senyum dingin. “Pak Hardi, aku hanya mengatakan pendapatku. Kalau kalian menganggap ini penghinaan, itu hak kalian. Tapi Aryan, aku rasa hubungan bisnis kita tidak
Deon tertegun, mengikuti arah pandangan Kael.“Apa? Siapa, Kael?” tanya Deon, suaranya terdengar bingung.Kael melangkah maju dengan tenang, tapi setiap gerakannya penuh dengan ketegasan. Dia kembali berbicara, suaranya lebih tajam kali ini, "Keluar. Sekarang!"Seseorang di balik tiang tampak ragu untuk bergerak, tetapi desakan dalam suara Kael cukup membuat sosok itu akhirnya menunjukkan dirinya. Langkah pelan terdengar, dan sosok itu akhirnya keluar dari balik bayangan.Siluetnya tampak samar dalam pencahayaan ruangan yang redup, tetapi mereka berdua tidak mengenali siapa orang itu. Sosok tersebut memakai gaun formal, dengan rambut tergerai yang menutupi sebagian wajahnya. Senyum kecil muncul di bibirnya, membuat suasana semakin tegang.Kael menatap sosok itu tajam, tidak mengendurkan aura dingin yang menyelimuti dirinya. “Siapa? Apa urusanmu?” tanya Kael tegas, nada suaranya tajam seperti pisau.Namun, wanita itu tidak menjawab, dia hanya mengangkat bahu santai, lalu berbalik dan
Clara membuka mulutnya, mencoba mencari kata untuk membalas, tetapi ekspresi Kael membuatnya ragu. Dia tahu Kael tidak pernah main-main dengan kata-katanya.Keributan itu mulai menarik perhatian lebih banyak tamu. Di tengah suasana tegang, Maharani mendekat dengan langkah tegas. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya memancarkan ketegasan.“Ada apa ini?” tanya Maharani, suaranya terdengar lembut namun cukup jelas untuk didengar semua orang di sekitar.Zara yang masih berdiri di tempat, mencoba mengatur napasnya. Pipinya masih memerah, tetapi dia tetap menjaga ekspresinya tetap tenang. Maharani menoleh ke Zara, matanya penuh perhatian.“Zara, kamu baik-baik saja?” tanya Maharani, nadanya penuh kekhawatiran.Zara mengangguk pelan, meskipun rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada tamparan di pipinya.“Saya baik-baik saja, Bu,” jawab Zara dengan suara yang hampir berbisik.Maharani lalu menoleh ke Clara, ekspresinya berubah dingin. “Clara, seharusnya kamu menjaga sikap, teru
Pernikahan Andin dan Varen diadakan di sebuah ballroom hotel, yang juga menjadi tempat Zara menginap malam ini. Ballroom itu didekorasi dengan nuansa pastel yang lembut dan romantis, selaras dengan gaun pengantin yang dikenakan Andin—warna pink pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di bagian lengan. Sementara Varen tampak gagah dalam setelan jas berwarna putih.Sahabatnya itu sangat cantik hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang hangat. Saat melihat Zara datang, Andin segera melambaikan tangan, wajahnya sumringah seolah sudah tak sabar menunggu. Di sampingnya, Varen juga tersenyum ke arah Zara, ramah seperti biasanya.Jujur saja, terasa aneh melihat mereka berdiri berdampingan seperti ini. Ada sedikit ruang kosong di dada Zara saat mengingat bahwa dulu, Varen adalah pria yang pernah menyukainya.“Zara, gue kira lo nggak akan datang,” ucap Andin begitu Zara sudah berada di dekat mereka.Memang, awalnya Zara ragu untuk datang. Anjana sempat memintanya membatalkan kehadiran dengan al
“Zara, nanti kamu selama di sana ditemani bodyguard saja ya?” ucap Anjana sembari menuangkan teh ke dalam cangkir di hadapannya.Pagi itu, aroma roti panggang dan scrambled egg menguar dari dapur. Namun, meja makan keluarga Wijaya tidak sehangat biasanya. Ada kecanggungan yang menggantung di udara, sejak pembicaraan soal kepergian Zara ke luar kota.Hari ini, Zara akan menghadiri pesta pernikahan Andin dan Varen—dua sahabatnya yang telah lama menantikan hari bahagia itu. Namun, karena pestanya diadakan di luar kota, Gala menyarankan Zara untuk tidak terlalu memaksakan diri. Dia harus menginap semalam agar tubuhnya tak kelelahan, terutama pasca keguguran.Namun, permintaan Anjana terasa berlebihan. Ditemani bodyguard hanya untuk menghadiri pesta?Zara mendongak dari piringnya. Telur setengah matang di garpunya sudah dingin.“Ma, tapi saya cuma nginep satu malam aja. Nggak perlu sampai pakai bodyguard segala,” tolak Zara, berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya terasa sesak. Ini buka
“Chef, tastenya sudah pas?” Suara salah satu sous chef membuyarkan lamunan Kael.Pria itu mengangguk pelan. “Sudah,” jawabnya singkat.Kini Kael berdiri di dapur The Velvet Spoon—tempat yang sudah cukup lama tidak dia kunjungi. Setelah urusan di Ashwara Group sedikit lebih stabil sejak pengangkatannya sebagai presiden direktur, Kael akhirnya memutuskan kembali ke restorannya. Bukan untuk inspeksi atau evaluasi besar-besaran, tapi sekadar menenggelamkan diri dalam kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya.Sudah seminggu sejak Zara pergi dari rumah. Dan sejak itu, Kael belum bisa sepenuhnya tenang.Kael hanya butuh mengalihkan pikirannya. Mencari pelarian. Mencegah dirinya terlalu larut memikirkan satu hal yang akhir-akhir ini selalu membuat dadanya sesak, yaitu perpisahannya dengan Zara.Tangan pria itu tetap bergerak, mengarahkan tim, mencicipi, memberi instruksi. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.Sesekali, matanya tertuju pada kaca yang menghadap ke area servis. Dari
“Apa kamu bilang?! Dokter Gala … ayah dari Zelena?!” bentak Anjana, begitu Ceva akhirnya jujur tentang siapa ayah kandung anaknya. Matanya membelalak, suaranya tajam dan bergetar menahan marah.“Iya, Ma …” Ceva menunduk, suaranya lirih. “Gala ayahnya.”Tubuh Ceva gemetar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun, tetap saja, saat berhadapan langsung dengan amarah ibunya, semuanya terasa jauh lebih berat dari yang dia bayangkan.Wajar jika Anjana semarah ini. Selama bertahun-tahun, Ceva menyimpan kebenaran itu sendiri. Bagi orang lain, ini mungkin hanya kisah cinta yang kandas. Namun, bagi Anjana yang menjaga nama keluarga seperti menjaga napasnya sendiri, ini adalah aib yang tak termaafkan.Anjana menatap putrinya dengan sorot tajam. “Kenapa kamu tidak bilang dari dulu?! Kamu anggap Mama ini apa?!”Ceva tak sanggup menjawab. Dia hanya diam, berharap ibunya berhenti bicara, walau tahu itu mustahil.Dulu, Ceva sempat magang di rumah sakit tempat Gala bekerja. Di sanalah semuanya dimulai. Hubunga
Gadis kecil yang selalu tersenyum hangat padanya ... adalah anak Gala?Mantan kekasihnya?Ini gila.Seketika, perut Zara terasa mual. Entah karena syok, kaget, atau karena tubuhnya yang sedang hamil memang tak kuat menampung kenyataan sebanyak ini di pagi hari. Dia mundur selangkah, berniat meninggalkan tempat itu diam-diam.Prang!Sebuah suara nyaring pecah di udara. Vas bunga di atas meja kecil dekat tirai jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.Zara mematung. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.‘Gawat. Aku ketahuan,’ batin Zara panik.Dari taman, Gala langsung menoleh cepat. Begitu pula Ceva. Wajah keduanya berubah—kaget, panik, dan bingung dalam waktu bersamaan.“Zara?” Suara Gala terdengar pelan, nyaris tak percaya.Zara hanya berdiri kaku, masih terperangkap antara ingin berlari atau berpura-pura tidak mendengar apa pun. Namun, semuanya sudah terlambat. Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.Ceva bangkit dari bangku, langkahny
Zara tersenyum kecil saat membaca pesan dari Andin.Ah, benar juga. Andin akan menikah minggu depan. Karena semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, Zara sampai lupa akan undangan pernikahan sahabatnya itu.Andin dan Varen.Sebuah pasangan yang tak pernah dia bayangkan akan bersama. Andin adalah sahabatnya, teman baiknya sejak awal kuliah.Sedangkan Varen ... pria yang pernah menyatakan cinta padanya. Pria yang sempat membuat hatinya goyah, tapi tidak cukup kuat untuk menggantikan Kael.Dan sekarang? Varen akan menikahi sahabatnya sendiri.Sungguh kebetulan yang aneh. Namun, hidup memang tidak pernah kehabisan kejutan, ‘kan?Zara menghela napas, lalu mengetik balasan.[Gue udah sehat kok. Gue pasti usahain dateng ke nikahan lo.]Jari-jarinya berhenti di atas layar. Pandangannya terpaku pada pesan itu. Resepsi Andin akan digelar di luar kota, dan itu artinya dia harus menginap. Mengingat kondisi kehamilannya sekarang, dan sikap Anjana yang makin protektif, kecil kemungkinan ibunya a
“Kael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?” tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.“Belum, Kak,” ucap Zara pelan. “Sempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.”Zara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjagan
“Zara, ayo sarapannya dimakan,” suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasan—semuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman … walau tak benar-benar merasa diterima.“Kalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,” ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.“Maksud kamu …?” tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. “Mama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.”Kael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.“Kamu setuju?” tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.“Zara,” suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.“Aku nggak mau, Mas … Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?” lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarah—y