Clara nyerang Zara di depan tamu, bilang dia pelakor! Tapi Kael langsung pasang badan buat Zara. Kalau kalian jadi Zara, masih bisa tahan nggak? #TeamZara
Clara membuka mulutnya, mencoba mencari kata untuk membalas, tetapi ekspresi Kael membuatnya ragu. Dia tahu Kael tidak pernah main-main dengan kata-katanya.Keributan itu mulai menarik perhatian lebih banyak tamu. Di tengah suasana tegang, Maharani mendekat dengan langkah tegas. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya memancarkan ketegasan.“Ada apa ini?” tanya Maharani, suaranya terdengar lembut namun cukup jelas untuk didengar semua orang di sekitar.Zara yang masih berdiri di tempat, mencoba mengatur napasnya. Pipinya masih memerah, tetapi dia tetap menjaga ekspresinya tetap tenang. Maharani menoleh ke Zara, matanya penuh perhatian.“Zara, kamu baik-baik saja?” tanya Maharani, nadanya penuh kekhawatiran.Zara mengangguk pelan, meskipun rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada tamparan di pipinya.“Saya baik-baik saja, Bu,” jawab Zara dengan suara yang hampir berbisik.Maharani lalu menoleh ke Clara, ekspresinya berubah dingin. “Clara, seharusnya kamu menjaga sikap, teru
Kael tidak menjawab langsung. Dia hanya menatap Zara sebentar, matanya menyapu wajah wanita itu yang terlihat lelah dan masih menyisakan bekas kesedihan. Suaranya terdengar pelan namun tegas, “Kaki kamu lecet.”Zara tertegun. Kata-kata itu seperti kehangatan yang menyusup pelan ke dalam pikirannya.Bagaimana Kael bisa tahu? Apakah selama ini pria itu memperhatikannya?Dengan gugup, dia menjawab, “Saya baik-baik aja.”Kael tetap pada pendiriannya. Tanpa banyak bicara, tangannya mulai melepas sepatu Zara dengan hati-hati. Matanya fokus pada tumit Zara yang memerah, dengan luka kecil yang tampak mulai mengering.“Gak mau menurut?” tanya Kael tegas, meskipun ada kelembutan yang terasa dalam nada suaranya. Dia tidak membiarkan Zara berargumen, melanjutkan tindakannya tanpa ragu.Zara menunduk, menatap Kael yang kini dengan santai melepas sepatu formalnya sendiri.“Angkat sedikit,” kata Kael pelan, hampir seperti bisikan.Zara yang masih tertegun hanya bisa menurut, mengangkat kakinya denga
Pagi itu, Zara turun dari kamar dengan langkah santai. Udara pagi di rumah terasa hangat, dan harum masakan langsung menyambutnya begitu dia sampai di lantai bawah. Dia mengerutkan dahi, merasa ada yang tidak biasa.Biasanya, asisten rumah tangga sudah sibuk menyiapkan sarapan, tetapi pagi ini yang dia lihat adalah punggung tegap Kael di depan dapur. Pria itu mengenakan kaus sederhana dan celana santai, apron hitam terikat di pinggangnya. Pemandangan ini benar-benar tidak biasa.“Kael?” Zara memanggil dengan nada ragu. “Asisten rumah mana?”Kael menoleh sebentar dengan ekspresi datar, seperti biasa.“Pulang kampung,” jawabnya santai sambil kembali fokus mengaduk sesuatu di wajan.Zara berdiri terpaku beberapa saat sebelum berkata, “Kenapa nggak bangunin aku aja? Jadi aku bisa bantu-bantu.”Kael mengangkat bahu, gerakannya ringan. “Nggak perlu. Aku bisa sendiri.”Zara berjalan mendekat, duduk di salah satu kursi meja makan sambil mengamati Kael yang tetap sibuk memasak.“Kalau gitu, na
“Kael …” ucap Zara lirih.Dari seberang, Sarah merasa cukup terkejut, dia terdengar terdiam beberapa detik. Dia jelas tahu bahwa itu adalah suara Kael. Awalnya, dia pikir Kael tidak ada di dekat Zara, tetapi ternyata dia salah.Sarah sedikit gugup, berharap Kael tidak mendengar semua percakapannya dengan jelas. “Oh, Kael! Wah, Tante tidak tahu kalau kamu ada di dekat Zara. Tante hanya ingin bicara sedikit dengan Zara soal ...”“Uang?” potong Kael dengan acuh. Dia tersenyum sinis, senyuman yang tidak memiliki kehangatan sedikit pun. Sarah terdiam lagi, tetapi kali ini dia terdengar sedikit gugup. “Bukan, bukan seperti itu. Maksud Tante ….”Kael menghela napas pelan, dan kembali memotong ucapan Sarah dengan nada suara yang tetap tajam. “Zara sudah bilang dia tidak bisa membantu. Jangan memaksanya!”“Tapi Kael, ini hanya sekali saja—”“Jangan telepon lagi,” potong Kael tegas, suaranya dingin tetapi jelas. Tanpa menunggu respons dari Sarah di ujung telepon, Kael menutup panggilan denga
“Zara harus keluar dari rumah ini, Mas.” Kalimat yang keluar dari mulut sang tante, Sarah, membuat Zara mematung. Niat hanya ingin mengambil air dari dapur, Zara malah tanpa sengaja mendengar pembicaraan om dan tantenya di dalam kamar tentang dirinya! “Apa maksud kamu, Sarah?” Om Zara, Riki, berucap dengan suara tertahan, seakan tak percaya dengan ucapan istrinya. “Semenjak ada Zara, keuangan kita jadi membengkak. Zio sebentar lagi akan masuk sekolah dasar, dan biayanya gak sedikit. Kalau Zara masih di sini, untuk makan aja kita bisa kesusahan, Mas!” keluh Sarah dengan suara lirih, tetapi masih bisa terdengar jelas di telinga Zara. “Tapi, Zara gak punya siapa-siapa, keluarganya cuma aku. Lagian, dia juga ‘kan kasih uang ke kita, masa tidak cukup?” jawab Riki. “Mas, 3 juta cukup buat apa?! Paling-paling itu cuma nutup biaya makan dia selama sebulan! Terus listrik, air, dan segala hal lain yang dia pakai gimana? Siapa yang tanggung kalau bukan kita?” balas Sarah dengan frustra
Kael Ashwara, putra tunggal sekaligus calon pewaris keluarga Ashwara yang ternama. Dia adalah sosok dingin dan penuh wibawa, yang memiliki prestasi luar biasa. Di usianya yang masih terbilang muda, 29 tahun, Kael telah diakui sebagai chef genius internasional dengan kemampuan luar biasa! Bahkan, setiap restoran yang dia miliki diberikan paling tidak dua bintang Michelin! Dan sekarang, pria luar biasa semacam itu … sedang mengakui Zara sebagai kekasih yang akan dia nikahi?! Kebohongan macam apa ini!? “C-Chef–” Baru ingin meminta penjelasan, ucapan Zara terhenti ketika melihat tatapan tajam dari Kael. Tanpa perlu bicara, Zara tahu pria tersebut sedang memperingatinya untuk bungkam! Di sisi lain, Clara seperti menggila. Dia membuka matanya lebar-lebar dan menatap Zara dengan penuh amarah, lalu beralih kepada Kael. “Gak mungkin! Jangan bohong, Kael” seru Clara dengan suara tinggi. “Aku tahu dia itu cuma pelayan di restoranmu. Mana mungkin kamu menolak aku hanya karena pelay
Ucapan Kael begitu tenang dan tatapan matanya juga terlihat datar seolah apa yang tadi dia katakan bukan suatu hal yang besar. Berbanding terbalik dengan Zara yang membelalakkan matanya, mulutnya terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Dia benar-benar tidak bisa mencerna semua ini dengan baik, semua terlalu mendadak. Bahkan, Clara pun tampak terperanga, tapi sorot matanya makin tajam dan penuh kebencian. Maharani juga tampak terkejut, benar-benar tidak menduga putra tunggalnya akan mengatakan hal seperti itu. Sebelumnya, dia memang selalu mendukung keputusan Kael, bahkan tentang Kael yang tidak ingin dijodohkan dengan Clara, putri keluarga Adinata. Namun, dia sama sekali tidak menyangka kalau putranya akan berbuat sejauh ini. Setelah menatap Kael dengan cukup dalam, bergulat dengan perasaan terkejut dan tanda tanya besar, Maharani berbalik menatap Zara. “Apa itu benar, Nak?” Mendengar pertanyaan itu, Zara diserang kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan.
Audi A6 milik Kael berhenti tepat di depan pintu utama pusat perbelanjaan. Begitu Kael dan Zara keluar, para penjaga keamanan dan beberapa resepsionis pusat perbelanjaan itu menunduk kepada mereka penuh hormat. Seorang pria langsung mengambil alih untuk memarkirkan mobil Kael. Melihat ini semua, pikiran Zara kembali berputar keras. Kenapa mereka semua menunduk penuh hormat kepada Kael dan dirinya? Mereka hanya dua orang biasa–bukan, Zara hanya orang biasa yang ingin membeli cincin pernikahan bersama dengan Kael, atasannya yang memang berasal dari keluarga ternama, tetapi tetap saja Kael bukan seorang presiden atau bahkan pemilik pusat perbelanjaan ini. “Selamat datang, Tuan Muda. Mari saya antar,” kata seorang resepsionis wanita yang penuh dengan rasa hormat. Sebentar … Tuan Muda? Zara mengernyitkan dahinya, merasa semakin heran dengan panggilan itu. Mengapa Kael dipanggil Tuan Muda? Kael hanya mengangguk pelan dan berjalan mengikuti resepsionis wanita itu, dan Zara tentu s
“Kael …” ucap Zara lirih.Dari seberang, Sarah merasa cukup terkejut, dia terdengar terdiam beberapa detik. Dia jelas tahu bahwa itu adalah suara Kael. Awalnya, dia pikir Kael tidak ada di dekat Zara, tetapi ternyata dia salah.Sarah sedikit gugup, berharap Kael tidak mendengar semua percakapannya dengan jelas. “Oh, Kael! Wah, Tante tidak tahu kalau kamu ada di dekat Zara. Tante hanya ingin bicara sedikit dengan Zara soal ...”“Uang?” potong Kael dengan acuh. Dia tersenyum sinis, senyuman yang tidak memiliki kehangatan sedikit pun. Sarah terdiam lagi, tetapi kali ini dia terdengar sedikit gugup. “Bukan, bukan seperti itu. Maksud Tante ….”Kael menghela napas pelan, dan kembali memotong ucapan Sarah dengan nada suara yang tetap tajam. “Zara sudah bilang dia tidak bisa membantu. Jangan memaksanya!”“Tapi Kael, ini hanya sekali saja—”“Jangan telepon lagi,” potong Kael tegas, suaranya dingin tetapi jelas. Tanpa menunggu respons dari Sarah di ujung telepon, Kael menutup panggilan denga
Pagi itu, Zara turun dari kamar dengan langkah santai. Udara pagi di rumah terasa hangat, dan harum masakan langsung menyambutnya begitu dia sampai di lantai bawah. Dia mengerutkan dahi, merasa ada yang tidak biasa.Biasanya, asisten rumah tangga sudah sibuk menyiapkan sarapan, tetapi pagi ini yang dia lihat adalah punggung tegap Kael di depan dapur. Pria itu mengenakan kaus sederhana dan celana santai, apron hitam terikat di pinggangnya. Pemandangan ini benar-benar tidak biasa.“Kael?” Zara memanggil dengan nada ragu. “Asisten rumah mana?”Kael menoleh sebentar dengan ekspresi datar, seperti biasa.“Pulang kampung,” jawabnya santai sambil kembali fokus mengaduk sesuatu di wajan.Zara berdiri terpaku beberapa saat sebelum berkata, “Kenapa nggak bangunin aku aja? Jadi aku bisa bantu-bantu.”Kael mengangkat bahu, gerakannya ringan. “Nggak perlu. Aku bisa sendiri.”Zara berjalan mendekat, duduk di salah satu kursi meja makan sambil mengamati Kael yang tetap sibuk memasak.“Kalau gitu, na
Kael tidak menjawab langsung. Dia hanya menatap Zara sebentar, matanya menyapu wajah wanita itu yang terlihat lelah dan masih menyisakan bekas kesedihan. Suaranya terdengar pelan namun tegas, “Kaki kamu lecet.”Zara tertegun. Kata-kata itu seperti kehangatan yang menyusup pelan ke dalam pikirannya.Bagaimana Kael bisa tahu? Apakah selama ini pria itu memperhatikannya?Dengan gugup, dia menjawab, “Saya baik-baik aja.”Kael tetap pada pendiriannya. Tanpa banyak bicara, tangannya mulai melepas sepatu Zara dengan hati-hati. Matanya fokus pada tumit Zara yang memerah, dengan luka kecil yang tampak mulai mengering.“Gak mau menurut?” tanya Kael tegas, meskipun ada kelembutan yang terasa dalam nada suaranya. Dia tidak membiarkan Zara berargumen, melanjutkan tindakannya tanpa ragu.Zara menunduk, menatap Kael yang kini dengan santai melepas sepatu formalnya sendiri.“Angkat sedikit,” kata Kael pelan, hampir seperti bisikan.Zara yang masih tertegun hanya bisa menurut, mengangkat kakinya denga
Clara membuka mulutnya, mencoba mencari kata untuk membalas, tetapi ekspresi Kael membuatnya ragu. Dia tahu Kael tidak pernah main-main dengan kata-katanya.Keributan itu mulai menarik perhatian lebih banyak tamu. Di tengah suasana tegang, Maharani mendekat dengan langkah tegas. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya memancarkan ketegasan.“Ada apa ini?” tanya Maharani, suaranya terdengar lembut namun cukup jelas untuk didengar semua orang di sekitar.Zara yang masih berdiri di tempat, mencoba mengatur napasnya. Pipinya masih memerah, tetapi dia tetap menjaga ekspresinya tetap tenang. Maharani menoleh ke Zara, matanya penuh perhatian.“Zara, kamu baik-baik saja?” tanya Maharani, nadanya penuh kekhawatiran.Zara mengangguk pelan, meskipun rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada tamparan di pipinya.“Saya baik-baik saja, Bu,” jawab Zara dengan suara yang hampir berbisik.Maharani lalu menoleh ke Clara, ekspresinya berubah dingin. “Clara, seharusnya kamu menjaga sikap, teru
Seseorang di balik tiang tampak ragu untuk bergerak, tetapi desakan dalam suara Kael cukup membuat sosok itu akhirnya menunjukkan dirinya. Langkah pelan terdengar, dan sosok itu akhirnya keluar dari balik bayangan.Siluetnya tampak samar dalam pencahayaan ruangan yang redup, tetapi mereka berdua tidak mengenali siapa orang itu. Sosok tersebut memakai gaun formal, dengan rambut tergerai yang menutupi sebagian wajahnya. Senyum kecil muncul di bibirnya, membuat suasana semakin tegang.Kael menatap sosok itu tajam, tidak mengendurkan aura dingin yang menyelimuti dirinya. “Siapa? Apa urusanmu?” tanya Kael tegas, nada suaranya tajam seperti pisau.Namun, wanita itu tidak menjawab, dia hanya mengangkat bahu santai, lalu berbalik dan berjalan keluar tanpa mengatakan apa pun. Deon memandang Kael dengan alis terangkat, mencoba membaca reaksi sahabatnya.“Lo kenal dia?” tanya Deon pelan.Kael tidak menjawab, tetapi matanya tetap menatap pintu yang baru saja tertutup, seperti sedang menyusun pot
Acara amal berlangsung semakin meriah. Para tamu sibuk menikmati suasana, berbincang hangat, dan sesekali bertepuk tangan untuk pidato-pidato singkat dari keluarga Ashwara maupun tokoh penting lainnya. Di salah satu sudut aula, keluarga Ashwara tengah sibuk menyapa tamu-tamu penting, meninggalkan Kael dan Zara duduk berdua di meja.Zara merasa sedikit canggung. Duduk di meja VIP dengan pakaian formal dan dikelilingi tamu-tamu yang bicara soal bisnis bukanlah hal yang biasa baginya. Namun, meski Kael di sampingnya tidak banyak bicara, kehadiran pria itu memberikan rasa nyaman yang sulit dijelaskan.Ketegangan kecil di antara mereka mendadak buyar saat Deon datang. Dengan langkah santai khasnya, pria itu mendekati meja mereka. Senyuman lebarnya langsung muncul begitu melihat Kael.“Sorry, gue telat,” sapanya sambil menepuk bahu Kael ringan. “Ada urusan mendadak tadi.”Kael hanya berdecak kecil. “Alasan.”Deon terkekeh, lalu menoleh ke Zara dengan senyum ramah. “Hai, Zara.”Zara me
Suasana di meja langsung terasa lebih tegang dari sebelumnya. Zara bisa merasakan hawa berat yang tiba-tiba menyelimuti, membuatnya duduk lebih tegak tanpa sadar.Aryan mengangkat pandangan dengan ekspresi datar, tetapi ada kilatan ketegangan di matanya.“Irwan,” Aryan menyapa dengan suara yang sopan tapi kaku.Pria di depannya adalah Irwan Adinata, pemilik Adinata Group—nama besar yang selama ini menjadi mitra bisnis Ashwara Group. Selain dikenal dengan arogansinya, dia juga ayah dari Clara Adinata, wanita yang menjadi duri dalam kehidupan Zara akhir-akhir ini.Mata Irwan menyapu meja sejenak sebelum berhenti pada Zara. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya, tapi senyum itu tidak mengandung kehangatan.“Oh,” kata Irwan dengan nada meremehkan. “Jadi ini yang merebut calon menantuku?”Zara menegang. Tangannya yang berada di bawah meja mencengkeram gaunnya erat-erat. Tatapan Irwan terasa tajam seperti pisau, membuat Zara ingin menghindar, tapi dia tahu tidak bisa melakukannya.I
Zara melangkah keluar dari mobil dengan hati-hati. Udaranya sedikit dingin malam itu, tapi keanggunan hotel keluarga Ashwara yang menjulang megah seolah mengimbangi suasana. Cahaya lampu kristal dari dalam gedung memantulkan kemewahan yang begitu memikat, membuat Zara merasa kecil di tengah segala kemegahan ini.Kael berjalan di sampingnya dengan postur tegap seperti biasa. Jas hitam yang dikenakannya menonjolkan aura otoritas yang begitu kuat. Namun, saat dia menoleh pada Zara untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja, ada kelembutan di matanya yang tidak biasanya terlihat.“Tenang saja,” kata Kael pelan, suaranya terdengar lebih tenang dari biasanya.Zara mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa gugup.Mereka melangkah masuk ke aula besar yang dipenuhi tamu-tamu penting. Zara memperhatikan para tamu wanita dengan gaun elegan mereka, sementara para pria mengenakan setelan formal yang mewah. Dia merasa sedikit canggung berada di antara mereka, tapi kehadiran Kael di sampingnya
Zara masih berdiri di tempatnya, menatap Kael dengan ekspresi ragu."Apa saya benar-benar harus ikut? Saya takut nanti malah bikin malu," kata Zara pelan, nadanya terdengar khawatir.Kael mendongak dari dokumennya, menatap Zara sejenak dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. "Kamu cuma perlu duduk, temani aku, dan diam saja."Zara masih belum sepenuhnya yakin. "Tapi ... kalau saya salah sikap atau nggak ngerti cara bawa diri di sana, gimana?"Kael menatapnya lebih lama, matanya sedikit melembut. "Kamu cukup jadi diri sendiri. Kalau kamu nggak nyaman, bilang."Kata-kata itu membuat Zara terdiam sejenak. Meski Kael mengatakannya dengan nada datar seperti biasa, ada sesuatu dalam ucapannya yang terasa menenangkan. Terlebih, tatapan Kael kali ini terasa sedikit berbeda, membuat wajahnya terasa mulai memanas.Akhirnya, Zara hanya bisa mengangguk kecil. "Oke. Tapi, ini kayaknya benar-benar bikin saya canggung deh."Kael mengangkat bahu ringan. "Jangan terlalu tegang. Kalau kamu nggak ikut,