Kenapa jawaban dari pertanyaan ini sangat penting untukku?Saat Tama menatapku sendu aku langsung tahu makna dari tatapannya itu. Dia tidak ada niatan untuk menjawab ... dan itu membuatku semakin bertambah emosi meski aku sudah memperkirakan hal ini sebelumnya. Jika aku tetap memaksakan diri untuk berpikir keras, hantaman dahsyat yang sangat menyakitkan itu pasti akan datang lagi.Aku tersentak tanpa sadar.Tama menyadari hal itu. Dia langsung menggenggam tanganku lembut, "Kamu pasti capek-"Aku mendorong tangannya, "Aku lagi tanya soal pernikahan kita," kataku tegas.Wajahnya menggelap saat itu juga, tapi aku sudah terlanjur memulai apa yang harus dibahas, dan aku juga harus menyelesaikannya, "Hubungan apa yang kita jalani? Apa kita benar-benar berjuang untuk hubungan ini? Apa aku pernah cinta sama kamu?" ucapku nanar sebelum melanjutkan, "aku kan udah pernah bilang kalau aku punya banyak pertanyaan dan kamu bilang bakal jawab kalau sudah waktunya. Kapan waktunya? Kalau bukan sekaran
Ternyata yang aku dapat hanya keterdiaman dari Tama. Dia menghela nafas kasar, "Kamu harus istirahat," ujarnya, "kita bisa bahas ini lain kali. Aku bakal panggil perawat buat periksa kamu." Tapi jika cerita soal hal ini ditunda, aku pasti bakal lupa. Dan hal ini akan terkubur. Bagaimana jika aku berubah pikiran suatu saat nanti? Kalau aku lupa mungkin ini bakal terus terkubur. Dia membantuku untuk tidur kembali seraya menyamankan posisiku dan membenarkan selimutku juga. Aku menahan tangannya dan membuat dia menoleh padaku. "Amnesia Disosiatif," kataku, "penyebabnya bukan karena kecelakaan. Lebih kompleks karena amnesia ini dipicu oleh masalah psikologis, seperti trauma atau depresi." Kalimatku berhasil membuatnya berhenti dan kembali duduk di sampingku, "Trauma? Depresi? Lisa bilang gitu?" Aku mengangguk, "Sebenarnya aku juga kurang tahu aoa penyebabnya karena aku amnesia, tapi Lisa bilang mental healthku sedikit terganggu, karena menurut pengamatan dia dari cerita yang aku cerita
Aku menyaksikan air laut yang merendam kakiku. Sesekali aku menggerakan jemariku, aku yidak bisa menahan senyum senangku sekarang. Kemarin padahal aku masih berada di dalam ruangan di salah satu rumah sakit besar dan masih dalam kondisi terguncang parah karena hampir saja kehilangan bayi dalam kandunganku. Dan tadi pagi, Tama berinisiatif membawaku keluar dan menyupiriku sendiri untuk datang ke tempat ini. Hanya kami berdua dengan jarak perjalanan yang lumayan memakan waktu. Tiga jam perjalanan. Aku tidak tahu kemana tujuan kami karena mobil terus melaju ke daerah terpencil dan sepi yang sangat jarang dilalui orang. Dan masih mencoba menerka saat perjalanan berlanjut keluar dari jalanan utama dan masuk ke jalan sempit yang dipenuhi pohon-pohon pinus di sekelilingnya. Menurutku itu sangat mengerikan apalagi hanya ada mobil kami di dalam sana. Bagaimana jika ada orang jahat yang sudah menunggu kami di dalam? Perjalanan kembali berlanjut. Kali ini sepertinya kami sudah sampai ke tempat
Menurutku alasan yang membuat Tama membawaku pergi hingga ke tempat ini merupakan jawaban dari pertanyaanku semalam. Aku ingin bebas meskipun sejenak.Tetapi ... Setelah tadi mendengar soal rumah, aku langsung teringat saat-saat aku datang pertama kalinya ke penthouse. Ketika itu aku bingung dan tidak familiar dengan tempat ini. Ada rasa frustasi yang bercongkol dan aku merasa kenapa tempat ini tidak terasa seperti ... rumah. Dan ternyata tempat itu bukan tempat tinggal utama kami."Loe kelihatan lebih baik sekarang," ujar Lyan sambil tersenyum lembut."Benaran?" Tama langsung bangkit dari posisi menyendernya dan melangkah mendekat ke arahku, "menurut loe juga gitu?"Melihat Tama yang ikut masuk dalam percakapan kami membuat Lyan tergagap, "Dia udah nggak kelihatan pucat kayak kemarin ... "Tama menatapku intens sesaat dan mengangguk sambil tersenyum, "Gue kira cuma gue yang sadar soal itu."Dan soal rumah yang dibicarakan Lisa tadi. Rumah yang bagaimana?Aku merasakan ada sesuatu ya
Aku menyaksikan pertarungan serius antara Damar dan Tama di sisi lain kolam, tapi ditengah keasyikan itu kami terintrupsi dengan deringan hanphone milik Tama. Dia mengeluarkannya dari saku kemudian mematikannya dan belum sempat benda itu tersimpan dia kembali berdering kembali."Kalau penting angkat aja dulu," kataku, meski enggan dia tetap melakukannya.Tama sudah menjawab panggilan itu. Aku mendengar dia menjawab semua pertanyaan yang diajukan pihak seberang sambil melangkah menjauh, meski hanya berhalangan kaca tapi mataku tetap awas memperhatikannya."Dia bahkan masih sibuk di saat liburan," ujar Lyan.Damar meringis sebelum melanjutkan, "Karena ini bukan waktu yang tepat buat dia ambil cuti." Dia memberiku tatapan sinis seolah-olah ingin mengatakan sesuatu."Damar," panggilnya. Dan sepuluh menit kemudian kedua pria itu sudah asyik berbincang."Dari pengalaman gue sebagai teman mereka, gue yakin obrolan mereka bakal panjang dan wasting time." Lisa memberitahu kami sambil menyesap
Saat hujan mulai turun, kami terpaksa kembali ke dalam villa. Kami berlima akhirnya memutuskan untuk beristirahat lebih awal di kamar kami untuk sementara waktu dan menunggu gerimis itu berhenti.Tapi apa yang bisa diharapkan dari gerimis yang bercampur angin ditambah awan gelap yang menaungi langit? Karena beberapa menit kemudian hujan berubah deras tak terkendali.Angin menderu-deru menghantam dinding kaca seolah-olah melampiaskan amarah. Dari dalam sini kami bisa melihat badai yang terjadi di luar sana. Pantai yang sebelumnya terlihat indah berubah menjadi menyeramkan dan mencengkam. Aku takut tiba-tiba ombak tinggi datang dan menghantam tempat ini.Menoleh ke arah samping, dapat dilihat pohon-pohon yang bergoyang bagai tak bertulang karena angin ditambah lolongan anjing yang kencang seolah meminta pertolongan.Aku sendiri duduk di tempat tidur menyaksikan kekacauan yang terjadi di luar sana. Mataku terbuka lebar menyaksikan semua itu.Dan saat kilatan petir datang kembali aku mend
Aku berdiri menatap suamiku yang tertidur lelap di tempat tidur. Dia tidak mengatakan apa-apa saat aku menyarankannya untuk pindah ke kamar, bahkan dia langsung merebahkan tubuhnya di sisi lainnya bagai orang pingsan. Di satu sisi aku merasa lega karena akhirnya dia mendapatkan istirahat yang sangat dibutuhkannya.Untungnya dia tidak sadar jika aku tengah menahan rasa sakit yang semakin keras menyerangku. Aku sampai hatus memijat pelipisku beberapa kali untuk menghalau rasa sakit itu. Obat yang sebelumnya kuminum juga tidak ampuh sama sekali.Di luar badai masih mengamuk dan aku sulit untuk memejamkan mataku karena hal itu. Aku memilih untuk duduk di sofa di sudut kamar daripada berbaring tidak nyaman dan akhirnya mengganggu kenyamanan Tama. Beberapa menit berlalu dan aku merasakan haus mulai menyerangku, karena aku sudah berhasil menguasai diri, rasa sakit itu pun berangsur menghilang.Aku memutuskan untuk keluar dan mengambil minum dan hampir saja berteriak saat melihat ada bayangan
Angin kencang menderu-deru di kegelapan langit malam dan wajahnya itu tampak sangat ketakutan saat melihatku."Sial, Luna! Bangun! Kita harus keluar dari sini!"Aku sudah tidak bisa lagi merasakan tubuhku, hujan deras yang mengenai kaca depan mobil dan angin kencang yang datang juga tidak berhasil membuatku gentar karena ketakutan. Kaca bagian depan itu sudah pecah dan berhasil membuat guyuran air hujan itu perlahan masuk ke dalam. Pria itu masih berusaha keras untuk mengeluarkanku, berkali-kali membangunkanku agar tidak kehilangan kesadaran, tapi aku sangat ingin kembali tidur.Siapa pria itu? Kenapa dia berusaha sekeras ini untuk membangunkanku? Mataku yang awalnya berat langsung berhasil terbuka saat melihat sosok itu dan jantungku langsung berdebar kencang.Rahangku terasa membeku dan aku merasa sangat lemah tapi tetap memaksakan diri untuk berbicara. Suara yang keluar dari mulutku terdengar seperti gumaman."K-k-kenapa kamu m-masuh di sini? Kalau T-Tama lihat ... k-kamu di sini s