Aku menyaksikan pertarungan serius antara Damar dan Tama di sisi lain kolam, tapi ditengah keasyikan itu kami terintrupsi dengan deringan hanphone milik Tama. Dia mengeluarkannya dari saku kemudian mematikannya dan belum sempat benda itu tersimpan dia kembali berdering kembali."Kalau penting angkat aja dulu," kataku, meski enggan dia tetap melakukannya.Tama sudah menjawab panggilan itu. Aku mendengar dia menjawab semua pertanyaan yang diajukan pihak seberang sambil melangkah menjauh, meski hanya berhalangan kaca tapi mataku tetap awas memperhatikannya."Dia bahkan masih sibuk di saat liburan," ujar Lyan.Damar meringis sebelum melanjutkan, "Karena ini bukan waktu yang tepat buat dia ambil cuti." Dia memberiku tatapan sinis seolah-olah ingin mengatakan sesuatu."Damar," panggilnya. Dan sepuluh menit kemudian kedua pria itu sudah asyik berbincang."Dari pengalaman gue sebagai teman mereka, gue yakin obrolan mereka bakal panjang dan wasting time." Lisa memberitahu kami sambil menyesap
Saat hujan mulai turun, kami terpaksa kembali ke dalam villa. Kami berlima akhirnya memutuskan untuk beristirahat lebih awal di kamar kami untuk sementara waktu dan menunggu gerimis itu berhenti.Tapi apa yang bisa diharapkan dari gerimis yang bercampur angin ditambah awan gelap yang menaungi langit? Karena beberapa menit kemudian hujan berubah deras tak terkendali.Angin menderu-deru menghantam dinding kaca seolah-olah melampiaskan amarah. Dari dalam sini kami bisa melihat badai yang terjadi di luar sana. Pantai yang sebelumnya terlihat indah berubah menjadi menyeramkan dan mencengkam. Aku takut tiba-tiba ombak tinggi datang dan menghantam tempat ini.Menoleh ke arah samping, dapat dilihat pohon-pohon yang bergoyang bagai tak bertulang karena angin ditambah lolongan anjing yang kencang seolah meminta pertolongan.Aku sendiri duduk di tempat tidur menyaksikan kekacauan yang terjadi di luar sana. Mataku terbuka lebar menyaksikan semua itu.Dan saat kilatan petir datang kembali aku mend
Aku berdiri menatap suamiku yang tertidur lelap di tempat tidur. Dia tidak mengatakan apa-apa saat aku menyarankannya untuk pindah ke kamar, bahkan dia langsung merebahkan tubuhnya di sisi lainnya bagai orang pingsan. Di satu sisi aku merasa lega karena akhirnya dia mendapatkan istirahat yang sangat dibutuhkannya.Untungnya dia tidak sadar jika aku tengah menahan rasa sakit yang semakin keras menyerangku. Aku sampai hatus memijat pelipisku beberapa kali untuk menghalau rasa sakit itu. Obat yang sebelumnya kuminum juga tidak ampuh sama sekali.Di luar badai masih mengamuk dan aku sulit untuk memejamkan mataku karena hal itu. Aku memilih untuk duduk di sofa di sudut kamar daripada berbaring tidak nyaman dan akhirnya mengganggu kenyamanan Tama. Beberapa menit berlalu dan aku merasakan haus mulai menyerangku, karena aku sudah berhasil menguasai diri, rasa sakit itu pun berangsur menghilang.Aku memutuskan untuk keluar dan mengambil minum dan hampir saja berteriak saat melihat ada bayangan
Angin kencang menderu-deru di kegelapan langit malam dan wajahnya itu tampak sangat ketakutan saat melihatku."Sial, Luna! Bangun! Kita harus keluar dari sini!"Aku sudah tidak bisa lagi merasakan tubuhku, hujan deras yang mengenai kaca depan mobil dan angin kencang yang datang juga tidak berhasil membuatku gentar karena ketakutan. Kaca bagian depan itu sudah pecah dan berhasil membuat guyuran air hujan itu perlahan masuk ke dalam. Pria itu masih berusaha keras untuk mengeluarkanku, berkali-kali membangunkanku agar tidak kehilangan kesadaran, tapi aku sangat ingin kembali tidur.Siapa pria itu? Kenapa dia berusaha sekeras ini untuk membangunkanku? Mataku yang awalnya berat langsung berhasil terbuka saat melihat sosok itu dan jantungku langsung berdebar kencang.Rahangku terasa membeku dan aku merasa sangat lemah tapi tetap memaksakan diri untuk berbicara. Suara yang keluar dari mulutku terdengar seperti gumaman."K-k-kenapa kamu m-masuh di sini? Kalau T-Tama lihat ... k-kamu di sini s
Dia belum tampak mau menyerah meski usahanya masih berakhir sia-sia."Stev, udah ... kamu harus ... ""Kamu bakal kena hipotermia kalau kamu terlalu lama berada di luar? Kamu nggak sadar udah sepucat apa wajah kamu? Badan kamu udah menggigil, Lun.""Aku tahu."Nafas kami sampai mengeluarkan kabut dan bukan hanya itu saja, pakaianku sudah tidak berbentuk lagi. Matanya berkobar syarat akan frustasi karena kondisi ini."Kamu bisa aja mati kalau aku tinggalin kamu sekarang. Kamu sadar nggak?" Dia menghela nafasnya kasar, "kita udah bicara soal kematian Lun, bukan hal main-main lagi."Aku juga tahu itu, tapi enggan untuk menjawab. Dan akhirnya kesunyian kembali merayap di antara kami.Mulutku akhirnya terbuka, aku berhasil menemukan suaraku lagi, "Ini semua salah aku. Harusnya a-aku nggak menijah sama dia.""Stop it! Ini bukan saatnya bahas soal dia di antara kita." Steven juga tampak lelah dan berantakan tapi tetap setia berada di sampingku.Aku menoleh untuk menatapnya, "K-kamu yang pali
Dan saat ingatan itu kembali menyatu, duniaku terasa runtuh seketika.Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Luna?Raut khawatir dari mata cokelat jernih itu malah membebankanku. Aku seperti tersudut dengan kesalahan fatal yang sudah tidak bisa aku sanggah. Tangannya yang berada dipundakku terasa menekanku kuat dan membuatku sulit bergerak.Aku menggeleng cepat dan mencoba menguasai diri kembali kemudian menatap balik Tama yang masih setia menungguku di sini.Kenapa? Apa ada alasan lain dibalik sikapnya yang begitu perhatian padaku?Dulu, sebelum ingatanku kembali aku tidak merasakan keberatan dengan tatapannya yang seperti ini tapi kenapa sekarang semua berubah? Aku merasa tatapannya berubah mengerikan ... seperti banyak menyimpan banyak rahasia dibaliknya.Aku melirik tangannya yang masih tersampir di pundakku, dengan cepat aku refleks mundur dan membuat lengannya terjatuh tepat di samping tubuhku. Punggungku membentur dashboard tempat tidur cukup kencang karena gerakanku yang terlalu
Tama masih diam di tempatnya dia terlihat kacau, atau jangan-jangan dia juga tidak tahu soal ini? "Apa ... kamu yakin, kalau anak yang aku kandung ini anak kamu?" Suaraku berhasil membuatnya menoleh. Tama beranjak dari tempatnya menuju ke arah kursi pasien, dia menarik kursi tersebut hingga berderit, kemudian diangkatnya dan berakhir dengan bantingan kencang yang memekakkan telinga. Dia melemparkan kursi itu sekuat tenaganya. Aku tersentak, setelah itu keheningan menyekingkupi kami berdua. Tidak ada satupun yang memulai pembicaraan, dia juga berpaling dariku dengan nafas yang terengah-engah. Aku menatapnya masih dengan mata yang terbelalak dan tubuh yang bergetar, sampai dia membalikkan tubuhnya sendiri dan menatapku tajam. Matanya tiba-tiba memerah dan suaranya berubah menjadi serak, "Gimana bisa kamu berpikir seperti itu?" Dia sama sekali tidak menutupi rasa kecewa dan sakit hatinya. Matanya menatapku tajam menandakan apa yang aku tanyakan merupakan hal yang bodoh, "anak itu pun
"Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan?" ujarku masih dengan isak tangis yang harusnya sudah usai. "Aku tahu," gumamnya menenangkansambil mengusap punggungku, lalu dia lalu berhenti sejenak untuk menatapku, "tapi aku udah pernah bilang sebelumnya ke kamu, kamu punya aku dan kamu nggak harus nyelesaikan teka-teki ini sendiri." Aku membenamkan wajahku ke bahunya dan dari posisiku yang sekarang, aku dapat menghindu aromanya. "Terus apa yang harus kita lakukan? Aku nggak tahu gimana caranya buat ngatasi ini." "Aku udah mikir soak ini sebelumnya dan itu tergantung sama kamu." "Tam, gue udah bilang kalau ini bahaya, kita nggak bisa memprediksi apa yang bakal terjadi selanjutnya," seru Lisa keras. "Lebih baik kita mencoba yang terbaik dari pada ngebuat semuanya semakin rumit. Dia udah terlalu menderita. Dan gue ... nggak bisa lihat dia kaesakitan kayak gini terus." "Tapi tetap aja." Aku melirik mereka berdua, "Apa yang kalian bicarakan?" Tama meremas bahuku, "Hal yang pernah kamu o