Aku berdiri menatap suamiku yang tertidur lelap di tempat tidur. Dia tidak mengatakan apa-apa saat aku menyarankannya untuk pindah ke kamar, bahkan dia langsung merebahkan tubuhnya di sisi lainnya bagai orang pingsan. Di satu sisi aku merasa lega karena akhirnya dia mendapatkan istirahat yang sangat dibutuhkannya.Untungnya dia tidak sadar jika aku tengah menahan rasa sakit yang semakin keras menyerangku. Aku sampai hatus memijat pelipisku beberapa kali untuk menghalau rasa sakit itu. Obat yang sebelumnya kuminum juga tidak ampuh sama sekali.Di luar badai masih mengamuk dan aku sulit untuk memejamkan mataku karena hal itu. Aku memilih untuk duduk di sofa di sudut kamar daripada berbaring tidak nyaman dan akhirnya mengganggu kenyamanan Tama. Beberapa menit berlalu dan aku merasakan haus mulai menyerangku, karena aku sudah berhasil menguasai diri, rasa sakit itu pun berangsur menghilang.Aku memutuskan untuk keluar dan mengambil minum dan hampir saja berteriak saat melihat ada bayangan
Angin kencang menderu-deru di kegelapan langit malam dan wajahnya itu tampak sangat ketakutan saat melihatku."Sial, Luna! Bangun! Kita harus keluar dari sini!"Aku sudah tidak bisa lagi merasakan tubuhku, hujan deras yang mengenai kaca depan mobil dan angin kencang yang datang juga tidak berhasil membuatku gentar karena ketakutan. Kaca bagian depan itu sudah pecah dan berhasil membuat guyuran air hujan itu perlahan masuk ke dalam. Pria itu masih berusaha keras untuk mengeluarkanku, berkali-kali membangunkanku agar tidak kehilangan kesadaran, tapi aku sangat ingin kembali tidur.Siapa pria itu? Kenapa dia berusaha sekeras ini untuk membangunkanku? Mataku yang awalnya berat langsung berhasil terbuka saat melihat sosok itu dan jantungku langsung berdebar kencang.Rahangku terasa membeku dan aku merasa sangat lemah tapi tetap memaksakan diri untuk berbicara. Suara yang keluar dari mulutku terdengar seperti gumaman."K-k-kenapa kamu m-masuh di sini? Kalau T-Tama lihat ... k-kamu di sini s
Dia belum tampak mau menyerah meski usahanya masih berakhir sia-sia."Stev, udah ... kamu harus ... ""Kamu bakal kena hipotermia kalau kamu terlalu lama berada di luar? Kamu nggak sadar udah sepucat apa wajah kamu? Badan kamu udah menggigil, Lun.""Aku tahu."Nafas kami sampai mengeluarkan kabut dan bukan hanya itu saja, pakaianku sudah tidak berbentuk lagi. Matanya berkobar syarat akan frustasi karena kondisi ini."Kamu bisa aja mati kalau aku tinggalin kamu sekarang. Kamu sadar nggak?" Dia menghela nafasnya kasar, "kita udah bicara soal kematian Lun, bukan hal main-main lagi."Aku juga tahu itu, tapi enggan untuk menjawab. Dan akhirnya kesunyian kembali merayap di antara kami.Mulutku akhirnya terbuka, aku berhasil menemukan suaraku lagi, "Ini semua salah aku. Harusnya a-aku nggak menijah sama dia.""Stop it! Ini bukan saatnya bahas soal dia di antara kita." Steven juga tampak lelah dan berantakan tapi tetap setia berada di sampingku.Aku menoleh untuk menatapnya, "K-kamu yang pali
Dan saat ingatan itu kembali menyatu, duniaku terasa runtuh seketika.Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Luna?Raut khawatir dari mata cokelat jernih itu malah membebankanku. Aku seperti tersudut dengan kesalahan fatal yang sudah tidak bisa aku sanggah. Tangannya yang berada dipundakku terasa menekanku kuat dan membuatku sulit bergerak.Aku menggeleng cepat dan mencoba menguasai diri kembali kemudian menatap balik Tama yang masih setia menungguku di sini.Kenapa? Apa ada alasan lain dibalik sikapnya yang begitu perhatian padaku?Dulu, sebelum ingatanku kembali aku tidak merasakan keberatan dengan tatapannya yang seperti ini tapi kenapa sekarang semua berubah? Aku merasa tatapannya berubah mengerikan ... seperti banyak menyimpan banyak rahasia dibaliknya.Aku melirik tangannya yang masih tersampir di pundakku, dengan cepat aku refleks mundur dan membuat lengannya terjatuh tepat di samping tubuhku. Punggungku membentur dashboard tempat tidur cukup kencang karena gerakanku yang terlalu
Tama masih diam di tempatnya dia terlihat kacau, atau jangan-jangan dia juga tidak tahu soal ini? "Apa ... kamu yakin, kalau anak yang aku kandung ini anak kamu?" Suaraku berhasil membuatnya menoleh. Tama beranjak dari tempatnya menuju ke arah kursi pasien, dia menarik kursi tersebut hingga berderit, kemudian diangkatnya dan berakhir dengan bantingan kencang yang memekakkan telinga. Dia melemparkan kursi itu sekuat tenaganya. Aku tersentak, setelah itu keheningan menyekingkupi kami berdua. Tidak ada satupun yang memulai pembicaraan, dia juga berpaling dariku dengan nafas yang terengah-engah. Aku menatapnya masih dengan mata yang terbelalak dan tubuh yang bergetar, sampai dia membalikkan tubuhnya sendiri dan menatapku tajam. Matanya tiba-tiba memerah dan suaranya berubah menjadi serak, "Gimana bisa kamu berpikir seperti itu?" Dia sama sekali tidak menutupi rasa kecewa dan sakit hatinya. Matanya menatapku tajam menandakan apa yang aku tanyakan merupakan hal yang bodoh, "anak itu pun
"Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan?" ujarku masih dengan isak tangis yang harusnya sudah usai. "Aku tahu," gumamnya menenangkansambil mengusap punggungku, lalu dia lalu berhenti sejenak untuk menatapku, "tapi aku udah pernah bilang sebelumnya ke kamu, kamu punya aku dan kamu nggak harus nyelesaikan teka-teki ini sendiri." Aku membenamkan wajahku ke bahunya dan dari posisiku yang sekarang, aku dapat menghindu aromanya. "Terus apa yang harus kita lakukan? Aku nggak tahu gimana caranya buat ngatasi ini." "Aku udah mikir soak ini sebelumnya dan itu tergantung sama kamu." "Tam, gue udah bilang kalau ini bahaya, kita nggak bisa memprediksi apa yang bakal terjadi selanjutnya," seru Lisa keras. "Lebih baik kita mencoba yang terbaik dari pada ngebuat semuanya semakin rumit. Dia udah terlalu menderita. Dan gue ... nggak bisa lihat dia kaesakitan kayak gini terus." "Tapi tetap aja." Aku melirik mereka berdua, "Apa yang kalian bicarakan?" Tama meremas bahuku, "Hal yang pernah kamu o
Aku kembali ke ruangan yang membuatku sesak. Tubuh yang saling berdesakan, asap dan lampu disko yang berpijar. Bau keringat, parfum, dan alkohol bercampur menjadi bau yang memuakkan namun juga sangat akrab di indera penciumanku. Dan saat itu aku mabuk di tengah-tengah orang itu. Aku terhuyung-huyung begitu keluar dari bilik kamar mandi, dan saat menatap wajahku di cermin... aku selerti melihat orang asing, tapi aku tahu jika sosok itu adalah diriku. Pemandangan itu masih sangat asing untukku dan ketika aku sadar jika itu bukan pertama kalinya, aku langsung bertanya-tanya, apa yang sebenarnya aku lakukan. Perasaanku kacau. Hal ini sudah berlangsung selama setahu, tapi kenapa hari ini aku marasa tidak berdaya. Aku terus mencari alasan apa yang membuat aku harus bersikap seperti ini. Mata cokelat itu membuatku kembali dipenuhi emosi. Aku terlalu pengecut sampai tidak berani menghadapinya langsung dan malah lebih memilih untuk menghancurkannya dari belakang. Aluna yang bodoh. Menyedi
Tama bersandar ke dinding keramik di kamar mandi kami. Lengannya semakin erat memelukku. Aku masih gemetar. Ingatan-ingatan itu membuatku semakin merasa bersalah. Mereka tidak mau berhenti untuk tidak memutar kembali memori-memori lancang yang sudah kucoba untuk tidak kuhiraukan.Aku masih bisa mendengar suara itu, masih bisa mencium aroma campuran yang menjijikkan itu, masih bisa melihat pria-pria itu... yang sengaja mendekatiku, dan juga Steven.Dan dari semua hal yang aku rasakan, rasahya aku malah semakin membuat diriku sendiri diliputi kesalahan yang tidak akan pernah usai. Yang buruk semakin menjadi buruk dan aku merasa seperti aku dikekang oleh rasa bersalah itu dan hal itu melarangku untuk bersikap lemah.Tanganku secara ottomatis mencengkram dada saat merasakan sesak. Kekhawatiranku semakin meningkat dan membuatku hampir saja kehilangan kendali atas diriku karena ingatan-ingatan yang datang secara rancu.Usapan dan gumaman Tama terdengar sia-sia karena hal itu tidak membantus
“Sayang, aku mau belanja dulu ya,” bisik Luna di depan telinga Tama. Pria itu tampak masih setengah sadar dan menjawab kalimat Luna dengan gumaman pelan. Dia terlihat amat sangat lelah, bahkan hanya untuk sekedar membuka matanya saja Tama harus mengumpulkan banyak kekuatan. Tama baru sampai di rumah sekitar pukul 3 dini hari. Karena adanya pembangunan cabang baru di luar kota, Tama terpaksa harus hadir secara langsung untuk melihat bagaimana progres bangunan lima lantai miliknya itu. Dan karena ini pertama kalinya bagi pria itu pergi tanpa berpamitan langsung dengan triplet, jadi dia memutuskan untuk langsung pulang begitu urusannya selesai. “Biar aku antar,” gumam Tama dan kembali berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket.“Enggak usah. Kamu tidur lagi aja. Lagian aku Cuma mau pergi ke pasar di belakang komplek. Enggak terlalu jauh. Jalan kaki juga sampai. Sama Bi Susan kok.”Penjelasan Luna kembali membuat Tama berbaring. Pria itu mengangguk dan kembali tidur.“Aku pergi
"Kakak sama adek baru bangun?" Luna bertanya sambil menyerahkan segelas air pada Tama. Dia juga memberikan biskuit pada Rama dan Rajen. Biskuit yang sama seperti yang dia berikan pada Raka"Iya," jawab pria itu setelah meneguk air minumnya hingga tandas. "Tadi aku sengaja mampir ke kamar mereka dan ternyata mereka udah lada bangun. Tumben banget nggak pada nangis," lanjut Tama sambil memajukan diri untuk mencium Luna. Sayangnya ditolak oleh wanita itu."Nggak boleh! Ada anak-anak," peringat wanita itu tanpa boleh dibantah.Sayangnya Tama tetaplah pria. Dia tidak suka dilarang bahkan sampai mengernyitkan dahi karena tidak suka dengan peraturan mendadak itu. Dia masih memeluk Luna dan tetap berusaha untuk mencium Luna."Ayah!" seru Luna dengan tawa tapi tetap mencoba untuk menghindar."Abang, adek, sama kakak lihat ya. ayah mau cium Bunda."Tama berhasil mendapatkan bibir Luna. Dia mencium pendek-pendek hingga beberapa kali. Rajen dan Raka tertawa senang melihat adegan tersebut. Menurut
Luna menatap lekat ke arah ketiga anaknya dengan perasaan yang masih membuncah bahagia. Raka, Rama dan Rajen nampak tengah tertidur lelap, membuat siapa oun yang melihat adegan tersebut akan merasa jatuh hati. Luna memperbaiki letak selimut Rajen yang melorot. Dia juga ikut mengecup kening anak bungsunya dan dilanjutkan ke kening putra-putranya yang lain.Jika memutar kembali ingatannya ke kejadian dua tahun yang lalu, Luna masih saja merasa takjub. Anak yang kini sudah tumbuh besar itu pernah tinggal di rahimnya. Rasanya apa yang sudah terjadi itu bagaikan ilusi. Hanya dalam sekejap mata ketiga buah hatinya sudah berusia tiga tahun saja. Apalagi Rajen, bayi yang dulunya terlahir paling kecil di antara kakak-kakaknya juga sudah terlihat bertumbuh dengan sehat.Dulu Luna selalu merasa was-was karena saat itu Ranen harus di rawat di ruangan khusus bayi yang bermasalah. Tubuhnya yang ringkih juga sampai harus di pasangi berbagai macam kabel dan selang. Tiada hari tanpa air mata kala itu.
Tiga tahun kemudian...Tama mendesis pelan saat tangannya tidak sengaja menyentuh panci panas yang tengah digunakannya untuk memasak sup. Anak-anaknya harus sarapan sedangkan Bi Susan tidak ada di tempat karena wanita paruh baya itu tadi izin akan pergi ke pasar tradisional yang ada di belakang komplek. Sebentar lagi triplets akan bangun dan sudah lasti mereka akan merengek karena kelaparan.Belum ada lima menit dia menggumamakan soal itu di dalam hati dan tidak lama kemudia, suara berisik dari kamar ketiganya membuat fokus Tama teralihkan. Pria itu segera mengecilkan kompor sebelum bergerak untuk mencari tahu penyebab dari keributan tersebut. Meski sesungguhnya dia sudah tahu siapa biangnya.Senyum Tama terbit seketika saat dia melihat putra bungsunya, Rajen, sedang memukul-mukul pagar pembatas menggunakan mainan berbentuk boneka pisang berwarna hijau yang terpasang di setiap pintu. Tingginya sebatas pinggang orang dewasa."Anak Ayah udah bangun ternyata," seru Tama sambil meraih Raj
Luna kecil duduk manis di tengah-tengah ruangan besar nan megah. Tidak ada yang menemani. Hanya keheningan yang tersisa walau pun di dalam ruangan itu sudah dipenuhi banyak hal-hal menakjubkan.Luna kecil menundukkan kepalanya, bukan ini yang di inginkannya. Padahal Mama dan Papanya sudah berjanji kalau hari ini akan menjadi ulang tahun penuh kejutan yang tidak akan pernah mungkin Luna lupakan.Yang dia inginkan bukan barang-barang penuh gemerlapan seperti ini. Luna kecil hanya mengharapkan mereka semua berkumpul bersama dan menghabiskan waktu untuk bercanda riang layaknya keluarga pada umumnya. Tapi sayangnya hal itu sulit untuk terealisasikan karena bahkan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kemunculan mereka.Baginya, itu bukanlah ulang tahun tapi hari paling menyedihkan. Bahkan beberapa asisten rumah tangga yang hadir di sana juga menatap penuh iba ke arahnya. bocah kecil yang malang.Setelah mulai bersekolah, waktu untuk Luna bertemu dengan orang tuanya bahkan sampai bisa dihit
Tama Pov"Buat sekarang lebih baik kita fokusin diri kita untuk menyambut kehadiran triplets dulu. Masa depan juga masih panjang dan untuk urusan adiknya triplets masih bisa kita bahas nanti-nanti," jelasku lagi sambil mencubit pelan pipinya."Kamu nggak mau aku hamil lagi ya?" Mata Luna sudah berkilat memerah. Bahkan air muta sudah mulai menghiasi kornea indah itu."Nggak gitu sayang," ucapku sambil menangkupkan tanganku ke pipi chubby miliknya. "Aku tadi itu cuma bilang buat fokus ke triplets kan. Nggak ada penjelasan tentang aku yang nggak mau kamu hamil lagi. Yang aku maksud supaya kita bisa banyak-bayak saving kenangan sama triplets. Itu doang, nggak ada maksud lain. Kalau memang rezeki lagi kamu hamil, nanti kita pikirkan saat itu.""Tapi aku juga mau punya anak perempuan juga," tangis Luna pecah. Kehamilan memang membuat moodnya naik dan turun macam roller coster. Awalnya aku juga merasa kesulitan dengan kondisi ini, bahkan aku sampai meminta saran dari beberapa pihak hanya dem
Tama Pov Seperti biasanya meski aku mengatakan kalau aku akan lebih memilih bekerja di rumah, tapi kenyataanya tidak berjalan semulus itu. Ada saja kerjaan yang tidak bisa di wakilkan dan membuatku harus turun tangan langsung. Kali ini adalah pembahasan soal kerjasama dengan beberapa rumah sakit. Perkebunan milikku yang sudah beratas namakan Luna semakin membesar dan hasil produksinya juga bertambah. Dengan ide absurd yang awalnya hanya terlontar sekilas dari mulut Bi Susan, kini aku malah benar-benar merealisasikan karena produksi benar-benar sudah tidak bisa ditampung oleh para petani. Pembicaraanya berjalan sangat lancar. Bahkan ahli gizi yang ikut memeriksa sayuran milik perkebunan tersenyum lega karena sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan, aku memilih untuk menemui Mela. Suasana di sana tidak ramai tapi juga tidak bisa dibilang sepi. Di hadapanku ada sepasang suami istri yang menunggu dengan tangan bertautan. Sang suami mencoba
Tama PovMalam itu, untuk pertama kalinya aku bisa merasakan gerakan lembut yang berasa dari triplets. Itu adalah moment paling emosional sepanjang kehidupanku sebagai seorang Dytama dan aku jadi yakin jika semuanya akan berjalan baik-baik saja. Luna dan triplets akan sehat sampai jadwal operasi mendatang.Berbeda dengan harapanku kala itu, kini keadaan Luna malah terlihat semakin tidak baik. Keyakinan yang berhasil aku tanamkan hampir sirna semua karena kondisi itu.Luna kini sering mual muntah, pingsan, dan yang paling membuatku hampir kacau adalah, dia juga harus diberikan suntikan untuk pengencer darah setiap dua belas jam sekali. Bukan hanya itu saja, ada kalanya Luna sampai harus di bawa ke UGD karena bekas suntikannya itu terus-menerus mengeluarkan darah tanpa henti. Itu efek dari darah yang ada di tubuhnya terlalu encer.Rasanya, jiwaku seperti ditarik keluar paksa ketika melihat dress favoritnya sudah dipenuhi oleh darahnya. Kala itu aku berserah pada Tuhan.
"Aku tambah berisi banget ya," ucap Luna lagi. Kini dia bahkan sampai membalikkan tubuhnya supaya bisa bertatapan dengan Tama. Momok yang paling menakutkan bagi wanita adalah perubahan bentuk tubuh yang langsung drastis. Aluna hanya wanita biasa yang bisa merasakan takut kehilangan. Apalagi sekarang hubungannya dengan Tama sedang dalam mode yang amat membahagiakan dan benar-benar takut untuk kehilangan."It's okay. I still love you," Tama mulai mendekatkan wajah mereka dan mulai saling menggesekkan kedua ujung hidung mereka berdua karena gemas."Tapi kan nanti badan aku bakal melar habis-habisan?" tanyanya memastikan lagi. Tama membalasnya dengan cara mengecup sudut bibir Luna. "Terus nanti juga perut sama badan aku bakal penuh sama stretchmark," lanjutnya kembali memperjelas. Dia hanya ingin memastikan kalau Tama tidak akan meninggalkan dia saat kondisinya sedang tidak menarik seperti sekarang."Aku nggak pernah mempermasalahkan soal bentuk badan kamu. Aku memilih