Tama bersandar ke dinding keramik di kamar mandi kami. Lengannya semakin erat memelukku. Aku masih gemetar. Ingatan-ingatan itu membuatku semakin merasa bersalah. Mereka tidak mau berhenti untuk tidak memutar kembali memori-memori lancang yang sudah kucoba untuk tidak kuhiraukan.Aku masih bisa mendengar suara itu, masih bisa mencium aroma campuran yang menjijikkan itu, masih bisa melihat pria-pria itu... yang sengaja mendekatiku, dan juga Steven.Dan dari semua hal yang aku rasakan, rasahya aku malah semakin membuat diriku sendiri diliputi kesalahan yang tidak akan pernah usai. Yang buruk semakin menjadi buruk dan aku merasa seperti aku dikekang oleh rasa bersalah itu dan hal itu melarangku untuk bersikap lemah.Tanganku secara ottomatis mencengkram dada saat merasakan sesak. Kekhawatiranku semakin meningkat dan membuatku hampir saja kehilangan kendali atas diriku karena ingatan-ingatan yang datang secara rancu.Usapan dan gumaman Tama terdengar sia-sia karena hal itu tidak membantus
Sesuatu tentang kalimat terakhir yang Tama ucapkan membuat kepalaku berkedut. Dan sebelum aku menyadari apa arti dari kalimat itu sebuah ingatan mulai berputar.Mata cokelat terang yang sama, tapi kali ini milik seorang anak kecil laki-laki. Dia tersenyum lebar sampai menbuat matanya menyipit karenanya. Dia mengulurkan tangannya padaku."Jadi gimana? Aku bakal bantu kamu nyelesain PR kamu tapi kamu harus gambarin aku sesuatu."Aku menatap uluran tangannya dengan kepala miring, tidak mengerti apa yang dia inginkan. Aku tidak cukup mengenalnya, dan aku hampir tidak menyukainya karena dia bisa berada di kantor papa sedangkan aku tidak. Apalagi saat mengingat bagaimana papa memuji anak ini karena nilainya yang sempurna membuayku bertambah kesal. Aku iri.Aku kembali menatap wajahnya, "Tapi Papa aku nyita semua alat lukis punyaku. Aku nggak dikasih izin buat ngelukis lagi, karena aku disuruh belajar."Tama kecil mengangguk dengan paham, "Makannya tadi aku bilang kalau aku bakal bantu kamu,
Aku awalnya terkejut saat Tama mengatakan akan membawaku melihat rumah tempat kami tinggal dulu. Dan aku pikir kegiatan itu tidak akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini juga."Maksud aku kita nggak usah terlalu terburu-buru buat ngelihat rumah yang kamu maksud itu," ucapku sedikit panik saat dia melajukan mobilnya menuju tempat yang akan menjadi awal penjelajahan kami. Aku gugup dan mengharapkan bisa menemukan hal yang baik dan bisa memicu ingatanku. Aku sangat berharap.Sebelumnya sesaat setelah aku menyetujui ajakannya, Tama langsung menghubungi seseorang lewat handponenya. Dia membatalkan semua meeting perusahaan dan lebih memilih untuk membawaku pergi melihat tempat yang dia sebut rumah kami sebelumnya.Aku bisa mendengar protesan dari seseorang di ujung telfon sana, tapi dia tidak perduli dan tetap mematikan sambungan telfonnya secara sepihak.Tama kembali melepaskan kancing kemeja yang sebelumnya sudah dia kenakan. Aku tidak tahu jika siang ini dia berencana untuk pergi ke kant
Kami bergandengan tangan saat menuruni tangga. Ketika kami sampai di ruang tamu bi Susan keluar dari ruang makan dengan telepon rumah yang bertengger di telinganya. Dia melambaikan tangannya untuk menarik perhatian kami. Dan kami pun menghentikan langkah kami.Bi Susan menutupi telepon dengan sebelah tangannya sebelum berbicara, "Ini Bapak."Genggaman tangannya mengencang, "Bilang kalau aku lagi di luar."Nadanya dingin saat mengatakan itu dan dia langsung menarikku keluar sebelum bi Susan sempat menjawab kembali telepon itu. Dia tetap diam, memasang wajah keras dan tidak membiarkanku untuk bertanya. Hal terakhir yang aku dengar sebelum pintu tertutup di belakang kami adalah bi Susan yang sedang membuat alasan kepada sang penelepon itu.Ekspresi Tama tampak muram saat kami keluar dari gedung. Sikapnya yang terlalu diam itu cukup mengganggu, tapi dia tidak lupa membukakan pintu penumpang untukku masuk. Setelah itu mobil keluar dari basemant gedung dan ikut menyatu dengan pengendara la
Dan aku kembali merasakan perasaan itu. Hatiku yang teremas dan rasa sakit karena tusukan dalam yang tidak mengeluarkan darah namun sangat menyakitkan. Air mata menggenang di mataku karena hal itu.Perasaan yang sebelumnya harusnya sudah mulai membaik kembali terasa nyeri. Kali ini bukan hanya kepalaku yang terasa sakit, melainkan seluruh tubuhku rasanya tercekik dan terluka. Aku berusaha keras menghirup udara untuk menenangkan diriku. Tidak mudah di saat rasa tidak nyaman itu melandaku.Tidak disini. Aku seharusnya tidak berada di sini. Berada di tempat ini akan memicu semua ingatan yang sudah kuputuskan untuk aku lupakan. Gerbang mulai terbuka, seseorang dari dalam rumah membukanya lebar dan mempersilahkan kami untuk masuk. Aku menatap ke arahnya dan dia menundukkan kepalanya seperti menberi hormat pada kami. Aku ingin melarangnya masuk, dan saat mataku kembali padanya, hatiku mencelos.Dia ternyata tidak memperhatikanku, pandangannya masih menatap tajam ke arah mohil yang ikut be
Aku akhirnya menjadi mahasiswi senior yang sudah berada di tahun terakhirku. Siapa sangka waktu bergulir secepat itu, padahal aku merasa baru kemarin aku menjadi mahasiswa baru dan melarikan diri dari rumah karena bentrok dengan papa, tapi kihat sekarang, aku sudah berada di langkah terakhir menuju impianku."Are you kidding me? Berita kali ini nampilin loe yang berhasil diwawancara berkat prestasi loe. Bukannya ini luar biasa!" seru salah seorang temanku karena prestasi yang aku buat. Aku tidak menyangka jika hal itu menjadi perhatian teman-temanku juga, aku pikir mereka tidak perduli soal hasil dari wawancaraku kemarin lusa.Namanya Jessica. Seorang mahasiswi yang berada satu jurusan denganku. Dia memiliki rambut panjang yang selalu terikat rapi dengan lesung pipi yang dalam, yang semakin membuatnya tampak manis ketika tertawa. Dia menyeringai ke arahku, dia sahabatku.Berbeda denganku yang sangat menikmati seni lukis Jessica lebih menyukai dunia permodelan. Tinggi semampai dengan k
Mataku terbelalak saat dia meninggikan suaranya. "Dan jangan bertingkah seolah miss tidak diakui," lanjutnya lagi. Aku terdiam mendengar lanjutan kalimatnya yang terdengar tajam. Melihat reaksiku yang hanya terdiam membuat pria tua itu berdeham canggung lalu membetulkan dasinya. Dia mengangkat bahunya seakan perkatanya tadi tidak menyinggungku, "Saya mendapat perintah dari Bapak buat nyampaikan pesan ini secara langsung." Ah pantas saja, ternyata itu semua kalimat titipan dari papa. Tapi mendengar kalimat itu yang diucapkan saat kondisiku lelah membuat aku ingin menangis. Aku menalan ludah kasar dan mengangguk pelan. Mengiyakan. Sambil menarik dasinya pak Hatta melangkah mendekat. Dia mengeluarkan sebuah kartu dan mengulurkannya padaku, "Ini biaya untuk semua pengeluaran anda, karena apartemen ini dekat dengan kampus Bapak tidak menyediakan transportasi karena berjalan kaki lebih sehat untuk kesehatan anda, dan juga itu untuk menghindari miss mengemudi dalam kondisi mabuk. Saya tah
Aku kira benar-benar urusan yang tidak bisa ditinggalkan.Ternyata itu tidak benar-benar mendesak. Pak Bambang hanya menanyakan pada tentang project kami dan kapan kami akan menyelesaikannya. Aku menatap ke arah Erina yang tadi mengatakan jika pertemuan ini penting. Dia yang kutatap hanya mengedikkan bahunya tidak mengerti juga saat aku tengah menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dari dosen kami yang rajin ini. Pertemuan kami tidak memakan waktu lama, hanya dua puluh menit dan setelahnya kami bertiga keluar. Kami memutuskan untuk kembali ke ruangan tempat kami menyelesaikan project dan mulai membereskan hal yang perlu dikerjakan. Aku mengamati warna kanvas dengan hati-hati. Dalam project kali ini aku memiliki dua asisten pilihan langsung dari Pak Bambang. Erina dan satu lagi seorang mahasiswa baru. Lukisan yang kami buat itu sendiri berukuran sepuluh kali lima meter, waktunya dua bulan dan anggaran yang diberikan lebih dari dua puluh juta. Karena gambaran ini