Mataku terbelalak saat dia meninggikan suaranya. "Dan jangan bertingkah seolah miss tidak diakui," lanjutnya lagi. Aku terdiam mendengar lanjutan kalimatnya yang terdengar tajam. Melihat reaksiku yang hanya terdiam membuat pria tua itu berdeham canggung lalu membetulkan dasinya. Dia mengangkat bahunya seakan perkatanya tadi tidak menyinggungku, "Saya mendapat perintah dari Bapak buat nyampaikan pesan ini secara langsung." Ah pantas saja, ternyata itu semua kalimat titipan dari papa. Tapi mendengar kalimat itu yang diucapkan saat kondisiku lelah membuat aku ingin menangis. Aku menalan ludah kasar dan mengangguk pelan. Mengiyakan. Sambil menarik dasinya pak Hatta melangkah mendekat. Dia mengeluarkan sebuah kartu dan mengulurkannya padaku, "Ini biaya untuk semua pengeluaran anda, karena apartemen ini dekat dengan kampus Bapak tidak menyediakan transportasi karena berjalan kaki lebih sehat untuk kesehatan anda, dan juga itu untuk menghindari miss mengemudi dalam kondisi mabuk. Saya tah
Aku kira benar-benar urusan yang tidak bisa ditinggalkan.Ternyata itu tidak benar-benar mendesak. Pak Bambang hanya menanyakan pada tentang project kami dan kapan kami akan menyelesaikannya. Aku menatap ke arah Erina yang tadi mengatakan jika pertemuan ini penting. Dia yang kutatap hanya mengedikkan bahunya tidak mengerti juga saat aku tengah menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dari dosen kami yang rajin ini. Pertemuan kami tidak memakan waktu lama, hanya dua puluh menit dan setelahnya kami bertiga keluar. Kami memutuskan untuk kembali ke ruangan tempat kami menyelesaikan project dan mulai membereskan hal yang perlu dikerjakan. Aku mengamati warna kanvas dengan hati-hati. Dalam project kali ini aku memiliki dua asisten pilihan langsung dari Pak Bambang. Erina dan satu lagi seorang mahasiswa baru. Lukisan yang kami buat itu sendiri berukuran sepuluh kali lima meter, waktunya dua bulan dan anggaran yang diberikan lebih dari dua puluh juta. Karena gambaran ini
Aku murka, "Loe gila hah? Di mana Jess? Apa yang loe lakuin ke dia brengsek!"Suaraku keluar dan itu melengking karena emosi. Aku sudah tidak perduli jika kalimatku terdengar menuduh karena dia satu-satunya orang yang aku tahu dan dia pasti yang membawa Jess ke sini. Dan teriakanku berhasil membuat semua orang melirik kami.Lupakan saja soal lulus dengan tenang dari kampus karena saat ini aku sudah diserang panik karena tidak bisa menemukan Jess, bahkan rasa malunsudah tidak kupedulikan karena bagiku Jess yang paling penting untuk sekarang.Aku melotot, tubuhku terengah-engah karena lari melintasi dua gedung hanya untuk menemukan auditorium sialan yang ternyata bersembunyi di ujung bangunan. Tatapanku menajam ke arah manusia brengsek yang masih tersenyum senang melihat reaksiku. Aku ingin menampar wajahnya."Kenapa loe nggak duduk dulu, Lun? Acara baru aja mulai." Dia menjawab dengan nada acuh tak acuh yang makin membuat hatiku panas.Tangannya mer
"Loe tahu apa? Loe nggak pernah kerja keras buat ngasih makan keluarga loe. Nggak pernah tahu gimana susahnya bertahan hidup cuma buat nyari sesuap nasi buat hari esok. Loe nggak pernah mikirin mau makan apa besok, besok bisa makan apa nggak. Dan loe bahkan nggak pernah ngemis cuma buat ganjel perut loe."Aku tersentak mendengar kalimat Jess. Dia tidak pernah menceritakan soal ini padaku, bahkan aku pun tidak sampai kepikiran jika dia pernah melakukan hal itu.Tapi sayangnya aku tidak mau terpengaruh dengan cerita sedih yang dia bicarakan. Tidak untuk saat ini."Loe pikir pihak kampus bakal mau ngedengerin penjelasan itu," desisku tanpa belas kasih, "kalau loe mau ngejual cerita sedih loe bahkan setelah loe berhasil dapat uang dari mereka, tetap aja loe bakal langsung diusir dari kampus bahkan sebelum loe berhasil lulus. Setelahnya apa yang bakal loe lakuin?""Terus gue harus apa? Gue harus dengarin loe, gitu? Kita beda Luna! Loe kaya." Dia mengatakan itu dengan ekspresi yang tidak me
Ternyata hanya ada dua orang yang ditemukan di auditorium sore itu. Aku dan Jess.Ternyata semua dugaanku benar, pihak kampus mengetahui acara yang dibuat ini. Tidak mengherankan karena aku pun mendengar berita ini dari salah satu mahasiswa baru. Dengan tenang aku menyangkal semua tuduhan yang dilayangkan padaku, tapi Jess terlanjut gemetar meski masih bisa membantah.Satu jam berlangsung dan pihak kampus masih menahan kami di ruang keamanan. Mereka menatap kami dengan penuh kecurigaan, sementara kami berdua tetap berusaha tenang meski pun rasanya tidak nyaman dituduh menjadi pelaku.Penolakan dari kami dan juga kurangnya barang bukti membuat mereka melepaskan kami. Aku tahu ada rasa ketidakpuasan dariraut wajah mereka, tapi aku tidak perduli karena bukan aku yang menyebabkan kekacauan ini. Aku hanya ingin membawa sahabatku, tidak lebih.Dan aku berharap setelah kami keluar dari sini masalahin benar-benar selesai dan tidak ada lagi pembahasan untuk kedepa
Tepat saat aku sampai di depan toilet, aku melihat Sana yang masih berdiri di depan pintu. Dia tidak masuk."Sana!" panggilku dan saat itu juga aku mendengar nada dering yang amat aku kenal. Sana berbalik dan dia tampak terkejut melihat kehadiranku yang tidak dia prediksi akan ada di sini. Dia melirik cepat ke dalam toilet sebelum menatapku."Kenapa?" tanyaku lagi sambil mempercepat langkah untuk mendekatinya. Aku melirik ponselku sekali lagi sebelum fokus padanya.Dia menggelengkan kepalanya cepat, "Jangan ke sini ka-"Tapi dia telat karena aku sudah berada di sampingnya, mengintip apa tengah terjadi di dalam sana. Tepat di depan sana aku melihat Erina yang memasang ekspresi marah dan dia menatap tajam pada sosok yang berdiri di depannya. Dan sebelum aku sempat memanggilnya aku sudah dapat mendengar suara siapa yang ada di dalam sana. Aku juga kembali mendengar nada dering yang familiar dan juga suara orang yang amat ku kenal. Itu milik Jess dan itu suara Jess.Aku hampir menerobos m
"Gue nggak ngerti sama jalan pikiran loe." Erina berputar untuk dapat menatapku tajam. Sorot matanya penuh dengan raut frustasiFrustasi?Bukannya harusnya aku yang memancarkan raut seperti itu.Mungkin sebenarnya aku ini sudah sangat frustasi lebih dari yang aku pikirkan. Tapi anehnya rasanya aku sudah mati rasa. Aku mulai pusing dan kepalaku berdengung. Aku sudah kehilangan kekuatanku untuk berdiri saat aku menjatuhkan diri di bangku. Sementara Erina dan Sana berdiri di depanku dengan tatapan tidak percaya.Tapi aku tidak bisa fokus dengan mereka disaat kepalaku terasa akan remukApa yang sebenarnya terjadi? Apa yang barusan aku dengar dan aku lihat? Apa yang Jess katakan itu?"Kenapa?" ucap Erina lagi.Wajahku masih tampak pucat pasi dan aku tiba-tiba merasa sangat lelah. Aku pun menatapnya."Maksud loe apa?"Dia mengayunkan tangannya ke udara berlagak sedang mengipasi wajahnya sambil menatapku
Sana membalas tatapan Erina sebelum menjawab dengan berani pertanyaan gadis itu, "Apa kakak masih nggak paham juga sama situasi ini? Kak Lun nggak bakal mau ngikutin saran dari kakak. Dia udah putusin apa yang harus dia lakuin dan itu nggak ada sangkut pautnya sama kita."Erina mendengus, dia pun mundur selangkah."Oke. Gue nggak akan ikut campur," putusnya final.Sana tersenyum lega. Aku tahu mereka berdua sama-sama mengkhawatirkan ku. Yang satu khawatir dan memutuskan untuk mengikuti keputusan ku dan yang satu lagi mencoba membantu dengan memberi saran. Keduanya sama dengan beda pilihan."Gue juga nggak akan ikut campur soal ini kak. Tapi gue cuma mau bilang kalau gue nggak percaya sahabat loe. Maaf karena gue nggak cerita ke loe karena gue yakin respon loe tetap bakal nggak percaya sama gue. Gue udah pernah dengar soal kejadian kayak gini sebelumnya, jadi ini bukan pertama kalinya buat gue," katanya sambil memalingkan wajahn, "dan menurut gue alasan loe cukup masuk akal karena gima