Aku mengatakan kalimat itu dengan hati-hati. Aku tidak bermaksud untuk memojokkannya dan maksud kedatanganku ke sini bukan untuk menyalahkannya juga. Bahkan untuk sekedar tersenyum tipis pun rasanya sangat sulit. Dan saat aku menatapnya dia sudah tertawa keras tapi terdengar hampa. Dia bahkan tidak bersusah payah untuk menatap mataku. Jess tiba-tiba mengeluarkan kunci dari saku jeansnya dan menyerahkan benda itu padaku, "Gue nggak ngerti loe ngomong apa." Aku mengangguk. Dia tahu dan amat sangat mengetahui apa yang aku maksud. Karena dia yang sengaja bungkam aku langsung memasang wajah dinginku. Tanganku ikutan mengepal di saming tubuhku. Jess akhirnya menatapku. Dia sengaja membunyikan kunci-kunci yang ada di tangannya sambil memiringkan kepalanya, "Kalau nggak ada yang mau loe bicarain lagi gue bakal cabut. Bisa telat masuk gue kalau harus nunggu loe yang diam aja." Dia mulai bergerak melewatiku agar dapat masuk ke dalam kamarnya. Tanganku dengan cepat terangkat untuk menarik l
Aku merasa lelah. Bukan secara fisik, melainkan secara pikiran. Dan menurutku itu tidaklah normal. Deftia Aluna. Siapa yang tidak mengenalku. Terlahir sebagai salah satu pewaris tunggal grup bisnis raksasa juga memiliki bakat yang luar biasa di dunia lukis membuat namaku ikut melambung naik. Dan ini bukan karena aku menebeng nama papa, tapi benar-benar karena prestasiku sendiri. Bahkan para dosen memberiku project besar yang luar biasa karena kepercayaan mereka padaku. Aku pun tidak sulit berinteraksi dengan orang baru karena pemikiranku yang cerdas tanpa merasa kekurangan topik pembicaraan. Kembali lagi ke kejadian terakhir dengan seseorang yang kuanggap sebagai sahabat. Kejadian yang membuatku merasa bodoh karena dipermainkan dan dimanfaatkan. Aku tahu jika aku terlalu berpikir keras tapi karena hal itu aku dapat menata ulang pikiranku, ditambah akhir-akhir ini aku tidak bisa tidur nyenyak dan karena itu pula aku tidak pernah keluar untuk mencari informasi tentang kelanjutan keja
"Loe sadar nggak ada berapa masalah yang harus loe hadapi? tanya Erina.Aku menggelenh. Jangankan soal itu saat ini saja rasanya keplaku hampir pecah karena permasalahan yang timbul tanpa kuduga. Gagasan tentang berapa masalah lagi sudah aku singkirkan jauh-jauh dari pikiraku.Aku masih mencoba bersikap tenang saat menoleh ke Sana, "Loe bilang beritanya di upload pagi, kan?"Sana mengangguk pasti, "Tapi ada hal lain yang perlu loe tahu. Gue sempat lihat-lihat komentar sebelum di hapus dan mereka nyebut soal keeluarga loe kak...""Aluna." Ketiga kepala yang ada di sana sontak menoleh ke asal suara. Aku tidak mengenal sosok yang tiba-tiba menginterupsi obrolan kami dan dia datang mengganggu tanpa rasa bersalah sambil memandangku dengan tatapan merendahkan.Erina orang pertama yang sadar. Dia menatap tajam sosok itu, "Loe bisa lihat apa nggak? Kita lagi diskusi dan kehadiran loe nggak dibutuhin di sini."Wanita itu menatap Erina dengan alis yang dinaikkan. Dia merasa kesal karena diintru
Aku seperti anak kecil yang sedang menghadapi papa. Sama persis seperti saat itu. Tidak bisa melakukan apapun dan hanya bisa memandang wajah tuanya, menatap satu-satunya orang tua yang aku punya.. "Aluna, Papa nggak ngerti... gimana bisa kamu jadi persis kayak dia?" Bagian yang paling menyedihkan adalah aku mengerti dan amat sangat mengerti apa yang dia bicarakan. Setiap katanya benar-benar menyakiti kami berdua. Aku bahkan tidak bisa menyalahkan papa karena kebodohanku yang menunda-nunda hal yang seharusnya bisa diselesaikan saat itu juga. Meski Papa kecewa dia tidak pernah membahas soal perselingkuhan Mama secara gamblang, dan aku tahu karena dia sangat mencintai mama meski akhirnya dikhianati. Membahas Mama sama saja membuka kembali luka lama yang sudah mengering. Dan bodohnya aku, Aku tidak berpikir jika masalah ini akan memicu kembali ingatan papa tentang pengkhianatan. Aku benar-benar menyesali tindakan bodoh dan keputusan impulsif yang kubuat sendiri. Aku tidak berpikir hi
Kejadian hari itu benar-benar menjadi pukulan terdahsyat bagi papa. Beliau masih tetap tersenyum dan berusaha terlihat sejak yang mungkin. Papa mencoba bertahan meski sejatinya hal itu tidak mudah. Kepercayaannya direnggut cintanya dikhianati dan itu pukulan telak untuknya.Dulu saat aku tidak berhasil menemukan mama aku pasti akan bertanya pada papa tentang di mana keberadaannya. Papa selalu menunjukkan tatapan sedih. Para pekerja di rumah pun sering menggosipkan soal mama saat mereka pikir aku tidak mendengar.Dan mungkin karena bosan sebab aku selalu memberikan pertanyaan yang sama pada akhirnya papa menjawab, "Mama pergi sayang. Sekarang cuman ada Papa dan Luna. Dan kamu tetap harus tumbuh jadi gadis yang baik, Jadi jangan tanya lagi soal dia, oke?" ucapnya saat itu.Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menanyakan tentang keberadaan mama. Dan sejak saat itu pula papa menjadi sangat sibuk. Beliau selalu sibuk sampai tidak memiliki waktu hanya untuk bergurau bersamaku atau menemanik
Dua jam kemudian aku telah bersiap. Aku mengikuti semua kalimat dari papa. Aku mengenakan dress, merias wajahku untuk menyembunyikan betapa mengerikannya bare faceku dan aku juga harus tersenyum di depan pria yang tidak aku kenal nantinya.Tanpa berpikir panjang aku langsung mengikuti papa yang masuk ke mobil. Aku juga duduk di bagian belakang dan papa benar-benar memperlakukanku bagai makhluk tak kasat mata. Dalam kurun waktu 30 menit yang berjalan sangat lambat dan itu terasa mencekam karena kami berdua sama-sama berada dalam keheningan. Hingga akhirnya kami tiba di restoran hotel kelas atas yang menjadi tempat pertemuan kali ini. Papa memerintahkan pak Hatta untuk langsung parkir di basement, dia bahkan menolak untuk berjalan berdampingan denganku.Jangankan berjalan bersama dia bahkan melarangku untuk ikut masuk ke dalam lift yang sama dengannya. Hatiku teremat sempurna. Perasaan tertolak yang sesungguhnya benar-benar menghampiriku. Padahal selama ini dia acuh dengan semua prestas
Kalau Papa nggak datang berarti...Aku menoleh sepenuhnya pada Tama. Suaraku sedikit tercekat ketika berbicara, "Gue anggap loe udah lihat artikel-artikel tentang gue sekarang. Terus kenapa loe bersikap baik ke gue padahal nggak ada orang lain yang lihat?"Keheningan menyapa kami. Pria itu tidak langsung menjawab seperti sebelumnya. Dia seperti tengah memproses pertanyaan dariku Dan hebatnya dia terlihat tidak berniat untuk menjawab. Dia membalas ku dengan tatapan penuh intimidasi yang pantang dan mengamatiku sambil bersedekap seraya bersandar di kursinya."Loe bener-bener nggak inget gue, Lun?"Bukan itu jawaban yang ingin aku dengar. Tapi melihat dia yang bersikap sok akrab membuatku sedikit terganggu.Aku mengungkapkan tubuhku. Bersikap agar terlihat seangkuh mungkin. Lenganku juga ikut bersedekap. Aku memperhatikan pandangan matanya yang terus mengikuti setiap gerakan yang aku lakukan."Aku harus ingat loe siapa? Gue nggak ngerasa pernah ketemu loe di manapun, dan terus kenapa loe
"Jess Itu teman, bisa dibilang dia sahabat gue. Tapi sekarang udah mantan atau bekas? Teman cowok di kelas gue tergila-gila sama dia dan mereka beberapa kali ngedektin Jess tapi nggak dia gubris. Puncaknya kemarin. Dia kehilangan beasiswa dan butuh uang buat melanjutkan hidup. Gue nggak tahu siapa yang ajak dia dan siapa yang punya ide. Akhirnya Jess setuju buat jadi model buat bahan lukisan telanjang. Setujunya dia karena nominal yang mereka tawarkan buat dua jam kerja aja tiga digit. Fyi, penggemarnya dia anak berduit semua. Peraturan di kampus gue itu ketat. Selama kampus berdiri nggak ada yang ngebolehin pakai model telanjang untuk model lukisan, meskipun di beberapa perguruan tinggi itu diperbolehkan. Dan jika ada yang ketahuan melanggar mereka akan langsung di destroy out."Pihak kampus tahu dan entah gimana ceritanya gue yang jadi kambing hitamnya," ceritaku usai Dan aku langsung menatap Tama menunggu reaksi apa yang akan dia berikan.Hanya menggangguk, "Terus soal Steven?""St