"Jess Itu teman, bisa dibilang dia sahabat gue. Tapi sekarang udah mantan atau bekas? Teman cowok di kelas gue tergila-gila sama dia dan mereka beberapa kali ngedektin Jess tapi nggak dia gubris. Puncaknya kemarin. Dia kehilangan beasiswa dan butuh uang buat melanjutkan hidup. Gue nggak tahu siapa yang ajak dia dan siapa yang punya ide. Akhirnya Jess setuju buat jadi model buat bahan lukisan telanjang. Setujunya dia karena nominal yang mereka tawarkan buat dua jam kerja aja tiga digit. Fyi, penggemarnya dia anak berduit semua. Peraturan di kampus gue itu ketat. Selama kampus berdiri nggak ada yang ngebolehin pakai model telanjang untuk model lukisan, meskipun di beberapa perguruan tinggi itu diperbolehkan. Dan jika ada yang ketahuan melanggar mereka akan langsung di destroy out."Pihak kampus tahu dan entah gimana ceritanya gue yang jadi kambing hitamnya," ceritaku usai Dan aku langsung menatap Tama menunggu reaksi apa yang akan dia berikan.Hanya menggangguk, "Terus soal Steven?""St
"Mbak! Sebentar lagi kita sampai tempat tujuan," kata supir taksi itu, sambil mengarahkan pandangannya padaku melewati kaca spion tengah.Setelah pertemuanku berakhir dengan Tama beberapa hari yang lalu. Akhirnya Papa mengizinkanku untuk kembali menjalani rutinitasku. Semua berita tentangku sudah benar-benar lenyap bagi angin lalu. Keluarga Steven pun sudah dituntut oleh pengacara keluarga. Aku tidak tahu bagaimana dan gimana kelanjutannya, karena baik papa maupun Tama masih menyembunyikan soal ini sampai sekarang.Dan sejak terkuaknya kebenaran itu, papa masih belum mengizinkanku untuk muncul di depan publik.Aku akui kekuatan papa benar-benar tidak bisa diremehkan.Tidak ada klarifikasi apapun tentang kejadian ini dari pihakku. Semua permintaan ku benar-benar dikabulkan oleh Tama. Aku cukup puas dengan hasil yang dia berikan.Aku kembali ke kampus untuk membereskan kekacauan yang aku tinggalkan beberapa waktu lalu. Karena rumah buruk yang beredar project yang aku buat bersama Erina
"Masih punya muka juga ternyata lo."Aku menoleh begitu mendengar suara sinis yang sangat mengganggu. Dia Evelyn, salah satu gadis yang bertemu dengan Jess di toilet beberapa waktu yang lalu. Dan satu-satunya orang yang memprovokasi Jess di toilet hingga Jess berani mengatakan akulah dalangnya. Aku memang tidak tahu apa yang terjadi. Tapi yang aku tahu Evelyn sangat terganggu dengan kehadiran Jess sejak awal kami kuliah.Beberapa saat yang lalu..Aku melangkah ringan keluar dari apartemen. Hal yang paling kurindukan sejak aku terkurung di kamar adalah, dapat menikmati kenyamanan untuk sejenak menghirup udara bebas. Aku merasa tercekik berada di ruangan itu. Walaupun tempat kurungan itu adalah kamarku sendiri, tapi tetap saja aku merasa tidak bebas.Hembusan angin, asap kendaraan, dan bunyi klakson yang saling bersahutan menjadi hal yang sangat menarik untuk diperhatikan. Karena letak rumah papa yang masuk ke dalam area perumahan, suasana itu tidak aku dapatkan. Hanya pemandangan taman
Evelyn masih saja menghalangiku. Dia berdirisambil bersedekap dan menatapku seolah aku hama yang memang harus disingkirkan. Kenapa lagi dengan wanita ini, padahal aku tidak pernah mengusiknya dan tidak akrab dengannya."Duh... kenapa pakai melotot segala sih? Santai aja kenapa. Gue juga cuma tanya."Manusia macam Evelyn sangat amat patut untuk dihindari. Bergaul dengannya oun tidak mendatangkan manfaat. Hanya membuang-buang waktu dan itu sanhat menyebalkan.Aku segera melangkah untuk menjauh. Tidak ingin berurusan dengan wanita ini. Namun lenganku di tahan dan itu membuatku mengernyitjan dahi. Aku merasa terganggu."Lo nggak sopan juga ternyata. Mata lo buta atau gimana sih sampai berani mau ngelewatin gue gitu aja,""Kenapa?" tanyaku pelan."Pakai tanya lagi. Lo nggak dengar tadi Evelyn nanya ke lo."Aku terkekeh oelan. Masih sama. Evelyn selalu saja membawa para dayangnya untuk ikut bersamanya. Kemarin saat menemui Jess dia hanya membawa satu. Dan kini saat menemuiku dia membawa dua
Akhirnya semua urusanku berakhir. Soal Jess dan soal lukisan. Masalah kami memang belum sepenuhnya selesai dan aku mengabaikan fakta itu hanya untuk meyakinkan diriku sendiri jika aku sudah usai dengannya. Semua memang tidak berjalan baik sebagai mana mestinya. Namun bagiku itu sudah cukup. Meminta banyak penjelasan malah akan membuatku semakin terluka. Hanya aku meminta secara garis besarnya saja.Jessica pergi dari kota ini dan kembali pada keluarganya. Dari yang aku lihat dia sudah sangat menyesali kebodohannya. Berkali-kali dia juga mengirimiku pesan ungkapan permintaan maaf yang tidak aku respon satu pun. Aku hanya membaca dan itu cukup menyedihkan karena dia memohon maaf tiada henti.Dan waktu pun bergulir dengan cepat. Sudah dua bulan sejak kejadian itu berakhir. Jessica sudah tidak mengirimiku pesan permintaan maaf, mungkin dia sudah lelah karena aku sama sekali tidak merespon. Aku lulus sesuai jadwal dan beberapa kali menghadiri seminar sebagai pengisi acara. Beberapa karyaku
Masa kini.Kembali ke saat dimana aku tengah duduk di mobil dengan Tama yang sebagai supirnya. Aku melirik pria disampingku yang masih fokus dengan pikirannya sendiri.Rasa muak, marah, dan benci langsung menguasaiku. Bagaimana bisa aku sebodoh itu hingga melupakan hal penting yang seharusnya tidak boleh kulupakan. Aku tidak peduli tentang masa kecil dan masa laluku yang masih berurusan dengannya, tapi kenapa sampai sekarang pun aku masih terjebak dengan pria ini. Karena amnesia bodoh ini aku menjadi membenci diriku. Darahku mendidih hanya mengingat soal itu. Aku tertipu olehnya. Oleh janji-janji manis palsu yang selalu dia bicarakan. Dan sialnya lagi, kenapa juga aku sampai harus hamil.Sial, kenapa harus sekarang?Aku ingin berteriak dan marah. Semua ingatanku yang sudah pulih membuatku tidak sudi berada disatu tempat dengan Tama. Kebencian, amarah yang aku simpan untuk diriku sendiri hampir meluap hanya karena aku sadar dan menemukan Tama di sana.Aku tidak bisa menyalahkan diriku
Pria tua yang selama ini selalu berada di sisi papa. Orang yang aku kenal dari aku kecil. Orang yang selalu menenangkanku ketika papa sudah mulai bertingkah seolah tidak peduli padaku. Orang yang sudah aku anggap keluarga meskipun dia selalu bersikap profesional layaknya karyawan yang mengabdi oada tuannya. "Pak Hata," panggilku tanpa sadar. Aku dapat melihat bahunya menengang dan dia terdiam ditempatnya untuk sesaat sebelum membalikkan badanya untuk melihatku. Mata tuanya menatapku kaget. Dia terlihat lebih tua dari terakhir kali. Dia juga terlihat tidak percaya bisa melihatku di sini. "Nona," jawabbya dengan suara tercekat. Aku melihatnya masih sama seperti saat dia masih menjadi orang kepercayaan papa. Aku benar-benar merindukan pemandangan ini. Tatapan pak Hatta tampak tidak menyenangkan. Dia selalu memberikan tatapan itu saat dia memperingaku untuk tidak membantah kalimat papa. Masih sama. Atau ini hanya imajinasiku saja. "Nona?
Setelah berbincang ringan, Papa Irfandi memutuskan untuk langsung pergi. Dia bahkan tidak repot-repot untuk memarkirkan mobilnya masuk ke dalam rumah.Aku dan Tama mengantar kepergiannya. Untuk sesaat aku dapat menghela nafas lega. Ketika aku menoleh, Tama menatapku lekat sama seperti yang dia lakukan tadi."Kenapa?" tanyaku."Kamu tahu kan kalau aku bakalan selaku ada di pihak kamu," ucapnya. Aku mengangguk. Aku tahu itu karena dia pernah mengatakan hal yang sama sebelumnya, "jadi aku harap kamu juga bisa percaya sama aku," lanjutnya lagi."Maksud kamu?"Tama hanya tersenyum pelan dan langsung menarikku masuk. Genggaman tangannya hangat, membuat nyaman. Tapi aku sudah mewanti-wanti pada diriku sendiri untuk tidak terbuai dengan kehangatan semu yang dia salurkan. Aku harus tetap fokus pada tujuan utamaku.Rumah ini tampak terawat dengan halaman luas dan taman yang bunganya sudah mulai bermekaran. Beberapa pekerja tampak lalu-lalang dan sepertinya mereka tidak